Rss Feed
  1. Dan sekali lagi, tentang Cinta

    Monday, June 2, 2014



    Saat seseorang bicara tentang cinta, kebanyakan orang akan berpikir tentang hubungan laki-laki dengan perempuan. Orang yang sibuk berbicara tentang cinta akan disebut ‘galau’ dan semacamnya.  Oke, katakanlah saya sedang galau, tapi tidak galau melulu soal lawan jenis. Penelusuran saya sejauh ini menunjukkan bahwa cinta adalah sejenis hubungan antara manusia dengan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu bisa sangat bervariasi bisa orang tua, benda, hewan, tumbuhan, termasuk Tuhan. Jadi tidak hanya lawan jenis.


    Beberapa tahun yang lalu, saya sempat tidak mau bicara soal cinta. Saya menganggap bahwa cinta adalah konsep yang kosong, sama sekali tidak berarti. Cinta itu seperti merek produk yang tersebar di iklan pinggir jalan. Saking banyaknya, saking asalnya, dia menjadi tidak bermakna. Namun kemudian, jika saya tidak menggunakan konsep cinta, bagaimana saya merangkum kedekatan, hasrat, keterarikan, belas kasih, dan emosi intens dalam satu istilah yang tepat?

    Dalam postingan sebelum ini, saya pernah menyebutkan bahwa pertemuan dengan pemikiran Freire lah yang membuat saya memahami cinta dalam cara yang berbeda. Sebelum Freire, saya terlebih dahulu bertemu dengan Paulo Coelho. Melalui novel The Alchemist dan The Zahra, saya mulai mempertimbangkan kembali penggunaan kata cinta. Namun, saya tidak mendapatkan pemahaman disana. Melalui Freire lah pemahaman mengenai cinta mulai terbentuk, yang kemudian mengarahkan saya pada Erich Fromm. Dari Fromm, kemudian saya berkenalan dengan Ghandi. Khusus Ghandi, saya belum pernah membaca satu tulisannya yang utuh.

    Melalui tokoh-tokoh itu, kegelisahan saya terjawab. Sebelumnya, saya sempat berpikir, orang tidak perlu cinta untuk hidup. Sekarang saya berkeyakinan, orang akan hidup lebih bermakna dan merdeka jika memiliki cinta, tentu cinta jenis khusus. Cinta jenis khusus ini disebut dengan cinta yang membebaskan, kata Freire. Cinta jenis khusus itu adalah biofili, kata Erich Fromm.

    Sampai akhir tahun lalu, rasa penasaran saya dengan konsep cinta masih cukup kuat. Saya mencari-cari bahan-bahan yang berhubungan dengan cinta. Persoalannya adalah saya merasa gerah dengan opini yang mengatakan bahwa cinta itu tidak dapat dijelaskan. Jika ia tidak dapat dijelaskan, bagaimana mungkin seseorang dapat berkata,”Aku mencintaimu?” kalau ia tidak dapat dijelaskan berarti kalimat “aku mencintaimu” itu tidak berbeda dengan ini: “aku *&^%kakdkmu”. Apa artinya itu? Entahlah. Kan tidak dapat dijelaskan. J

    Faktanya, ada semacam ketidakkonsistenan dari para “pecinta”, khususnya mereka yang mengatakan cinta tidak dapat dijelaskan (juga mereka yang beranggapan tidak ada makna cinta yang pasti). Mereka tidak ingin menjelaskan, namun banyak yang suka menghakimi ‘cara mencintai orang lain’ dan merasa benar dengan ‘cara mencintai’ nya sendiri. Sebagai contoh, katakanlah seorang laki-laki ‘mencintai’ seorang perempuan. Tapi dia tidak ingin mengungkapkan perasaan itu kepada lawan jenisnya. Kemudian teman-temannya berkata,”kalau cinta sama dia, ungkapkan dan kejar dia”.  Loh, katanya tidak bisa dijelaskan? Katanya setiap orang punya makna cintanya sendiri-sendiri? Kenapa harus dinasihati?

    Kesimpulan sementaranya, setiap orang punya konsep cinta yang ia jadikan panduan dalam mencintai, apakah itu diungkapkan atau tidak. Konsep cinta yang tidak diungkapkan itu bisa jadi karena berbagai faktor. Bisa jadi karena pembelaan diri agar tidak dipojokkan. Bisa jadi juga karena tidak mampu menjelaskannya dengan kata-kata. Tidak mampu menjelaskan dengan kata-kata bukan berarti ia tidak dapat dijelaskan. Bukan hanya soal cinta, banyak pula soal-soal lain yang tidak dapat dijelaskan oleh mereka namun bisa dijelaskan oleh orang lain seperti para ilmuwan dan filsuf.

    Bila cinta terkonsep di dalam pikiran seseorang, berarti ia berhubungan dengan budaya. Lebih lanjut, konsep mencintai yang ada di dalam pikiran dan kita lakukan tidak serta merta muncul begitu saja, namun melalui pembelajaran. Dari mana kita mempelajarinya? Dari banyak hal. Dari ajaran agama, dari tradisi masyarakat, dari televisi, dan media-media lainnya seperti novel, majalah, atau komik.

    Kenapa saya begitu penasaran dengan cinta? Karena kata ini adalah salah satu kata yang paling sering muncul dan sangat mendominasi kehidupan kita. Tidak pelak lagi, kata cinta merupakan salah satu kata yang paling penting dalam kehidupan, sejajar dengan kata kebaikan, kebenaran, atau keadilan. Untuk itu, kita mestinya kritis dalam memahami kata ini. Lagi pula kajian, pembahasan, dan pemikiran tentang cinta telah dibahas sejak dulu. Mulai dari filsuf, sastrawan, tokoh religius, hingga para ilmuwan.

    Dalam dunia sains, cinta bahkan telah dikaji dalam sosiologi, psikologi, antropologi, hingga biologi. Artinya, sekalipun cinta itu seperti kabut, ia tetap dapat dibatasi, diteliti, dan dijelaskan. Soal apakah pembatasan, penelitian, dan penjelasan itu memadai atau tidak, itu soal lain.  

    So, tertarik juga untuk mulai mengkaji cinta?

    Terkait:

    Osho pernah berkata bahwa jika seseorang mencintai bunga maka ia harus merelakannya untuk tumbuh. konsep ini berkaitan dengan pertanyaan apakah cinta harus memiliki atau tidak. menurut saya, cinta tidak harus memiliki. hal ini berkaitan dengan konsep cinta kehidupan (biofili) dan cinta kematian (nekrofili) yang diutarakan oleh Erich Fromm. lebih lanjut, ini nantinya akan berhubungan dengan konsep cinta yang membebaskan. konsep terakhir ini saya dapat dari buku Pedagogy of the Opressed milik Paulo Freire. Dari buku ini pula saya pertama kali mengenal biofili dan nekrofili.

    Pembahasan mengenai pendapat di atas terdapat dalam artikel berikut:
    1. cinta tidak harus memiliki part 1 dan part 2
    2. cinta yang membebaskan 

  2. 0 comments:

    Post a Comment