Rss Feed
  1. Membaca Kembali Pedagogi Pengharapan (2)

    Thursday, December 26, 2013

    Pedagogi pengharapan...buku ini ditulis dengan amarah dan cinta kasih. Tanpa hal ini tidak ada pengharapan. Buku ini dimaksudkan sebagai pembelaan atas sikap toleran-jangan dikacaukan dengan sikap berkomplot- dan sikap radikal.
    (Paulo Freire, Pegagogi Pengharapan)


    Membaca, sebagaimana menulis juga adalah disiplin diri lainnya. Membaca selalu melibatkan perenungan kembali. Termasuk di dalamnya otokritik, pengharapan, dan pembelajaran. Membaca kembali membuat saya menemukan banyak hal baru, padahal yang dibaca adalah teks yang sama. Dahi saya sering mengernyit kembali saat membaca ulang sebuah buku, saat mengetahui banyak hal yang sebenarnya ‘belum dibaca’ dari teks itu. Sebuah buku, pada hakikatnya tidak pernah selesai dibaca, begitu kata banyak orang.

    Buku yang saya baca kembali berjudul Pedagogi Pengharapan. Menurut Freire, Pedagogi Pengharapan merupakan penghayatan kembali atas masterpiece-nya, Pedagogi Kaum Tertindas. Pedagogi Pengharapan dan Pedagogi Kaum Tertindas pada dasarnya memuat gagasan-gagasan yang sama. Pembaca awam Freire barangkali akan sedikit bingung dengan kesukaan tokoh ini menggunakan kata pedagogi pada banyak tulisan-tulisannya. Ia menggunakan judul Pedagogi Pembebasan, Pedagogi Kaum Miskin Kota, bahkan Pedagogi Hati

    Akan lebih bingung lagi, saat tahu bahwa pedagogi-nya ternyata menggunakan metode ‘andragogi’. Pedagogi sering diartikan sebagai pendidikan untuk anak-anak, dan Andragogi adalah pendidikan untuk orang dewasa. Lalu apa yang membuat Freire tetap menggunakan kata Pedagogi? Karena menurutnya, pendidikan apapun selalu mengarahkan peserta didik pada tujuan dan kepentingan tertentu. Karakter ini sangat khas dalam pendidikan untuk anak-anak. Persoalannya adalah pendidikan mayoritas bersikap otoriter terhadap peserta didik. Peserta didik diharuskan untuk mengikuti satu varian pengetahuan dan keyakinan sebagaimana yang diyakini oleh pendidik. Inilah yang tidak disepakati oleh Freire. Ia menyebut pendidikan dengan karakter otoriter ini sebagai pendidikan gaya bank (banking concept of Education).  

    The more completely they accept the passive role imposed on them, the more they tend simply to adapt to the world as it is and to the fragmented view of reality deposited in them.
    (semakin sempurna penerimaan mereka (siswa-pen.) terhadap peran pasif yang dipaksakan pada mereka, mereka cenderung semakin lebih mudah menyesuaikan diri dengan dunia sebagaimana adanya dan terhadap pandangan yang tidak utuh tentang realitas yang didepositkan pada mereka)
    (Pedagogy of The Opressed, hal. 73)

    Tidak ada pendidikan yang netral kepentingan. Semuanya  diarahkan untuk tujuan tertentu, sadar atau tidak sadar. Semua pendidikan itu politis. Memaksa peserta didik untuk menyesuaikan diri dengan keadaan dunia adalah sebuah tindakan politis. Mengklaim diri netral adalah sebuah sikap politik. Sebagai contoh: dimana kita mendengar nama Freire di dalam kuliah-kuliah jurusan pendidikan? Ia masih belum diakui sebagai tokoh penting yang harus dikaji di universitas-universitas. Kenapa tidak ada informasi mengenai kekhalifahan Hasan ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair dalam pelajaran sejarah agama Islam? Kenapa kita mengkaji ini dan tidak mengkaji itu? Sadar atau tidak sadar semua pilihan-pilihan itu mengarah pada tujuan tertentu.

    Parahnya, sikap politis itu tidak diakui oleh para pendidik sendiri dan semua orang yang memutuskan kurikulum apa yang harus dipelajari. Atas nama keilmiahan mereka mengatakan bahwa mereka netral dan objektif. Mereka berdalih bahwa mereka hanya menyampaikan pengetahuan yang objektif dan ilmiah, tanpa menjadikan itu sebagai ideologi atau keyakinan. Saya ingin tahu seberapa objektif mereka soal itu. Misalnya, mengapa mata kuliah tentang organisasi (kepemimpinan dan manajemen misalnya) di perkuliahan identik dengan organisasi perusahaan atau korporasi? Kenapa kita tidak mengkaji organisasi kemasyarakatan atau gerakan sosial? Kenapa ada mata kuliah tentang enterpreneurship tapi tidak ada mata kuliah tentang aktifisme? Itu karena sistem organisasi gerakan sosial dan aktifisme bertentangan dengan kepentingan pasar atau kapitalisme. Mempelajari itu membuat kita akan mengutuk perusahaan dan bisnis. Dalam hal ini, pilihan itu adalah pilihan ideologis bukan?

