-
Review Buku: Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab Islam vol. 1
Thursday, January 16, 2014
Pertarungan Politik pada masa-masa Awal kekhalifahanAslinya, review ini adalah tugas kuliah saya. Saya begitu shock membaca buku ini, saat membaca sisi manusiawi yang selama ini tidak banyak saya baca dalam kajian-kajian lain dalam topik serupa. Sikap ideologis Adonis tentu 'terbaca' melalui cara ia membahas dan menilai fakta-fakta sejarah yang ia temukan. Sepenuhnya adalah hak pembaca untuk menolak penilaian-penilaiannya, namun menurut saya tidak ada alasan untuk menolak fakta sejarahnya. Saya pikir, ada baiknya jika saya sedikit berbagi-bagi. Mudah-mudahan ada kritik, itu lebih baik.PengantarBuku ini ditulis oleh Ahmad Sa’id Asbar atau lebih dikenal dengan nama Adonis. Judul aslinya adalah At-Tsaabit Wa Al-Mutahawwil: Bahts Fi Al-Ibda Wa Al-Itba ‘Inda Al-Arab. Pada awalnya ini adalah disertasi Adonis yang kemudian dibukukan menjadi 4 Jilid.Edisi bahasa Indonesia buku ini diterjemahkan dengan judul Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab Islam. Judul ini mengisyaratkan bahwa memang buku Adonis tersebut sebagian besar berbicara mengenai dialektika pemikiran Arab-Islam, walaupun beberapa bagian berbicara tentang gerakan-gerakan. Secara spesifik pertarungan antara yang mapan (at-tsabit) dan yang berubah (al-mutahawwil). pertarungan itu mewujud dalam pertentangan-pertentangan intelektual dalam wilayah teologi ( dan fiqh), politik, dan kesusasteraan (puisi).Buku yang akan di-review disini adalah jilid 1 dari Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam. Secara ringkas, jilid satu membahas metodologi pembahasan serta akar-akar kemapanan dan perubahan dalam pemikiran Arab-Islam. Adonis menyinggung 3 hal dalam buku ini, yaitu masalah politik, keagamaan, dan puisi. Dalam tulisan ini hanya akan di-review bagian buku yang berhubungan dengan aspek politik saja.Persoalan yang mapan dan yang berubahDalam kata pengantar, menurut Adonis, kebudayaan Arab-Islam muncul dari struktur Agama. Ikatan sosial politik dalam masyarakat Arab umumnya didasarkan pada landasan keagamaan. Agama digunakan oleh masyarakat Arab untuk memikirkan dirinya sendiri saat ini dan di masa mendatang. Seluruh bidang, apakah itu sosial, ekonomi, politik, moral, seni, semuanya berwawasan keagamaan.Adonis mendefinisikan yang mapan (at-tsaabit) sebagai pemikiran yang didasarkan kepada teks, dan menjadikan pemikiran itu sebagai satu-satunya yang benar untuk menafsirkan teks, yang menjadikan ia sebagai otoritas epistemologis. Sementara yang berubah (al-mutahawwil) didefinisikan dalam 2 pengertian. Pertama, pemikiran yang berdasar pada teks, namun penafsirannya bisa berubah. Kedua, pemikiran yang menolak otoritas teks dan menganggap bahwa pemikiran itu didasarkan akal bukan wahyu. Jadi, menurut Adonis akar dari persoalan pemikiran Arab berawal dari satu hal, yaitu teks. Teks tersebut adalah wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah).Dalam hal kemapanan, yang menjadi titik tolak polemik pemikiran selanjutnya, ada kecenderungan untuk menganalogikan seluruh persoalan pemikiran, apakah politik, sastra, atau ilmu, dengan agama. Kemapanan dalam penafsiran teks agama dijadikan dasar untuk kemapanan dalam teks pemikiran lainnya. Konsekuensinya, hanya orang-orang tertentulah yang memiliki pengetahuan tersebut, sementara yang lain harus mengambil darinya. Apapun yang berbedanya dianggap sesat.Kemunculan modernitas membuka ruang untuk tahawwul (perubahan). Perubahan muncul karena asumsi bahwa belum ada pengetahuan di masa lampau atau pengetahuan itu masih kurang. Modernitas Islam kerap dikaitkan dengan kemajuan ilmiah dan filosofis Barat. Namun ternyata, sebagaimana yang dijelaskan secara detail oleh Adonis dalam buku ini, akar-akar