Rss Feed
  1. Ciu

    Wednesday, December 4, 2013

    Sartono punya sebuah moto hidup,’Sekali ciu selamanya tetap ciu’. Tiada hari tanpa ciu. Tidak ada hidup tanpa ciu.


    Hanya satu itu minuman keras favoritnya, Ciu. Baginya Ciu ada hidup, dan hidup adalah ciu. Menurutnya, hidup itu seperti ciu, pahit tapi memabukkan. Hidup itu selalu dipenuhi dengan rasa tidak enak, tapi kenikmatan yang didapatkan setelahnya tidak ada bedanya dengan rasa nikmat yang didapat dari mabuk ciu.

    Saat dia sedang banyak uang atau saat dia sedang bangkrut, ciu selalu di tangan. Dia tidak kenal minum-minuman seperti Jack Daniel’s dan semacamnya. Sartono bahkan tidak pernah mau melirik minuman kelas teri lainnya seperti anggur merah. Ciu adalah sahabat sejati saat susah dan senang, minuman wajib yang harus ada bahkan saat dia hendak dan setelah berkumpul dengan istrinya. 

    Ciu, hanya ciu, dan ciu murni saja. Tidak ada namanya ciu oplosan (oplosan: minuman yang dicampur dengan bahan lain). “meng-oplos ciu sama seperti orang yang tidak berani menghadapi kenyataan hidup. Orang yang mencampur ciu dengan minuman lain seperti orang yang plin-plan, tidak punya pendirian. Dan seperti meminum ciu oplosan, orang itu akan lebih cepat mati. Mau kalian cepat mati?” Begitu ceramahnya saat ia melihat pemuda kampung hendak mencampur ciu yang ia berikan dengan minuman lain.

     Dia sangat tahu tentang ciu, dia selalu dermawan bila soal ciu, dia bahkan suka berfilosofi soal ciu. Salah satu kesenangan orang-orang kampung adalah mendengarkan pidato Sartono kala ia sedang mabuk.

    Kowe-kowe kabeh do ngerti ora, ciu kuwi budayane awake dhewe. Jare wong-wong dhuwur sing nang Jakarta kono, (Kalian semua tahu tidak. Ciu itu budaya asli kita. Kata pejabat di Jakarta,) ‘Kita harus menjaga kearifan lokal”. Lha ciu kuwi (Ciu itu) kearifan lokal. Kita harus menjaga kelestarian dan pelestarian ciu, biar tidak digusur oleh asing.” Teriaknya sambil meminum ciu terakhirnya.

    Anak-anak muda itu selalu mengikuti apapun yang dikatakan olehnya. Tidak hanya oleh yang muda, yang tua pun hormat padanya. Orang-orang kampung menyebutnya Komandan Ciu. Tidak banyak orang di kampung yang risih dengan kebiasaan Sartono. Sebagian kecil warga menyebutnya berlebihan. Sebagian kecil lainnya, mengatakan di edan (sinting, gila). Kebanyakan justru melihat kebiasaan itu sebagai kelebihan. Para pemuda tanggung di kampung juga sangat menyukai Sartono. Ia dihormati oleh semua orang, khususnya laki-laki. Bukan apa-apa, karena dia begitu dermawan dan ramah bila sudah soal ciu.

    Watinah istrinya, tidak pernah mempersoalkan kebiasaan suaminya. Watinah hanya memperingatkan, jika ingin minum ciu jangan sampai anak-anak dan belanja sehari-hari terganggu. Itu saja. Sementara beberapa orang yang begitu tidak sepakat dengan kebiasaan minum ciu itu hanya bisa memandang dengan rasa kesal yang dipendam. Semua, kecuali satu orang, Mafhum. Mafhum mendapat panggilan Kyai di kampung ini, Kampung Dolanan. Dia disebut begitu karena dialaha satu-satunya orang yang dianggap paling tahu agama di Kampung itu.
     
    Dia juga yang selalu getol (kira-kira berarti: tidak pernah bosan-bosannya) mengingatkan orang-orang untuk tidak mabuk-mabukan dan minum ciu lagi. Sasaran utamanya adalah Sartono. Dia tahu betul, jika Sartono bisa berubah, maka seluruh orang di kampung ini pasti akan berubah. Secara rutin dia selalu mendatangi rumah Sartono, kala lelaki ini sedang tidak mabuk. Mafhum selalu memperingatkan Sartono dengan segala kemampuannya mengeluarkan ayat dan hadits-hadits yang melarang orang untuk meminum-minuman keras. Sartono selalu manggut-manggut, tapi selalu juga bisa berkelit.  

    “Eh, Hum! Kamu tidak tahu apa-apa soal Ciu. Keahlianmu itu ngaji sama ceramah agama. Urus saja itu. soal ciu sama mabuk biar aku yang urus. Ngerti kamu?”

    “Maaf, Pak. Saya cuma menyampaikan apa yang seharusnya saya sampaikan. Islam melarang seseorang meminum-minuman keras, termasuk ciu. Sebagai muslim, sudah kewajiban kita untuk saling mengingatkan.”

