Terkait karya ilmiah, ada beberapa hal mengganggu pikiran saya selama bertahun-tahun. Salah satunya, penyebutan nama dalam kutipan dan penulisannya di daftar pustaka. Setelah mengetahui, bila kutipan berasal dari tulisan orang bernama Jepang, Cina, dan yang serumpun dengannya, nama pertama yang disebutkan. Mengingat nama terakhirlah yang disebutkan jika mengutip karya penulis Eropa dan Amerika, termasuk Indonesia, metode pengutipan tersebut harusnya bukan tanpa alasan.
Contoh pengutipan nama
Nama saya Bayu Satria. Dulu pernah menulis skripsi berjudul “Relasi Patriarkal di dalam Novel Yauma Qutila az-Za’im Karya Najib Mahfuzh”. Skripsi ditulis tahun 2014 ke Fakultas Tarbiyah dan Dirasat Islamiyah Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Tergantung dari metode pengutipannya, urutan penulisan informasi mengenai rujukan di dalam daftar pustaka bisa jadi berbeda, salah satunya seperti di bawah ini:
Satria, Bayu. 2014. Relasi Patriarkal di dalam Novel Yauma Qutila az-Za’im Karya Najib Mahfuzh, skripsi diajukan ke Fakultas Tarbiyah dan Dirasat Islamiyah UAD Yogyakarta.
Sekarang saya ambil contoh dari penulis luar:
Penerbit Narasi di Yogyakarta menerjemahkan sebuah karya Jean-Paul Sartre dengan judul Psikologi Imajinasi di tahun 2016. Penerjemahnya bernama Silvester G. Sukur. Informasi dalam daftar pustaka bisa menjadi begini,
Sartre, Jean-Paul. 2014. Psikologi Imajinasi (diterjemahkan oleh Silvester G. Sukur). Yogyakarta: Narasi.
Informasi di dalam daftar pustaka tersebut berhubungan dengan penyebutan nama di dalam badan tulisan. Bila orang mengutip karya saya, ia akan menyebut “Satria”, demikian juga bila ia mengutip dari Psikologi Imajinasi, ia menyebut “Sartre”. Pembalikan nama akan mempermudah penelusuran di daftar pustaka sesuai nama belakang yang disebutkan di badan tulisan. Sekilas tidak ada yang berbeda, namun tidak bila diselidiki lebih lanjut.
Seperti sudah disebutkan, penyebutan nama Jepang, China, Korea, dan yang serumpun dengannya menggunakan nama depan/pertama. Misalnya, kita mengutip dari seseorang bernama “Choi Il Sook” (nama ini bisa juga menjadi Il Sook Choi setelah di romanisasi), maka kita perlu menyebutkan nama “Choi”. Baik “Sartre” maupun “Choi” punya kesamaan yang tidak dimiliki oleh “Satria”: keduanya sama-sama nama keluarga. Satria adalah nama melekat pada Bayu sebagai nama lahir, tidak ada jejak keluarga di sana. Penyebutan nama keluarga biasa digunakan dalam situasi formal, menunjukkan penghormatan dan kesopanan.
Sebuah ilustrasi tradisi kesopanan di Indonesia dengan memanggil nama keluarga
Nama saya ‘Bayu Satria’. Satria bukan nama keluarga saya. Tidak akan ada penghormatan atau kesopanan dengan menyebut nama ‘Satria’. Justru menjadikannya asing, sebab masyarakat tidak mengenal saya sebagai ‘Satria’.
Saya terlahir dari bapak bersuku Batak. Sesuai konsep patrilineal, saya mestinya mewarisi marga. Di akhir nama saya pernah diselipkan nama ‘Batubara’, marga bapak saya. Karena alasan tertentu marga itu dihapus dari KTP. Dalam tradisi Batak, seseorang biasanya hanya dikenal dari marganya, terutama bila dia sudah menikah. Bapak saya bernama Irwan, namun semua orang memanggilnya ‘Batu’ atau ‘Pak Batu’ (batu singkatan dari Batubara). Demikian pula dengan orang-orang bermarga lainnya, seperti Hasibuan, Nainggolan, Torus, Simatupang, Pasaribu, Tobing, Nasution, Dalimunte; atau seperti Chaniago dan Tanjung di Minangkabau. Sampai seorang Batak meninggal, bisa jadi kenalannya tidak akan tahu nama aslinya, sebab ia selalu dipanggil sesuai nama marganya.
Saya tidak tahu apakah yang demikian tersebut ada di Jawa atau suku-suku lainnya. Setahu saya, tidak pernah ada cara pemanggilan seperti dalam tradisi Batak di atas dalam tradisi Jawa.
Sepaham saya, tradisi penyebutan nama di Eropa-Amerika, Jepang-Cina-dan saudaranya, termasuk Arab, serupa dengan cara penyebutan nama dalam tradisi Batak. Katakanlah seseorang bernama Sherlock Holmes, maka panggilan hormatnya adalah Holmes. Bila ia Jepang atau Cina, katakanlah ia bernama Matsuda Ryuhei, panggilan hormatnya adalah Matsuda-san. Dalam nama Arab, saya pernah diberitahu seorang dosen asal Mesir, penamaan seorang anak melibatkan dua generasi di atasnya, bapak dan kakek. Katakanlah nama anaknya Mahmud, ayahnya bernama Taymur, kakeknya bernama Pasha, maka nama lengkap anak tersebut adalah Mahmud Taymur Pasha.
