Pada akhirnya saya bisa juga ‘memaksakan’ diri untuk membuat
kelanjutan tulisan yang kemarin sempat tertunda. Setelah cukup kelelahan
akhir-akhir ini, siang ini analisis amatiran tentang isi berita koran bisa
dituliskan. Kalau belum baca tulisan pertama saya, bisa dibaca disini.
***
Artikel kedua yang saya maksud pada bagian satu tulisan ini
berjudul: Kerusuhan Sektarian, 28 Tewas.
Isi berita ini secara ringkas mengenai konflik antar agama
yang terjadi di India. Artikel ini memiliki 15 paragraf dengan satu sub judul.
13 paragraf menyinggung konflik yang terjadi di Distrik Muzaffarnagar, Uttar
Pradesh, India. Paragraf 14 menyinggung persoalan konflik yang sering terjadi
beberapa tahun terakhir di India. Sedangkan paragraf terakhir membahas konflik
di Kota tua Ayodhya.
***
Pertama, yang ingin saya bahas adalah istilah yang
digunakan di judul dan paragraf awal, yaitu kata “sektarian”.
Sektarian, berdasarkan definisi yang saya baca di www.artikata.com adalah:
1. berkaitan
dng anggota (pendukung, penganut) suatu sekte atau mazhab;
2. picik,
terkungkung pd satu aliran saja
Dalam berita lain yang saya baca juga, istilah sektarian mengacu
pada perpecahan pada sebuah agama atau ideologi. Misalnya, antara Sunni dan
Syiah dalam berita berjudul “Konflik Sektarian di Irak Makin Panas, 15 OrangTewas Dibom” di www.republika.co.id. Memang dalam contoh berita lain misalnya
dalam berita “Konflik Sektarian Pojokkan Muslim Rohingya” di www.majalahgontor.net, yang mengacu pada konflik antar agama.
Membaca kedua berita itu, saya memiliki 2 asumsi:
Pertama, ada kesalahan penggunaan istilah. Atau dalam berita
yang sedang saya ulas ini ada kesengajaan, mungkin saja untuk memperhalus
konotasi makna. Istilah konflik antar agama sepertinya sengaja dihindari. Tapi saya
tidak tahu apa sebabnya.
Kedua, memang telah ada perluasan arti kata sektarian. Namun,
kalaupun memang iya, perluasan makna ini sepertinya belum lazim digunakan.
Tapi kemudian saya baru tahu, ternyata yang dimaksud ‘kerusuhan
sektarian’ dalam artikel ini merupakan ‘konflik kelompok beragama’. Istilah ini
pun bermasalah, pertanyaannya kenapa tidak gunakan saja frasa konflik antar
agama. Konflik kelompok beragama bisa saja berarti konflik yang terjadi karena
perpecahan yang terjadi sebuah agama.
***
Kerusuhan ini terjadi antara kelompok mayoritas dan
minoritas. Sebagaimana yang diungkapkan di dalam paragraf pertama artikel
tersebut. Saya tidak mengira bahwa yang dimaksud dengan ‘mayoritas’ berarti
agama Hindu dan ‘minoritas” berarti agama Islam hingga sampai ke paragraf ke
dua belas. Awalnya saya mengira ini adalah konflik antara satu sekte dengan
sekte lainnya di dalam satu agama atau partai politik.
Berikut kutipan kata-kata yang mengandung istilah mayoritas
dan minoritas:
Paragraf 1: kerusuhan sektarian antara kaum mayoritas
dan minoritas terjadi...
Paragraf 2: kelompok mayoritas membakar sejumlah
rumah, lahan, dan tempat ibadah.
Paragraf 3: ...pembunuhan 3 petani dari kelompok mayoritas
yang membela seorang perempuan yang dilecehkan.
Paragraf 4: “mereka memulai dengan membakar rumah-rumah dan
lahan, kemudian melempar bom-bom molotov ke warga. Rumah dan cadangan gudang
pangan saya habis terbakar. Anak saya terluka dan harus di rawat di rumah
sakit,” Kata seorang warga dari kelompok minoritas,...
Paragraf 12: kelompok mayoritas memicu pertikaian itu
dengan membakar tempat ibadah minoritas.
Paragraf 13: ..didalangi partai politik kelompok mayoritas...
