Rss Feed
  1. Menemani, Bercerita, dan Mendengarkan

    Sunday, September 1, 2013

    Tadi aku “menemani” pacar adikku dan pacar sahabatku chat di FB (kalau dengan pacar sahabatku tepatnya bukan menemani, tapi sekedar menyapa). Tidak ada yang akan cemburu. Sehingga aku bisa lepas berbicara dengan mereka. Adikku tidak mungkin punya prasangka buruk, begitu juga sahabatku, sebab mereka tahu aku tidak akan merebut pacar mereka. Semua pembicaraan tanpa fokus, sekedar “menggantikan” pacar-pacar mereka yang sedang sibuk mengurusi orderan. 

    Kampusku sedang dalam masa penerimaan mahasiswa baru. Seperti kebanyakan kampus, para mahasiswa baru selalu diminta membuat atribut dan perlengkapan yang tidak lazim, seperti membuat tas dengan bahan dan model tertentu, topi dengan model dan warna tertentu, co-card, dan sebagainya. Permintaannya terkadang aneh, sulit dipahami, semacam teka-teki yang harus dipecahkan. Panitia mengatakan itu adalah salah satu cara untuk membuat mereka kreatif. Bagiku itu adalah akal-akalan untuk mengerjai mahasiswa baru sebagai tindakan ‘balas dendam’. 

    Para mahasiswa baru yang baru pertama sekali datang ke kota yogya biasanya kebingungan mencari atribut, perlengkapan, dan segala barang bawaan itu. Mereka yang lugu, asing di tempat baru, belum tahu harus hidup bagaimana di kota ini, khususnya bagaimana mengeluarkan uang mereka. Mereka yang baru saja lulus SMA, belum tahu bebasnya menjadi mahasiswa, selalu gelisah bila tugas yang diberikan kepada mereka tidak dikerjakan dengan baik. Dengan kondisi semacam itu, mempercayakan orang lain untuk mengerjakan tugas mereka, orang yang mudah dijangkau dan pertama kali mereka temui, adalah cara terbaik.

    Bagi adikku, sahabatku, dan beberapa teman sekontrakan, ini adalah peluang bisnis. Masa penerimaan mahasiswa baru menjadi peluang bisnis penyediaan bahan dan pembuatan atribut Ospek (orientasi pengenalan kampus, kalau di kampusku dikenal dengan program pengenal kampus). Setelah kemarin siang mereka berjualan di depan kampus di bawah terik menyengat matahari yogya, maghrib tadi mereka kembali ke kontrakan untuk mengerjakan pesanan yang membludak (menurut mereka). Aku tidak terlibat dalam pekerjaan itu, karena ada pekerjaan lain, atau mungkin karena tidak diajak, atau mereka segan mengajak, hehe. 

    Sampai saat ini mereka masih sibuk mengerjakan pesanan di ruang tamu. Melihat pekerjaan mereka, aku menduga pekerjaan itu baru akan selesai setelah subuh atau mungkin pagi. Sementara aku sedari tadi duduk di depan komputer, mengerjakan kerjaanku sendiri. Ini malam minggu. Tradisi anak muda adalah kencan bersama pacar mereka. Terlepas dari setuju atau tidak setuju. Pacar kedua orang yang mengajakku cerita tadi tidak ada di dekat mereka. Adikku dan sahabatku itu di yogya, pacar adikku di Cirebon, pacar sahabatku di Tangerang (?). Mereka biasanya berhubungan lewat telepon. Khusus malam ini, kedua pacar itu tidak dapat menelepon, karena pacar-pacar mereka sedang bekerja. 
    ***

    Aku sedang kalut sebenarnya. Beberapa hari terakhir adalah hari-hari yang menguras pikiran dan perasaan. Puncaknya kemarin siang, setelah pemberontakan kecil terhadap nenekku. Rasa-rasanya aku tidak hidup selama beberapa hari terakhir ini. Aku tidak dapat menikmati apapun. Aku ingin bercerita , tapi entah kepada siapa. Aku tidak pernah terbiasa bercerita.

    Bercerita melalui tulisan, jauh lebih bisa melegakan daripada berusaha bercerita secara lansung kepada orang. Meskipun aku tetap tidak bisa bercerita lepas di dalam tulisan, setidaknya lebih lepas jika dibandingkan bercerita lansung. Membuat tulisan melegakan karena tanpa interupsi, seperti yang biasa terjadi bila aku hendak bercerita kepada orang lain. Memang, aku tetap merasa lebih lega dan nyaman jika bercerita lansung kepada orang lain. Persoalannya adalah seringkali saat aku mulai bercerita sedikit, orang yang aku ajak bercerita malah menceritakan kisahnya sendiri kepadaku. Siapa yang ingin didengarkan dan siapa yang harus didengarkan? Aku selalu mengalah. Aku kemudian lebih memilih mendengarkan. Emosi semakin kacau jika sudah begitu. Pada saat itu, kadang aku ingin segera menyelesaikan pembicaraan, kadang aku biarkan. Bercerita kepada orang lain seperti masuk ke dalam jebakan, seringkali. 

