Rss Feed
  1. Uang Pinjaman

    Monday, November 18, 2013

    “Anak ayam saja bisa cari makan sendiri seminggu sejak dia menetas. Kau anak orang, sudah berani kawin pula, masa tidak bisa cari makan sendiri!” ungkapnya dengan sengit dari kejauhan.

    Aku sudah mengira, akan begini jadinya. Tahu begitu, aku tidak pernah memutuskan untuk datang. Kalau tidak karena istri memaksa, tidak pernah sudi aku menginjakkan kaki di rumah ini lagi.

    “aku sudah bilang...” kataku berusaha membalas, tapi suara lain memotong kata-kataku.

     “Pakai otak kalau ngomong. Anakmu itu belum kerja, dia lagi butuh uang buat ngontrak rumah. kau samakan dia dengan anak ayam. Kenapa tidak kau bilang saja dia anak anjing!” suara perempuan tidak kalah sengitnya dengan suara laki-laki tadi.

    Aku terdiam mendengar itu. Siapa yang mestinya pakai otak, siapa yang mestinya pakai hati? Ah,  itu tidak soal. Ibuku hampir setiap hari menganggap pria itu tidak punya otak dan tidak punya hati. Setiap kali bertengkar ia pasti menyebut satu dari 2 kalimat ini: “pakai otak kalau ngomong!” atau “kau memang tidak punya perasaan!”. Lalu siapa pria itu? robot? Tidak. Dia orang yang dengan mesra disebut sebagai bapak oleh saudara-saudaraku.

    Dan aku? Entahlah, aku tidak punya sebutan khusus untuknya. Laki-laki yang meneriakiku tadi merupakan guru yang baik soal makian. Segala macam jenis makian dia ajarkan, mulai dari isi kebun binatang hingga alat kemaluan, dari berbagai jenis bahasa dengan berbagai intonasi pengucapan. Sempurna. Dan anak Anjing? Itu makian favoritnya dulu. Tapi, aku yakin dia sudah jera menggunakan kata itu. Buktinya dia lansung diam, menggerutu sendirian dengan suara hampir tak terdengar sambil memperhatikan acara tivi yang ada di hadapannya.

    Dia sudah berhenti memakiku dengan istilah itu sejak ibu membalas makian dia kepadaku,”kalau anakmu anjing, berarti kau bapaknya anjing.” Kupikir dia berhenti memaki bukan karena tidak ingin memberi contoh buruk, tapi karena dia tidak mau disamakan dengan binatang favoritnya satu itu.

    “butuh uang berapa.” Kata ibu merendahkan suaranya kepadaku. Berbeda sekali saat dia tadi sedang meneriaki bapak. Aku ragu-ragu menjawab, kulirik bapak dari sudut mataku. Dia masih berpura-pura terus menikmati acara tivi itu, tapi aku yakin dia sedang memikirkan serangan berikutnya kepadaku.

    “aku...”

    “Sudah. Ngapain dikasih uang. Kalau mau minta, minta sama mertuamu sana.” Kata bapak tiba-tiba. Benar dugaanku.

    Aku semakin geram,”Jangan bawa-bawa mertuaku disini. aku datang kemari bukan mau meminta-minta! Aku mau meminjam uang!” Kataku dengan ketus.

    Kulihat ibu juga geram memandang bapak. Tapi kali ini dia tidak menimpali apapun. Dia beranjak dari tempat duduk, pergi ke kamar, dan kembali dengan sejumlah uang.

    “untuk apa uang itu?” tanya bapak.

    “untuk anakmu lah, untuk siapa lagi.”

    “jangan dikasih.”
    “kenapa? Kau sudah dengar, kan? Dia mau minjam, bukan minta.”

    “pokoknya jangan. Itu uangku, aku yang cari uang itu.”

    “aku yang ngatur uang. Apalah arti uang segini. Kau nggak bakal kelaparan besok cuma gara-gara ngasih pinjaman uang ke anak sendiri.”

    “tidak, sekali tidak. Tidak. Biar dari cari uang sendiri.”

    “ini uang untuk anakmu, darah dagingmu, kenapa sama anak sendiri pelit.”

    “aku tidak pelit. Biar dia cari sendiri uang untuk hidupnya.”

    “iya, tapi anakmu lagi benar-benar butuh uang.”

    Apa yang kau pikirkan laki-laki? Apa yang kau pikirkan perempuan? Apa yang kalian pikirkan!? Aku disini! Halo? Aku disini. aku tidak peduli kalian mau bertengkar soal apa. Tapi aku disini. orang yang kalian bicarakan sedang menunggu kalian mengakhiri pertengkaran.

    Mereka masih saja berdebat, apakah aku pantas mendapatkan uang itu. Aku memutuskan keluar. Duduk di lantai teras kecil di depan rumah. kujejakkan kaki ke tanah, membiarkan tapaknya kotor.

    Mencoba untuk menikmati setiap detail rumah yang sudah semakin rusak, seperti mereka yang semakin tua. Barangkali itu makna perlindungan. Mereka semakin tua bukan karena umur, tapi karena perlindungan. