Rss Feed
  1. Bang Irwan, Rinduku Tebal (3.1. Keriuhan Pagi)

    Thursday, September 19, 2013

    Pagi yang kutelusuri riuh tak bernyanyi,

    (1)

    Keriuhan pagi di kampung halaman adalah suara induk ayam menggiring anak-anaknya mematuk-matuk tanah mencari sarapan; kokok ayam jantan membangunkan matahari memperingatkan orang-orang bahwa waktu kerja akan segera dimulai; kicau burung bersahutan melengkapi desir angin yang mengalun manja; suara mendidih minyak di penggorengan pertanda sarapan akan segera dihidangkan; rengekan si bungsu karena dibangunkan terlalu pagi; ketukan sepatu anak-anak hendak berangkat sekolah; suara ribut mereka meminta uang saku untuk di sekolah; dan suara ayah pertanda tidak puas dengan nilai anaknya.


    Keriuhan pagi disana adalah orkestrasi alami yang tidak pernah ingin kau lupakan. Aransemen spontan selalu menghadirkan lagu berbeda setiap harinya. Kau tidak perlu lirik untuk mengungkapkan emosi yang hadir dikala menikmatinya. Lagu-lagu itu sekaligus lirik yang hadir dalam bahasa yang berbeda-beda. Dia tidak perlu dianalisa. Dia seperti udara yang masuk ke paru-paru, seperti air yang masuk ke dalam lambung; masuk begitu saja tanpa harus dikunyah terlebih dahulu.

    Tapi itu dulu, bertahun-tahun yang lalu. Sekarang entah bagaimana ia akan dihadirkan, entah bagaimana ia akan dilupakan. Kesan-kesan yang terkubur jauh tidak dapat dikendalikan oleh kesadaran. Kesan-kesan seperti magma tertidur di gunung aktif, sewaktu-waktu bisa meletuskan tangisan. Kadang tertawa. kadang berbicara sendiri. Mengutuk mengapa tidak pernah lagi ada perasaan yang sama. Mengapa tidak bisa lagi mengalami hal yang sama.

    Sekarang yang tersisa adalah kerinduan-kerinduan yang diobati dengan catatan harian dan perjalanan. sekarang adalah nada samar nyanyian yang menjadi backsound kaburnya masa depan. Sekarang adalah kumpulan tindakan yang berebutan mendapatkan pengakuan. Sekarang adalah suara sumbang instrumen di studio mengejar sensasi kebahagiaan pertemuan.

    (2)

    Bahkan pagi pun menjadi taksa, bermakna ganda. Tubuh,  matahari, dan jam memiliki paginya sendiri-sendiri. Sebagian orang hidup berkeras untuk menyelaraskan tubuhnya dengan jam dan matahari. Orang bilang itu disiplin, dan tentu saja normal. Sebagian lain, entah sengaja atau tidak, memilih berbeda dengan matahari, bahkan jamnya saja pun diabaikan.

    Bagi matahari, pagi adalah waktu ketika ia terbit hingga di masa yang sering disebut orang sebagai dhuha. Maka keriuhan seperti apa pagi itu, tidak pernah diketahui. Masa-masa itu adalah masa ketika tubuh terlelap membiarkan pikiran menjelajahi berbagai cerita di bawah sadar. Atau pagi itu adalah duduk terdiam di ruangan kelas. Tidak ada keriuhan di sana, kecuali suara ceramah.

    Bagi jam, pagi adalah waktu setelah tengah malam hingga jarum jam tepat menunjuk angka 9 atau 10. insomnia selalu menjalani pagi itu, walau hanya sebagian awalnya saja, sampai sebelum matahari terbit. Keriuhan yang ada hanyalah suara obrolan atau genjrengan gitar hingga adzan subuh hampir berkumandang. Selepasnya hanyalah berdiam diri mendengarkan musik yang terdengar keras di kamar sebelah. Terkadang dibarengi suara sepeda motor datang dan pergi. Tidak lama kemudian tubuh sudah terbaring diam, terlelap.

    Pagi, bagi tubuh adalah waktu bangun setelah istirahat panjang selama sepertiga hari terakhir. Pagi adalah ketika tubuh terasa segar dan siap untuk memulai aktifitas. Pagi, adalah mimpi yang sepotong demi sepotong dirangkai seperti puzzle untuk menjadi kenyataan. Maka pagi bagi tubuh ini, adalah matahari terik di atas kepala, atau bahkan sudah condong arah. Keriuhan? Tidak sekedar riuh, tapi bising. Suara kendaraan di jalanan, suara musik keras di toko elektronik, semakin keras dengan panasnya matahari. Tidak ada nyanyian disana. Kalaupun ada, itu adalah nyanyian anak-anak manusia yang lelah mempertahankan hidup mereka.

    (3)

    Jelasnya, pagi dalam makna apapun, hanyalah riuh yang tak bisa dinikmati seperti menyanyikan lagu tentang kampung halaman.

    Apakah ia akan kembali? entahlah. Setiap orang selalu berusaha mencari cara untuk kembali menikmatinya. Ada yang menonton anak-anak kecil berlari berebut mainan untuk mengenang masa kecilnya yang riang. Ada yang memilih memelihara binatang peliharaan atau benda kesayangan agar tidak terlalu kesepian. Ada yang memilih mencari hobi yang paling tepat menyenangkan. Banyak yang segera mencari pasangan bahkan terpuruk memikirkannya setiap waktu. Banyak yang bersikeras bekerja untuk dapat kembali ke kampung halaman. Begitu pula, banyak yang memasang foto, menyimpan kenang-kenangan, atau sekedar menelepon untuk menjaga ingatan.

    Dan sangat banyak, yang mencari pelarian-pelarian sekedar untuk melupakan. Dengan alasan,”begitulah realitas kehidupan.”

    (4)

    Dan aku?
    Tidak tahu juga.

    Barangkali mengganti keriuhan yang tak bernyanyi itu dengan menikmati Ode To My Family, Titip Rindu Buat Ayah, Rindu Tebal, Sorrow, The Son Never Sun Behind The Closed Door, Walking Disaster, dan sebagainya. mungkin juga akan membuat sebuah puisi, cerita pendek, atau lagu. Yang pasti, aku harus kembali. 

  2. 0 comments:

    Post a Comment