Rss Feed
  1. Kala si Raihan Tidak Mau Bermain

    Monday, February 23, 2015


    Minggu gagal lainnya.

    Sebagaimana telah saya janjikan di pertemuan ke-4, anak-anak saya ajak bermain. Rencananya, permainan hari ini bertujuan membangun kerja sama sekaligus kesabaran mereka. Setelah searching di internet, ada beberapa permainan yang saya kira cocok dicoba: snake, human knot, traffic jam.

    Ada satu syarat yang saya berlakukan dalam memilih permainan. Permainan tersebut ‘memaksa’ semua orang berpartisipasi dan tidak akan selesai bila ada yang keluar dari permainan. Ketiga permainan di atas sesuai dengan kriteria saya.


    Mendekati hari H, saya terkendala alat bantu permainan sehingga snake yang urungkan. Untuk memainkan permainan yang secara harfiah berarti ‘ular’ ini, setidaknya dibutuhkan penutup mata sesuai jumlah peserta. Nanti peserta akan dikelompokkan dengan berbaris memanjang ke belakang. Setiap anak memegang bahu orang di depannya, kecuali yang paling depan. Setiap anak mengenakan penutup mata, kecuali yang paling belakang. Peserta paling belakang atau ekor harus mengarahkan peserta paling depan atau kepala menuju tempat tertentu melalui instruksi yang diberikan bersambung. Jadi, mirip permainan yang disebut komunikata. Bedanya, instruksi tidak boleh menggunakan kata-kata. Selain ketiadaan penutup mata, saya mempertimbangkan permainan ini cukup sulit mereka lakukan.

    Berarti tinggal dua permainan yang saya siapkan. Hari Ahad, sekitar jam empat sore. Tepat setelah shalat ‘Ashar (waktu itu, Ashar sekitar pukul 15.50, sekitar setangah jam-an lebih lama dari Yogyakarta), saya melaju ke Darul Aitam. Sampai di sana saya masih harus menunggu anak-anak kumpul dulu.

    Intermezo: Tanpa diduga saya bertemu seorang teman SMA yang dulu pernah saya ajak pacaran. Kala itu dia menolak saya dan saya tidak merespon apapun. Setelah itu saya baru tahu, rupanya dia berharap lebih gigih memperjuangkan dia. Sekarang, dia sudah jadi akhwat, hehe...

    Kelamaan menunggu, saya langsung ajak anak-anak ke lapangan. Awalnya saya ingin bermain human knot atau simpul manusia terlebih dahulu. Jumlah anak-anak masih belum cukup. Saya mulai dulu permainan traffic jam-nya. Saya membuat sebelas kotak lalu meminta anak-anak masuk ke dalamnya. Sebagian di sisi kanan saya, sebagian di sisi kiri, dengan satu kotak kosong tersisa di antara kedua sisi. Tugasnya, anak-anak di bagian kiri harus berpindah ke kanan dan sebaliknya. Dengan aturan, setiap orang hanya boleh melewati satu kotak dalam satu waktu; boleh melewati satu orang dari kelompok berlawanan, hanya satu; tidak boleh mundur.

    Entah instruksi saya tidak jelas atau terlalu sulit, anak-anak ternyata tidak paham dengan aturan permainannya. Sejalan waktu sebenarnya beberapa mulai paham, jadi saya lanjutkan saja. Tiba-tiba Raihan keluar dari permainan, ngambek. Dia termasuk yang belum paham dengan instruksi permainan saya. Kalau satu orang keluar, jelas permainan kacau.

    Saya coba ulangi permainan dengan mengurangi satu kotak. Belum lama Qori datang dengan es teh di tangannya. Anak-anak langsung meminta di masuk ke dalam permainan, tapi dia malah menganggu anak-anak dengan mencipratkan air minumnya ke orang. Ia lubangi sedotan es teh tersebut, lalu dengan cara tertentu ia jentikkan jarinya ke sedotan sehingga air terciprat ke udara. Bahkan saya jadi korban juga.

    Kedatangan Qori semakin mengacaukan permainan. Saya bingung, haha. Ada beberapa situasi yang harus saya atasi. Raihan keluar menimbulkan kebingungan pertama. Bagaimana menyuruh dia masuk ke dalam permainan lagi. Permainan kacau, kebingungan kedua. Bagaimana mengondisikan ulang anak-anak. Qori menganggu, kebingungan ketiga. Bagaimana menegur perilakunya. Anak-anak merasa terganggu dengan kedatangan Qori, kebingungan keempat. Bagaimana meredakan kekesalan mereka. Di tengah semua kebingungan tersebut, saya putuskan permainan berhenti. Situasi ini sudah di luar kendali saya.

    Anak-anak kemudian saya ajak ke salah satu saung di sana. Rencana permainan saya batalkan. Saya tidak mempersiapkan materi apapun, jadi ngobrol saja, sambil sesekali menyinggung soal-soal sejarah Islam.

