Pedagogi
pengharapan...buku ini ditulis dengan amarah dan cinta kasih. Tanpa hal ini
tidak ada pengharapan. Buku ini dimaksudkan sebagai pembelaan atas sikap toleran-jangan
dikacaukan dengan sikap berkomplot- dan sikap radikal.
(Paulo Freire,
Pegagogi Pengharapan)
Membaca, sebagaimana menulis juga adalah disiplin diri
lainnya. Membaca selalu melibatkan perenungan kembali. Termasuk di dalamnya
otokritik, pengharapan, dan pembelajaran. Membaca kembali membuat saya
menemukan banyak hal baru, padahal yang dibaca adalah teks yang sama. Dahi saya
sering mengernyit kembali saat membaca ulang sebuah buku, saat mengetahui
banyak hal yang sebenarnya ‘belum dibaca’ dari teks itu. Sebuah buku, pada
hakikatnya tidak pernah selesai dibaca, begitu kata banyak orang.
Buku yang saya baca kembali berjudul Pedagogi Pengharapan.
Menurut Freire, Pedagogi Pengharapan merupakan penghayatan kembali atas masterpiece-nya,
Pedagogi Kaum Tertindas. Pedagogi Pengharapan dan Pedagogi Kaum
Tertindas pada dasarnya memuat gagasan-gagasan yang sama. Pembaca awam
Freire barangkali akan sedikit bingung dengan kesukaan tokoh ini menggunakan
kata pedagogi pada banyak tulisan-tulisannya. Ia menggunakan judul Pedagogi
Pembebasan, Pedagogi Kaum Miskin Kota, bahkan Pedagogi Hati.
Akan lebih bingung lagi, saat tahu bahwa pedagogi-nya
ternyata menggunakan metode ‘andragogi’. Pedagogi sering diartikan sebagai
pendidikan untuk anak-anak, dan Andragogi adalah pendidikan untuk orang dewasa.
Lalu apa yang membuat Freire tetap menggunakan kata Pedagogi? Karena
menurutnya, pendidikan apapun selalu mengarahkan peserta didik pada tujuan dan
kepentingan tertentu. Karakter ini sangat khas dalam pendidikan untuk anak-anak.
Persoalannya adalah pendidikan mayoritas bersikap otoriter terhadap peserta
didik. Peserta didik diharuskan untuk mengikuti satu varian pengetahuan dan
keyakinan sebagaimana yang diyakini oleh pendidik. Inilah yang tidak disepakati
oleh Freire. Ia menyebut pendidikan dengan karakter otoriter ini sebagai
pendidikan gaya bank (banking concept of Education).
The more completely they accept the passive role imposed on
them, the more they tend simply to adapt to the world as it is and to the
fragmented view of reality deposited in them.
(semakin sempurna penerimaan mereka (siswa-pen.) terhadap
peran pasif yang dipaksakan pada mereka, mereka cenderung semakin lebih mudah
menyesuaikan diri dengan dunia sebagaimana adanya dan terhadap pandangan yang
tidak utuh tentang realitas yang didepositkan pada mereka)
(Pedagogy of The Opressed, hal. 73)
Tidak ada pendidikan yang netral kepentingan. Semuanya diarahkan untuk tujuan tertentu, sadar atau
tidak sadar. Semua pendidikan itu politis. Memaksa peserta didik untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan dunia adalah sebuah tindakan politis. Mengklaim
diri netral adalah sebuah sikap politik. Sebagai contoh: dimana kita mendengar
nama Freire di dalam kuliah-kuliah jurusan pendidikan? Ia masih belum diakui
sebagai tokoh penting yang harus dikaji di universitas-universitas. Kenapa
tidak ada informasi mengenai kekhalifahan Hasan ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair
dalam pelajaran sejarah agama Islam? Kenapa kita mengkaji ini dan tidak
mengkaji itu? Sadar atau tidak sadar semua pilihan-pilihan itu mengarah pada
tujuan tertentu.
Parahnya, sikap politis itu tidak diakui oleh para pendidik
sendiri dan semua orang yang memutuskan kurikulum apa yang harus dipelajari.
Atas nama keilmiahan mereka mengatakan bahwa mereka netral dan objektif. Mereka
berdalih bahwa mereka hanya menyampaikan pengetahuan yang objektif dan ilmiah,
tanpa menjadikan itu sebagai ideologi atau keyakinan. Saya ingin tahu seberapa
objektif mereka soal itu. Misalnya, mengapa mata kuliah tentang organisasi
(kepemimpinan dan manajemen misalnya) di perkuliahan identik dengan organisasi
perusahaan atau korporasi? Kenapa kita tidak mengkaji organisasi kemasyarakatan
atau gerakan sosial? Kenapa ada mata kuliah tentang enterpreneurship
tapi tidak ada mata kuliah tentang aktifisme? Itu karena sistem organisasi
gerakan sosial dan aktifisme bertentangan dengan kepentingan pasar atau
kapitalisme. Mempelajari itu membuat kita akan mengutuk perusahaan dan bisnis.
Dalam hal ini, pilihan itu adalah pilihan ideologis bukan?
