Sebagian besar yang kutulis disini merupakan cerita nyata atau
ada berhubungan dengan sesuatu yang benar-benar terjadi. Sebagai penulis pemula
dengan imajinasi biasa-biasa saja, gaya menulis seperti inilah yang paling
mudah bagiku jika dibandingkan dengan menulis cerita yang sepenuhnya fiktif. Aku
terbiasa menulis tulisan-tulisan ilmiah, tapi tidak dengan fiksi.
Aku punya alasan yang lebih mendasar mengapa menceritakan
sesuatu yang nyata atau berhubungan dengan sesuatu yang benar-benar terjadi. Itu karena
aku ingin kisah kehidupan mereka diabadikan. Aku tidak tahu apakah ini adalah
narsisme atau bukan, yang jelas menceritakan kisah mereka adalah sesuatu yang
dapat menandingi sejarah penguasa. Kita bosan di-cekoki dengan cerita ‘luar biasa’ para penguasa. Cerita yang memang
luar biasa atau memang cerita yang sengaja diluarbiasakan, entahlah. Para orang
besar dan penguasa pasti punya sisi hidup yang biasa-biasanya selayaknya orang
biasa. Namun menceritakan hal yang biasa dari mereka merupakan sesuatu yang
tidak layak, karena orang besar dan penguasa harus diceritakan dengan besar dan
berkuasa. [mungkin terlalu berlebihan. yah, setidaknya itu alasan yang bagus]
Jadi, kita butuh cerita orang-orang biasa. Orang yang
menjalani hidupnya biasa-biasa saja. Yah, menurut mereka itu biasa-biasa saja. Bagiku
tidak. Setiap cerita itu luar biasa. Luar biasa bukan karena topik cerita
mereka. Kehidupan mereka mungkin seputar cinta dan kerja saja. Apa yang menjadi
luar biasa adalah cara mereka menghadapinya. Mereka menghadapinya dengan cara
yang tidak pernah kita baca di buku-buku pelajaran sekolah atau kuliah. Mereka menghadapi
dengan cara mereka sendiri, dengan kebebasan mereka sendiri, dengan keunikan
mereka sendiri.
Aku, sebagai orang yang peduli cerita mereka, sering ingin
menceritakan kembali dalam bentuk fiksi. Kendalanya, aku belum cukup terbiasa. Beberapa
orang bahkan sudah memintaku untuk menuliskan cerita mereka. Aku pernah
menyanggupinya, tapi belum kukerjakan sampai saat ini. Tekadku, suatu hari
nanti buku cerita mereka itu harus jadi.
***
Sebelum ini aku membuat sebuah tulisan berjudul “Menemani,
Bercerita, dan Mendengarkan.” Sedikit cerita tentang teman-teman sekontrakan
yang berusaha sedikit mencari peruntungan di masa Ospek Mahasiswa. Tadinya aku
hendak membuat kelanjutan cerita itu, karena apa yang mereka alami sejak
maghrib tadi begitu menarik. Aku mencoba menulis beberapa paragraf awal, namun
dengan cepat aku kehilangan konsentrasi. Di kontrakan sedang banyak mahasiswa
baru yang datang mengambil pesanan mereka. Aku pun berhenti menulis karena
tidak enak pura-pura tidak tahu dengan kebingungan dan kelelahan mereka. Ingin sekali
rasanya membantu pekerjaan mereka, namun aku tidak tahu apa yang harus
dilakukan. Posisiku seperti sedang menonton film detektif di pertengahan cerita,
tidak paham apapun karena tidak mulai dari awal. Jadi aku membantu sebisaku. Dalam
kondisi mereka yang sudah sangat lelah itu, mereka sering bingung apa yang
harus dicari dan dilakukan. Mereka bingung mencari gunting, aku carikan
gunting. Mereka lupa kalau akan membuat minuman, aku buatkan minuman. Aku sampai
bilang ke mereka,”Kalau ada apa-apa minta bantuanku aja, soalnya Cuma aku yang
masih sadar.” Seluruh orang yang ada disana saat itu lansung tertawa. Ketika mulai
agak malam, aku memutarkan musik instrumental agar suasana tidak terlalu
tegang. Mengajak ngobrol mahasiswa agar tidak terlalu bosan menunggu pesanan. Tidak
banyak memang yang bisa dilakukan, tapi setidaknya membantu.
