Aku sangat yakin, masa depan banyak hanya tergantung dari
satu pertanyaan pendek dengan jawaban yang lebih pendek. Apapun pertanyaan itu,
mestinya ia adalah pertanyaan penting dengan jawaban yang sama pentingnya. Kadangkala
jawaban sangat sulit untuk dikemukakan, kali lain pertanyaanlah yang sulit
untuk diungkapkan.
Aku mengalami yang terakhir. Aku kesulitan mengungkapkan
sebuah pertanyaan pendek. Sebuah pertanyaan yang akan mengubah masa depanku,
terlepas dari apapun jawabannya, terlepas dari ia disampaikan atau tidak. Aku tidak
pernah mengungkapkannya sampai kini. Aku sudah menghapalnya ribuan kali, sudah
menuliskannya ribuan kali. Pertanyaan itu terlalu mudah untuk dihapal dan
dituliskan.
Dengan reputasi sebagai seorang pembicara publik ternama,
aku dapat meramu kata-kata yang membuat orang-orang bergetar dan melakukan
sesuatu. Namun, untuk satu pertanyaan ini, aku tidak pernah mampu
mengungkapkannya. Padahal cuma tiga kata dan tidak perlu persiapan panjang
untuk mengatakannya.
Aku bisa membodohi pejabat-pejabat yang seharian cuma tidur
di ruang kerjanya. Aku akan membuat mereka kehilangan kantuknya selama
mendengar aku berbicara. Mereka kan suka buang-buang uang untuk hal-hal yang
katanya bisa membangkitkan kepekaan, empati, kepedulian, dan semacamnya. aku
bisa membuat rasa itu ada pada mereka, sekalipun hanya sementara. Aku bisa
membuat mereka kehilangan nafsu untuk korupsi, menangisi perbuatannya selama
ini selama berhari-hari, sekalipun hanya untuk seminggu.
Atau membodohi mahasiswa-mahasiswa culun dan
orang-orang yang ingin kaya mendadak dengan balutan motivasi enterpreneurship?
itu jauh lebih mudah. Mereka terlalu mudah untuk percaya dengan reputasi dan
nama besar, tanpa sekalipun mencari tahu apakah yang disampaikan sudah tepat
atau tidak.
Aku bisa berbicara banyak hal dengan percaya diri, padat,
singkat, berpengaruh di depan berbagai jenis orang mulai rakyat jelata sampai
pejabat kaya, namun tidak untuk satu orang ini. Aku selalu berpikir panjang
saat ingin menyampaikan sesuatu, bahkan itu hanya satu kalimat saja. Aku selalu
membuat persiapan yang matang. Tapi aku selalu gelagapan dan gemetar saat harus
berbicara didepannya. Semua rencana dan persiapan hancur berantakan.
Kuberitahu sesuatu, pembicara sehebat apapun selalu gemetar
saat ia berada di atas panggung. Semua orang gemetar saat ia menghadapi banyak
orang pada saat pertama. Perbedaannya dengan kebanyakan orang ialah mereka mampu
mengatasi rasa gemetar itu. Trik mereka bermacam-macam. Aku sendiri selalu
membayangkan orang-orang yang sedang di depanku itu adalah anak-anak kecil yang
tidak pernah bisa mengkritisi apapun, anak-anak kecil yang diam dan patuh saat
ia melihat mainan kesukaannya. Aku berusaha menjadi mainan kesukaan mereka. Aku
berusaha sesempurna mungkin untuk memahami perilaku apa, kata-kata apa yang
mereka sukai. Aku melakukan penelitian mendalam mengenai karakter orang-orang
yang kuhadapi. Semuanya kulakukan untuk mencari tahu harus menjadi mainan
kesukaan seperti apa aku ini.
Dan aku ingin memberitahu satu rahasia, semua orang bisa
dipengaruhi asalkan kau tahu apa keinginan atau kebutuhan mereka yang membuat
mereka tidak akan berpikir panjang untuk mendapatkannya. Aku bisa mengetahui
titik-titik lemah itu dengan mudah dan mempelajarinya dengan mudah, namun tidak
dengan satu orang ini. Aku tidak pernah bisa memahaminya. Dia itu seperti hutan
belantara yang tidak pernah dijamah, liar dan tak terduga. Hutan belantara yang
kupelihara di pikiranku seperti taman hias di depan rumah. Aku tidak pernah
memahaminya, tapi aku selalu ingin merawatnya.