Hal inilah yang ditentang oleh Freire. “praktek pendidikan
yang bersifat progresif tidak akan pernah lain daripada suatu petualangan
penyibakan atau penyingkapan”, begitu katanya. Pendidik progresif harus sadar
dengan segala kepentingan yang secara tersirat terdapat pada materi
pelajarannya. Ia harus berlaku adil dalam hal ini. Ia tidak boleh berbohong
soal itu, dan harus secara gamblang menyampaikan mengapa ia menyampaikan ini
dan tidak menyampaikan itu. Ia pun harus bersedia agar apapun yang ia ketahui
dipertentangkan dengan apa yang diketahui oleh peserta didiknya. Ia harus
bersedia berdialog dengan peserta didiknya. Dia bahkan harus bersedia mengubah
pandangannya jika ia terbukti tidak dapat mempertahankan pandangannya. Ia harus
berani menyibak dan menyingkap kepentingan-kepentingan yang ada dibalik
pengetahuan. Seperti kata Freire:
“Hanya melalui komunikasi, kehidupan manusia memiliki
makna...Guru hanya benar melalui kebenaran pemikiran para siswa. Guru tidak
dapat berpikir untuk siswa mereka, ia tidak dapat memaksakan gagasannya kepada
siswa. Pemikiran yang benar (otentik-pen.) adalah pemikiran yang
berkaitan dengan kenyataan. Tidak terletak di menara gading, tapi hanya melalui
komunikasi. Jika benar bahwa gagasan hanya benar jika ia diwujudkan dalam
tindakan terhadap dunia, maka subordinasi (perendahan atau penomor duaan-pen.)
siswa di bawah guru akan menjadi tidak mungkin.”
(Pedagogy of The Opressed, hal. 77)
Pandangan semacam ini tentunya akan ditentang oleh banyak
orang. Dan sesungguhnya saya telah ditentang oleh banyak orang karena
keberpihakan saya pada gagasan ini. Salah satunya, mereka menganggap bahwa
pandangan ini hanya akan membuat pendidik kehilangan muka atau kredibilitasnya.
Soal ini saya harus mengatakan, “yakinlah, jika anda melakukannya dengan tepat,
anda tidak pernah kehilangan muka.” Anggapan kehilangan muka itu hanyalah
mentalitas otoriter yang harus menganggap pendidik selalu benar. Saya telah
berusaha menerapkannya bertahun-tahun, dan saya tidak pernah merasa kehilangan
muka. Sekalipun memang saya akan dianggap seolah seperti teman biasa, tapi itu
tidak jadi soal.
Kedua, saya dianggap utopis. Dalam konteks Indonesia, kata
penentang saya itu, itu sulit dilakukan. Atau dengan sinis ada yang
mengatakan,”memangnya pernah berhasil membuat perubahan?” Apakah pernah
berhasil? Saya harus jujur, tidak tahu pasti. Apakah ia pernah menciptakan
revolusi? Saya belum pernah dengar. Apakah keadaan mendukung? tentu saja tidak.
Tapi saya tetap berharap. Freire berkata:
“Kita hidup dalam lingkaran wacana pragmatisme yang mau
mendorong kita supaya menyesuaikan diri dengan fakta-fakta realitas. Impian-impian,
dan utopia-utopia, disebutnya tidak hanya tidak berguna, tapi
sungguh-sungguh menghambat...oleh karenanya mungkin terasa aneh bahwa saya
menulis sebuah buku yang berjudul Pedagogi Pengharapan: Menghayati Kembali
Pedagogi Kaum Tertindas.” (Pedagogi
pengharapan: hal. 7)
Begitulah, wacana pragmatisme bertumpu pada gagasan bahwa
sesuatu itu layak jika ia berguna secara praktis. Sebagai contoh: saat saya
bilang saya berasal dari jurusan Bahasa dan Sastra Arab, banyak orang
mempertanyakan, memangnya dengan bidang itu saya bisa hidup makmur di masa
depan. Tentu saja itu sangat tidak memungkinkan jika melihat keadaan sekarang. Kalau
mau cepat dapat kerja ya masuk jurusan yang populer, ambil teknik, ekonomi,
atau kedokteran, lebih realistis. Mereka menganggap jurusan yang saya ambil ini
kurang atau tidak berguna untuk hidup. Pandangan-pandangan semacam itu berlaku
pada banyak hal. Misalnya, kenapa buku-buku dan ceramah-ceramah motivasi banyak
digemari? Karena banyak orang yang membutuhkannya. Padahal jika dikaji, banyak
buku dan ceramah motivasi tersebut, mohon maaf, adalah pembodohan.
Kita benar-benar dipaksa untuk benar-benar menyesuaikan diri
dengan keadaan. Misalnya: Saya sering diejek dengan pandangan saya yang sinis
tentang uang dan kekayaan. “jaman sekarang ini semuanya butuh duit, tanpa duit
dunia tidak jalan,” kata mereka. Menjadi seorang pegawai negeri sebaiknya punya
uang: menjadi tentara, polisi, dan posisi-posisi semacam. Kalau tidak punya
uang jangan coba-coba mencalonkan diri menjadi anggota legislatif atau bupati. Tanpa
uang tidak ada orang yang mau mendengarkan. Bagi mereka,”uanglah yang mengatur
dunia”. Maka, menjadi kaya adalah keharusan.