    “Wis, sekarang begini saja. Kamu mengingatkan disini, di rumah saya, supaya saya berhenti minum ciu. Baik, saya akan berhenti. Sebagai gantinya, saya nanti saya akan mengingatkan semua warga. Hari jum’at besok saya khotbah menggantikan kamu di masjid. Saya akan mengingatkan semua orang agar tidak lupa meminum ciu. Bagaimana? Sepakat?”

    “ya, tidak bisa begitu, Pak.”

    “ya sudah, kalau tidak boleh. Berarti kamu pun tidak boleh mengingatkan saya. Paham!” kilah Sartono.

    Kali lain, Mafhum berusaha mengingatkan Sartono dengan ancaman hukuman bagi yang meminum ciu. "Nanti Bapak bisa dipenjara loh." Ungkapnya.

    "Aku sudah puluhan tahun minum ciu, Hum. Belum ada satu orang pun yang menangkap aku. Orang-orang yang seharusnya menangkap aku justru teman minumku semua." tanggap Sartono.

    Begitulah pertemuan Mafhum dan Sartono selalu berakhir. Mafhum selalu kalah kata dari Sartono. Sartono bangga dengan kemampuannya itu. Dia selalu menceritakan ketidakberdayaan Mafhum tersebut kala sedang berkumpul. Orang-orang yang setia menemani Sartono minum selalu antusias mendengarkan cerita-ceritanya mengenai Mafhum. Sartono selalu bisa membuat Mafhum benar-benar menjadi orang yang tolo, lugu, dan terpojokkan di dalam cerita-ceritanya. Upaya keras Mafhum hanya menjadi cemoohan yang membuat orang terpingkal-pingkal saat diceritakan oleh Sartono.

    Alah, Pak Kyai kalian itu anak kemarin sore. Masih seujung kuku, dijentik langsung kabur. Ngerti apa dia soal minuman. Soal ciu apalagi. Ini nih, Sartono. Komandan ciu sak Kampung Dolanan.” Begitu kata Sartono setiap kali mengejek Mafhum didepan para pengikut setianya.

    Mafhum yang mendengar cerita-cerita itu melalui orang lain, justru semakin bersemangat. Rasa penasarannya benar-benar meluap. Tidak berhasil dengan strategi itu, Mafhum mencoba strategi lain. Kali ini, berbekal hasil penelitian ilmiah yang ia baca di internet, dia kembali mendekati Sartono. Sartono masih saja bisa berkelit.

    “Pak Sartono, minuman keras seperti ciu bisa merusak otak.”

    ngasal kamu. Menurutmu otakku sudah rusak ya.”

    “ya, maksud saja tidak seperti itu, Pak. Saya hanya menyampaikan hasil penelitian ilmiah yang sudah teruji.”

    Walah, Hum, Hum. Kamu percaya mana bacaanmu itu atau orang yang kamu liaht sekarang ini. lihat aku baik-baik, Hum. Pakai matamu, bagian mana dari otakku yang sudah rusak?” Kata Sartono sambil menunjuk-nunjukkan keningnya ke arah Mafhum.

    “Ya, saya tidak tahu, Pak.”

    “ya sudah. Kalau tidak tahu, jangan sok tahu,” ejek Sartono.

    Mafhum kehabisan bahan lagi. Dia masih belum ingin menyerah. Tapi dasarnya Mafhum tetaplah lulusan Sarjana Agama. Tidak mampu menyerang Sartono dengan penelitian ilmiah, mau tidak mau dia kembali menggunakan senjata utamanya.

    "Bapak tidak takut sama Allah?"

    "Takutlah, siapa juga yang tidak takut. Sama tentara saja aku takut, apalagi sama Tuhan yang nyiptain aku. Kamu ini gimana tokh? Orang nggak sekolah saja bisa tahu." Sindir Sartono.

    "Kalau bapak takut dengan Allah, kenapa masih mabuk-mabukan?"

    "Memangnya kenapa?"

    "Mabuk-mabukan kan dosa, Pak?"

    "Hum, sedang orang yang dipenjara saja bisa dapat remisi. Allah itu Maha Pengampun. Kau lebih tahulah soal itu. Aku tinggal tobat saja nanti, semua dosaku akan terhapus."

    "Bapak yakin bisa tobat sebelum mati. Kalaupun bapak tobat, yakin dosanya bakal terhapus?"

    "Berarti Allah tidak Maha Pengampun, dong. Kamu ini gimana sih?"

    “Orang-orang yang membuat, menjual, dan meminum minuman keras nanti akan dimasukkan oleh Allah ke dalam neraka loh, Pak.”

    “Ya cocok tokh, buat apa ke surga. Ke surga juga nggak bakal ada yang buat ciu sama yang jual ciu. Enak ke neraka, bisa ketemu sama pembuat ciu terbaik disana. Aku yo bisa minum ciu gratis sampai teler di neraka. Lagian kalau aku masuk neraka, nanti juga pasti dapat remisi kok, iya kan?” tanya Sartono lagi sambil terkekeh. 

    “Neraka itu panas loh, pak Tono.”

