Rss Feed
  1. Menemani, Mendengarkan, dan Bercerita

    Monday, September 2, 2013

    Sebagian besar yang kutulis disini merupakan cerita nyata atau ada berhubungan dengan sesuatu yang benar-benar terjadi. Sebagai penulis pemula dengan imajinasi biasa-biasa saja, gaya menulis seperti inilah yang paling mudah bagiku jika dibandingkan dengan menulis cerita yang sepenuhnya fiktif. Aku terbiasa menulis tulisan-tulisan ilmiah, tapi tidak dengan fiksi.

    Aku punya alasan yang lebih mendasar mengapa menceritakan sesuatu yang nyata atau berhubungan dengan sesuatu yang benar-benar terjadi. Itu karena aku ingin kisah kehidupan mereka diabadikan. Aku tidak tahu apakah ini adalah narsisme atau bukan, yang jelas menceritakan kisah mereka adalah sesuatu yang dapat menandingi sejarah penguasa. Kita bosan di-cekoki dengan cerita ‘luar biasa’ para penguasa. Cerita yang memang luar biasa atau memang cerita yang sengaja diluarbiasakan, entahlah. Para orang besar dan penguasa pasti punya sisi hidup yang biasa-biasanya selayaknya orang biasa. Namun menceritakan hal yang biasa dari mereka merupakan sesuatu yang tidak layak, karena orang besar dan penguasa harus diceritakan dengan besar dan berkuasa. [mungkin terlalu berlebihan. yah, setidaknya itu alasan yang bagus]

    Jadi, kita butuh cerita orang-orang biasa. Orang yang menjalani hidupnya biasa-biasa saja. Yah, menurut mereka itu biasa-biasa saja. Bagiku tidak. Setiap cerita itu luar biasa. Luar biasa bukan karena topik cerita mereka. Kehidupan mereka mungkin seputar cinta dan kerja saja. Apa yang menjadi luar biasa adalah cara mereka menghadapinya. Mereka menghadapinya dengan cara yang tidak pernah kita baca di buku-buku pelajaran sekolah atau kuliah. Mereka menghadapi dengan cara mereka sendiri, dengan kebebasan mereka sendiri, dengan keunikan mereka sendiri. 

    Aku, sebagai orang yang peduli cerita mereka, sering ingin menceritakan kembali dalam bentuk fiksi. Kendalanya, aku belum cukup terbiasa. Beberapa orang bahkan sudah memintaku untuk menuliskan cerita mereka. Aku pernah menyanggupinya, tapi belum kukerjakan sampai saat ini. Tekadku, suatu hari nanti buku cerita mereka itu harus jadi. 

    ***
    Sebelum ini aku membuat sebuah tulisan berjudul “Menemani, Bercerita, dan Mendengarkan.” Sedikit cerita tentang teman-teman sekontrakan yang berusaha sedikit mencari peruntungan di masa Ospek Mahasiswa. Tadinya aku hendak membuat kelanjutan cerita itu, karena apa yang mereka alami sejak maghrib tadi begitu menarik. Aku mencoba menulis beberapa paragraf awal, namun dengan cepat aku kehilangan konsentrasi. Di kontrakan sedang banyak mahasiswa baru yang datang mengambil pesanan mereka. Aku pun berhenti menulis karena tidak enak pura-pura tidak tahu dengan kebingungan dan kelelahan mereka. Ingin sekali rasanya membantu pekerjaan mereka, namun aku tidak tahu apa yang harus dilakukan. Posisiku seperti sedang menonton film detektif di pertengahan cerita, tidak paham apapun karena tidak mulai dari awal. Jadi aku membantu sebisaku. Dalam kondisi mereka yang sudah sangat lelah itu, mereka sering bingung apa yang harus dicari dan dilakukan. Mereka bingung mencari gunting, aku carikan gunting. Mereka lupa kalau akan membuat minuman, aku buatkan minuman. Aku sampai bilang ke mereka,”Kalau ada apa-apa minta bantuanku aja, soalnya Cuma aku yang masih sadar.” Seluruh orang yang ada disana saat itu lansung tertawa. Ketika mulai agak malam, aku memutarkan musik instrumental agar suasana tidak terlalu tegang. Mengajak ngobrol mahasiswa agar tidak terlalu bosan menunggu pesanan. Tidak banyak memang yang bisa dilakukan, tapi setidaknya membantu.

