"Selama masa yang sedang saya bicarakan ini...saya biasa dilimbur perasaan putus asa dan sedih dari waktu ke waktu. Saya menjadi orang yang sangat pemurung pada saat-saat itu, dan saya sangat menderita karenanya. Hampir selalu, selama dua atau tiga hari, atau malah lebih lama lagi, saya merasa murung. Kadang-kadang keadaan seperti ini menyerang saya tiba-tiba-di jalan, di kantor saya, di rumah. Kadang-kadang datangnya perlahan-lahan, dan saya dikuasainya sedikit demi sedikit. Terlepas darimana datangnya, saya merasa terluka, dan menjadi bosan dengan dunia, seolah-olah saya tenggelam dengan diri saya, dalam rasa sakit yang sebabnya tidak saya ketahui, dan segala sesuatu di sekeliling saya kelihatan aneh dan asing. Siapa yang tidak akan merasa putus asa?"
-
Freire, Pengharapan, dan Tenunan Pengalaman Saya
Thursday, December 26, 2013
Kita memang kadang lemah, bukan berarti tak berdaya. Kita hanya bisa berusaha.Kita memang kadang resah, bukan berarti hati tak tenang. Kita hanya bisa berdoa.(Jamica, Jangan Anggap)Paulo Freire. Rasanya, berkali-kali saya harus mengungkapkan bahwa saya begitu mencintai pria ini. Saya merasakan ikatan emosional melalui keserupaan pengalaman-pengalaman dan harapan-harapan. Saya tidak pernah bertemu dengannya. Dia pun telah meninggal dunia. Saya hanya ‘berdialog’ dengannya melalui buku-bukunya. Setiap kali saya membaca ulang, serasa saya mendengarkan lansung suara dan emosi yang keluar darinya.
Dia-melalui amarah dan cinta kasih yang diluapkan dalam pemikiran, tulisan, dan tindakan-berhasil mengeluarkan saya dari lumpur keputusasaan. Saya pernah menjadi begitu fatalis terhadap masyarakat dan segala yang melekat pada mereka. Pandangan saya kala itu seperti lirik lagu Eddie Vedder yang berjudul Society, sebuah lagu yang sangat saya sukai kala itu:Society, you're a crazy breedI hope you're not lonely without meSociety, crazy indeedI hope you're not lonely without meSociety, have mercy on meI hope you're not angry if I disagreeSociety, crazy indeedI hope you're not lonely without meTeman-teman kala itu menyamakan saya dengan Christoper Mc Candless, seseorang yang mati dalam kesendiriannya. Kisah hidup tokoh ini telah difilmkan dalam buku Into The Wild. Lagu di atas pun sebenarnya adalah original soundtrack film ini.Sikap fatalis atau sinis terhadap masyarakat tersebut berasal dari apa yang saya ketahui. Rasa ingin tahu yang tinggi membuat saya mengetahui hal-hal yang tidak dan tidak ingin diketahui oleh banyak orang. Pengetahuan itu kemudian membangkitkan kegelisahan, ketakutan, dan kekhawatiran. Sama seperti saat seseorang yang dibukakan ‘mata batin’-nya agar bisa melihat makhluk halus. Tidak siap dan mengerikan, begitu simpelnya.Ketidaksiapan itu berujung pada penarikan diri, untuk tidak mengatakan tidak peduli. Ia membangkitkan kecenderungan psikologis yang selama ini selalu menghantui, kecenderungan ingin bunuh diri. Pengalaman kesendirian dan keterasingan yang menumpuk memang membangkitkan sebuah keinginan untuk menghabisi diri sendiri. Pada saat-saat tertentu di masa lalu, saya sangat takut bila sedang berhadapan dengan benda-benda yang mampu membuat saya terluka. Setiap kali saya melihat pisau, jarum, dan benda semacamnya, bangkit keinginan untuk memutus nadi atau menusuk perut sendiri. Untungnya, tidak pernah menjadi tindakan.Pada saat-saat tertentu saya akan terbaring selama berhari-hari, tanpa bisa melakukan apapun. Kelelahan mental yang luar biasa membuat saya tidak