Seringkali yang kita butuhkan bukanlah pembicaraan yang
penuh tanggapan, tapi sekedar kehadiran. Baik kehadiran itu adalah kehadiran
secara lansung atau ditengahi oleh sesuatu. Apakah ia hadir di hadapan atau di
dalam pikiran.
Hadir tidak harus berbicara, walau acapkali kita ajak
bicara. Orang-orang yang kita sayangi sering menuntut agar mengabari, bahwa
kita masih ada. Para guru dan dosen seringkali tidak mempersoalkan peserta didiknya berbicara
atau tidak, yang penting hadir mengisi absensi. Para penganut agama tidak mempersoalkan
Tuhannya membalas atau tidak, yang penting Ia dihadirkan. Para pengagum tokoh
menghadirkan foto atau buku di kamarnya, para pacar menghadirkan pacarnya melalui
benda-benda hadiah. Kehadiran yang lain, lansung atau dimediasi, dihadapi atau
dihadirkan, menjadi penegas. Menjadi pengakuan pada diri, bahwa kita ada. Seperti kebutuhan kita pada cermin, kita tidak benar-benar merasa ada tanpa kehadiran yang lain.
Kita ada karena keberadaan yang lain. Dan kegelisahan atau
keresahan sering menarik kita ke dalam keterasingan. Menyendiri. Tidak harus
secara nyata, tapi juga pikiran yang menyendiri. Tubuh dimana, pikiran dimana,
tidak ada bersama. Semakin jauh kita dari kehadiran yang lain, semakin kita
merasa tidak ada di dunia, semakin merasa tidak hidup. Kehadiran yang lain dapat
membantu untuk menyatukan kembali tubuh dan pikiran, sekalipun kesatuan itu
tidak lantas menyelesaikan kegelisahan.
Setidaknya, menjadi hadir, menjadi eksis, ada kepercayaan
diri untuk mengatasi kegelisahan. Sebab, kehadiran yang lain bisa menjadi
energi, inspirasi, atau bahkan menjadi alasan untuk bertahan.
0 comments:
Post a Comment