“Anak ayam saja bisa cari makan sendiri seminggu sejak dia
menetas. Kau anak orang, sudah berani kawin pula, masa tidak bisa cari makan
sendiri!” ungkapnya dengan sengit dari kejauhan.
Aku sudah mengira, akan begini jadinya. Tahu begitu, aku
tidak pernah memutuskan untuk datang. Kalau tidak karena istri memaksa, tidak
pernah sudi aku menginjakkan kaki di rumah ini lagi.
“aku sudah bilang...” kataku berusaha membalas, tapi suara
lain memotong kata-kataku.
“Pakai otak kalau
ngomong. Anakmu itu belum kerja, dia lagi butuh uang buat ngontrak rumah. kau samakan
dia dengan anak ayam. Kenapa tidak kau bilang saja dia anak anjing!” suara
perempuan tidak kalah sengitnya dengan suara laki-laki tadi.
Aku terdiam mendengar itu. Siapa yang mestinya pakai otak,
siapa yang mestinya pakai hati? Ah, itu
tidak soal. Ibuku hampir setiap hari menganggap pria itu tidak punya otak dan
tidak punya hati. Setiap kali bertengkar ia pasti menyebut satu dari 2 kalimat
ini: “pakai otak kalau ngomong!” atau “kau memang tidak punya perasaan!”. Lalu
siapa pria itu? robot? Tidak. Dia orang yang dengan mesra disebut sebagai bapak
oleh saudara-saudaraku.
Dan aku? Entahlah, aku tidak punya sebutan khusus untuknya.
Laki-laki yang meneriakiku tadi merupakan guru yang baik soal makian. Segala
macam jenis makian dia ajarkan, mulai dari isi kebun binatang hingga alat
kemaluan, dari berbagai jenis bahasa dengan berbagai intonasi pengucapan.
Sempurna. Dan anak Anjing? Itu makian favoritnya dulu. Tapi, aku yakin dia sudah
jera menggunakan kata itu. Buktinya dia lansung diam, menggerutu sendirian
dengan suara hampir tak terdengar sambil memperhatikan acara tivi yang ada di
hadapannya.
Dia sudah berhenti memakiku dengan istilah itu sejak ibu
membalas makian dia kepadaku,”kalau anakmu anjing, berarti kau bapaknya
anjing.” Kupikir dia berhenti memaki bukan karena tidak ingin memberi contoh
buruk, tapi karena dia tidak mau disamakan dengan binatang favoritnya satu itu.
“butuh uang berapa.” Kata ibu merendahkan suaranya kepadaku.
Berbeda sekali saat dia tadi sedang meneriaki bapak. Aku ragu-ragu menjawab,
kulirik bapak dari sudut mataku. Dia masih berpura-pura terus menikmati acara
tivi itu, tapi aku yakin dia sedang memikirkan serangan berikutnya kepadaku.
“aku...”
“Sudah. Ngapain dikasih uang. Kalau mau minta, minta sama
mertuamu sana.” Kata bapak tiba-tiba. Benar dugaanku.
Aku semakin geram,”Jangan bawa-bawa mertuaku disini. aku
datang kemari bukan mau meminta-minta! Aku mau meminjam uang!” Kataku dengan
ketus.
Kulihat ibu juga geram memandang bapak. Tapi kali ini dia
tidak menimpali apapun. Dia beranjak dari tempat duduk, pergi ke kamar, dan
kembali dengan sejumlah uang.
“untuk apa uang itu?” tanya bapak.
“untuk anakmu lah, untuk siapa lagi.”
“jangan dikasih.”
“kenapa? Kau sudah dengar, kan? Dia mau minjam, bukan
minta.”
“pokoknya jangan. Itu uangku, aku yang cari uang itu.”
“aku yang ngatur uang. Apalah arti uang segini. Kau nggak
bakal kelaparan besok cuma gara-gara ngasih pinjaman uang ke anak sendiri.”
“tidak, sekali tidak. Tidak. Biar dari cari uang sendiri.”
“ini uang untuk anakmu, darah dagingmu, kenapa sama anak
sendiri pelit.”
“aku tidak pelit. Biar dia cari sendiri uang untuk
hidupnya.”
“iya, tapi anakmu lagi benar-benar butuh uang.”
Apa yang kau pikirkan laki-laki? Apa yang kau pikirkan
perempuan? Apa yang kalian pikirkan!? Aku disini! Halo? Aku disini. aku tidak
peduli kalian mau bertengkar soal apa. Tapi aku disini. orang yang kalian
bicarakan sedang menunggu kalian mengakhiri pertengkaran.
Mereka masih saja berdebat, apakah aku pantas mendapatkan
uang itu. Aku memutuskan keluar. Duduk di lantai teras kecil di depan rumah.
kujejakkan kaki ke tanah, membiarkan tapaknya kotor.
Mencoba untuk menikmati setiap detail rumah yang sudah
semakin rusak, seperti mereka yang semakin tua. Barangkali itu makna
perlindungan. Mereka semakin tua bukan karena umur, tapi karena perlindungan. Melindungi
sesuatu yang mereka anggap berharga, kami. Tapi apakah perlu mereka selalu
begitu, memekakkan telingaku selama belasan tahun?
Lama aku duduk disana. Memikirkan jawaban pertanyaan itu.
Tidak ada satu katapun terlintas. Tidak kurang lima puntung rokok sudah
bertebaran di tanah. Tadinya, aku berpikir bisa menikmati rokok-rokok itu
bersama secangkir kopi, mengobrol hangat dengan mereka. Sudahlah. Kudengar senyap
dari dalam ruang tengah. Mereka sudah berhenti rupanya. Segera kuinjak rokok
terakhir dengan telapak kaki telanjang ini. Membiarkan rasa terbakar itu
menetralisir amarah di dalam dada. lalu aku masuk ke rumah, menghampiri mereka
berdua.
“Sudah selesai bertengkarnya?” kedua orang itu memandang
kearahku.”sejak awal tadi aku sudah bilang, kalau ada uang. Kalau tidak ya
tidak masalah. Aku kemari karena kalian orang terdekat, bukan untuk
meminta-minta.” Kataku mengakhiri kalimat dengan delikan tajam ke arah Bapak.
Bapak masih ingin berkomentar, segara kuhentikan sebelum ia
berbicara.”Cukup. Aku sudah tidak mau dengar apa-apa lagi.” Kataku sambil
menghadapkan telapak kanan tangan kananku ke arahnya. Aku beranjak bangkit.
“Aku pergi.” Kataku sambil melengos keluar.
Kutinggalkan kedua manusia setengah baya itu, membiarkan mereka
masih saling menatap sinis. Membiarkan mereka kembali mengenang kata yang sama
yang kulontarkan saat aku pertama kali keluar dari rumah ini. membiarkan
pikiran kusam ini mengenyamukkan marah, khawatir, dan kebingungan.
Di luar hari sudah larut malam. Langit agak berkabut, tidak
ada cahaya padahal malam ini purnama. Aku melanjutkan perjalanan pulang menemui
istriku. Jalanan hampir tidak kelihatan arahnya, tapi pasti berbeda jika besok
pagi. Aku tidak repot dengan urusan pertengkaran bapak ibuku, paling besok
sudah baikan. Aku justru mengkhawatirkan hal lain, barangkali pertengkaran lain
sudah menunggu di rumah untuk diselesaikan.
0 comments:
Post a Comment