Minggu gagal lainnya.
Sebagaimana telah saya janjikan di pertemuan ke-4, anak-anak
saya ajak bermain. Rencananya, permainan hari ini bertujuan membangun kerja
sama sekaligus kesabaran mereka. Setelah searching di internet, ada
beberapa permainan yang saya kira cocok dicoba: snake, human knot, traffic
jam.
Ada satu syarat yang saya berlakukan dalam memilih
permainan. Permainan tersebut ‘memaksa’ semua orang berpartisipasi dan tidak
akan selesai bila ada yang keluar dari permainan. Ketiga permainan di atas
sesuai dengan kriteria saya.
Mendekati hari H, saya terkendala alat bantu permainan
sehingga snake yang urungkan. Untuk memainkan permainan yang secara
harfiah berarti ‘ular’ ini, setidaknya dibutuhkan penutup mata sesuai jumlah
peserta. Nanti peserta akan dikelompokkan dengan berbaris memanjang ke
belakang. Setiap anak memegang bahu orang di depannya, kecuali yang paling
depan. Setiap anak mengenakan penutup mata, kecuali yang paling belakang.
Peserta paling belakang atau ekor harus mengarahkan peserta paling depan atau
kepala menuju tempat tertentu melalui instruksi yang diberikan bersambung.
Jadi, mirip permainan yang disebut komunikata. Bedanya, instruksi tidak boleh
menggunakan kata-kata. Selain ketiadaan penutup mata, saya mempertimbangkan
permainan ini cukup sulit mereka lakukan.
Berarti tinggal dua permainan yang saya siapkan. Hari Ahad,
sekitar jam empat sore. Tepat setelah shalat ‘Ashar (waktu itu, Ashar sekitar
pukul 15.50, sekitar setangah jam-an lebih lama dari Yogyakarta), saya melaju
ke Darul Aitam. Sampai di sana saya masih harus menunggu anak-anak kumpul dulu.
Intermezo: Tanpa diduga saya bertemu seorang teman SMA yang
dulu pernah saya ajak pacaran. Kala itu dia menolak saya dan saya tidak merespon
apapun. Setelah itu saya baru tahu, rupanya dia berharap lebih gigih
memperjuangkan dia. Sekarang, dia sudah jadi akhwat, hehe...
Kelamaan menunggu, saya langsung ajak anak-anak ke lapangan.
Awalnya saya ingin bermain human knot atau simpul manusia terlebih
dahulu. Jumlah anak-anak masih belum cukup. Saya mulai dulu permainan traffic
jam-nya. Saya membuat sebelas kotak lalu meminta anak-anak masuk ke
dalamnya. Sebagian di sisi kanan saya, sebagian di sisi kiri, dengan satu kotak
kosong tersisa di antara kedua sisi. Tugasnya, anak-anak di bagian kiri harus
berpindah ke kanan dan sebaliknya. Dengan aturan, setiap orang hanya boleh
melewati satu kotak dalam satu waktu; boleh melewati satu orang dari kelompok
berlawanan, hanya satu; tidak boleh mundur.
Entah instruksi saya tidak jelas atau terlalu sulit,
anak-anak ternyata tidak paham dengan aturan permainannya. Sejalan waktu
sebenarnya beberapa mulai paham, jadi saya lanjutkan saja. Tiba-tiba Raihan
keluar dari permainan, ngambek. Dia termasuk yang belum paham dengan instruksi
permainan saya. Kalau satu orang keluar, jelas permainan kacau.
Saya coba ulangi permainan dengan mengurangi satu kotak.
Belum lama Qori datang dengan es teh di tangannya. Anak-anak langsung meminta
di masuk ke dalam permainan, tapi dia malah menganggu anak-anak dengan
mencipratkan air minumnya ke orang. Ia lubangi sedotan es teh tersebut, lalu
dengan cara tertentu ia jentikkan jarinya ke sedotan sehingga air terciprat ke
udara. Bahkan saya jadi korban juga.
Kedatangan Qori semakin mengacaukan permainan. Saya bingung,
haha. Ada beberapa situasi yang harus saya atasi. Raihan keluar menimbulkan
kebingungan pertama. Bagaimana menyuruh dia masuk ke dalam permainan lagi.
Permainan kacau, kebingungan kedua. Bagaimana mengondisikan ulang anak-anak.
Qori menganggu, kebingungan ketiga. Bagaimana menegur perilakunya. Anak-anak
merasa terganggu dengan kedatangan Qori, kebingungan keempat. Bagaimana
meredakan kekesalan mereka. Di tengah semua kebingungan tersebut, saya putuskan
permainan berhenti. Situasi ini sudah di luar kendali saya.
Anak-anak kemudian saya ajak ke salah satu saung di sana.
Rencana permainan saya batalkan. Saya tidak mempersiapkan materi apapun, jadi
ngobrol saja, sambil sesekali menyinggung soal-soal sejarah Islam.