modernitas sudah ada setelah Rasulullah wafat dan perlawanan-perlawanan terhadap kemapanan terus-menerus dilakukan dalam sejarah pemikiran Arab-Islam.Adonis menolak menyebut bahwa ada ‘dialektika’ antara kemapanan dengan perubahan. Yang ada hanyalah pertarungan. Ia mengatakan pertarungan, karena pertentangan keduanya pada dasarnya adalah perebutan ‘kebenaran’. Sementara, dialektika, dengan sintesisnya, mengisyaratkan munculnya pengetahuan baru. Inilah yang menurut Adonis tidak ada dalam pertentangan keduanya.Dalam jilid 1, Adonis berfokus pada apa yang menjadi akar dari kemapanan pemikiran islam dan apa yang menjadi akar dari perubahan pemikiran islam. Dalam hal ini, Adonis mengkaji 2 bidang dalam kemapanan dan perubahan, yaitu: politik, intelektual (teologi dan fiqh), serta puisi.Akar Pertarungan: Awalnya adalah PolitikMenurut Adonis, persoalan kepemimpinan politik merupakan asal dari semua pertarungan yang mapan dan yang berubah setelahnya, sekaligus merupakan awal dari kemapanan. Kemapanan tidak berasal dari teks pada awalnya, tapi pada persoalan kekhalifahan. Perselisihan diantara kaum muslimin terjadi segera Rasulullah wafat. Ini berawal dari tidak adanya pengganti yang ditunjuk oleh rasulullah sebagai penggantinya, maupun metode yang harus digunakan dalam penunjukkan tersebut.Inisiatif awal datang dari kaum Anshar melalui pertemuan di Saqifah. Tidak ada satu pun golongan Muhajirin yang diundang kala itu. Umar bin Khattab adalah orang yang pertama kali mendengar dan kemudian bersama sahabat lainnya mendatangi pertemuan tersebut. Terjadi perdebatan panjang antara pihak Anshar dan Muhajirin. Perdebatan reda dengan ungkapan Basyiir bin Sa’ad yang menyebutkan bahwa hak kepemimpinan ada pada kaum Quraisy, karena Rasulullah berasal dari sana. Atas dasar ini, kemudian, Abu Bakar diba’iat sebagai khalifah. Perkataan Basyiir ini sebenarnya tidak disetujui oleh Ali bin Abi Thalib, karena jika berbicara mengenai rasulullah maka sebenarnya yang paling berhak adalah Bani Hisyam. Namun, Ali tetap memba’iat Abu Bakar.Adonis mencurigai adanya unsur pemaksaan dalam hal ini. Salah satunya ditunjukkan oleh Umar bin Khattab terhadap sahabat-sahabat yang menolak dan belakangan memba’iat Abu Bakar. Ia memaksa sahabat-sahabat untuk keluar dan memberi Ba’iat, karena ia menganggap kekuasaan pada Abu Bakar adalah “Hak Allah yang diberikan kepada mereka (suku Quraisy)”.Dengan demikian, hak pengganti Rasul ada pada suku Quraisy. Tidak semata itu, suku Quraisy menjadi pengganti Allah di dunia. Otoritas keagamaan mewujud pada suku Quraisy. Kekuasaan Quraisy tidak lagi merupakan kekuasaan suku, namun kekuasaan islam.Masa Utsman tampaknya dianggap menjadi fase krusial kedua oleh Adonis. Sebelumnya Umar menegaskan bahwa khilafah harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu mengikuti al-Qur’an dan Assunah; mengikuti khalifah pertama dan kedua; dan ditunjuk oleh “mayoritas”. Mayoritas disini maksudnya adalah mayoritas suku Quraisy, lebih tepatnya petinggi Quraisy. Utsman mempertegas prinsip-prinsip ini. Ia menyejajarkan kreatifitas sebagai bid’ah.Upaya Umar dan Utsman tersebut semakin mempertegas posisi Quraisy sebagai ‘wakil Tuhan” di muka bumi. Posisi tersebut diwakilkan lagi pada khalifah. Khalifah menjadi sumber kebenaran lain. Khalifah kemudian menjadi pengganti syari’ah. Siapapun yang bertentangan dengannya boleh ditindak dengan kekerasan.Kematian Utsman menandai puncak dari fase ini. Kejadian ini merupakan titik awal yang membuat perpecahan di tubuh kaum muslim semakin gamblang. Perpecahan antara Ali dengan Mu’awiyah. Ali di satu sisi menjadi inspirasi perubahan selanjutnya, Muawiyah di sisi lain menjadi pembaku kemapanan. Tidak heran jika dalam buku ini, Adonis lansung melompat menuju kekuasaan Umayyah, dan tidak menyinggung kekuasaan Ali terlebih dahulu.Kekuasaan Umayyah secara terang-terangan menjustifikasi diri sebagai Khilafah, sebagai pengganti syari’ah. Khalifah seolah-olah adalah imam besar dan dasar yang menyatukan semua pendapat. Ia berbicara atas nama al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagai dasar yang menyatukan. Ia berhak menghukum siapa saja yang menentang, karena menentang atau menyimpang darinya berarti menyimpang dari “yang asal”.Sistem kekuasaan Umayyah dalam pikiran dan tindakan adalah manifestasi dari fanatisme kesukuan dan keunggulan Quraisy. 