Perlunya
Kehilangan
Kawan, lebih dari 2,5 bulan yang lalu aku membiarkan bagian
akhir dari tulisan ini tidak rampung. Rampung? Apa ada yang rampung soal
kehilangan? Aku bahkan tidak yakin apakah rasa kehilangan dan kehilangan
sendiri akan pernah berakhir. Aku bahkan belum yakin tulisan ini akan selesai
dimana. Barangkali disini atau dilain hari.
Semua yang makhluk akan hilang. Jika tidak, kita tidak perlu
buku sejarah dan catatan harian. Kehilangan itu juga begitu pencemburu. Dia enggan
melihat perubahan. ‘Sejarah pasti berulang’, kata orang. Mungkin saja, itu
karena kehilangan selalu campur tangan. ‘Pengulangan’ sejarah menunjukkan bahwa
waktu demi waktu berbagai hal menghilang, lalu mencari wujudnya kembali. Hal
semacam itu terjadi berulang kali pada individu, kelompok, bangsa, bahkan
manusia secara keseluruhan.
Kehilangan seperti air yang mampu menjadi apa saja diwaktu
apa saja. Ia selalu mampu menjadi wujud baru sesuai dengan kondisi
penderitanya, penderita kehilangan. Pengalihan hanyalah membekukannya sementara
hingga musim kemarau tiba lagi, lalu dia siap-siap memenuhi ruang pikiran
dengan segala sampah masa lalu yang tidak pernah bisa dibersihkan. Kadang kehilangan
seperti banjir Jakarta, datang dan selalu datang lagi.
Hilangnya sesuatu bukan berarti lenyap sama sekali. Itu seperti
kematian seseorang. Ruhnya masih bergentayangan selama ia masih tercatat dan
diingat sejarah. Ruh yang telah kehilangan raga itu muncul kembali dalam ritual
simbolik seperti arak-arakan peringatan kematian Yesus atau Karbala. Ruh itu
selalu dipanggil lagi melalui peringatan-peringatan. Kita memperingati hari kemerdekaan,
kita memperingati hari kelahiran, kita memperingati hari kematian, kita
memperingati apa saja yang penting yang tidak akan pernah hadir lagi saat ini.
Barangkali sudah fitrahnya kita begitu terikat dengan kehilangan dan
peringatan. Kita menginginkan-menangkap, merasakan kembali, mewujudkan dalam
tindakan-seluruh emosi yang pernah terjadi pada sesuatu atau peristiwa penting
itu. Bila pun dia tidak tercatat dan diingat, ruh itu mungkin mencari jalan
masuknya melalui apa yang disebut Carl Jung sebagai ketidaksadaran kolektif. Barangkali
saja ia sedang berseliweran di jalur nadi atau tercetak di gen. Mungkin saja,
aku juga tidak tahu.
Atau bahkan ia harus diberi raga dan jubah baru seperti keinginan
para pendukung Khilafah atau pionir puisi Arab baru awal abad ke-20. Itu hanya
contoh, setahuku Eropa pun mirip-mirip pula. Mereka menghidupkan kembali
semangat Yunani sebelum masehi setengah milenium lalu. Itu makanya namanya
adalah Renaisans, kelahiran kembali.
Apa yang hilang diwujudkan kembali oleh orang-orang yang
kerap disebut dengan revivalis (istilah lain yang serupa adalah fundamentalis,
konservatis, konservasionis). Mereka adalah orang-orang yang ingin menghidupkan
kembali semangat masa lalu dan membuat masa lalu itu hadir kembali dalam wujud
nyata. Ringkasnya, para revivalis ingin masa kini dan masa depan menjadi masa
lalu. Seperti ledekan seorang seniorku,”Mereka ingin kita kembali ke zaman
onta.”
Aku tidak seekstrem itu memandang mereka, walau aku masih
tidak mau berada di sisi mereka. Tokh, aku juga termasuk orang yang susah “move
on” dalam hal-hal tertentu. Aku pun kehilangan seperti mereka. Biang
keladinya adalah ingatan. Lebih tepatnya ingatan yang ‘menipu’. Menipu karena
ia sebenarnya kerja imajinasi yang membuat hasil pembacaan terhadap sejarah
begitu jelas di pikiran. Lalu gambaran itu memicu kesan-kesan dan emosi-emosi
yang kuat, seolah-olah aku benar-benar mengalaminya. Seolah-olah ia menjadi
ingatan yang nyata.
Beruntunglah orang-orang yang tidak mampu mengingat. Mereka tidak
punya beban sekaligus mudah dikendalikan. Sementara orang dibebankan oleh
ingatan, harus siap tertekan karena rasa kehilangan itu lama-lama bermutasi
menjadi mimpi. Jika sudah begitu, mereka kerap menjadi reaksioner, walau tidak
selalu.
Revivalis barangkali seperti menemukan ruh pahlawan masa
lalu yang disegel dalam kuburan keramat. Mereka menemukan jawaban atas
keputusasaan jaman. Bagiku itu sah-sah saja. Selama ia tidak merusak, ia adalah
kemungkinan. Selama mereka tidak seperti bayi marah kehilangan puting ibu, aku
tidak pernah akan melawannya. Ruh pun sangat rentan, karena ia mudah aus
tergesek oleh waktu. Bagiku, tidak ada yang benar-benar bisa dikembalikan
secara utuh, bahkan ruhnya sekalipun.
Bagi sebagian orang, kehilangan adalah sebuah bentuk
penderitaan yang harus dilenyapkan. Bagiku tidak. Dia tidak pernah bisa
dihindari. Penderitaan mungkin saja harus dialami, agar kita tahu betul
bagaimana rasanya bahagia. Bukankah begitu prinsip oposisi biner? Aku tidak
terlalu sepakat dengan itu, tapi menurutku kita perlu kehilangan itu, di satu
sisi. Kita perlu kehilangan agar kita bisa memperingati. Bagi sebagian
peringatan kehilangan seperti mengawetkan mayat, bagi yang lain seperti
membebaskan ruh.
Kehilangan itu memicu gerakan, walau pada sebagian orang
justru menimbulkan keterpurukan. Sebagian orang mencari pengalihan berusaha
menghapusnya (inilah yang kita sebut dengan modernisasi). Sebagian orang berusaha
menghidupkan kembali. Sementara ini aku memilih berada di tengah-tengahnya. Ia akan
selalu ikut serta, dibiarkan seperti kucing peliharaan dalam rumah. Kadang-kadang
ia menganggu, membuat kekinianku cemburu. Tapi ia adalah bagian kepribadianku
yang tidak mungkin hilang begitu saja.
Maka, aku seperti orang tua yang kehilangan anak perempuannya
dinikahi lelaki lain lalu ingin punya anak lagi. Siap tidak siap ia akan pergi.
Anak yang pergi tetaplah anak, begitu juga anak yang baru. Anak yang pergi
tetap dikasihi, anak yang baru pun begitu. Tidak ada pilih kasih, walau tidak
pernah sama lagi.
0 comments:
Post a Comment