Ahad ini sebenarnya saya tidak ingin berangkat. Tapi tidak
enak juga rasanya. Seperti merindukan seseorang, tidak ingin bertemu tapi kalau
tidak bertemu rasanya seperti kehilangan sesuatu, he...bagaimanapun beruntung
saya berangkat. Ada kemajuan baru dalam pemahaman saya atas anak-anak.
Tanpa persiapan apa-apa saya berangkat. Sampai di sana,
Masjid tempat Kami biasa berkumpul kosong. Saya menunggu sekitar seperempat jam
sampai anak-anak datang setelah dipanggil oleh pembina mereka.
Karena masjid dipakai oleh pertemuan lain, Kami pindah ke
saung. Saya membuka netbook, bersiap dengan rencana spontan, menonton film. Beberapa
anak di bawah kelas 3 SD ikut nimbrung. Terjadi pertengkaran kecil antara Putri, binaan saya, dengan dua orang anak tersebut. Beberapa anak binaan saya juga
ikut nimbrung, memerintahkan kedua anak pergi dari saung, hingga salah satunya
menangis. Saya bilang tidak apa-apa. Tapi suasana tidak juga reda.
Seorang anak lain yang lebih besar datang membantu saya
mengendalikan keadaan. Namanya M. Syu’aib, saya kenal nama itu setelah sempat
berbincang sesaat setelah pertemuan selesai. Syu’aib meminta anak-anak selain
binaan saya keluar dari saung.
Setelah lebih terkendali, saya melihat Fahri di tengah
anak-anak. Dia baru saja minta ijin potong rambut ke saya. Saya telah
mengijinkan. Rupanya, ibu pembinanya meminta ia ikut pertemuan dulu. Saya
batalkan rencana menonton film, sebab akan lama dan akhirnya Fahri tidak akan
pergi potong rambut. Saya bilang, menonton filmnya minggu depan saja.
Anak-anak setuju. Jadilah saya kembali ke model biasa, duduk
melingkar membicarakan sebuah topik. Saya ajak anak-anak mendiskusikan musyawarah.
Saya memang telah berencana membahas topik ini dengan arah praktis nantinya. Saya
ingin mendiskusikan ulang beberapa hal terkait pertemuan, sehingga ke depannya
bisa lebih terarah karena ada kesepahaman dan aturan bersama.
Beberapa pertanyaan yang saya ajukan sebagai berikut:
- Pernah dengar istilah musyawarah
- Apa itu musyawarah
- Apa contoh musyawarah
- Apa saya yang ada di dalam musyawarah
- Apa yang membedakan musyawarah dengan yang lain
Semua anak mengenal musyawarah. Dulu pernah belajar kata
mereka, tapi lupa. Saat saya minta mereka mencontohkan, hanya satu dari sekian
contoh mereka termasuk dalam kategori musyawarah: briefing. Ada beberapa
contoh lain mengarah ke sana, misalnya seorang anak mengatakan,”saat kita
mengadakan sebuah acara.” Jika yang mengatakan itu mahasiswa, saya akan mudah
menggiringnya pada pernyataan yang lebih tepat dengan pertanyaan yang tepat. Tapi,
menghadapi komentar itu, saya malah bingung.
Seperti biasa, anak-anak mulai kehilangan konsentrasi
memasuki sekitar 15-20 menit pertemuan. Hah! Mereka terlalu mudah kehilangan
konsentrasi. Beberapa sibuk sendiri. Sedikit saja mereka teralihkan, mereka
akan seterusnya teralihkan. Tentu saja saya kebingungan, sekalipun kali ini
saya bisa lebih cepat mengembalikan mereka ke topik. Tidak dengan cara kreatif
sih, hanya mengatakan, “Ayo, kita fokus dulu.”
Mereka bisa mengendalikan diri. Tetap saja, sudah tidak
sekondusif di awal. Di luar saung juga sedang ada gotong royong dan suara bising
mesin pemotong rumput. Suara saya lenyap dikalahkan suara mesin tersebut. Segera
saja saya akhir pertemuan.
Setelah membaca doa kafarat-ul majlis dan salam. Anak
laki-laki segera keluar. Sementara anak perempuan mendekati saya. Ana menagih
pena berwarna yang minggu lalu saya janjikan kepadanya. Saya pun berikan. Putri
juga minta satu. Dia ambil pena berwarna hijau. Riza datang,”Eee, Kakak, saya
mau pena yang warna hijau.” Putri juga ingin pena berwarna hijau. Bakal ada
pertengkaran lain ini kalau saya biarkan. Saya memohon pada Putri,”Putri pena
yang coklat saja, ya. Yang hijau kemarin sudah dipesan Riza.” Setelah beberapa menit merayu, mau juga Putri
memberikan pena itu.
Anak laki-laki juga sempat hampir merebut pena yang saya
beri ke Ana. Saya tahan. Seperti perkataan kepada Putri, saya sampaikan kalau
pena itu sudah dipesan. Ifa, dengan diamnya seperti biasa, tampaknya juga mau. Indikasinya,
dia mendekat ke saya dan memperhatikan saksama saat saya memberikan pena ke
anak-anak. Saya tanya,”Ifa belum, ya.” Dia mengangguk. Benar dugaan saya. Saya mencari-cari
pena lain di tas. Tidak ada. Saya bilang minggu depan insya Allah dibawakan
untuk Ifa. Dia mengangguk.
Ada sedikit kemajuan hubungan saya dengan Ifa. Dia masih
pendiam seperti biasa. Tapi dibandingkan ngambeknya dua minggu berturut-turut
sebelumnya, kini dia lebih mudah diajak berkomunikasi. Beberapa percapakan
pendek kami lakukan.