    Semakin malam, ketika suasana sudah sepi aku mulai memandangi layar komputer lagi. Bowo, salah seorang teman baruku, masuk ke dalam kamar. Aku katakan kepadanya kalau aku akan membuat cerita tentang kesusahan mereka malam ini. Bowo bertanya bagaimana awal ceritanya. Aku menunjukkan beberapa paragraf awal kepadanya, lalu Bowo mulai bercerita. Aku menuliskan apapun yang dia katakan. Beberapa paragraf selesai, lalu dia bilang kalau tiba-tiba dia buntu. Sejenak kemudian dia mulai cerita lagi. Akhirnya seluruh ungkapan dia sejak awal sampai akhir menjadi 3 halaman tulisan. Mengetahui itu, dia berkata,”Itu sebentar ngomongnya sudah jadi 3 halaman, bagaimana kalau omongan sejak tadi sore, pasti sudah jadi bereksemplar-eksemplar.” Menurutku dia terkejut dengan itu. Dan aku pun sebenarnya terkejut juga. Aku belum pernah melakukan ini sebelumnya. Ternyata jika cerita mereka dituliskan sebagaimana yang mereka ungkapkan, tulisan mereka juga bisa bagus. 

    ***
    Aku berencana mem-posting tulisan yang kubuat berdasarkan cerita Bowo tadi di sini. Ceritanya memang belum selesai, dan masih perlu diedit. Tapi, awalnya aku memutuskan untuk memostingkan tulisan itu apa adanya saja dulu. 

    Aku membuka dashboard blogku, tiba-tiba aku berpikir hal lain. Sesuatu yang berhubungan dengam judul tulisanku sebelum ini,”menemani, bercerita, dan mendengarkan.” Dalam hubunganku dengan Bowo itu, bukan bercerita dulu baru mendengarkan, tapi mendengarkan dulu baru bercerita. Aku mendengarkan ceritanya, lalu menceritakan kembali ceritanya ke dalam bentuk tulisan. Seolah-olah aku menemukan platform baru untuk blogku. Aku tidak hanya ingin sekedar belajar menulis kata, tapi juga ingin menceritakan kisah orang-orang biasa. Jadi aku mengubah sedikit deskripsi di blogku bahwa semua orang punya kisah yang dapat diceritakan dan dituliskan, yang diperlukan hanyalah mendengarkan. 

    Kasus Bowo membawaku kembali pada tesis bahwa semua orang ingin didengarkan, semua orang bercerita. Mereka hanya tidak terbiasa menuliskan ceritanya. Sebenarnya aku ingin mengajak Bowo untuk menuliskan sendiri ceritanya. Tidak kulakukan. tidak tahu kenapa. Tapi melalui tulisan ini, aku ingin mengajak Bowo-Bowo lainnya untuk menuliskan cerita mereka. Terserahlah jika cerita itu dirasa tidak bagus. suatu hari nanti jika dibaca kembali, kupikir dia akan menjadi sesuatu yang membanggakan. Kita perlu banyak cerita-cerita biasa lain untuk menandingi distorsi informasi di buku dan media. Cerita-cerita biasa yang jujur dan apa adanya, tanpa kemunafikan. Cerita-cerita yang jika dibaca kembali mampu menginspirasi diri sendiri. Cerita-cerita yang mungkin nantinya akan menjadi media pendidikan untuk manusia-manusia yang ingin menjadi jujur dan apa adanya. 

    [lagu penutupnya, “Tidurlah” oleh Payung Teduh. ‘tidurlah malam semakin malam, tidurlah pagi semakin pagi.”]


  2. 0 comments:

    Post a Comment