Rss Feed
  1. Memilki Kehilangan (Pt. 4)

    Saturday, December 14, 2013

    Perlunya Kehilangan
    Kawan, lebih dari 2,5 bulan yang lalu aku membiarkan bagian akhir dari tulisan ini tidak rampung. Rampung? Apa ada yang rampung soal kehilangan? Aku bahkan tidak yakin apakah rasa kehilangan dan kehilangan sendiri akan pernah berakhir. Aku bahkan belum yakin tulisan ini akan selesai dimana. Barangkali disini atau dilain hari.


    Semua yang makhluk akan hilang. Jika tidak, kita tidak perlu buku sejarah dan catatan harian. Kehilangan itu juga begitu pencemburu. Dia enggan melihat perubahan. ‘Sejarah pasti berulang’, kata orang. Mungkin saja, itu karena kehilangan selalu campur tangan. ‘Pengulangan’ sejarah menunjukkan bahwa waktu demi waktu berbagai hal menghilang, lalu mencari wujudnya kembali. Hal semacam itu terjadi berulang kali pada individu, kelompok, bangsa, bahkan manusia secara keseluruhan.

    Kehilangan seperti air yang mampu menjadi apa saja diwaktu apa saja. Ia selalu mampu menjadi wujud baru sesuai dengan kondisi penderitanya, penderita kehilangan. Pengalihan hanyalah membekukannya sementara hingga musim kemarau tiba lagi, lalu dia siap-siap memenuhi ruang pikiran dengan segala sampah masa lalu yang tidak pernah bisa dibersihkan. Kadang kehilangan seperti banjir Jakarta, datang dan selalu datang lagi.

    Hilangnya sesuatu bukan berarti lenyap sama sekali. Itu seperti kematian seseorang. Ruhnya masih bergentayangan selama ia masih tercatat dan diingat sejarah. Ruh yang telah kehilangan raga itu muncul kembali dalam ritual simbolik seperti arak-arakan peringatan kematian Yesus atau Karbala. Ruh itu selalu dipanggil lagi melalui peringatan-peringatan. Kita memperingati hari kemerdekaan, kita memperingati hari kelahiran, kita memperingati hari kematian, kita memperingati apa saja yang penting yang tidak akan pernah hadir lagi saat ini. Barangkali sudah fitrahnya kita begitu terikat dengan kehilangan dan peringatan. Kita menginginkan-menangkap, merasakan kembali, mewujudkan dalam tindakan-seluruh emosi yang pernah terjadi pada sesuatu atau peristiwa penting itu. Bila pun dia tidak tercatat dan diingat, ruh itu mungkin mencari jalan masuknya melalui apa yang disebut Carl Jung sebagai ketidaksadaran kolektif. Barangkali saja ia sedang berseliweran di jalur nadi atau tercetak di gen. Mungkin saja, aku juga tidak tahu.

    Atau bahkan ia harus diberi raga dan jubah baru seperti keinginan para pendukung Khilafah atau pionir puisi Arab baru awal abad ke-20. Itu hanya contoh, setahuku Eropa pun mirip-mirip pula. Mereka menghidupkan kembali semangat Yunani sebelum masehi setengah milenium lalu. Itu makanya namanya adalah Renaisans, kelahiran kembali.

    Apa yang hilang diwujudkan kembali oleh orang-orang yang kerap disebut dengan revivalis (istilah lain yang serupa adalah fundamentalis, konservatis, konservasionis). Mereka adalah orang-orang yang ingin menghidupkan kembali semangat masa lalu dan membuat masa lalu itu hadir kembali dalam wujud nyata. Ringkasnya, para revivalis ingin masa kini dan masa depan menjadi masa lalu. Seperti ledekan seorang seniorku,”Mereka ingin kita kembali ke zaman onta.”

    Aku tidak seekstrem itu memandang mereka, walau aku masih tidak mau berada di sisi mereka. Tokh, aku juga termasuk orang yang susah “move on” dalam hal-hal tertentu. Aku pun kehilangan seperti mereka. Biang keladinya adalah ingatan. Lebih tepatnya ingatan yang ‘menipu’. Menipu karena ia sebenarnya kerja imajinasi yang membuat hasil pembacaan terhadap sejarah begitu jelas di pikiran. Lalu gambaran itu memicu kesan-kesan dan emosi-emosi yang kuat, seolah-olah aku benar-benar mengalaminya. Seolah-olah ia menjadi ingatan yang nyata.

    Beruntunglah orang-orang yang tidak mampu mengingat. Mereka tidak punya beban sekaligus mudah dikendalikan. Sementara orang dibebankan oleh ingatan, harus siap tertekan karena rasa kehilangan itu lama-lama bermutasi menjadi mimpi. Jika sudah begitu, mereka kerap menjadi reaksioner, walau tidak selalu.

    Revivalis barangkali seperti menemukan ruh pahlawan masa lalu yang disegel dalam kuburan keramat. Mereka menemukan jawaban atas keputusasaan jaman. Bagiku itu sah-sah saja. Selama ia tidak merusak, ia adalah kemungkinan. Selama mereka tidak seperti bayi marah kehilangan puting ibu, aku tidak pernah akan melawannya. Ruh pun sangat rentan, karena ia mudah aus tergesek oleh waktu. Bagiku, tidak ada yang benar-benar bisa dikembalikan secara utuh, bahkan ruhnya sekalipun.

    Bagi sebagian orang, kehilangan adalah sebuah bentuk penderitaan yang harus dilenyapkan. Bagiku tidak. Dia tidak pernah bisa dihindari. Penderitaan mungkin saja harus dialami, agar kita tahu betul bagaimana rasanya bahagia. Bukankah begitu prinsip oposisi biner? Aku tidak terlalu sepakat dengan itu, tapi menurutku kita perlu kehilangan itu, di satu sisi. Kita perlu kehilangan agar kita bisa memperingati. Bagi sebagian peringatan kehilangan seperti mengawetkan mayat, bagi yang lain seperti membebaskan ruh.

    Kehilangan itu memicu gerakan, walau pada sebagian orang justru menimbulkan keterpurukan. Sebagian orang mencari pengalihan berusaha menghapusnya (inilah yang kita sebut dengan modernisasi). Sebagian orang berusaha menghidupkan kembali. Sementara ini aku memilih berada di tengah-tengahnya. Ia akan selalu ikut serta, dibiarkan seperti kucing peliharaan dalam rumah. Kadang-kadang ia menganggu, membuat kekinianku cemburu. Tapi ia adalah bagian kepribadianku yang tidak mungkin hilang begitu saja.


    Maka, aku seperti orang tua yang kehilangan anak perempuannya dinikahi lelaki lain lalu ingin punya anak lagi. Siap tidak siap ia akan pergi. Anak yang pergi tetaplah anak, begitu juga anak yang baru. Anak yang pergi tetap dikasihi, anak yang baru pun begitu. Tidak ada pilih kasih, walau tidak pernah sama lagi.

  2. 0 comments:

    Post a Comment