(2)
Unexpected Gift in
Unexpected Time
Jadi kawan, beberapa waktu lalu aku diberi beberapa
aksesoris. Sebenarnya aku meminta, karena aksesoris yang serupa pernah
diberikan padaku, namun aku menghilangkannya. Aku tidak tahu bagaimana benda
itu bisa hilang. Aku mencari kemana-mana, membongkar seisi kamar, menanyai
beberapa orang teman, nihil. Engkau tahu bagaimana rasanya jauh setelah ia
tidak ada,
meski sudah tidak
ada, engkau merasa masih tetap memilikinya
Sesak rasanya. Akan lebih lega jika engkau tahu bagaimana
dan mengapa ia hilang. Setidaknya perasaan bisa diredakan dengan membuat
berbagai macam alasan. Tapi aku tidak punya alasan. Satu-satunya alasan adalah
kecerobohan.
Kecerobohan. Itulah
yang dikatakan kawanku yang lain, saat aku menghilangkan barang berbeda dari
orang yang sama.
Sebenarnya tidak biasa aku menghilangkan sesuatu yang
diberikan padaku. Sebagian besar benda-benda di kamarku adalah pemberian dan
titipan: baju, sepatu, tas, termasuk lemari milikmu. Benda-benda yang pernah
kubeli sendiri hanyalah buku, perlengkapan tulis, komputer, dan kacamata.
Benda ini memang kecil, sehingga mudah terselip dan hilang
dari penglihatan. Soal harga, tidak perlu kau tanyakan. Tapi persoalannya bukan
itu, benda itu adalah unexpected gift in unexpected time.
Hadiah yang tidak
terduga diwaktu yang tidak terduga
Suprise, kejutan. Sederhananya begitu. Aku mendapatkan
kata-kata ini dari film berjudul Finding Forrester. Film ini bercerita
tentang pertemanan seorang penulis handal bernama Forrester dengan seorang
calon penulis berbakat bernama Jamal. William Forrester merupakan penulis novel
“The Avalon Landing”. Novel ini merupakan satu-satunya novel yang pernah ia
terbitkan, dan menjadi karya legenda. The Avalon Landing dibicarakan
dimana-mana, dikritik, dan dijadikan bahan bacaan wajib di sekolah-sekolah. Kau
tahu mengapa ia hanya menerbitkan satu buku saja? Karena kehilangan. Tapi aku
tidak ingin membicarakan itu disini, sebaiknya engkau menontonnya sendiri.
Jamal adalah seorang remaja kulit hitam yang sangat suka menulis.
Pertemuannya dengan Forrester pun tidak terduga. Singkatnya, setelah Jamal
bertemu dengan Forrester, Jamal kemudian pindah sekolah. Ia pindah karena ada
sekolah swasta terkenal yang meliriknya karena prestasinya. Ia cerdas dan jago
bermain basket. Nah, disekolah barunya, ia menyukai seorang perempuan bernama
Claire. Jamal bertanya bagaimana strategi untuk menarik hati perempuan
idamannya itu. Forrester menjawab,”Unexpected gift in unexpected time.”
Hadiah yang tidak terduga diwaktu yang tidak terduga. Aku pikir
itu strategi yang benar-benar mumpuni. Siapa yang tidak suka dengan kejutan? Apalagi
jika kejutan itu adalah sesuatu yang sangat diharapkan? Jamal pun memberikan
Claire sebuah buku The Avalon Landing asli lengkap dengan tanda-tangan
Forrester. Perlu diketahui, sejak penerbitan novel the Avalon Landing,
Forrester menghilang dan dianggap telah meninggal. Sementara Claire sangat menyukai
novel ini. Dia punya novel dari berbagai penerbitan, sudah membacanya 30 kali
tapi tidak pernah bosan. Bisa dibayangkan bagaimana bahagianya Claire karena
hadiah itu. cerita selanjutnya, kau pasti bisa meraba, tidak jauh berbeda dari
semua drama dengan happy ending. Namun, sejujurnya aku sangat menyukai film
ini. Aku telah menontonnya berkali-kali, dan tidak pernah bosan.
Hadiah yang tidak
terduga, bukan hanya benda
Dia bisa seorang anak manusia. Seperti betapa bahagianya
pasangan yang sudah lama menikah tapi tidak mempunyai anak. tiba-tiba suatu
hari mereka tahu kalau sang istri positif hamil. Saat bayi mungil itu lahir,
tidak bisa dibayangkan betapa bahagianya. Bila ia tidak lahir, juga tidak bisa
dibayangkan bagaimana sedihnya.
bisa jadi juga,
hadiah tidak terduga itu adalah pasanganmu.
Aku ceritakan engkau tentang sebuah kehilangan semacam itu.