Paragraf 15: ..sebagian besar dari kelompok minoritas,
tewas.
Pertanyaan kita, tidak seperti artikel pertama yang
mendefinisikan siapa MNLF, dalam artikel ini tidak ada satu paragraf pun yang
secara lansung mendefinisikan siapa itu mayoritas dan siapa minoritas. Kita hanya
mengetahuinya secara tidak lansung ketika membaca paragraf ke 12:
Muzzafarnagar merupakan sebuah distrik yang didominasi pemeluk Hindu. Populasi Muslim di Distrik itu 38 persen.
Dengan membaca kalimat 2 kalimat di atas kita sudah tahu
siapa mayoritasnya, yaitu “pemeluk Hindu”. Tapi kita belum bisa mengatakan
siapa minoritasnya, soalnya jumlah Muslim 38 %. Bisa jadi saja masih ada yang
lebih kecil lagi. Misalnya saya asumsikan, yang dimaksud dengan mayoritas itu
adalah kelompok yang mendominasi lebih dari 50 % populasi, katakanlah 51 %. Berarti
dengan demikian jumlah pemeluk Hindu dan Muslim adalah 89 %. Sisanya 11 % lagi
dianut oleh kelompok agama lain. Yang itu artinya, masih ada yang lebih
minoritas daripada muslim. Lagi pula angka 38 persen itu cukup besar.
Untuk itu, saya perlu membaca berita serupa dari media lain.
Waktu baca berita di media asing, saya kaget. Kerusuhan itu
justru katanya kerusuhan politik yang mengatasnamakan agama. Kerusuhan itu
berhubungan dengan pemilihan Umum India tahun 2014. Kerusuhan itu katanya
dipicu oleh salah satu kelompok Hindu, Jats, yang menyerang kelompok Muslim.
Informasi ini saya dapatkan dari berita berjudul, "Collapse of Muslim, Jatalliance gives an opening to BJP” di situs indiatimes.com.
bahkan di berita lain, saya membaca sebuah kutipan,“Rioters
do not have any religion or caste,” (para perusuh tidak memiliki agama atau
kasta). Ini saya dapatkan dari berita berjudul ‘It's Jats who are protectingMuslim families in village worst hit by Muzaffarnagar riots’ di situs www.dnaindia.com. Membaca kalimat tersebut
membuat saya mengambil kesimpulan sementara bahwa kerusuhan ini adalah kerusuhan
politik, walaupun memang membawa nama agama sebagaimana yang disebutkan di
dalam artikel yang sama:’ clashes erupted last Saturday between Muslims and
Hindus’ (pertikaian pecah sabtu kemarin antara Muslim dan Hindu). Tapi itu
hanya kesimpulan sementara, karena saya juga belum membaca lebih banyak berita
lainnya yang berhubungan.
Jika begitu pertanyaan besarnya, mengapa berita ini
diturunkan? Mengapa ia diletakkan tepat di bawah artikel bertopik “Konflik di
Filipina”? mengapa artikel tidak membahas ini sebagaimana artikel bahasa
inggris yang saya baca?
Saya tidak tahu jawabannya.
***
Pada akhirnya saya tahu bahwa yang dimaksud dengan ‘minoritas’
itu adalah muslim. Kata minoritas diulang 4 kali dan tidak satupun mengacu
secara lansung kepada umat islam. Inilah yang membuat saya bertanya-tanya, jika
membandingkannya dengan artikel pertama dimana kata islam dan muslim diulang
berkali-kali. Dan yang lebih penting, sementara tindakan MNLF adalah ‘serbuan’
dan ‘ulah’, konflik di India yang sampai membakar rumah, lahan, dan menewaskan
28 orang, tidak disebut sebagai ‘serbuan’ atau ‘ulah’.
Terlepas dari apapun pesan terselubung yang ada pada kedua
artikel tersebut, cara pemberitaan semacam inilah yang membuat saya sulit untuk
mempercayai berita lagi. Berita tidak hanya sekedar menampilkan fakta, tapi ia
juga membentuk cara berpikir kita. Tapi, kalau tidak membaca berita, saya juga
tidak akan mendapatkan informasi baru. So, jalan satu-satunya adalah selalu
waspada. :-)
0 comments:
Post a Comment