    Mendengarkan cerita orang lain, barangkali itu keahlianku. Bukan karena aku menguasai teorinya, tapi karena itu sudah aku lakukan selama belasan tahun. Dalam banyak kasus aku justru menjadikan cerita mereka sebagai saluran untuk melegakan emosiku. Dalam kasus-kasus tertentu, disaat aku ingin segera menyelesaikan pembicaraan, aku pasti dalam keadaan sangat tidak siap. 

    Sebenarnya juga, aku punya banyak cara untuk meredakan kemarahan, kegelisahan. Berbicara sendiri, berjalan sendiri, membuat alasan yang rasional, hingga menemani orang berbicara seperti yang kulakukan tadi. Yang terakhir ini, tentu dengan syarat aku memang dalam keadaan siap secara mental. Maksudnya, pikiranku lebih ‘kuat’ dalam mengendalikan perasaan, bukan perasaan yang kuat mengendalikan pikiran (seperti yang terjadi dalam pemberontakan kecilku).

    Bagaimanapun, menurutku bercerita lansung kepada orang lain, tetap perlu menurutku. Entah bagaimana, itu terasa jauh lebih melegakan, walaupun tidak pernah menyelesaikan permasalahan. Barangkali itulah mengapa aku lebih sering mengalah, untuk mendengarkan, karena aku tak tega membuat mereka terus merasa tidak nyaman dengan emosi yang mereka alami. Menyakitkan. Aku rasa, dalam banyak kasus, aku lebih terbiasa dengan rasa sakit semacam itu daripada kebanyakan orang. Pastinya memang aku tidak tahu, tapi setidaknya itu membuatku lebih mudah menjadi pendengar.

    ***

    Aku menemani pacar adikku hingga hampir tengah malam (atau tengah malam?), tidak lama kemudian teman sahabatku menyapa. Sebelumnya aku mengirim pesan kepada seseorang bahwa aku ingin bercerita (walau aku belum cerita apa-apa). Untuk saat ini rasanya jauh lebih baik. 

    Menemani, bercerita dan mendengarkan. Aku yakin dunia ini akan jadi jauh lebih damai jika semua orang mau melakukan hal itu. Terlepas dari segala kesulitanku untuk bercerita kepada orang lain. Aku merasa segala macam ‘kerusakan’ terjadi karena kita tidak mau melakukan hal semacam itu. Kita tidak mau menemani, kita menyimpan berbagai kepentingan, dan kita selalu berbicara-mendikte apa yang terbaik untuk orang lain. Kita dengan sengaja menghambat efektifitas komunikasi demi tujuan sendiri.

    Aku merasakan bagaimana sakitnya menjadi orang yang tidak ditemani, orang yang tidak mampu bercerita, dan orang yang tidak didengarkan. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menjadi terlalu ambisius, dan penuh rasa dendam. Aku tidak pernah ingin mendendam, tapi terkadang rasa sakit itu menimbulkan kesan negatif yang sangat mendalam, sehingga tanpa sadar sering terlintas keinginan untuk mendendam. Untungnya, pada akhirnya keinginan itu tidak pernah bertahan lama dan menjadi dendam yang sungguh-sungguh. Menurutku dengan menemani, bercerita, dan mendengarkan akan meningkatkan keterbukaan komunikasi (yang itu berarti kesepahaman), mematangkan pertimbangan pikiran, dan melegakan perasaan (rasa sakit yang berkurang, menghilangkan potensi dendam). Menurutku, dengan melakukan itu, aku sudah berkontribusi untuk perubahan di dunia ini, sekalipun kecil. 

    [sosok pahlawan dalam cerita sering dikaitkan dengan sosok yang sendirian dan terasing, begitu juga dalam sosok penjahatnya. aku pikir itu tidak jauh-jauh dari kenyataan, walaupun tidak seberlebihan cerita heroik itu. si pahlawan, ingin menyelamatkan karena ia masih percaya pada orang lain dan tidak ingin orang lain merasakan apa yang telah ia rasakan. si penjahat, sebaliknya, ingin menghancurkan karena seolah seluruh dunia memusuhinya, dan tidak ada harapan baginya untuk mengada kecuali bila ia menghancurkan dunia itu.]

    ***

    Jadi, apa sebenarnya inti tulisan ini? Hehe, entahlah. Aku tidak tahu. Aku cuma sedang ingin menulis saja. Banyak yang belum dieksplorasi sebenarnya, tapi aku tidak dapat inspirasi, apa yang mau ditulis. biarlah seperti ini saja. :)

  2. 0 comments:

    Post a Comment