Pada akhirnya,
judul Skripsi diterima juga. “Isu Gender di dalam Novel Yauma Qutila Az-Za’im
karya Najib Mahfuzh: Pendekatan Kritik Sastra Feminis.” Surat keputusan dari
Fakultas menunjukkan bahwa dosen pembimbing telah diangkat sejak tanggal 16 Mei
2014. Karena kesibukan KKN, Bab 1 yang sudah diterima terbengkalai dan baru
disampaikan ke Dosen Pembimbing beberapa hari lalu.
Tidak ada alasan
terlalu khusus mengapa saya mengambil novel dan pendekatan ini. Simpelnya, saya
terburu waktu. Alasan ini adalah sebuah alasan yang buruk, teman saya, seorang
idealis.
“Kalau kau
menghargai Mahfuzh sebagai pengarang besar, maka kau harus benar-benar serius
dengan objek penelitianmu.” Dia bahkan menertawakan objek penelitianku,”Hanya
satu Novel?”
“Aku terburu waktu.
Kalau nggak cepat-cepat, aku bisa dikeluarkan dari kampus.” Kata saya berusaha
mempertahankan diri.
“Waktu bukan
alasan. Kau nggak bisa menjadikan alasan itu untuk tidak serius dengan objek
penelitianmu.”
Saya akui, proposal
skripsi yang saya ajukan itu memang belum serius. Jika itu sesuai dengan level
dia. Dia membaca begitu banyak buku sebelum memutuskan mengambil judul skripsi,
kalau tidak salah “Aspek Kemanusiaan dalam puisi-puisi Wiji Thukul”. Seingatku sudah
hampir setahun sejak ia pertama kali mempelajari puisi-puisi Wiji Thukul. Saya angkat
jempol untuk energi dan sikap keras kepalanya dalam mengkaji objek penelitiannya.
Hingga kini, setahu saya, skripsi itu belum selesai.
Saya pun ingin
begitu. Saya juga sempat ingin mengkaji puisi. Namun, lagi-lagi soal waktu. Ditambah
satu lagi alasan paling mendasar, Bahasa Arab yang kacau balau. Padahal yang
ingin saya kaji waktu itu adalah Adonis, yang konon termasuk ke dalam jajaran
penyair yang puisinya paling sulit dipahami. Paling tidak butuh lebih dari satu
tahun hanya untuk mengkaji satu kumpulan puisi. Belum lagi teori-teori yang
harus dicari. Bisa hancur mimpi saya untuk segera keluar dari kampus ini dengan
gelar sarjana.
Saya kemudian
tertarik dengan Mahfuzh. Setahu saya, ia satu-satunya orang timur tengah yang pernah menerima
novel sastra, pada tahun 1988. Baginya menulis adalah sebuah tindakan politis. Dalam
banyak kajian terhadap karya Mahfuzh, sikap politiknya tergambar di dalam
karya-karya yang ia telurkan. Dengan balutan gaya realis ia berhasil mengungkap
persoalan sosial, ekonomi, politik, agama, dan kebudayaan di Mesir. Saya ingin
mengkaji sebagian besar novelnya, namun kendala yang sama muncul, ditambah lagi
kurangnya referensi yang saya miliki.
Saya akhirnya
memilih satu novel, yang kebetulan saya miliki, Yauma Qutila Az-Za’im. Yauma
Qutila az-Za’im berarti Hari Terbunuhnya Presiden. Bagi yang belum pernah
membaca, mungkin akan mengira ini adalah novel tentang sebuah konspirasi besar
untuk menjatuhkan Presiden, kudeta, dan semacamnya. Begitu membaca novel,
gambaran yang sangat berbeda akan muncul. Novel ini hanya tentang 2 sejoli yang
kandas hubungan pertunangannya karena persoalan ekonomi.
Disinilah poin pentingnya.
Untuk apa Mahfuzh membuat judul yang begitu provokatif dan politis, sementara
ceritanya mengenai hubungan percintaan yang kandas. Mahfuzh ternyata tidak
melepaskan dirinya dari persoalan yang dihadapi Rakyat Mesir. Sikap politis
tidak ditunjukkan lewat alur cerita utama, tapi melalui ungkapan-ungkapan
singkat yang bertaburan di dalam novel.
Novel ini berlatar
di Kairo pada masa pemerintahan Anwar Sadaat. Salah satu kebijakan paling
penting yang mengubah wajah Mesir untuk selamanya adalah sebuah kebijakan yang
disebut dengan al-infitah al-iqtishadiy. Kebijakan ini merupakan
kebijakan ekonomi politik. Secara literal, berarti kebijakan pintu terbuka. Kebijakan
“Pintu Terbuka” merupakan kebijakan yang membuka investasi asing
sebesar-besarnya. Gampangnya, Mesir meliberalisasikan dirinya. Harapan Sadaat
kebijakan ini bisa mengatasi krisis ekonomi yang diderita oleh Mesir. Hasilnya
jauh dari harapan Sadaat. Kebijakan ini justru membuat jurang si miskin dan si
kaya semakin lebar.
Pembacaan awal
terhadap novel membuat saya ingin
mengkaji Mahfuzh dengan pendekatan Materialisme Kultural. Salah satu
pendekatan kritik karya sastra yang bersifat sosiologis. Melalui pendekatan ini
saya bisa mengeksplorasi lebih jauh hubungan novel dengan situasi Mesir pada
masa Sadaat. Saya ingin memakai teori Terry Eagleton, salah satu tokoh penting
dalam materialisme kultural. Namun saya sadar, saya belum menguasai pendekatan
satu ini. Dengan perkiraan kemampuan ditambah level idealisme dan tingkat
kemalasan yang saya miliki, paling tidak butuh waktu setengah tahun lebih untuk
merampungkan skripsi.