bisa berbuat apa-apa. Itu jauh lebih menyakitkan dari kelelahan fisik. Saya hampir tidak pernah sakit, secara fisik. Jadi, kalau saya sedang down dan tidak bisa kuliah, saya bingung harus membuat surat sakit seperti apa. Ijin kuliah harus menyertakan surat keterangan sakit dari dokter. Sementara saya, lebih tepatnya harus menyertakan surat keterangan sakit dari terapis. Inilah salah satu penyebab mengapa kuliah saya begitu kacau bertahun-tahun yang lalu. Itu hal yang hampir tidak mungkin saya lakukan karena 2 hal. Pertama, kurangnya apresiasi terhadap permasalahan kejiwaan peserta didik. Kedua, saya kurang percaya dengan keharusan bertemu dengan terapis untuk menyelesaikan masalah kejiwaan saya.Lelaki ini, Freire, berhasil memberikan terapi kepada saya melalui pengharapannya. Sebenarnya, bila orang lain mencari buku motivasi maka saya mencari buku filosofis. Karena motivasi sesungguhnya hanya bisa didapatkan melalui buku-buku itu, bukan buku-buku motivasi populer saat ini. Dia membangkitkan kembali semangat saya, bahwa keputusasaan adalah jenis pengharapan yang salah. Kita masih bisa berharap, menjaga utopia dan mimpi kita, karena untuk itulah kita hidup. Saya dikritik habis-habisan olehnya, karena sikap putus asa tersebut. Dia membawa kembali saya ke masa lalu, mengajarkan saya bagaimana harus menghayati pengalaman-pengalaman saya, mencari titik dimana saya pernah berharap dan berhasil mewujudkannya, dan menjadikan itu pijakan untuk tetap berharap pada kemungkinan masa depan.Apa yang membuat saya mengingat kembali tenunan pengalaman (ini salah satu istilah favorit Freire yang sangat saya sukai) ini karena ia berhubungan dengan benang-benang pengalaman lainnya. Beberapa benang pengalaman lainnya menyatu, menyempurnakan tenunan pengalaman yang lain. Pertama, sebuah curahan hati dari seorang teman tentang kondisi pendidikan di tempat ia mengajar. Kedua, pertanyaan seorang teman lain tentang apakah saya menyesal belum lulus kuliah. Ketiga, kedatangan seorang teman senasib dari luar kota. Keempat, kekacauan saya saat diminta mengisi sebuah materi di dalam pelatihan.Pengalaman-pengalaman tersebut akhirnya membuat saya teringat kembali dengan Freire, membaca bukunya dan menulis tentangnya. Tadi malam saya duduk di depan komputer untuk menulis satu atau dua paragraf tentang bukunya. Yang terjadi, saya membuat tulisan yang sangat panjang sekali. Dan belum selesai. Sebuah komentar subjektif yang begitu panjang terhadap buku berjudul Pedagogi Pengharapan. Maka, saya membuat sebuah tulisan yang lebih pendek, menjaganya agar tetap pendek. (saya harus tetap menulis, karena ini adalah salah satu bagian dari disiplin diri.)Seperti yang telah saya sebutkan di awal tadi, saya begitu terikat dengan Freire. Mulai dari pengalaman masa kecil hingga ia seumuran dengan saya kini (saya pun merasakan ikatan pengalaman dengan tokoh lain seperti Tan Malaka). Salah satu ikatan pengalaman itu saat dia menceritakan bagaimana kondisi dia saat berumur dua puluh dua tahun hingga dua puluh sembilan tahun:(Pedagogi pengharapan, hal. 34-35)Saya merasakan hal yang sama, seperti dia. Dan bukan saya saja. Beberapa orang yang saya kenal pun mengalami hal yang sama. Orang-orang ini, yang begitu berbeda pandangan dengan saya, menjadi sahabat karena satu alasan: kami merasa tersingkir dari dunia. Perasaan asing itu terkadang masih melanda, saat saya berada di tepi jalan, memandangi kendaraan, mengamati pembicaraan, saya merasa tidak cocok