    Jujur, barangkali saya tidak tegas. Sejak pertemuan kedua, saya tidak ketat terhadap mereka. Saya terlalu toleran dengan perilaku-perilaku mereka. Sikap anak-anak terhadap saya tidak seperti ini pada pertemuan pertama. Mereka terkesan kooperatif. Barangkali karena intuisi mereka mengatakan saya tidak akan marah-marah atau melarang-larang, mereka mulai bertindak sesuai kemauan.

    Tidak masalah. Saya sedang berusaha memahami cara berpikir-bersikap-bertindak mereka. Masing-masing anak punya cara sendiri menolak ajakan saya. Si Syams misalnya, saat dia merasa permainan terlalu memalukan, dia bilang ‘eh, apalah ini’, lalu tidak mau ikut berpartisipasi. Kata yang disampaikan oleh Raihan serupa, tapi menurut saya bukan karena malu. Dia tidak paham, dan menyerah. Ifa juga malu berpartisipasi, tapi tidak mau berkomentar apapun. Hanya diam di tempat.

    Ifa, satu anak yang sedang saya awasi betul. Seperti saya bilang sebelumnya, sepertinya Ifa lebih tua dari anak-anak lainnya. Tapi itu justru tidak membuatnya superior. Sebaliknya, dia justru terlihat inferior oleh saya. Sepertinya, dia juga sering di-bully oleh anak-anak di bawahnya. Dia selalu menyendiri. Kalau diajak mengobrol saat saya sedang bersama yang lain, dia memilih berdiam.

    Memang tidak semuanya kurang kooperatif seperti Raihan, Syams, atau Ifa. Anak-anak lain lebih terbuka dan bisa diajak kerja sama. Sebenarnya setiap anak berpotensi menjadi kurang kooperatif dalam situasi tertentu. Misalnya, dua minggu sebelumnya Dina yang kurang kooperatif dan dua minggu setelahnya sudah tidak, Syams dua minggu terakhir, Ifa pun pada situasi tertentu saja. Yang sedang saya usahakan adalah bagaimana agar baik anak-anak yang kurang kooperatif maupun yang kooperatif sama-sama diperhatikan tanpa mengabaikan salah satunya. Dan saya perlu memahami dalam situasi apa pertemuan bisa maksimal dan tidak maksimal. Apalagi, satu pelajaran baru bagi saya, mood/suasana hati anak-anak mudah berubah.

    Sejauh pengamatan saya, karakter anak-anak jauh lebih beragam dibandingkan mahasiswa. Barangkali karena penanaman nilai-nilai yang berlaku di masyarakat belum mengakar pada mereka. Kalau mahasiswa, selalu ada hal-hal homogen yang membuat saya lebih mudah memancing pembicaraan dan menyatukan mereka.

    Atau saya yang belum paham dengan dunia anak-anak seumuran 10-12 tahun. Saya kira ada hal-hal homogen juga pada mereka. Sepertinya, saya juga masih belum tahu bagaimana cara berkomunikasi dengan mereka. Cara berkomunikasi, saya kira ini faktor penting. Cara berkomunikasi menyiratkan kemestipahaman terhadap struktur bahasa-pikiran mereka. Sekalipun misalnya, permainan adalah hal menyenangkan, kalau tidak dikomunikasikan secara efektif tetap saja akan sia-sia.

    Hal lain yang sudah saya sadari sejak pertemuan kedua, tidak adanya aturan yang disepakati bersama. Adanya aturan bersama, selalu berhasil pada mahasiswa, sehingga pertemuan lebih terkendali. Bila dengan anak-anak, bagaimana cara menentukan aturan bersama ini?

    Entah bagaimana, saya yakin akan menemukan solusinya seiring waktu. Saya cukup yakin bisa mengajak mereka berpikir reflektif mengenai dirinya sendiri, tapi tidak dengan cara yang sering saya lakukan pada mahasiswa. Saya cukup yakin saya bisa memfasilitasi sebuah proses agar mereka dengan keinginannya sendiri berubah.

    Seyakin-yakinnya saya dengan semua yang baru disebutkan, tetap ada kemungkinan lain. Bisa saja tahap perkembangan mental mereka belum memungkinkan mereka menjadi reflektif. Artinya, dominasi saya diperlukan dalam pengarahan. Bisa jadi ada faktor-faktor lain yang saya belum tahu.

    Kalau semua ini bisa saya pahami, mudah-mudahan saya bisa menemukan cara lebih efektif berdialog dengan mereka. Dengan begitu saya berharap bisa mengajar akhlak tanpa harus mendikte.

    * Ada anak baru namanya Ridho, saya belum sempat ngobrol dengannya. Ulfa dan Ifan sudah dua pertemuan tidak kelihatan, padahal saya mau ajari baca.

    Pinggir, 15 Februari 2015



  2. 0 comments:

    Post a Comment