Saya berpikir untuk
berganti novel dan pendekatan. Salah satu kajian yang cukup saya mengerti
adalah gender dan feminisme. Saya kemudian memutuskan untuk mengambil
pendekatan kritik sastra feminis. Terpikir untuk mengambil novelis perempuan? Tapi
siapa? Nawaal El-Sa’dawi, terlalu sering. Bagaimana jika saya mengkaji novelis
laki-laki saja? Saya pikir lebih menantang. Terpikir untuk mengkaji Mustafa
al-Manfaluthi. Entah kenapa, saya masih ragu. Saya kemudian membaca ulang novel
Yauma Qutila Az-Za’im. Saya membaca lebih detail, dengan asumsi kritik feminis
di dalam kepala. Pencerahan pun datang.
Saya terkonsentrasi
ke tokoh utama perempuan di dalam Novel, Rondah Sulaiman Mubarak. Haha, jika
ada yang paling ingin saya nikahi, maka tipikal Rondah Sulaiman Mubarak adalah
salah satunya. Sikap, tindakan, dan keyakinan Rondah menunjukkan perlawanan
terhadap dominasi laki-laki, sekalipun ia tetap terkesan kompromistik. Persoalan
kandasnya hubungan pertunangan Rondah dengan Alwan juga karena Alwan merasa
malu dengan ketidakmampuan ekonominya. Ini adalah persoalan gender. Tanpa pikir
panjang saya putuskan untuk mengambil novel ini dan mengkajinya dengan
pendekatan feminis.
Saya pun mulai
mencari bahan secukupnya untuk memulai proposal. Lucu memang. Saya seorang
mahasiswa jurusan Bahasa Arab, namun tidak satupun rujukan yang saya gunakan
dari bahasa Arab, kecuali Novel yang saya teliti. Saya justru menggunakan
referensi berbahasa Inggris untuk proposal. Ternyata cukup banyak yang telah
mengkaji Mahfuzh dengan pendekatan kritik sastra gender dan feminisme.
Dengan kajian
seadanya saya kemudian meminta kepada kepala program studi untuk seminar. Akhirnya
judul itu diterima. Pada tanggal 16 Mei itu, saya mendapat dosen pembimbing. Setelah
Bab 1 diajukan ke dosen pembimbing sikap sok idealis kembali muncul.
Saya baca kembali
bahan-bahannya, baik teori maupun novel, persoalan-persoalan tambahan muncul. Misalnya,
saya menggunakan Elaine Showalter sebagai salah satu rujukan utama. saya
menggunakan kritik sastra feminis yang disebut dengan feminist critique.
Istilah ini saya dapatkan dari Elaine Showalter. Showalter merupakan tokoh yang
menyebutkan bahwa ada 2 pendekatan di dalam kritik sastra feminis, yaitu feminist
critique dan gynocritism. Jadi saya mendapatkan istilah ini dari
dia. Gampangnya kalau dalam feminist critique yang dikaji adalah perempuan di
dalam karya sastra dan hubungannya dengan sistem sosial, patriark secara
spesifik. Sedangkan dalam gynocritism, yang dikaji adalah perempuan sebagai
penulis karya sastra
Masalahnya Elain
Showalter menolak feminist critique. Saya baru tahu setelah saya baca
lebih detail. Berarti saya harus mencari lagi bahan tambahan yang mendukung
pendekatan yang saya gunakan. Artinya, pendapat saya yang mengatakan bahwa
mengkaji pengarang laki-laki lebih menantang, justru tidak menantang menurut
Showalter.
Saya kemudian
bertemu dengan tokoh lain yang menyamakan konsep citra perempuan dengan
feminist critique. Saya juga bertemu dengan kritik sastra feminis khas feminis
khas Prancis. Belum lagi ternyata ada pendapat yang mengatakan bahwa pendekatan
kritik sastra gender berbeda dengan kritik sastra feminis.
Apa itu feminist
critique, citra perempuan, gynocritism, dan lain-lainnya? haha,
saya juga masih kurang paham betul. Gambaran kasar sudah ada, tapi belum berani saya simpulkan. Masih banyak
bahan yang harus dicari dan dikaji. Saya harus mendapatkan benang merah untuk
melanjutkan skripsi ini. Saya sudah
menyempitkan pandangan saya, namun saya belum memahami lukisan besarnya. Ini masalah
saya, saya hampir selalu kesulitan untuk melanjutkan sesuatu bisa saya tidak
memahami gambaran besar dari sebuah persoalan, sekalipun topik yang ingin saya
bahas sangat spesifik. Saya hanya harus mengkaji Mahfuzh.
Saya juga masih bimbang, apakah saya perlu memasukkan juga kajian mengenai perspektif feminis yang sangat variatif. Itu baru persoalan
teori. Saya menghadapi kendala lain. Misalnya saya butuh data mengenai
perempuan di era Anwar Sadaat. Belum lagi,
sepertinya saya harus memahami bagaimana tradisi pernikahan dan hubungan
laki-laki perempuan di Mesir agar bisa menjelaskan motif-motif tokoh yang ada
di dalam novel.
Setelah jalan, saya
baru sadar, saya sudah begitu jauh dari gender dan feminisme. Mau tidak mau
harus membaca dari awal lagi. Padahal feminisme merupakan satu pendekatan yang
sangat variatif, sementara saya belum memutuskan, pendekatan seperti apa yang
harus saya gunakan. Yah, perkiraan paling tidak butuh waktu lebih dari 3 bulan
untuk menyelesaikan ini.
0 comments:
Post a Comment