-
Membaca Kembali Pedagogi Pengharapan (1)
Thursday, December 26, 2013
Saya berpengharapan bukan karena sikap keras kepala, melainkan karena keharusan eksistensial, konkret.(Paulo Freire)
Pertama kali, saya mendengar nama lelaki ini dari seorang “senior” saya di organisasi yang saya ikuti kala itu. Dia bercerita tentang gagasan keberpihakan pendidikan terhadap kaum tertindas. Lelaki itu, Paulo Freire, menulis sebuah buku berjudul Pedagogi Kaum Tertindas atau Pedagogy of The Opressed. Sekalipun dia tidak pernah menunjukkan bagaimana bentuk riil dan apa isi buku itu, namun saya benar-benar sangat bersemangat dengan gagasan pria ini.Melalui buku itu, Freire mengangkat kembali martabat kaum tertindas sebagai manusia. Kaum tertindas, orang-orang yang kebutuhan dan kepentingannya selalu diabaikan, orang-orang yang terpinggirkan. Marjinal. Pedagogi kaum tertindas adalah pilihan pendidikan untuk perjuangan, pendidikan pembebasan. Hanya sebatas itulah yang dia ceritakan pada saya.Orang yang sama juga memperkenalkan saya dengan Kuntowijoyo dan Ali Syari’ati. Kuntowijoyo memperkenalkan saya dengan strukturalisme transendental, integralisasi dan objektifikasi, dan ilmu sosial profetik. Ali Syari’ati memperkenalkan saya pada gagasan bahwa seorang intelektual adalah seorang moralis sekaligus ilmuwan. Melalui cara yang berbeda ‘senior’ saya ini juga memperkenalkan saya dengan gagasan-gagasan Karl Marx, hal yang kemudian membuat saya bersimpati dengan sosialisme (komunisme ?); walaupun pada akhirnya saya lebih memilih untuk mendekatkan diri dengan Trotsky, Gramsci dan Tokoh-tokoh Mahzab Frankfurt daripada tokoh-tokoh lain seperti Lenin dan Mao Tse Tung.Bersimpati dengan itu, orang-orang mungkin mengira saya adalah seorang komunis. Tidak, saya bukan seorang komunis. Saya bersimpati pada siapapun yang menawarkan pengharapan baru agar kita bisa keluar dari segala kekacauan dunia ini. Simpati saya sebagai seseorang yang merasa gelisah dengan keadaan sekitar. Misalnya, sampai titik tertentu saya bersimpati dengan Hizbut Tahrir, walaupun saya masih tidak sekonservatif mereka dalam memandang sistem pemerintahan. Saya bersimpati pada gerakan feminis, walaupun sampai titik tertentu saya lebih cenderung menjadi ekofeminis. Saya bersimpati pada gerakan islamisasi ilmu, walaupun saya lebih mendekatkan diri dengan pengilmuan islam.Saya bersimpati sebagai sebuah keharusan eksistensial, begitu kata Freire. Maksudnya, saya ada dan hidup di bumi ini harus punya pengharapan, karena itulah yang membuat saya tetap bergairah untuk meneruskan hidup saya. Berbeda dengan hewan yang hidup tanpa kesadaran perubahan, manusia adalah makhluk yang dinamis. Ia punya sejarah dan ia selalu berubah. Oleh karena itu, satu-satunya yang bisa menjaga fitrah itu adalah pengharapan dan usaha gigih untuk mencapainya. Oleh karena itu pula, saya bersimpati pada mereka yang berusaha mengembalikan kembali fitrah manusia untuk bebas dan dinamis di tengah berbagai pengutukan dan kekecewaan kita terhadap hidup dan kehidupan dunia.Saya tidak menulis dalam posisi saya sebagai seorang ahli. Saya bahkan belum banyak membaca tulisan-tulisan penting orang-orang di atas, kecuali beberapa. Saya akan mudah dipatahkan oleh orang-orang yang lebih tahu dari saya, jelas. Namun, saya tidak ingin berdiam diri. Saya menulis ini dalam rangka disiplin diri. Tuntutan untuk segera menyelesaikan kuliah membuat saya sementara ini menjadi begitu terasing dengan kenyataan. Membuat saya tidak dapat melakukan apa-apa yang seharusnya saya lakukan sebagai seseorang yang menghendaki perubahan. Maka saya harus melakukan hal lain yang tetap bisa menjaga diri saya agar tidak larut dalam kompromi tersebut. Menulis adalah salah satu bagian dari disiplin diri. Dalam tulisan lain, mudah-mudahan saya bisa berbicara tentang ini.Disiplin diri dengan menulis ini berlaku dalam 3 hal: otokritik diri, menjaga pengharapan dan meneruskan pembelajaran saya. Pertama, sebagai otokritik saya harus mengkritik diri saya sendiri, sudah sejauh mana pemahaman saya tentang apa yang saya ketahui dan apakah ada yang berubah dari sana. Kedua, menjaga pengharapan karena dengan menulis semangat dan mimpi saya ditegaskan lagi dan lagi, sehingga saya akan terus berharap. Ketiga, meneruskan pembelajaran, bahwa masih banyak hal yang masih belum saya ketahui dan pahami, dan saya tidak boleh lupa dengan itu. Simpelnya, menulis pada hakikatnya adalah sebuah perenungan kembali yang diekspresikan dalam tulisan, bukan sekedar menyalin apa yang sudah ada.
Salah satu yang harus saya teruskan adalah pembacaan saya terhadap satu tokoh yang telah saya sebutkan di awal tulisan ini: Paulo Freire. Jika ada orang yang begitu ingin saya temui, dialah salah satunya. Saya jatuh cinta kepada tokoh ini sejak pertama kali saya mendengar kepingan gagasannya. Membaca tulisan-tulisannya saya lansung bisa merasakan bagaimana ia begitu penuh kasih sayang, pengertian, jernih, namun tetap kritis dan tegas pada apa-apa yang tidak disetujuinya. Ia tidak pernah mencaci maki, tapi ia selalu mengkritik. Ia tidak pernah memaksa, tapi ia juga tidak mau menerima begitu saja. Ia sangat terbuka, tapi ia tetap memberi ruang pada keyakinan.Saya berhutang budi banyak hal pada perubahan yang terjadi pada pandangan dan kepribadian saya sejak mengenal gagasan-gagasannya. Diantaranya, berhutang budi karena gagasannya saya berusaha tidak egois, simplistis, dan putus asa dalam memandang dunia.Posted by lain-lain at 4:34 PM | Labels: Pendidikan Kritis | Email This BlogThis! Share to X Share to Facebook |
0 comments:
Post a Comment