2 hal yang telah muncul sejak pertemuan Saqifah. Umayyah mengatakan dirinya adalah kelanjutan dari Utsman. Artinya, ia adalah kelanjutan dari Umar, Abu Bakar, Rasulullah, dan dengan demikian adalah wakil dari Allah.Secara teknis, fanatisme kesukuan ini kembali pada pertikaian lama berbagai keluarga dalam satu suku. Muawiyah yang menang secara politik bahkan menyingkirkan anak-anak Ali dan mereka yang loyal kepadanya dari pemerintahan. Ia juga menghancurkan secara sosial dan budaya martabat mereka. Ia meminta bantuan ahli hadits untuk menafsirkan ayat agar Ali dapat dikafirkan dan menjadikan pembunuhan atasnya adalah ridha Allah.Akar Perubahan: Gerakan RevolusionerSebagaimana yang telah disebutkan, masa Utsman merupakan salah satu fase penting pertarungan ini. Ini adalah fase ketika yang mapan menjadi semakin mapan dan yang berubah mulai menampakkan dirinya.Utsman banyak mendapatkan kritik dari masyarakat. Masyarakat merasa keberatan pada Utsman terhadap 7 hal, diantaranya adalah sifat bermegah-megah dan kolusi. Keberatan ini secara teoritis menunjukkan adanya pengawasan dari masyarakat, adanya kelompok oportunis dari pihak penguasa, dan persoalan politik semakin menarik perhatian kaum muslim. Sementara, dari sudut praksis, ada kesenjangan ekonomi yang tajam; dan pecahnya masyarakat islam menjadi 2, yaitu kelompok yang mengeksploitasi dan kelompok yang dieksploitasi.Abu Dzar Al-Ghiffari berada di garda depan bagi mereka yang memerangi kesenjangan ini. Ia melontarkan kritik kepada Utsman. Ia memaksa orang kaya untuk mendistribusikan kekayaannya pada kaum miskin, yang kemudian diikuti orang-orang miskin lainnya. Hal ini membuatnya diasingkan oleh Utsman karena resah dengan tingkah lakunya itu.Kesenjangan ekonomi rupanya memang sangat besar. Hal ini terlihat dari sebutan yang diberikan pada pemberontak di masa Utsman, seperti kaum jembel, budak, kelompok penjual air, orang badui, dan para penyerobot kabilah. Fakta lainnya adalah bahwa “orang-orang kebanyakan’ lah yang terlebih dahulu memba’iat Ali bin Abi Thalib. pertimbangan atas kesenjangan ekonomi, pertentangan kelas ini, memperlihatkan bahwa adanya perpecahan sosial yang menggiringnya pada perpecahan politik; perpecahan yang kemudian menjadi perebutan makna.Dari Abu Dzar, yang disebut Adonis memiliki pandangan sosialisme-sufisme atau utopia keagamaan, kemudian muncul benih-benih gerakan praksis. Tidak lagi sekedar teoritis sosiologis. Abu Dzar dianggap sebagai peletak dasar teoritis untuk gerakan yang muncul kemudian, yaitu gerakan revolusi dan gerakan interpretatif rasional. Gerakan ini mengindikasikan bahwa kritik terhadap kondisi masyarakat islam harus diwujudkan dalam gerakan. Kebenaran tidak boleh hanya diam dalam teks al-Qur’an saja, namun harus mewujud dalam tindakan.Selain muncul gerakan lain, Khawarij, yang menganggap bahwa pemimpin tidak harus dari suku Quraisy, bahkan bisa jadi tidak perlu ada pemimpin sama sekali. Prinsip kepemimpinan yang harus suku Quraisy diganti dengan prinsip kepatutan. Sikap ini rupanya terinspirasi dari sikap Ali yang begitu sering menyulitkan suku Quraisy. Menurut Ali, keturunan Quraisy tidak serta merta memiliki kelebihan, agama yang harus menjadi pertimbangan utama. Namun