Saat seseorang bicara tentang
cinta, kebanyakan orang akan berpikir tentang hubungan laki-laki dengan
perempuan. Orang yang sibuk berbicara tentang cinta akan disebut ‘galau’ dan
semacamnya. Oke, katakanlah saya sedang
galau, tapi tidak galau melulu soal lawan jenis. Penelusuran saya sejauh ini
menunjukkan bahwa cinta adalah sejenis hubungan antara manusia dengan sesuatu
yang lain. Sesuatu yang lain itu bisa sangat bervariasi bisa orang tua, benda,
hewan, tumbuhan, termasuk Tuhan. Jadi tidak hanya lawan jenis.
Beberapa tahun yang lalu, saya
sempat tidak mau bicara soal cinta. Saya menganggap bahwa cinta adalah konsep
yang kosong, sama sekali tidak berarti. Cinta itu seperti merek produk yang tersebar
di iklan pinggir jalan. Saking banyaknya, saking asalnya, dia menjadi tidak
bermakna. Namun kemudian, jika saya tidak menggunakan konsep cinta, bagaimana
saya merangkum kedekatan, hasrat, keterarikan, belas kasih, dan emosi intens
dalam satu istilah yang tepat?
Dalam postingan sebelum
ini, saya pernah menyebutkan bahwa pertemuan dengan pemikiran Freire lah yang
membuat saya memahami cinta dalam cara yang berbeda. Sebelum Freire, saya
terlebih dahulu bertemu dengan Paulo Coelho. Melalui novel The Alchemist
dan The Zahra, saya mulai mempertimbangkan kembali penggunaan kata
cinta. Namun, saya tidak mendapatkan pemahaman disana. Melalui Freire lah
pemahaman mengenai cinta mulai terbentuk, yang kemudian mengarahkan saya pada
Erich Fromm. Dari Fromm, kemudian saya berkenalan dengan Ghandi. Khusus Ghandi,
saya belum pernah membaca satu tulisannya yang utuh.
Melalui tokoh-tokoh itu,
kegelisahan saya terjawab. Sebelumnya, saya sempat berpikir, orang tidak perlu
cinta untuk hidup. Sekarang saya berkeyakinan, orang akan hidup lebih bermakna
dan merdeka jika memiliki cinta, tentu cinta jenis khusus. Cinta jenis khusus
ini disebut dengan cinta yang membebaskan, kata Freire. Cinta jenis khusus itu
adalah biofili, kata Erich Fromm.
Sampai akhir tahun lalu, rasa penasaran
saya dengan konsep cinta masih cukup kuat. Saya mencari-cari bahan-bahan yang
berhubungan dengan cinta. Persoalannya adalah saya merasa gerah dengan opini
yang mengatakan bahwa cinta itu tidak dapat dijelaskan. Jika ia tidak dapat
dijelaskan, bagaimana mungkin seseorang dapat berkata,”Aku mencintaimu?” kalau
ia tidak dapat dijelaskan berarti kalimat “aku mencintaimu” itu tidak berbeda
dengan ini: “aku *&^%kakdkmu”. Apa artinya itu? Entahlah. Kan tidak dapat
dijelaskan. J
Faktanya, ada semacam ketidakkonsistenan
dari para “pecinta”, khususnya mereka yang mengatakan cinta tidak dapat
dijelaskan (juga mereka yang beranggapan tidak ada makna cinta yang pasti).
Mereka tidak ingin menjelaskan, namun banyak yang suka menghakimi ‘cara
mencintai orang lain’ dan merasa benar dengan ‘cara mencintai’ nya sendiri.
Sebagai contoh, katakanlah seorang laki-laki ‘mencintai’ seorang perempuan.
Tapi dia tidak ingin mengungkapkan perasaan itu kepada lawan jenisnya. Kemudian
teman-temannya berkata,”kalau cinta sama dia, ungkapkan dan kejar dia”. Loh, katanya tidak bisa dijelaskan? Katanya
setiap orang punya makna cintanya sendiri-sendiri? Kenapa harus dinasihati?
Kesimpulan sementaranya, setiap
orang punya konsep cinta yang ia jadikan panduan dalam mencintai, apakah itu diungkapkan
atau tidak. Konsep cinta yang tidak diungkapkan itu bisa jadi karena berbagai
faktor. Bisa jadi karena pembelaan diri agar tidak dipojokkan. Bisa jadi juga
karena tidak mampu menjelaskannya dengan kata-kata. Tidak mampu menjelaskan
dengan kata-kata bukan berarti ia tidak dapat dijelaskan. Bukan hanya soal
cinta, banyak pula soal-soal lain yang tidak dapat dijelaskan oleh mereka namun
bisa dijelaskan oleh orang lain seperti para ilmuwan dan filsuf.
Bila cinta terkonsep di dalam
pikiran seseorang, berarti ia berhubungan dengan budaya. Lebih lanjut, konsep
mencintai yang ada di dalam pikiran dan kita lakukan tidak serta merta muncul
begitu saja, namun melalui pembelajaran. Dari mana kita mempelajarinya? Dari
banyak hal. Dari ajaran agama, dari tradisi masyarakat, dari televisi, dan
media-media lainnya seperti novel, majalah, atau komik.
Kenapa saya begitu penasaran
dengan cinta? Karena kata ini adalah salah satu kata yang paling sering muncul
dan sangat mendominasi kehidupan kita. Tidak pelak lagi, kata cinta merupakan
salah satu kata yang paling penting dalam kehidupan, sejajar dengan kata
kebaikan, kebenaran, atau keadilan. Untuk itu, kita mestinya kritis dalam
memahami kata ini. Lagi pula kajian, pembahasan, dan pemikiran tentang cinta
telah dibahas sejak dulu. Mulai dari filsuf, sastrawan, tokoh religius, hingga
para ilmuwan.
Dalam dunia sains, cinta bahkan
telah dikaji dalam sosiologi, psikologi, antropologi, hingga biologi. Artinya,
sekalipun cinta itu seperti kabut, ia tetap dapat dibatasi, diteliti, dan
dijelaskan. Soal apakah pembatasan, penelitian, dan penjelasan itu memadai atau
tidak, itu soal lain.
So, tertarik juga untuk mulai mengkaji cinta?
Terkait:
Osho pernah berkata bahwa jika seseorang mencintai bunga maka ia harus merelakannya untuk tumbuh. konsep ini berkaitan dengan pertanyaan apakah cinta harus memiliki atau tidak. menurut saya, cinta tidak harus memiliki. hal ini berkaitan dengan konsep cinta kehidupan (biofili) dan cinta kematian (nekrofili) yang diutarakan oleh Erich Fromm. lebih lanjut, ini nantinya akan berhubungan dengan konsep cinta yang membebaskan. konsep terakhir ini saya dapat dari buku Pedagogy of the Opressed milik Paulo Freire. Dari buku ini pula saya pertama kali mengenal biofili dan nekrofili.
Pembahasan mengenai pendapat di atas terdapat dalam artikel berikut:
1. cinta tidak harus memiliki part 1 dan part 2
2. cinta yang membebaskan
0 comments:
Post a Comment