Rss Feed
  1. Pertanyaan

    Friday, November 29, 2013

    Aku sangat yakin, masa depan banyak hanya tergantung dari satu pertanyaan pendek dengan jawaban yang lebih pendek. Apapun pertanyaan itu, mestinya ia adalah pertanyaan penting dengan jawaban yang sama pentingnya. Kadangkala jawaban sangat sulit untuk dikemukakan, kali lain pertanyaanlah yang sulit untuk diungkapkan.


    Aku mengalami yang terakhir. Aku kesulitan mengungkapkan sebuah pertanyaan pendek. Sebuah pertanyaan yang akan mengubah masa depanku, terlepas dari apapun jawabannya, terlepas dari ia disampaikan atau tidak. Aku tidak pernah mengungkapkannya sampai kini. Aku sudah menghapalnya ribuan kali, sudah menuliskannya ribuan kali. Pertanyaan itu terlalu mudah untuk dihapal dan dituliskan.

    Dengan reputasi sebagai seorang pembicara publik ternama, aku dapat meramu kata-kata yang membuat orang-orang bergetar dan melakukan sesuatu. Namun, untuk satu pertanyaan ini, aku tidak pernah mampu mengungkapkannya. Padahal cuma tiga kata dan tidak perlu persiapan panjang untuk mengatakannya.

    Aku bisa membodohi pejabat-pejabat yang seharian cuma tidur di ruang kerjanya. Aku akan membuat mereka kehilangan kantuknya selama mendengar aku berbicara. Mereka kan suka buang-buang uang untuk hal-hal yang katanya bisa membangkitkan kepekaan, empati, kepedulian, dan semacamnya. aku bisa membuat rasa itu ada pada mereka, sekalipun hanya sementara. Aku bisa membuat mereka kehilangan nafsu untuk korupsi, menangisi perbuatannya selama ini selama berhari-hari, sekalipun hanya untuk seminggu.

    Atau membodohi mahasiswa-mahasiswa culun dan orang-orang yang ingin kaya mendadak dengan balutan motivasi enterpreneurship? itu jauh lebih mudah. Mereka terlalu mudah untuk percaya dengan reputasi dan nama besar, tanpa sekalipun mencari tahu apakah yang disampaikan sudah tepat atau tidak.

    Aku bisa berbicara banyak hal dengan percaya diri, padat, singkat, berpengaruh di depan berbagai jenis orang mulai rakyat jelata sampai pejabat kaya, namun tidak untuk satu orang ini. Aku selalu berpikir panjang saat ingin menyampaikan sesuatu, bahkan itu hanya satu kalimat saja. Aku selalu membuat persiapan yang matang. Tapi aku selalu gelagapan dan gemetar saat harus berbicara didepannya. Semua rencana dan persiapan hancur berantakan.

    Kuberitahu sesuatu, pembicara sehebat apapun selalu gemetar saat ia berada di atas panggung. Semua orang gemetar saat ia menghadapi banyak orang pada saat pertama. Perbedaannya dengan kebanyakan orang ialah mereka mampu mengatasi rasa gemetar itu. Trik mereka bermacam-macam. Aku sendiri selalu membayangkan orang-orang yang sedang di depanku itu adalah anak-anak kecil yang tidak pernah bisa mengkritisi apapun, anak-anak kecil yang diam dan patuh saat ia melihat mainan kesukaannya. Aku berusaha menjadi mainan kesukaan mereka. Aku berusaha sesempurna mungkin untuk memahami perilaku apa, kata-kata apa yang mereka sukai. Aku melakukan penelitian mendalam mengenai karakter orang-orang yang kuhadapi. Semuanya kulakukan untuk mencari tahu harus menjadi mainan kesukaan seperti apa aku ini.

    Dan aku ingin memberitahu satu rahasia, semua orang bisa dipengaruhi asalkan kau tahu apa keinginan atau kebutuhan mereka yang membuat mereka tidak akan berpikir panjang untuk mendapatkannya. Aku bisa mengetahui titik-titik lemah itu dengan mudah dan mempelajarinya dengan mudah, namun tidak dengan satu orang ini. Aku tidak pernah bisa memahaminya. Dia itu seperti hutan belantara yang tidak pernah dijamah, liar dan tak terduga. Hutan belantara yang kupelihara di pikiranku seperti taman hias di depan rumah. Aku tidak pernah memahaminya, tapi aku selalu ingin merawatnya.