Dalam sejumlah kasus penamaan, khususnya orang-orang besar pada tradisi bangsa-bangsa yang disebutkan di atas, mungkin dilekatkan juga nama alias atau nama kota. Semisal, al-Khawarizmi bukanlah nama lahirnya, itu adalah nama kota asalnya. Nama lahirnya Muhammad, nama bapaknya Musa, kota asalnya Khwarizm.
Baik Sherlock Holmes, Matsuda Ryuhei, atau Mahmud Taymur Pasha hanya memiliki nama lahir/individual yang terdiri dari satu kata: Sherlock, Ryuhei, dan Mahmud. Hal demikian tidak terjadi dalam penulisan nama orang Indonesia (kini). Barangkali dulu iya, Bapak saya hanya dinamai Irwan, presiden pertama hanya bernama Soekarno. Sekarang kebanyakan kita diberi nama dua atau tiga kata, tanpa sama sekali melekatkan nama keluarga. Penamaan seperti ini sepanjang pengetahuan saya tidak lazim pada tradisi Eropa-Amerika, China-dan yang serumpun, atau Arab. Ambil contoh penulisan di dalam sebuah artikel mengenai Michel Foucault di wikipedia (lihat bagian ‘Early Life’). Foucault punya nama asli “Paul”, ibunya menambahkan nama “Michel”, sehingga penulis artikel Wikipedia tersebut menuliskan “Paul-Michel Foucault”. Dalam kasus lain, penulisan nama Jean-Paul Sartre. Tambahan garis sambung/hyphen (-) menandakan kedua nama tersebut bukanlah dua entitas terpisah, tapi satu entitas yang tumpang tindih. Hyphen demikian digunakan pada kata majemuk. Jika nama saya juga disesuaikan dengan cara penulisan itu, akan menjadi Bayu-Satria Batubara.
Ketidakmasukakalan tradisi
Sebenarnya tidak semua penamaan orang Indonesia sudah melupakan nama keluarga atau marganya, tapi agaknya bukan lagi kelaziman. Aturan-aturan harusnya mempertimbangkan kemasukakalan atau setidaknya kelaziman, apa lagi dalam penulisan karya ilmiah. Dalam kasus Indonesia, saya merasa pembalikan nama di daftar pustaka atau penyebutan nama belakang di badan tulisan tidak masuk akal. Kenapa tidak mengacu pada ‘Bayu’ saja? Atau nama lengkap saya? Namun demikian, bila yang demikian tersebut diterima, karya ilmiah akan kehilangan karakter formalnya (yang sampai batas tertentu tidak saya sukai). Jika demikian, tradisi lain bisa sama tidak bergunanya, seperti menggunakan kata kerja pasif ketika merujuk ke tindakan penulis. Saya juga sebenarnya penentang penggunaan kata kerja pasif dan anonimitas penulis di dalam badan tulisan, tapi setidaknya ini masih lebih masuk akal dibandingkan membalikkan nama atau menyebutkan nama akhir. Bagi saya, menyebutkan nama ‘Satria’ seolah tidak memiliki arti apa-apa, sebab ia bukan nama panggilan saya, “Satria” hanya sekedar nama tertulis di dokumen-dokumen resmi seperti KTP dan Ijazah. "Satria" adalah entitas tak bermakna tanpa adanya "Bayu", meski tidak berlaku hal sebaliknya.
Jika tradisi menggunakan nama belakang di badan tulisan mesti dipertahankan, kita perlu cara lain. Jika tidak mungkin melekatkan nama keluarga secara permanen, paling tidak mencantumkan nama ayah atau ibu di belakang nama sendiri ketika membuat sebuah publikasi. Hanya saja ini akan menimbulkan masalah lain, yang bisa-bisa malah berkaitan dengan isu kesetaraan gender.
Yah, penyebutan nama merupakan bagian dari tradisi penulisan karya ilmiah. Tradisi apapun, ketika semakin jauh waktu penerapannya dari waktu kelahiran tradisi tersebut, sangat mungkin menjadi kosong, tidak bermakna. Sekedar tindakan wajib yang dilakukan berulang-ulang. Dalam beberapa hal, tindakan bisa jadi tidak perlu lagi alasan, sepanjang ia berfungsi dalam konteks tertentu. Terlepas dari ketidaksetujuan saya soal pembalikan nama, cara ini tetaplah fungsional, sepanjang keterkaitannya di dalam karya ilmiah itu sendiri. Ia menjadi tidak bermakna ketika disebutkan secara lisan. Tak apa orang mengutip nama “Satria” sepanjang diperlukan untuk penelusuran di daftar pustaka. Akan tidak berguna bila seseorang mengatakan secara lisan, “di dalam skripsinya, Satria menyebutkan...” sebab saya tidak pernah dikenal dengan nama itu. Saya hanya dikenal dengan nama “Bayu” atau “Bayu Satria”.
Sedikit Bacaan
0 comments:
Post a Comment