Rss Feed

  1. 25 Juni 2014

    Sekarang, pukul 23 : 42. Sejak maghrib tadi saya mengecek kembali bahan-bahan yang sudah dimiliki. Dengan segera saya tertarik pada nama-nama baru dalam kritik sastra feminis, seperti Mary Eagleton, Virginia Woolf, Simone de Beauvoir, dan Toril Moi. Nama-nama lain muncul, seperti Rosemarie Tong dan Lois Tyson.

    Bila sudah bicara nama, mau tidak mau harus bicara karya. Saya tidak ingat banyak soal apa yang telah saya baca. Saya membaca sekilas, saat tertumbuk pada nama lain, saya akan mencari referensi karya atau yang membahasa karyanya. Tentu jika nama dan karya itu saya anggap penting. Dan nama-nama di atas adalah sederet nama penting.

    Salah satu ingatan yang kuat adalah bahwa prototype kritik sastra feminisme telah dimulai sejak 1792 oleh perempuan bernama Mary Wallstonecraft. Tidak ada tokoh dan karya penting lain hingga pada tahun 1929 Virginia Woolf menulis A Room of One’s Own. Woolf adalah orang yang dianggap sebagai pioner Kritik Sastra Feminis modern. Juga tidak ada tokoh penting dari Virginia Woolf hingga pada tahun 1949 muncul buku The Second Sex karya Simone de Beauvoir. Setelah itu, baru pada tahun 1960-an, tulisan-tulisan mengenai kritik sastra feminis meledak.

    Ledakan itu tidak ayal membuat kritik sastra feminis menjadi sebuah pendekatan yang sangat beragam. Mulai tahun 80-an, pendekatan ini bahkan mulai berkombinasi dengan teori posstruktural, psikoanalisis, poskolonial, dan lain-lain. Beragamnya pandangan di dalam kritik sastra feminis, bukan berarti ia tidak memiliki pandangan yang sama. Semua kritikus sastra akan sepakat dengan yang dikatakan oleh Virginia Woolf, bahwa mereka sedang membicarakan hubungan antara perempuan dan fiksi. Hubungan itu bisa berarti beragam, dan para kritikus feminis bisa berbeda pandangan. Yang jelas, mereka sama-sama bertumpu pada pandangan bahwa sistem kehidupan kita didominasi oleh pikiran dan kehendak laki-laki. Hal itu juga merasuk ke dalam karya sastra. Perempuan pernah tidak diakui dan masih belum mendapatkan tempat yang pantas di dalam sejarah sastra. Perempuan tidak diakui, tapi ia adalah ‘binatang yang paling sering dibicarakan’, kata Virginia Woolf.

    Untuk itu, kritik sastra feminis menjadi sebuat proyek politis. Di antaranya untuk mendorong munculnya resisting reader, pembaca yang melawan citra perempuan yang berdistorsi dan di ulang-ulang. Termasuk juga, agar perempuan mendapat pengakuan yang sejajar dengan laki-laki. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, para kritikus feminis pasti akan berbicara seks/jenis kelamin dan jender serta apa perbedaan keduanya.

    Hanya itu yang bisa saya ingat betul. Selebihnya hanya lintasan-lintasan pikiran saja berusaha membentuk jalinan yang utuh. Entah ini salah satu kelemahan atau kelebihan, Saya tidak akan berhenti untuk mencari bahan sebelum pikiran mengatakan cukup. Sebelum jalinan itu belum benar-benar terasa lengkap tanpa celah lagi. Saya akan berusaha mencari satu referensi hingga dapat jika sebuah nama dan karya sering diulang dan dikutip di dalam berbagai tulisan. Saya akan terus menambah bahan, hingga saya merasa saya sudah mendapatkan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan penting yang saya ajukan dan saya sudah mendapatkan gambaran kasar topik yang sedang dibahas.

    Saya pikir awalnya saya sudah mendapatkan gambaran yang utuh. Tapi feminisme begitu berbeda. Perbedaan dalam feminisme adalah sebuah perayaan. Itu salah satu gagasan yang (kalau tidak salah) saya temukan di dalam buku Rosemarie Tong, Feminists Thought. di dalam buku itu, ia (kalau tidak salah ingat) menampilkan berbagai varian dari Feminisme. Tidak kurang dari 9 varian. ia bahkan masih dengan rendah hati mengatakan bahwa apa yang ia tuliskan di dalam buku itu tidak dimaksudkan untuk merangkum seluruh pandangan feminis.

    Saya berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan etis, terutama dalam posisi saya sebagai laki-laki. Sekalipun saya berani mengklaim bahwa saya sadar gender dan cenderung pada pandangan feminisme tertentu, saya tetap khawatir. Saya khawatir, bias-bias ideologi patriarki masih kuat dalam pembacaan saya terhadap tulisan-tulisan tersebut. bagi Tong, suara-suara perempuan yang begitu beragam itu tidak perlu dipaksakan menjadi satu. bahkan itu adalah ciri khas mereka. Persoalannya, sudah seberapa jauh saya memahami suara-suara itu, suara-suara yang sudah sangat lama dibungkam oleh ganasnya dominasi laki-laki.

    Saya mulai merasa ragu untuk melanjutkan ini. Tapi judul telah diterima, dan saya pikir saya masih bisa mengatasi keraguan ini. Salah satunya adalah dengan membaca lebih banyak karya mereka, 'mendengarkan' mereka, dan 'berdialog' dengan mereka. Barangkali, saya akan menjadi satu-satunya laki-laki yang akan mendengarkan karya mereka, berdialog dengan karya mereka. 

    Bahan-bahan yang saya dapatkan sebagian besar adalah jurnal dan buku hasil ‘berburu’ di internet. Yah, soal buku memang barangkali akan ada persoalan hak cipta. Saya tetap menghargai karya ciptaan orang lain, sekalipun belum menerima konsep hak cipta. Itu artinya, saya berusaha tidak mencari buku-buku berhak cipta yang berbahasa Indonesia. Persoalan besarnya adalah saya kurang dana dan bahan yang dibutuhkan tidak ada di dalam bahasa Indonesia.

    Pencarian hampir setengah malam menghasilkan beberapa tulisan-tulisan penting dari tokoh-tokoh yang telah saya sebut di atas. Termasuk juga beberapa buku pengantar kritik sastra yang membahas kritik sastra feminis di dalamnya. Baik dalam bentuk PDF atau dari website. Yah, bagi mereka yang kekurangan dana, kebetulan bisa berbahasa Inggris, bisa mencari bahan-bahan di website seperti archive.org, Project Gutenberg, JStor, atau marxists.org. website-website ini hanya sedikit dari banyak website yang memungkinkan seseorang bisa mengakses jurnal atau buku dengan gratis.

    Saya pikir, untuk sementara bahan-bahan yang saya miliki sekarang sudah cukup. Persoalannya sekarang adalah bagaimana mengatur, menguraikan, memilah, dan menyintesiskannya. Beberapa bayangan sudah ada di kepala, namun masih belum jelas. Jika bayangan di pikiran ini diungkapkan, saya cukup yakin, saya harus mengubah sebagian besar landasan teori yang sudah saya buat di proposal skripsi kemarin. 

  2. 0 comments:

    Post a Comment