Tadi aku “menemani” pacar adikku dan pacar sahabatku chat di FB (kalau dengan pacar sahabatku
tepatnya bukan menemani, tapi sekedar menyapa). Tidak ada yang akan cemburu. Sehingga
aku bisa lepas berbicara dengan mereka. Adikku tidak mungkin punya prasangka
buruk, begitu juga sahabatku, sebab mereka tahu aku tidak akan merebut pacar
mereka. Semua pembicaraan tanpa fokus, sekedar “menggantikan” pacar-pacar
mereka yang sedang sibuk mengurusi orderan.
Kampusku sedang dalam masa penerimaan mahasiswa baru. Seperti
kebanyakan kampus, para mahasiswa baru selalu diminta membuat atribut dan
perlengkapan yang tidak lazim, seperti membuat tas dengan bahan dan model
tertentu, topi dengan model dan warna tertentu, co-card, dan sebagainya. Permintaannya terkadang aneh, sulit
dipahami, semacam teka-teki yang harus dipecahkan. Panitia mengatakan itu
adalah salah satu cara untuk membuat mereka kreatif. Bagiku itu adalah
akal-akalan untuk mengerjai mahasiswa baru sebagai tindakan ‘balas dendam’.
Para mahasiswa baru yang baru pertama sekali datang ke kota
yogya biasanya kebingungan mencari atribut, perlengkapan, dan segala barang
bawaan itu. Mereka yang lugu, asing di tempat baru, belum tahu harus hidup
bagaimana di kota ini, khususnya bagaimana mengeluarkan uang mereka. Mereka yang
baru saja lulus SMA, belum tahu bebasnya menjadi mahasiswa, selalu gelisah bila
tugas yang diberikan kepada mereka tidak dikerjakan dengan baik. Dengan kondisi
semacam itu, mempercayakan orang lain untuk mengerjakan tugas mereka, orang
yang mudah dijangkau dan pertama kali mereka temui, adalah cara terbaik.
Bagi adikku, sahabatku, dan beberapa teman sekontrakan, ini
adalah peluang bisnis. Masa penerimaan mahasiswa baru menjadi peluang bisnis
penyediaan bahan dan pembuatan atribut Ospek (orientasi pengenalan kampus,
kalau di kampusku dikenal dengan program pengenal kampus). Setelah kemarin
siang mereka berjualan di depan kampus di bawah terik menyengat matahari yogya,
maghrib tadi mereka kembali ke kontrakan untuk mengerjakan pesanan yang
membludak (menurut mereka). Aku tidak terlibat dalam pekerjaan itu, karena ada
pekerjaan lain, atau mungkin karena tidak diajak, atau mereka segan mengajak,
hehe.
Sampai saat ini mereka masih sibuk mengerjakan pesanan di
ruang tamu. Melihat pekerjaan mereka, aku menduga pekerjaan itu baru akan selesai
setelah subuh atau mungkin pagi. Sementara aku sedari tadi duduk di depan
komputer, mengerjakan kerjaanku sendiri. Ini malam minggu. Tradisi anak muda
adalah kencan bersama pacar mereka. Terlepas dari setuju atau tidak setuju. Pacar
kedua orang yang mengajakku cerita tadi tidak ada di dekat mereka. Adikku dan
sahabatku itu di yogya, pacar adikku di Cirebon, pacar sahabatku di Tangerang
(?). Mereka biasanya berhubungan lewat telepon. Khusus malam ini, kedua pacar
itu tidak dapat menelepon, karena pacar-pacar mereka sedang bekerja.
***
Aku sedang kalut sebenarnya. Beberapa hari terakhir adalah
hari-hari yang menguras pikiran dan perasaan. Puncaknya kemarin siang, setelah
pemberontakan kecil terhadap nenekku. Rasa-rasanya aku tidak hidup selama
beberapa hari terakhir ini. Aku tidak dapat menikmati apapun. Aku ingin
bercerita , tapi entah kepada siapa. Aku tidak pernah terbiasa bercerita.
Bercerita melalui tulisan, jauh lebih bisa melegakan
daripada berusaha bercerita secara lansung kepada orang. Meskipun aku tetap
tidak bisa bercerita lepas di dalam tulisan, setidaknya lebih lepas jika
dibandingkan bercerita lansung. Membuat tulisan melegakan karena tanpa
interupsi, seperti yang biasa terjadi bila aku hendak bercerita kepada orang
lain. Memang, aku tetap merasa lebih lega dan nyaman jika bercerita lansung kepada
orang lain. Persoalannya adalah seringkali saat aku mulai bercerita sedikit,
orang yang aku ajak bercerita malah menceritakan kisahnya sendiri kepadaku. Siapa
yang ingin didengarkan dan siapa yang harus didengarkan? Aku selalu mengalah. Aku
kemudian lebih memilih mendengarkan. Emosi semakin kacau jika sudah begitu. Pada
saat itu, kadang aku ingin segera menyelesaikan pembicaraan, kadang aku
biarkan. Bercerita kepada orang lain seperti masuk ke dalam jebakan,
seringkali.