    “Kayak apa sih panasnya neraka itu, Eh! Aku sudah terbiasa panas. tahu nggak! Jawa ini panas, ciu ini panas, kerjaanku tiap hari di bawah panas. Sudah biasa, Hum.”

    “Neraka itu ribuan kali lebih panas, Pak”

    Alah, sok tahu kamu,”

    “Bapak tidak takut disiksa?”

    “Hum, sudah kubilang berkali-kali. Aku lebih paham ciu daripada kau. Hidup itu seperti minum ciu, hum. Rasanya nggak enak, tapi buat mabuk. Aku sudah siapkan diri agar siap menghadapi neraka yang kau ceritakan itu.”

    Mafhum tidak bisa berkomentar lagi. Kali ini dia benar-benar menyerah. Gelora untuk menyadarkan Sartono yang kuat masih menyelipkan rasa tidak puas. Tapi dia pun harus mengakui, lelaki ini jauh lebih pintar dari dirinya.

    Mafhum memutuskan untuk pergi ke Kota. Dia hendak menemui beberapa orang yang dulu pernah mendidiknya sewaktu kuliah. Dia sudah benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi. Barangkali dengan berdiskusi dan meminta pencerahan dari orang-orang ini, Mafhum bisa menyusun strategi baru.

    Lepas 2 minggu, Mafhum masih tidak kelihatan akan balik. Ketiadaan Mafhum di Kampung Dolanan menjadi kabar gembira bagi Sartono dan pengikutnya. Baginya, ketiadaan Mafhum adalah masa tenang yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Selama ini tidak pernah dia bisa lari dari ocehan Mafhum selama lebih dari seminggu. Setiap 2 kali dalam seminggu Mafhum pasti menceramahi salah satu dari para peminum di Kampung ini. 2 minggu adalah rekor baru.

    Sartono mengundang orang-orang kampung datang ke rumahnya. Puluhan botol ciu disiapkan di depan rumah. Suasana malam di rumah Sartono seperti orang hajatan. Tenda di didirikan, kursi plastik sengaja ia sewa lengkap dengan organ tunggal dan biduannya. 

    Sartono yang biasanya tidak suka bila pestanya dilengkapi dengan minuman keras lainnya, kali ini memberi kelonggaran. “silahkan, semuanya dikeluarkan. Malam ini ciu boleh berteman dengan anggur merah. Malam ini ciu boleh di-oplos. Kita rayakan kepergian Mafhum. Kita minum sampai pagi. Kita minum sampai mati. Sampai kita nanti ke nerakanya Mafhum!” teriak Sartono disambut sorakan orang-orang yang hadir.

    Mereka menikmati pesta minuman sampai dini hari, sampai semua orang yang hadir bergelimpangan tak berdaya di depan rumah itu. mereka tetap nyenyak berceceran dimana-mana sampai matahari sudah agak tinggi. Saat semua orang bangun, disanalah kegegeran dimulai. Sartono tidak bangun. Denyut nadinya tidak terasa, napasnya sudah tidak ada. Dia sudah tidak bernyawa.

    Sontak keluarga Sartono lansung histeris. Rumah yang riuh gembira tadi malam, berubah jadi riuh tangisan. Warga yang masih disana berusaha menenangkan Watinah dan anak-anaknya. Sartono yang tadinya tergeletak di teras rumah di pindah ke tempat tidur. Dibiarkan.

    “Terus mau diapain lagi ini pak Sartono-nya.” Kata seorang warga.

    “ya, Dikubur, goblok.”

    “yang mau mandikan sama nyolatkan siapa?”

    “Mafhum! Mana Mafhum!?” teriak mereka.

    Loh, Mafhum kan lagi ke kota?”

    Tidak ada satupun orang di kampung yang tahu bagaimana memandikan jenazah. Tidak ada yang bisa menyolatkannya. Biasanya yang memandikan dan men-shalatkan orang yang meninggal adalah Mafhum. Jenazah Sartono yang masih berbau ciu itu dibiarkan hingga malam, saat Sartono kebetulan kembali ke kampung. Beberapa warga lansung menjemput, memintanya untuk mengurus pemandian dan pen-shalatan jenazah Sartono.

    Mafhum mengatakan dia masih kelelahan. Ditunda saja dahulu. Dia istirahat sebentar, nanti baru diurus. Namun, warga terus memaksa.

    Mafhum kemudian menggeleng, “Mandikan saja dia dengan ciu, terus lansung dikubur. Nanti biar neraka mudah mengenali bau tubuhnya.” Katanya dengan santai. Mafhum kemudian dengan sopan mempersilahkan warga untuk kembali, karena ia hendak beristirahat. 

    Entah mendapat pencerahan apa Mafhum di Kota, yang jelas kali ini tidak ada satupun warga yang bisa menanggapi lagi. Warga yang mendengar itu mangkel (mangkel, seperti mengeja kata apel: rasa kesal yang dipendam), tapi mereka tidak bisa berkata apa-apa. Tidak berhasil mengajak Mafhum, mereka akhirnya pulang. Memikirkan bagaimana caranya Sartono harus dikubur dengan layak.



  2. 0 comments:

    Post a Comment