    Aku selalu merawatnya dengan sepenuh hati. Pertemuan demi pertemuan selalu berarti hadiah dan canda tawa mengenai hal-hal yang tidak berguna. Kami bercerita soal orang yang sedang berkendara, tentang rumor-rumor di televisi, atau tentang kebiasaan sehari-hari. itu tidak sulit dilakukan. Hal-hal tidak berguna selalu mudah untuk diceritakan. Hanya itu satu-satunya jurus yang bisa aku gunakan saat bertemu dengannya.

    Beberapa sinyal kuat terasa memanggil pertanyaan itu dari alam bawah sadar. Sialnya, pertahanan kesadaranku terlalu kuat untuk membiarkannya muncul ke permukaan. Kadang aku ingin agar dia yang melontarkannya dan aku dengan senang hati akan menjawabnya.

    Seolah menangkap maksudku, dia selalu berkata,”Memang begitu adatnya, kaummu yang harus memulai terlebih dahulu.” Dia menunggu berbulan-bulan sampai akhirnya datang lamaran dari orang lain. aku masih tidak bergeming. Padahal dia sudah bertanya, “Kapan kau ungkapkan pertanyaan itu?” aku tidak pernah menjawabnya sekalipun ia mendesak berulang kali dengan pertanyaan yang sama.

    Aku bertanya kepadanya,”Seberapa penting pertanyaan itu untukmu?” Dia berkata, itu sangat penting, sepenting diriku baginya dan hidupnya sendiri.

    “Lantas kenapa tidak kau saja yang mengungkapkannya.”

    “Memang begitu adatnya.” Jawabnya lagi.

    “Adat? Tidak bisakah kita sekedar lansung menikah saja tanpa harus dimulai dari pertanyaan itu?”

    Dia menggeleng. Aku tidak tahu, sungguh. Bukan aku tidak mau, tapi tidak mampu. Aku tidak tahu alasannya mengapa aku tidak bisa mengungkapkannya. Aku hanya bisa bilang, “Tunggu saja waktunya.”

    Aku selalu memintanya menunggu sampai saat terakhir aku melihat hujan air mata menetes dari kedua bola mata indah itu, aku hanya bisa memandanginya dengan takjub. Aku takjub! Gila. Aku takjub dengan tangisan memelas seorang perempuan, tanpa bisa mengungkapkan apa-apa. Aku diam saja sampai sinar matahari senja mengeringkan kedua belah pipinya.

    Terakhir dia berkata saat aku hendak pulang,”Kau egois.” Aku hanya diam saja. Hanya melontarkan senyum singkat. Dengan bergetar dia kembali berkata,”Senyumanmu itu keputusan untukku.”

    Aku hanya berpesan,”Sampaikan salam untuk bapak dan ibu.” Dia malah sesenggukan. Saat itu aku merasa sebagai orang paling bodoh di dunia. Aku merasa dihakimi oleh semua orang yang pernah terpengaruh dengan kata-kataku. Mereka menatapku dengan tatapan menghakimi, mengatai aku tidak berguna.

    Apakah aku tidak berguna? Mungkin saja. Yang pasti, manusia tidak berguna ini berhasil melumatkan sebuah surat undangan pernikahan dengan tangisannya. Manusia tidak berguna ini, benar-benar menjadi tidak berguna. Dia tidak pernah berkata apa-apa lagi. Tidak pernah sanggup melangkahkan kaki sekedar untuk mengucapkan selamat atau rasa penyesalan.


    Aku kemudian hanya merendam diri seharian dalam lamunan di kamar, seolah terperangkap di kamar kaca yang merefleksikan ribuan diriku disana. Kemanapun hendak pergi, yang kutemukan hanyalah diriku. Egoku, kepengecutanku. Sampai saat aku memutuskan untuk berhenti untuk melakukan apa yang kubanggakan selama ini. Aku berhenti memengaruhi orang dengan kata-kataku lagi. Aku berhenti tampil percaya diri. Aku berhenti bersuara tegas dan meyakinkan. Aku hentikan semua itu, karena aku merasa aku bahkan tidak bisa menundukkan diriku sendiri dan orang itu.  

  2. 0 comments:

    Post a Comment