    Hal inilah yang ditentang oleh Freire. “praktek pendidikan yang bersifat progresif tidak akan pernah lain daripada suatu petualangan penyibakan atau penyingkapan”, begitu katanya. Pendidik progresif harus sadar dengan segala kepentingan yang secara tersirat terdapat pada materi pelajarannya. Ia harus berlaku adil dalam hal ini. Ia tidak boleh berbohong soal itu, dan harus secara gamblang menyampaikan mengapa ia menyampaikan ini dan tidak menyampaikan itu. Ia pun harus bersedia agar apapun yang ia ketahui dipertentangkan dengan apa yang diketahui oleh peserta didiknya. Ia harus bersedia berdialog dengan peserta didiknya. Dia bahkan harus bersedia mengubah pandangannya jika ia terbukti tidak dapat mempertahankan pandangannya. Ia harus berani menyibak dan menyingkap kepentingan-kepentingan yang ada dibalik pengetahuan. Seperti kata Freire:

    “Hanya melalui komunikasi, kehidupan manusia memiliki makna...Guru hanya benar melalui kebenaran pemikiran para siswa. Guru tidak dapat berpikir untuk siswa mereka, ia tidak dapat memaksakan gagasannya kepada siswa. Pemikiran yang benar (otentik-pen.) adalah pemikiran yang berkaitan dengan kenyataan. Tidak terletak di menara gading, tapi hanya melalui komunikasi. Jika benar bahwa gagasan hanya benar jika ia diwujudkan dalam tindakan terhadap dunia, maka subordinasi (perendahan atau penomor duaan-pen.) siswa di bawah guru akan menjadi tidak mungkin.”

    (Pedagogy of The Opressed, hal. 77)

    Pandangan semacam ini tentunya akan ditentang oleh banyak orang. Dan sesungguhnya saya telah ditentang oleh banyak orang karena keberpihakan saya pada gagasan ini. Salah satunya, mereka menganggap bahwa pandangan ini hanya akan membuat pendidik kehilangan muka atau kredibilitasnya. Soal ini saya harus mengatakan, “yakinlah, jika anda melakukannya dengan tepat, anda tidak pernah kehilangan muka.” Anggapan kehilangan muka itu hanyalah mentalitas otoriter yang harus menganggap pendidik selalu benar. Saya telah berusaha menerapkannya bertahun-tahun, dan saya tidak pernah merasa kehilangan muka. Sekalipun memang saya akan dianggap seolah seperti teman biasa, tapi itu tidak jadi soal.

    Kedua, saya dianggap utopis. Dalam konteks Indonesia, kata penentang saya itu, itu sulit dilakukan. Atau dengan sinis ada yang mengatakan,”memangnya pernah berhasil membuat perubahan?” Apakah pernah berhasil? Saya harus jujur, tidak tahu pasti. Apakah ia pernah menciptakan revolusi? Saya belum pernah dengar. Apakah keadaan mendukung? tentu saja tidak. Tapi saya tetap berharap. Freire berkata:

    “Kita hidup dalam lingkaran wacana pragmatisme yang mau mendorong kita supaya menyesuaikan diri dengan fakta-fakta realitas. Impian-impian, dan utopia-utopia, disebutnya tidak hanya tidak berguna, tapi sungguh-sungguh menghambat...oleh karenanya mungkin terasa aneh bahwa saya menulis sebuah buku yang berjudul Pedagogi Pengharapan: Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas.”  (Pedagogi pengharapan: hal. 7)
    Begitulah, wacana pragmatisme bertumpu pada gagasan bahwa sesuatu itu layak jika ia berguna secara praktis. Sebagai contoh: saat saya bilang saya berasal dari jurusan Bahasa dan Sastra Arab, banyak orang mempertanyakan, memangnya dengan bidang itu saya bisa hidup makmur di masa depan. Tentu saja itu sangat tidak memungkinkan jika melihat keadaan sekarang. Kalau mau cepat dapat kerja ya masuk jurusan yang populer, ambil teknik, ekonomi, atau kedokteran, lebih realistis. Mereka menganggap jurusan yang saya ambil ini kurang atau tidak berguna untuk hidup. Pandangan-pandangan semacam itu berlaku pada banyak hal. Misalnya, kenapa buku-buku dan ceramah-ceramah motivasi banyak digemari? Karena banyak orang yang membutuhkannya. Padahal jika dikaji, banyak buku dan ceramah motivasi tersebut, mohon maaf, adalah pembodohan.

    Kita benar-benar dipaksa untuk benar-benar menyesuaikan diri dengan keadaan. Misalnya: Saya sering diejek dengan pandangan saya yang sinis tentang uang dan kekayaan. “jaman sekarang ini semuanya butuh duit, tanpa duit dunia tidak jalan,” kata mereka. Menjadi seorang pegawai negeri sebaiknya punya uang: menjadi tentara, polisi, dan posisi-posisi semacam. Kalau tidak punya uang jangan coba-coba mencalonkan diri menjadi anggota legislatif atau bupati. Tanpa uang tidak ada orang yang mau mendengarkan. Bagi mereka,”uanglah yang mengatur dunia”. Maka, menjadi kaya adalah keharusan.