Saya memang belum mampu mengosentrasikan mereka dalam waktu
cukup lama saat pertemuan berlangsung. Saya menduga, ada kontradiksi dalam
persepsi anak-anak mengenai pertemuan ini. Mereka mengira pembinaan ini serupa
sekaligus tidak serupa dengan belajar di sekolah. Serupa karena ada struktur
pertemuan dan ada topik (dalam pandangan mereka, tentu saja materi). Tidak serupa,
karena mereka lebih bebas di dalam pertemuan. Keserupaan itu membuat anak-anak
menjadikan saya sebagai pemangku pengetahuan di sana. Kata saya mutlak. Ketidakserupaan
membuat mereka lebih bebas mencari alasan atau pergi begitu saja atau tiba-tiba
mengalihkan pembicaraan: hal yang tidak mungkin mereka lakukan di sekolah. Tapi
mereka masih menganggap ini seperti belajar di sekolah. Simpelnya, saya menduga
pembelajaran di sekolah membosankan dan kebelummampuan saya menggunakan metode
tepat membuat anak-anak segera menunjukkan kebosanan mereka.
Ini baru dugaan, perlu pembuktian. Saya bisa ajukan bukti. Anak-anak
lebih berkonsentrasi saat berbincang dengan saya di luar pertemuan dibandingkan
saat pertemuan berlangsung. Padahal, saya menggunakan cara yang relatif serupa
pada kedua situasi. Saya tetap hanya bertanya, mendengarkan, dan membawa mereka
hingga menyimpulkan. Bedanya, ada struktur dan materi di dalam pertemuan.
Saya tidak memungkiri, saya lebih tahu dari mereka. Tentu saja mengenai topik yang saya kendalikan dalam pertemuan, karena dalam hal lain mereka lebih tahu dari saya, seperti pengetahuan mereka berkomunikasi sesama mereka. Saya pun tidak akan mengelak bila saya bertanggung jawab atas mereka. Ini bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, dengan itu saya bisa membawa mereka memiliki pengetahuan baru. Di sisi lain selalu ada perangkap saya menjadi terlalu dominan, sehingga akhirnya hanya menyuapkan. Saya bahkan tidak pungkiri, dengan keterbatasan pemahaman saya mengenai dunia anak, dunia mereka, sadar tidak sadar saya masih terlalu dominan menyuapkan.
Anak-anak tentu saja perlu di arahkan. Tidak ada pendidikan
netral, semua mengarahkan. Namun, bukan berarti anak-anak hanya perlu diam dan
mendengarkan. Begitu keyakinan saya. Mereka memiliki anggapan-anggapan, jika
bukan keyakinan (karena keyakinan terbentuk setelah puluhan tahun pengalaman)
yang perlu didengarkan dan diuji. Kita perlu tahu apa yang mereka pikir, rasa,
dan alami. Kita perlu belajar mengajak mereka belajar berpikir reflektif,
menguji pengalaman secara ketat demi pengetahuan baru. Tentu saja tidak seketat
mengajak orang dewasa berpikir dan tentu saja dengan cara berbeda, cara yang
belum saya temukan.
Apa yang menjadi kemajuan pemahaman saya adalah semakin
kuatnya kemungkinan metode hadap masalah/dialogis diterapkan pada anak-anak. Saya
kira ada yang sudah berhasil sebelumnya, tapi saya memang belum punya
pengalaman di sana. Beberapa hipotesis yang saya bangun dan mulai terbukti
adalah:
Pertama, anak-anak tidak datang dari ruang vakum pengalaman.
Sejak pertemuan awal anak-anak selalu mampu memberikan contoh-contoh dan
jawaban-jawaban yang relevan atau kurang relevan berdasarkan pengalaman mereka.
Memang, hal yang menarik perhatian saya, mereka spontan berkata tidak tahu jika
merasa tidak ada pengalaman yang relevan dengan topik yang sedang dibicarakan.
Kedua, anak-anak lebih tertarik membicarakan apa yang mereka
tahu. sejak pertemuan pertama anak-anak akan antusias jika diajak berbicara apa
yang mereka telah ketahui tentang topik. Kalau mereka bisa memberikan
pengalaman yang relevan, mereka akan berebutan menjawab. Mereka juga antusias
diajak berbicara mengenai hal yang mereka sukai, mereka inginkan, mereka alami,
dan mereka kenal dengan baik. Problemnya, cerita mereka murni informatif
sekedar memberitakan fakta, keadaan, kejadian. Informasi-informasi faktual
inilah yang belum dapat saya gerakkan menuju pengetahuan baru.
Saya berusaha menghormati pengetahuan, perasaaan, dan
pengalaman mereka. Bukan berarti akan berhenti berputar pada pengetahuan,
perasaan, dan pengalaman mereka saja. Saya harus mengajak mereka bergerak,
tentu saja. Saya juga harus berhati-hati agar tidak manipulatif, seolah terlihat menghormati tapi sesungguhnya memaksa secara halus. Pisau bermata dua bernama pengetahuan dan kepemimpinan pendidik itu
selalu mengancam. Dia masih melukai pertemuan yang saya pimpin ini. Namun saya
yakin, saya akan semakin mahir menggunakan pisau tersebut sehingga tidak
melukai siapapun.
* Ada dua anak baru lain, tapi saya lupa namanya. Ifan dan
Ulfa masih belum kelihatan juga. Yoga tidak kelihatan, sudah dua pertemuan.
Ridho, anak yang baru saja muncul minggu lalu, sudah menghilang lagi.
0 comments:
Post a Comment