berada disini. Saya tidak paham, rasanya apapun aktifitas yang ada di sekitar seperti film yang tidak saya pahami jalan ceritanya.Freire sudah punya Elza. Seseorang yang masih sangat ia cintai bahkan setelah kematiannya. Elza adalah katalisator yang handal bagi seluruh keresahan Freire. Sementara saya belum punya siapa-siapa, dalam konteks itu. Saya pun pernah putus asa dengan ide pernikahan. Tapi Freire mengangkat saya pada titik lain. Freire pernah punya pandangan yang sama dengan saya dulu. Pernikahan hanya membuat petualanan intelektual akan terhambat. Setelah menikah dengan Elza, ia mengubah pandangannya. Ternyata sama sekali tidak. Ceritanya itulah yang menjadi salah satu alasan saya mulai mengubah pandangan saya tentang pernikahan.Saya belum punya orang seperti Elza, tapi saya punya orang-orang senasib yang selalu bersedia berbagi dengan saya. Orang-orang yang selalu marah pada saya saat saya tidak menceritakan permasalahan saya. Orang-orang yang tidak ingin kehilangan saya, sebagaimana saya tidak mau kehilangan mereka.“Kamu nggak bisa hidup sendirian, Bay.” Kata seseorang diantara mereka. “Kamu nggak bisa nanggung semuanya, mendam semuanya sendirian. Aku kawanmu. Aku nggak mau ngeliat sahabatku menderita sendirian. Apa yang kamu alami juga aku alami. Ayolah, berbagi. Aku nggak mau kehilangan sahabat seperti dirimu lagi.”Kata-kata itu ia ucapkan di malam yang dingin di dekat Tugu Yogya. Saat itu perasaan saya menjadi hangat kembali. Tidak ada artinya kopi dan rokok. Kata-kata itu mengingatkan kembali pada seorang lain (seorang seperti saya juga) yang pernah berkata,”Bang Bay, kalau aku mati. Bang Bay nangis enggak?”Saya tidak pernah menjawab dengan jujur. Saya hanya bilang, saya tidak mau memikirkan itu, karena belum kejadian. Tapi sungguh, jika ia mati, saya akan menangis. Itu kemungkinan yang paling besar.Sahabat-sahabat saya ini yang selalu menjadi inspirasi bagi saya untuk bercerita. Kami punya karakter yang berbeda-beda, punya cara berbeda untuk mengatasi keterasingan diri, tapi kami terikat pada gagasan yang sama pengutukan terhadap dunia dan keinginan untuk melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan, walau selalu tertahan.Bagi saya, Freire, menjadi salah satu guru yang sangat baik dalam mengajarkan cinta kasih dan makna persahabatan. Apa yang sangat saya sukai adalah gagasan-gagasan yang merupakan refleksi dari pengalaman, tidak murni dari spekulasi teoritik. Barangkali inilah yang membuat saya begitu mudah terikat dengannya. Keberpihakan saya padanya bukan taklid buta. Freire telah memberikan saya bahasa baru untuk menjelaskan pengalaman-pengalaman yang selama ini tidak dapat saya jelaskan dengan tepat. Ia memberikan saya sebuah alasan yang sangat masuk akal, bahwa pengharapan membutuhkan suatu jenis pendidikan khusus, yaitu pendidikan pengharapan. Keputusasaan yang telah kita alami dan ditegaskan terus menerus oleh kondisi harus diatasi dengan sebuah pendidikan. Pendidikan yang membuat kita bisa berharap, bahwa masih ada celah yang sangat luas untuk membuat perubahan.Jangan pernah menyerah, jangan sampai terserah. Jika kita tak mampu berdiri sendiriJangan pernah berhenti, jangan sampai terhenti. Langkahkan kaki menggapai mimpiJangan anggap mimpi ini cuma angan-angan sajaPastikan bisa menggapainya
(Jamica, Jangan Anggap)Posted by lain-lain at 3:45 PM | Labels: Pendidikan Kritis, renungan | Email This BlogThis! Share to X Share to Facebook |
0 comments:
Post a Comment