kemudian, Khawarij menjadi jauh lebih ekstrem dari Ali sendiri.Elemen-elemen perubahan mulai tumbuh subur sejak Ali terbunuh. Perlawanan pertama muncul dari Sulaiman bin Shard tidak lama setelah Hasan bin Ali diturunkan dari kekhalifahan dan diberikan pada Muawiyah. Setelah itu ada perlawanan dari Qa’is bin Sa’ad bin Ubaadah, yang tetap memba’iat Ali walau ia telah mati.Titik penting setelahnya adalah terbunuhnya Husain merupakan titik yang menunjukkan bahwa gerakan perlawanan itu semakin praksis. Setelah itu gerakan revolusioner mulai bergerak. Mulai dari Sulaiman bin Shard, al-Mukhtar Ats-Tsaqafi, Murrah bin Muthi’, Shalih bin Masrah at-Tamimi, Syabib al-Khariji, Mutharraf bin al-Mughiirah, Abdurrahman bin al-Ats’ats, dan termasuk keturunan Ali. Diantaranya adalah Zaid bin Ali bin al-Husain dan anaknya Yahya bin Zaid, yang keduanya sama-sama tewas.Perebutan MaknaUtsman rupanya merupakan khalifah paling kontroversial daripada khalifah sebelumnya. Sikap keberpihakan Utsman terhadap keluarga dan kerabatnya, menuai banyak kritik dan mulai menimbulkan perlawanan. Dari politik, penentangan datang dari Ali bin abi Thalib. Dari sudut pandang sosial ekonomi, penentangan datang dari Abu Dzar. 2 orang inilah yang nantinya menjadi sumber inspirasi gerakan-gerakan revolusioner (sebagaimana istilah Adonis sendiri) selanjutnya. Kritik pun datang dari ‘Aisyah dan sahabat-sahabat lainnya.Kritik terhadap Utsman bersimpul pada satu hal menyimpang dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Jelas sekali, pertarungan antara Utsman dan penentangnya adalah pertarungan seputar pemahaman atas al-Qur’an dan as-Sunnah. Ada perebutan makna al-Qur’an dan as-Sunnah diantara keduanya.Pertentangan politik diantara keduanya kemudian menjadi yang kalah dan yang menang. Kelompok yang menang, Muawiyyah, kemudian membangun dasar-dasar pemahaman islam baru yang memperkuat kekuasaan mereka. Salah satunya adalah ayat dan hadits yang tidak memperbolehkan untuk mengkritik dan menyimpang dari pemimpin. Sementara kelompok yang kalah, misalnya di pihak Ali dan Abu Dzar, membangun pemahaman yang berbeda.PenutupArkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam, seperti kata Adonis sendiri, adalah upaya untuk ‘menelanjangi’ kebudayaan Arab. Metode yang ia gunakan adalah dengan cara menukik lansung pada teks-teks primer yang menjadi dasar bagi teks-teks sejarah maupun pemikiran Islam yang dominan yang ada saat ini. Dia tidak menggunakan penjelasan atas teks primer, atau teks sekunder. Artinya, ia berusaha secara lansung memahami teks-teks klasik dengan cara berpikirnya saat ini; dengan metodologi keilmuannya kini; dengan keyakinannya kini; untuk mendapatkan pemahaman yang baru dan utuh mengenai masa lalu kebudayaan Arab-Islam. Dalam posisi ini, Adonis merupakan seorang pendukung yang berubah.Secara pribadi, penulis sangat apresiatif dengan buku-buku semacam ini. Dengan caranya sendiri ia mampu mengangkat sejarah-sejarah yang tidak pernah dibicarakan dan dihilangkan dari teks-teks akademik mengenai sejarah islam. Buku jilid 1 ini bahkan lebih ‘berani’ daripada Kritik Nalar Arab milik al-Jabiri dalam persoalan menafsir dan merekonstruksi ulang sejarah kebudayaan Arab Islam. Sebagaimana buku-buku lain yang berusaha mencari pemahaman utuh mengenai persoalan yang sangat luas cakupannya, buku ini pun tetap memiliki kelemahan. Adakalanya pembahasan bersifat luas namun tidak mendalam. Sebaliknya adakalanya pembahasan bersifat mendalam namun tidak luas. Tidak ada persoalan sebenarnya. Hal ini justru menjadi tugas pembaca untuk meneruskan apa yang tidak diperdalam atau diperluas di dalam buku-buku semacam buku Adonis ini.
Posted by lain-lain at 12:27 AM | Labels: Sejarah Islam | Email This BlogThis! Share to X Share to Facebook |
0 comments:
Post a Comment