Aku selalu merawatnya dengan sepenuh hati. Pertemuan demi
pertemuan selalu berarti hadiah dan canda tawa mengenai hal-hal yang tidak
berguna. Kami bercerita soal orang yang sedang berkendara, tentang rumor-rumor
di televisi, atau tentang kebiasaan sehari-hari. itu tidak sulit dilakukan. Hal-hal
tidak berguna selalu mudah untuk diceritakan. Hanya itu satu-satunya jurus yang
bisa aku gunakan saat bertemu dengannya.
Beberapa sinyal kuat terasa memanggil pertanyaan itu dari
alam bawah sadar. Sialnya, pertahanan kesadaranku terlalu kuat untuk
membiarkannya muncul ke permukaan. Kadang aku ingin agar dia yang
melontarkannya dan aku dengan senang hati akan menjawabnya.
Seolah menangkap maksudku, dia selalu berkata,”Memang begitu
adatnya, kaummu yang harus memulai terlebih dahulu.” Dia menunggu
berbulan-bulan sampai akhirnya datang lamaran dari orang lain. aku masih tidak
bergeming. Padahal dia sudah bertanya, “Kapan kau ungkapkan pertanyaan itu?”
aku tidak pernah menjawabnya sekalipun ia mendesak berulang kali dengan
pertanyaan yang sama.
Aku bertanya kepadanya,”Seberapa penting pertanyaan itu
untukmu?” Dia berkata, itu sangat penting, sepenting diriku baginya dan
hidupnya sendiri.
“Lantas kenapa tidak kau saja yang mengungkapkannya.”
“Memang begitu adatnya.” Jawabnya lagi.
“Adat? Tidak bisakah kita sekedar lansung menikah saja tanpa
harus dimulai dari pertanyaan itu?”
Dia menggeleng. Aku tidak tahu, sungguh. Bukan aku tidak
mau, tapi tidak mampu. Aku tidak tahu alasannya mengapa aku tidak bisa
mengungkapkannya. Aku hanya bisa bilang, “Tunggu saja waktunya.”
Aku selalu memintanya menunggu sampai saat terakhir aku
melihat hujan air mata menetes dari kedua bola mata indah itu, aku hanya bisa
memandanginya dengan takjub. Aku takjub! Gila. Aku takjub dengan tangisan
memelas seorang perempuan, tanpa bisa mengungkapkan apa-apa. Aku diam saja
sampai sinar matahari senja mengeringkan kedua belah pipinya.
Terakhir dia berkata saat aku hendak pulang,”Kau egois.” Aku
hanya diam saja. Hanya melontarkan senyum singkat. Dengan bergetar dia kembali
berkata,”Senyumanmu itu keputusan untukku.”
Aku hanya berpesan,”Sampaikan salam untuk bapak dan ibu.”
Dia malah sesenggukan. Saat itu aku merasa sebagai orang paling bodoh di dunia.
Aku merasa dihakimi oleh semua orang yang pernah terpengaruh dengan
kata-kataku. Mereka menatapku dengan tatapan menghakimi, mengatai aku tidak
berguna.
Apakah aku tidak berguna? Mungkin saja. Yang pasti, manusia
tidak berguna ini berhasil melumatkan sebuah surat undangan pernikahan dengan
tangisannya. Manusia tidak berguna ini, benar-benar menjadi tidak berguna. Dia tidak
pernah berkata apa-apa lagi. Tidak pernah sanggup melangkahkan kaki sekedar
untuk mengucapkan selamat atau rasa penyesalan.
Aku kemudian hanya merendam diri seharian dalam lamunan di kamar, seolah
terperangkap di kamar kaca yang merefleksikan ribuan diriku disana. Kemanapun hendak
pergi, yang kutemukan hanyalah diriku. Egoku, kepengecutanku. Sampai saat aku
memutuskan untuk berhenti untuk melakukan apa yang kubanggakan selama ini. Aku
berhenti memengaruhi orang dengan kata-kataku lagi. Aku berhenti tampil percaya
diri. Aku berhenti bersuara tegas dan meyakinkan. Aku hentikan semua itu,
karena aku merasa aku bahkan tidak bisa menundukkan diriku sendiri dan orang
itu.
0 comments:
Post a Comment