Semakin malam, ketika suasana sudah sepi aku mulai
memandangi layar komputer lagi. Bowo, salah seorang teman baruku, masuk ke
dalam kamar. Aku katakan kepadanya kalau aku akan membuat cerita tentang
kesusahan mereka malam ini. Bowo bertanya bagaimana awal ceritanya. Aku menunjukkan
beberapa paragraf awal kepadanya, lalu Bowo mulai bercerita. Aku menuliskan
apapun yang dia katakan. Beberapa paragraf selesai, lalu dia bilang kalau
tiba-tiba dia buntu. Sejenak kemudian dia mulai cerita lagi. Akhirnya seluruh
ungkapan dia sejak awal sampai akhir menjadi 3 halaman tulisan. Mengetahui itu,
dia berkata,”Itu sebentar ngomongnya sudah jadi 3 halaman, bagaimana kalau
omongan sejak tadi sore, pasti sudah jadi bereksemplar-eksemplar.” Menurutku dia
terkejut dengan itu. Dan aku pun sebenarnya terkejut juga. Aku belum pernah
melakukan ini sebelumnya. Ternyata jika cerita mereka dituliskan sebagaimana
yang mereka ungkapkan, tulisan mereka juga bisa bagus.
***
Aku berencana mem-posting
tulisan yang kubuat berdasarkan cerita Bowo tadi di sini. Ceritanya memang
belum selesai, dan masih perlu diedit. Tapi, awalnya aku memutuskan untuk
memostingkan tulisan itu apa adanya saja dulu.
Aku membuka dashboard
blogku, tiba-tiba aku berpikir hal lain. Sesuatu yang berhubungan dengam judul
tulisanku sebelum ini,”menemani, bercerita, dan mendengarkan.” Dalam hubunganku
dengan Bowo itu, bukan bercerita dulu baru mendengarkan, tapi mendengarkan dulu
baru bercerita. Aku mendengarkan ceritanya, lalu menceritakan kembali ceritanya
ke dalam bentuk tulisan. Seolah-olah aku menemukan platform baru untuk blogku. Aku
tidak hanya ingin sekedar belajar menulis kata, tapi juga ingin menceritakan
kisah orang-orang biasa. Jadi aku mengubah sedikit deskripsi di blogku bahwa
semua orang punya kisah yang dapat diceritakan dan dituliskan, yang diperlukan
hanyalah mendengarkan.
Kasus Bowo membawaku kembali pada tesis bahwa semua orang
ingin didengarkan, semua orang bercerita. Mereka hanya tidak terbiasa
menuliskan ceritanya. Sebenarnya aku ingin mengajak Bowo untuk menuliskan sendiri
ceritanya. Tidak kulakukan. tidak tahu kenapa. Tapi melalui tulisan ini,
aku ingin mengajak Bowo-Bowo lainnya untuk menuliskan cerita mereka. Terserahlah
jika cerita itu dirasa tidak bagus. suatu hari nanti jika dibaca kembali,
kupikir dia akan menjadi sesuatu yang membanggakan. Kita perlu banyak
cerita-cerita biasa lain untuk menandingi distorsi informasi di buku dan media.
Cerita-cerita biasa yang jujur dan apa adanya, tanpa kemunafikan. Cerita-cerita
yang jika dibaca kembali mampu menginspirasi diri sendiri. Cerita-cerita yang
mungkin nantinya akan menjadi media pendidikan untuk manusia-manusia yang ingin
menjadi jujur dan apa adanya.
[lagu penutupnya, “Tidurlah” oleh Payung Teduh. ‘tidurlah malam semakin malam, tidurlah pagi
semakin pagi.”]
0 comments:
Post a Comment