    Jadi, jangan heran kalau orang-orang akan tertawa jika kita bercerita soal perubahan dunia. “ngurus diri sendiri saja tidak becus, apalagi mau ngurusin orang lain.” Begitu ungkapan pedasnya. Impian-impian dan utopia-utopia, harapan yang luar biasa dianggap tidak berguna. “realistis, dong,” kata yang lain. Tidak sekali dua saya menghadapi ungkapan-ungkapan serupa. Namun saya tetap berharap. Sebagaimana kukuhnya Freire dengan harapannya dengan menulis buku Pedagogi Pengharapan setelah 20 tahun menulis Pedagogi Kaum Tertindas.

    Freire, sepengenalan saya, bukan seorang yang kaku. Ia seorang yang toleran dengan perubahan. Ia bahkan ‘menolak sendiri’ gagasannya setelah gagasan itu mulai banyak disalahgunakan. Ia memiliki satu gagasan penting yang disebut dengan conscientizacao. Dia tidak pernah mau menerjemahkan kata ini. Tapi kemudian ada yang menerjemahkan menjadi conscientisation atau konsientisasi dalam bahasa Indonesia. Gampangnya, conscientizacao adalah proses menuju kesadaran kritis sekaligus hasil darinya. Pendidikan adalah proses sekaligus hasil. Artinya, sekalipun dia dalam fase tertentu pembelajaran membuahkan hasil, tapi proses pembelajaran sejatinya tidak pernah berhenti. Namun, gagasan conscientizacao ini lalu disalahgunakan dan dijadikan retorika belaka. Seolah-olah membolehkan peserta didik untuk kritis, namun ternyata mereka diarahkan untuk satu gagasan belaka. Atas dasar ini, Freire kemudian mulai berhenti menggunakan kata tersebut.

    Ia sangat toleran dengan perbedaan pandangan. Itulah mengapa gagasan-gagasan yang berbeda harus didialogkan dalam pendidikan. Ia toleran bukan berarti membiarkan begitu saja. Dia menolak sikap laizes faire, sebuah sikap yang membebaskan sebebas-bebasnya. Tidak. Jika segala sesuatu dibebaskan sebebas-bebasnya, berarti kita membebaskan penindasan untuk terus berlanjut. Artinya, dalam sikap toleran itu ada sikap radikal. Ia mengatakan,”Agar dapat berfungsi, otoritas (atau kekuasaan) harus berpihak pada kebebasan, bukan malah menentangnya.” Itu artinya, bila kita memiliki kekuasaan, kita harus berpihak pada kebebasan, memberi kebebasan pada orang lain untuk berpendapat dan mempertentangkan pendapat mereka dengan kita. Seseorang boleh (dan harus) mempertahankan keyakinan dan pandangannya, dengan catatan tidak retoris dan harus dengan logika yang ketat. Freire memang sangat utopis mengenai ini. Dia menolak retorika yang berlebihan dalam segala aktifitas.


    Apa yang membuat Freire terus bertahan dengan pandangan-pandangannya adalah bahwa ternyata pandangan-pandangan tersebut telah mendapatkan bukti nyatanya di dalam pengalaman banyak orang. Tidak hanya di Brazil, tempat asalnya, tapi juga di seluruh benua, baik di negara Dunia Pertama maupun negara Dunia Ketiga. Pandangan Freire sangat mampu menjelaskan kenyataan, karena memang pandangan dia berangkat dari kenyataan. Ia tidak pernah eksklusif dengan gagasan-gagasannya sendiri. Ia mengajak semua orang agar berani mengkritisi dan tidak mengkultuskan dirinya. Saya sendiri tidak mengkultuskan dia. Pandangan-pandangannya saya terima karena ia mampu menjelaskan dengan tepat dan gamblang pengalaman-pengalaman yang tidak dapat saya definisikan selama ini. Ia saya terima melalui pemikiran dan praktek, sekalipun praktek tersebut belum pernah dalam skala yang luas (sesuatu yang benar-benar saya impikan).

    Glosarium:

    • Ekslusif  --> Sikap eksklusif : tertutup, kaku, berpandangan sempit.
    • Mengkultuskan: menganggap mulia dan suci; mendewakan.
    • Otokritik: kritik diri
    • Politis: segala tindakan yang ditujukan untuk meraih kepentingan tertentu
    • Progresif: bertujuan untuk melakukan perubahan; berkemajuan.
    • Retorika: ilmu dan seni untuk mempengaruhi orang lain melalui permainan kata-kata.
    • Varian: jenis
    • Utopis --> berhubungan dengan utopia, sebuah mimpi yang sangat 'tinggi' sekali seolah-olah tidak mungkin untuk tercapai.

  2. 0 comments:

    Post a Comment