Jujur, barangkali saya tidak tegas. Sejak pertemuan kedua,
saya tidak ketat terhadap mereka. Saya terlalu toleran dengan perilaku-perilaku
mereka. Sikap anak-anak terhadap saya tidak seperti ini pada pertemuan pertama.
Mereka terkesan kooperatif. Barangkali karena intuisi mereka mengatakan saya
tidak akan marah-marah atau melarang-larang, mereka mulai bertindak sesuai
kemauan.
Tidak masalah. Saya sedang berusaha memahami cara
berpikir-bersikap-bertindak mereka. Masing-masing anak punya cara sendiri
menolak ajakan saya. Si Syams misalnya, saat dia merasa permainan terlalu
memalukan, dia bilang ‘eh, apalah ini’, lalu tidak mau ikut berpartisipasi.
Kata yang disampaikan oleh Raihan serupa, tapi menurut saya bukan karena malu.
Dia tidak paham, dan menyerah. Ifa juga malu berpartisipasi, tapi tidak mau
berkomentar apapun. Hanya diam di tempat.
Ifa, satu anak yang sedang saya awasi betul. Seperti saya bilang sebelumnya, sepertinya Ifa lebih tua dari anak-anak lainnya. Tapi itu justru tidak membuatnya superior. Sebaliknya, dia justru terlihat inferior oleh saya. Sepertinya, dia juga sering di-bully oleh anak-anak di bawahnya. Dia selalu menyendiri. Kalau diajak mengobrol saat saya sedang bersama yang lain, dia memilih berdiam.
Memang tidak semuanya kurang kooperatif seperti Raihan,
Syams, atau Ifa. Anak-anak lain lebih terbuka dan bisa diajak kerja sama.
Sebenarnya setiap anak berpotensi menjadi kurang kooperatif dalam situasi
tertentu. Misalnya, dua minggu sebelumnya Dina yang kurang kooperatif dan dua
minggu setelahnya sudah tidak, Syams dua minggu terakhir, Ifa pun pada situasi
tertentu saja. Yang sedang saya usahakan adalah bagaimana agar baik anak-anak
yang kurang kooperatif maupun yang kooperatif sama-sama diperhatikan tanpa
mengabaikan salah satunya. Dan saya perlu memahami dalam situasi apa pertemuan
bisa maksimal dan tidak maksimal. Apalagi, satu pelajaran baru bagi saya,
mood/suasana hati anak-anak mudah berubah.
Sejauh pengamatan saya, karakter anak-anak jauh lebih
beragam dibandingkan mahasiswa. Barangkali karena penanaman nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat belum mengakar pada mereka. Kalau mahasiswa, selalu ada
hal-hal homogen yang membuat saya lebih mudah memancing pembicaraan dan
menyatukan mereka.
Atau saya yang belum paham dengan dunia anak-anak seumuran
10-12 tahun. Saya kira ada hal-hal homogen juga pada mereka. Sepertinya, saya
juga masih belum tahu bagaimana cara berkomunikasi dengan mereka. Cara
berkomunikasi, saya kira ini faktor penting. Cara berkomunikasi menyiratkan
kemestipahaman terhadap struktur bahasa-pikiran mereka. Sekalipun misalnya,
permainan adalah hal menyenangkan, kalau tidak dikomunikasikan secara efektif
tetap saja akan sia-sia.
Hal lain yang sudah saya sadari sejak pertemuan kedua, tidak
adanya aturan yang disepakati bersama. Adanya aturan bersama, selalu berhasil
pada mahasiswa, sehingga pertemuan lebih terkendali. Bila dengan anak-anak,
bagaimana cara menentukan aturan bersama ini?
Entah bagaimana, saya yakin akan menemukan solusinya seiring
waktu. Saya cukup yakin bisa mengajak mereka berpikir reflektif mengenai
dirinya sendiri, tapi tidak dengan cara yang sering saya lakukan pada
mahasiswa. Saya cukup yakin saya bisa memfasilitasi sebuah proses agar mereka
dengan keinginannya sendiri berubah.
Seyakin-yakinnya saya dengan semua yang baru disebutkan,
tetap ada kemungkinan lain. Bisa saja tahap perkembangan mental mereka belum
memungkinkan mereka menjadi reflektif. Artinya, dominasi saya diperlukan dalam
pengarahan. Bisa jadi ada faktor-faktor lain yang saya belum tahu.
Kalau semua ini bisa saya pahami, mudah-mudahan saya bisa
menemukan cara lebih efektif berdialog dengan mereka. Dengan begitu saya
berharap bisa mengajar akhlak tanpa harus mendikte.
* Ada anak baru namanya Ridho, saya belum sempat ngobrol
dengannya. Ulfa dan Ifan sudah dua pertemuan tidak kelihatan, padahal saya mau
ajari baca.
Pinggir, 15 Februari
2015
0 comments:
Post a Comment