Aku punya seorang kawan lain, tidak usah kusebutkan namanya. Sewaktu SMA dia
pernah berpacaran. Perempuan ini, sang pacar, adalah cinta pertamanya. Menurut pengakuan
kawanku itu, perempuan ini tidak bisa ia lupakan sampai sekarang. Pacarnya telah
meninggal, juga ketika ia masih SMA. Aku lupa karena penyakit apa, kalau tidak
salah kanker. Setelah perempuan ini meninggal. Kawanku ini tidak mau pacaran
lagi. Saat dia berusaha membuka diri, dia hanya menjadikan perempuan lain
sebagai pelarian. 12 perempuan sampai sekarang, katanya. Aku mencoba
mendorongnya untuk melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalu itu, tapi
sepertinya belum bisa.
Orang tua sang perempuan juga sampai harus pindah rumah
karena rumah itu selalu mengingatkan ibunya kepada anaknya. ibunya selalu
murung. Setiap kali kawanku ini datang ke rumahnya, ibunya selalu menangis
sejadi-jadinya. Kata si ibu, melihat kawanku seperti melihat anak perempuannya
sendiri. Akhirnya temanku tidak pernah lagi datang ke rumah orang tua si
perempuan, takut semakin membuat ibunya sedih. (dalam tulisan lain, aku ingin
bercerita sedikit tentang kehilangan yang dialami orang tua)
Baru kemarin juga aku diceritakan kisah lain. kali ini
seorang perempuan. Dia bercerita mengenai pacarnya yang akan menikah. Aku yakin
kau kenal siapa dia. Sampai saat ini, cewek ini masih saja selalu terkenang. Aku
bilang kenapa tidak direlakan saja. Dia berkomentar,”kenangan itu sayang
dibuang.”
Aku harus berkata apa? Aku juga tidak pasti. Lantas kubilang
saja,”membuangnya seperti membuang limbah ke dalam sungai. Kalau dia dibuang,
kasihan sungainya, nanti kotor.” Hanya itu yang bisa ku katakan. Aku tidak bisa
memaksanya untuk menghilangkan kenangan itu. setiap orang punya alasan sendiri
untuk mengenang atau melupakan, bukan? Bahkan, sebenarnya kita tidak pernah
benar-benar melupakan, kecuali mengalihkan. Berpura-pura tidak melihat, padahal
kenangan itu tepat berada di depan mata.
Ah, memang benar
kata Letto:
Kehilangan hanya
ada jika kau merasa pernah memilikinya
Apalagi apa yang kau rasa pernah kau miliki itu adalah
hadiah yang tidak terduga. Seseorang orang yang kau temui secara tiba-tiba,
dalam pertemuan yang tidak terduga. Lalu kalian merasa sama-sama suka. Setelah berjalan
lama, tiba-tiba semua harus sirna. Sayangnya bukan karena tidak lagi suka, tapi
karena keadaan. Sungguh aku tidak bisa menggambarkan bagaimana kesedihan karena
kehilangan itu. kita lalu merasa menjadi orang paling bodoh, paling ceroboh,
paling sial, di dunia.
Bahkan jika hadiah
terduga itu, tidak berharga namun sarat makna
Aku dikatakan ceroboh karena telah menghilangkan sesuatu
yang sangat bernilai. Tidak usah kau tanya berapa harganya. Itu hanya benda
kecil yang biasa disematkan di tas kuliah. Tapi benda itu sarat makna. Aku merasa
begitu hidup, bersemangat.
Lalu entah bagaimana aku harus kehilangannya. Mungkin diambil
orang, atau terlepas saat tersenggol orang lain. Dan kau tahu, aku sangat ingin
menangis. Aku harus memukul dadaku berkali-kali untuk meredakan
sentakan-sentakan air mata yang hendak membuncah. Cara itu berguna ternyata. Namun,
aku harus melewati 2 hari tanpa nafsu makan dan tidur yang nyenyak.
Bila itu seseorang, seseorang yang unik dan membuat dirimu
merasa begitu hidup, lalu tiba-tiba dia harus hilang. Memukul dada barangkali
sama sekali tidak akan berguna. Kau mungkin akan menghabiskan hidup berminggu
tanpa nafsu makan dan tidur nyenyak. Langit rasanya selalu dipenuhi awan legam,
tapi tidak pernah hujan. Kau justru merasa sangat gersang di perasaan, seperti
hidup di padang pasir. Kau mungkin butuh pengalihan dan pelarian, seperti
kawanku tadi.
Tapi aku tidak menyarankannya. Aku lebih memilih untuk
menikmati rasa sakit itu. menikmati semua kecerobohanku, terlepas sengaja atau
tidak. Orang bilang itu gila, terserah. Bagiku, hanya dengan menikmati rasa
sakit itu, maka rasa sakit itu akan hilang. Itu seperti saat kau kepedasan lalu
kau mengatupkan kedua bibir rapat-rapat. Pedas itu akan semakin terasa, tapi ia
akan segera hilang.
tapi kawan, jelas itu secara teori. aku sudah pernah kehilangan. dan itu memang tidak mudah. pada prakteknya, semua butuh usaha yang benar-benar keras. aku pun tidak tahu, seberapa siap atau bahkan apakah aku siap untuk kehilangan lagi. kehilangan hadiah yang tidak terduga di waktu yang tidak terduga.
0 comments:
Post a Comment