Jadi, jangan heran kalau orang-orang akan tertawa jika kita
bercerita soal perubahan dunia. “ngurus diri sendiri saja tidak becus, apalagi
mau ngurusin orang lain.” Begitu ungkapan pedasnya. Impian-impian dan utopia-utopia,
harapan yang luar biasa dianggap tidak berguna. “realistis, dong,” kata yang
lain. Tidak sekali dua saya menghadapi ungkapan-ungkapan serupa. Namun saya
tetap berharap. Sebagaimana kukuhnya Freire dengan harapannya dengan menulis
buku Pedagogi Pengharapan setelah 20 tahun menulis Pedagogi Kaum Tertindas.
Freire, sepengenalan saya, bukan seorang yang kaku. Ia
seorang yang toleran dengan perubahan. Ia bahkan ‘menolak sendiri’ gagasannya
setelah gagasan itu mulai banyak disalahgunakan. Ia memiliki satu gagasan
penting yang disebut dengan conscientizacao. Dia tidak pernah mau
menerjemahkan kata ini. Tapi kemudian ada yang menerjemahkan menjadi conscientisation
atau konsientisasi dalam bahasa Indonesia. Gampangnya, conscientizacao adalah
proses menuju kesadaran kritis sekaligus hasil darinya. Pendidikan adalah
proses sekaligus hasil. Artinya, sekalipun dia dalam fase tertentu pembelajaran
membuahkan hasil, tapi proses pembelajaran sejatinya tidak pernah berhenti.
Namun, gagasan conscientizacao ini lalu disalahgunakan dan dijadikan
retorika belaka. Seolah-olah membolehkan peserta didik untuk kritis, namun
ternyata mereka diarahkan untuk satu gagasan belaka. Atas dasar ini, Freire
kemudian mulai berhenti menggunakan kata tersebut.
Ia sangat toleran dengan perbedaan pandangan. Itulah mengapa
gagasan-gagasan yang berbeda harus didialogkan dalam pendidikan. Ia toleran
bukan berarti membiarkan begitu saja. Dia menolak sikap laizes faire, sebuah
sikap yang membebaskan sebebas-bebasnya. Tidak. Jika segala sesuatu dibebaskan
sebebas-bebasnya, berarti kita membebaskan penindasan untuk terus berlanjut.
Artinya, dalam sikap toleran itu ada sikap radikal. Ia mengatakan,”Agar dapat
berfungsi, otoritas (atau kekuasaan) harus berpihak pada kebebasan, bukan malah
menentangnya.” Itu artinya, bila kita memiliki kekuasaan, kita harus berpihak
pada kebebasan, memberi kebebasan pada orang lain untuk berpendapat dan
mempertentangkan pendapat mereka dengan kita. Seseorang boleh (dan harus)
mempertahankan keyakinan dan pandangannya, dengan catatan tidak retoris dan
harus dengan logika yang ketat. Freire memang sangat utopis mengenai ini. Dia
menolak retorika yang berlebihan dalam segala aktifitas.
Apa yang membuat Freire terus bertahan dengan
pandangan-pandangannya adalah bahwa ternyata pandangan-pandangan tersebut telah
mendapatkan bukti nyatanya di dalam pengalaman banyak orang. Tidak hanya di
Brazil, tempat asalnya, tapi juga di seluruh benua, baik di negara Dunia
Pertama maupun negara Dunia Ketiga. Pandangan Freire sangat mampu menjelaskan
kenyataan, karena memang pandangan dia berangkat dari kenyataan. Ia tidak
pernah eksklusif dengan gagasan-gagasannya sendiri. Ia mengajak semua orang
agar berani mengkritisi dan tidak mengkultuskan dirinya. Saya sendiri tidak
mengkultuskan dia. Pandangan-pandangannya saya terima karena ia mampu
menjelaskan dengan tepat dan gamblang pengalaman-pengalaman yang tidak dapat
saya definisikan selama ini. Ia saya terima melalui pemikiran dan praktek,
sekalipun praktek tersebut belum pernah dalam skala yang luas (sesuatu yang
benar-benar saya impikan).
Glosarium:
- Ekslusif --> Sikap eksklusif : tertutup, kaku, berpandangan sempit.
- Mengkultuskan: menganggap mulia dan suci; mendewakan.
- Otokritik: kritik diri
- Politis: segala tindakan yang ditujukan untuk meraih kepentingan tertentu
- Progresif: bertujuan untuk melakukan perubahan; berkemajuan.
- Retorika: ilmu dan seni untuk mempengaruhi orang lain melalui permainan kata-kata.
- Varian: jenis
- Utopis --> berhubungan dengan utopia, sebuah mimpi yang sangat 'tinggi' sekali seolah-olah tidak mungkin untuk tercapai.
0 comments:
Post a Comment