Pagi yang
kutelusuri riuh tak bernyanyi,
(1)
Keriuhan pagi di kampung halaman adalah suara induk ayam
menggiring anak-anaknya mematuk-matuk tanah mencari sarapan; kokok ayam jantan
membangunkan matahari memperingatkan orang-orang bahwa waktu kerja akan segera
dimulai; kicau burung bersahutan melengkapi desir angin yang mengalun manja;
suara mendidih minyak di penggorengan pertanda sarapan akan segera dihidangkan;
rengekan si bungsu karena dibangunkan terlalu pagi; ketukan sepatu anak-anak
hendak berangkat sekolah; suara ribut mereka meminta uang saku untuk di
sekolah; dan suara ayah pertanda tidak puas dengan nilai anaknya.
Keriuhan pagi disana adalah orkestrasi alami yang tidak
pernah ingin kau lupakan. Aransemen spontan selalu menghadirkan lagu berbeda
setiap harinya. Kau tidak perlu lirik untuk mengungkapkan emosi yang hadir dikala
menikmatinya. Lagu-lagu itu sekaligus lirik yang hadir dalam bahasa yang berbeda-beda.
Dia tidak perlu dianalisa. Dia seperti udara yang masuk ke paru-paru, seperti
air yang masuk ke dalam lambung; masuk begitu saja tanpa harus dikunyah
terlebih dahulu.
Tapi itu dulu, bertahun-tahun yang lalu. Sekarang entah
bagaimana ia akan dihadirkan, entah bagaimana ia akan dilupakan. Kesan-kesan
yang terkubur jauh tidak dapat dikendalikan oleh kesadaran. Kesan-kesan seperti
magma tertidur di gunung aktif, sewaktu-waktu bisa meletuskan tangisan. Kadang
tertawa. kadang berbicara sendiri. Mengutuk mengapa tidak pernah lagi ada
perasaan yang sama. Mengapa tidak bisa lagi mengalami hal yang sama.
Sekarang yang tersisa adalah kerinduan-kerinduan yang diobati
dengan catatan harian dan perjalanan. sekarang adalah nada samar nyanyian yang
menjadi backsound kaburnya masa depan. Sekarang adalah kumpulan tindakan
yang berebutan mendapatkan pengakuan. Sekarang adalah suara sumbang instrumen
di studio mengejar sensasi kebahagiaan pertemuan.
(2)
Bahkan pagi pun menjadi taksa, bermakna ganda. Tubuh, matahari, dan jam memiliki paginya
sendiri-sendiri. Sebagian orang hidup berkeras untuk menyelaraskan tubuhnya
dengan jam dan matahari. Orang bilang itu disiplin, dan tentu saja normal. Sebagian
lain, entah sengaja atau tidak, memilih berbeda dengan matahari, bahkan jamnya
saja pun diabaikan.
Bagi matahari, pagi adalah waktu ketika ia terbit hingga di
masa yang sering disebut orang sebagai dhuha. Maka keriuhan seperti apa pagi
itu, tidak pernah diketahui. Masa-masa itu adalah masa ketika tubuh terlelap
membiarkan pikiran menjelajahi berbagai cerita di bawah sadar. Atau pagi itu
adalah duduk terdiam di ruangan kelas. Tidak ada keriuhan di sana, kecuali
suara ceramah.
Bagi jam, pagi adalah waktu setelah tengah malam hingga
jarum jam tepat menunjuk angka 9 atau 10. insomnia selalu menjalani pagi itu,
walau hanya sebagian awalnya saja, sampai sebelum matahari terbit. Keriuhan
yang ada hanyalah suara obrolan atau genjrengan gitar hingga adzan subuh hampir
berkumandang. Selepasnya hanyalah berdiam diri mendengarkan musik yang
terdengar keras di kamar sebelah. Terkadang dibarengi suara sepeda motor datang
dan pergi. Tidak lama kemudian tubuh sudah terbaring diam, terlelap.
Pagi, bagi tubuh adalah waktu bangun setelah istirahat
panjang selama sepertiga hari terakhir. Pagi adalah ketika tubuh terasa segar
dan siap untuk memulai aktifitas. Pagi, adalah mimpi yang sepotong demi
sepotong dirangkai seperti puzzle untuk menjadi kenyataan. Maka pagi bagi tubuh
ini, adalah matahari terik di atas kepala, atau bahkan sudah condong arah. Keriuhan?
Tidak sekedar riuh, tapi bising. Suara kendaraan di jalanan, suara musik keras
di toko elektronik, semakin keras dengan panasnya matahari. Tidak ada nyanyian
disana. Kalaupun ada, itu adalah nyanyian anak-anak manusia yang lelah
mempertahankan hidup mereka.
(3)
Jelasnya, pagi dalam makna apapun, hanyalah riuh yang tak
bisa dinikmati seperti menyanyikan lagu tentang kampung halaman.
Apakah ia akan kembali? entahlah. Setiap orang selalu
berusaha mencari cara untuk kembali menikmatinya. Ada yang menonton anak-anak
kecil berlari berebut mainan untuk mengenang masa kecilnya yang riang. Ada yang
memilih memelihara binatang peliharaan atau benda kesayangan agar tidak terlalu
kesepian. Ada yang memilih mencari hobi yang paling tepat menyenangkan. Banyak
yang segera mencari pasangan bahkan terpuruk memikirkannya setiap waktu. Banyak
yang bersikeras bekerja untuk dapat kembali ke kampung halaman. Begitu pula, banyak
yang memasang foto, menyimpan kenang-kenangan, atau sekedar menelepon untuk
menjaga ingatan.
Dan sangat banyak, yang mencari pelarian-pelarian sekedar
untuk melupakan. Dengan alasan,”begitulah realitas kehidupan.”
(4)
Dan aku?
Tidak tahu juga.
Barangkali mengganti keriuhan yang tak bernyanyi itu dengan
menikmati Ode To My Family, Titip Rindu Buat Ayah, Rindu Tebal, Sorrow,
The Son Never Sun Behind The Closed Door, Walking Disaster, dan
sebagainya. mungkin juga akan membuat sebuah puisi, cerita pendek, atau lagu. Yang
pasti, aku harus kembali.
0 comments:
Post a Comment