Mendengarkan cerita orang lain, barangkali itu keahlianku. Bukan
karena aku menguasai teorinya, tapi karena itu sudah aku lakukan selama belasan
tahun. Dalam banyak kasus aku justru menjadikan cerita mereka sebagai saluran
untuk melegakan emosiku. Dalam kasus-kasus tertentu, disaat aku ingin segera
menyelesaikan pembicaraan, aku pasti dalam keadaan sangat tidak siap.
Sebenarnya juga, aku punya banyak cara untuk meredakan
kemarahan, kegelisahan. Berbicara sendiri, berjalan sendiri, membuat alasan
yang rasional, hingga menemani orang berbicara seperti yang kulakukan tadi. Yang
terakhir ini, tentu dengan syarat aku memang dalam keadaan siap secara mental. Maksudnya,
pikiranku lebih ‘kuat’ dalam mengendalikan perasaan, bukan perasaan yang kuat
mengendalikan pikiran (seperti yang terjadi dalam pemberontakan kecilku).
Bagaimanapun, menurutku bercerita lansung kepada orang lain,
tetap perlu menurutku. Entah bagaimana, itu terasa jauh lebih melegakan,
walaupun tidak pernah menyelesaikan permasalahan. Barangkali itulah mengapa aku
lebih sering mengalah, untuk mendengarkan, karena aku tak tega membuat mereka
terus merasa tidak nyaman dengan emosi yang mereka alami. Menyakitkan. Aku rasa,
dalam banyak kasus, aku lebih terbiasa dengan rasa sakit semacam itu daripada
kebanyakan orang. Pastinya memang aku tidak tahu, tapi setidaknya itu membuatku
lebih mudah menjadi pendengar.
***
Aku menemani pacar adikku hingga hampir tengah malam (atau
tengah malam?), tidak lama kemudian teman sahabatku menyapa. Sebelumnya aku
mengirim pesan kepada seseorang bahwa aku ingin bercerita (walau aku belum
cerita apa-apa). Untuk saat ini rasanya jauh lebih baik.
Menemani, bercerita dan mendengarkan. Aku yakin dunia ini
akan jadi jauh lebih damai jika semua orang mau melakukan hal itu. Terlepas dari
segala kesulitanku untuk bercerita kepada orang lain. Aku merasa segala macam ‘kerusakan’
terjadi karena kita tidak mau melakukan hal semacam itu. Kita tidak mau
menemani, kita menyimpan berbagai kepentingan, dan kita selalu
berbicara-mendikte apa yang terbaik untuk orang lain. Kita dengan sengaja
menghambat efektifitas komunikasi demi tujuan sendiri.
Aku merasakan bagaimana sakitnya menjadi orang yang tidak
ditemani, orang yang tidak mampu bercerita, dan orang yang tidak didengarkan. Aku
berusaha sekuat tenaga untuk tidak menjadi terlalu ambisius, dan penuh rasa
dendam. Aku tidak pernah ingin mendendam, tapi terkadang rasa sakit itu
menimbulkan kesan negatif yang sangat mendalam, sehingga tanpa sadar sering
terlintas keinginan untuk mendendam. Untungnya, pada akhirnya keinginan itu
tidak pernah bertahan lama dan menjadi dendam yang sungguh-sungguh. Menurutku
dengan menemani, bercerita, dan mendengarkan akan meningkatkan keterbukaan
komunikasi (yang itu berarti kesepahaman), mematangkan pertimbangan pikiran,
dan melegakan perasaan (rasa sakit yang berkurang, menghilangkan potensi
dendam). Menurutku, dengan melakukan itu, aku sudah berkontribusi untuk
perubahan di dunia ini, sekalipun kecil.
[sosok pahlawan dalam cerita sering dikaitkan dengan sosok yang sendirian dan terasing, begitu juga dalam sosok penjahatnya. aku pikir itu tidak jauh-jauh dari kenyataan, walaupun tidak seberlebihan cerita heroik itu. si pahlawan, ingin menyelamatkan karena ia masih percaya pada orang lain dan tidak ingin orang lain merasakan apa yang telah ia rasakan. si penjahat, sebaliknya, ingin menghancurkan karena seolah seluruh dunia memusuhinya, dan tidak ada harapan baginya untuk mengada kecuali bila ia menghancurkan dunia itu.]
***
Jadi, apa sebenarnya inti tulisan ini? Hehe, entahlah. Aku tidak
tahu. Aku cuma sedang ingin menulis saja. Banyak yang belum dieksplorasi
sebenarnya, tapi aku tidak dapat inspirasi, apa yang mau ditulis. biarlah
seperti ini saja. :)
0 comments:
Post a Comment