Saya
baru saja mereorganisasi jadwal mingguan dan bulanan. Menulis sebagai salah
satu kegiatan rutin yang harus dilakukan kembali, setiap hari. Hampir setahun mandek,
tidak dapat menulis. Hanya ada potongan-potongan paragraf di puluhan file Word, yang bahkan tidak berhubungan
satu sama lain.
Inilah
titik terendah. Pikiran benar-benar kosong. Bermenit-menit menatapi layar
komputer tanpa sedikit pun menekan tombol keyboard.
Ini
kali ke sekian saya bertekad: kali ini harus jadi satu tulisan. Mari lihat
apakah pikiran kosong ini bisa berbuah ilham seperti bulan memasangkan laut
hingga meluap ke darat atau seperti patahan tektonik yang memicu tsunami.
Lebay.
Hanya sedang mencari jalur alir di celah-celah sempit gua pikiran yang lama tak
disinari bacaan-bacaan segar.
Lebay lagi. Sudahlah. Jalur komunikasi sedang dibangun. Satu bagian diri menginisiasi
pembicaraan, mencoba bernegosiasi, mencoba berdialog, perlahan menepuk-nepuk
keping-keping pengetahuan di setiap sel saraf. Begitu pulas kau, nak. Pengetahuan
yang kulahirkan dari pengalaman dan rasa haus yang berlebihan.
Atau
biarkan saja mereka tertidur...
Bagaimana
bila aku buat keributan di sini? Tapi nanti mereka marah. Mereka akan
menarik-narik sarafku hingga keningku sangat panas. Aku semakin botak. Setiap
hari ada saja helai yang hilang, ada saja helai yang memutih. Aku pernah
mengalami mimpi buruk itu bertahun-tahun.
Sepertinya
sudah ada bagian diri lain yang terbangun. Si “Saya” tiba-tiba berganti menjadi
“Aku”. Lalu siapa yang sedang bernarasi saat ini, siapa pengamat ini? Ah diri yang multidimensi, atau multipolar?
Tak soal. Saya, aku, dan pengamat masih dalam titik aman kewarasan.
Siapa
lagi yang baru saja berpendapat?
Apakah
kesadaran itu tunggal?
Siapa
lagi yang bertanya?
Stop!!!
***
Barangkali
ini efek selepas membaca kumpulan cerpen Jorge Luis Borges. Sebuah buku langka
keluaran LKiS bertitel “Labirin Impian”. Saya (kami telah bersepakat untuk
menyerahkan kepada ‘Saya’ untuk menampilkan diri ke publik) pernah membaca buku
itu bertahun lalu, dan tahap paham sebagian besar isinya.
Sejak
dipinjam dua hari lalu, saya baru menyelesaikan (lagi) satu cerpen. Kali ini
baru saya mengerti alurnya. Seperti labirin ia mengambil jalur sesukanya dan
menjebak di sana-sini. Seperti impian, ia menggabungkan informasi sesuka
hatinya. Ia bercerita soal cermin lalu menghubungkannya dengan sanggama,
tiba-tiba memunculkan Uqbar, dan di bagian lain seenaknya mengganti fokus
menjadi Tlon dan Orbit Tertius. Dia memunculkan kesan, seolah-olah dia (Borges)
sebagai pengarang sebenarnya sedang bercerita dengan nuansa ilmiah, sebuah
negeri (atau planet) fiksi yang menyusup ke dunia nyata.
Saya berkali-kali
harus kembali ke awal bacaan untuk memastikan apakah yang tersebut kemudian
telah direferensikan sebelumnya. Setelah melalui pengulangan cukup banyak,
sedikit banyak akhirnya tertangkap pula logika cerita. Borges sedang bercerita
tentang ambisi sekelompok ilmuwan untuk menciptakan sebuah dunia ideal dengan
segala aspeknya yang purna. Dunia yang hanya nyata di dalam ensiklopedi puluhan
jilid, namun kemudian mampu membuat semua orang membicarakannya, menjadikannya
seolah-olah nyata. Pada akhirnya, kata Borges,
“Maka
bahasa Inggris, Prancis, dan (apalagi) Spanyol, dan seterusnya akan lenyap dari
permukaan Bumi. Dunia akan menjadi Tlon”
Dan
dia mengakhiri ‘esai fiksi ilmiah’-nya secara tak bertanggung jawab “Saya tidak
peduli dengan semua ini dan akan melanjutkan, di hari-hari tenteram di Hotel
Adrogue, dalam gaya bahasa zaman Quevedo, sebuah karya Sir Thomas Browne, Urn
Burial.”
***
Mari
saya tinggalkan Borges. Saya ajak pula pembaca meninggalkannya (jika kebetulan
ada yang sedang membaca tulisan ini). Masih ada lapisan labirin lain yang perlu
diselesaikan, semakin menyesatkan. Untuk itu, biarlah saya saja yang berkorban
menyelesaikannya. Suatu saat akan saya bagi jalan keluarnya bila sempat.
Sepertinya
pikiran saya sudah semakin harmonis, semakin menemukan ritmenya. Menarik bila
saya melanjut ke satu topik, tapi sudah jam 2 pagi. Saya perlu tidur, mematuhi
jadwal yang sudah saya langgar selama dua jam.
Tujuan
saya hanya ingin menyelesaikan tulisan ini. Setelah puluhan kali percobaan,
akhirnya selesai. Soal makna, entahlah. Yang terpenting saya merasa selesai.
Suatu saat ini bisa jadi memento
sebagai pengenang upaya saya bangkit dari keterpurukan. Alah...
***
Ini
bagian terakhir. Saya berjanji. Saya harus tidur. Segera.
Kemarin
siang saya bertemu seorang teman karib. Pertemuan pertama setelah setengah
tahun lebih. Kami berdiskusi soal topik yang sama disukai: pendidikan. Tentang
arah perubahan yang lebih baik dalam kurikulum pendidikan nasional. Kami sama
sepakat merayakan keberadaan Kurikulum 2013. (Walau dengan pengetahuan yang
seadanya).
Itu hanya
satu topik diskusi kami. Dalam pembicaraan utara-selatan itu, kami sempat berbicara
soal lompatan pengetahuan atau apalah istilahnya. Saya menyebutnya lompatan
pengetahuan, sebab terjadi perubahan tiba-tiba dari tidak tahu menjadi tahu
selama proses belajar. Teman saya menyebutkan, saat ini dia sudah mulai
terbiasa dengan teks Bahasa Inggris, sudah mulai mudah menerjemahkan. Saat
pertama kali serius mempelajari Bahasa Inggris, dia merasa sama sekali tidak
paham dengan apapun yang dia baca. Itu terjadi dalam selama beberapa waktu.
Setelah itu dia berhenti belajar. Rentangnya hingga tahunan sampai dia ke
kondisi sekarang.
Barangkali
ada hubungannya dengan pembiasaan dan tingkat stres. Pikiran yang telah
terbiasa dengan hal baru akan berfungsi maksimal dalam keadaan rileks ketika
kita berusaha memahami kembali sesuatu yang baru itu. Itu terjadi pula ketika
saya membaca Cerpen Borges tadi.
Saya
tidak ingin berspekulasi lebih jauh. Perlu bacaan lebih lanjut. Bersyukur bila
nanti akan terbersit untuk menulis khusus tentang ini. Sekarang, waktunya
tidur.
Mas Bayu, ada kontak yg bisa saya hubungi?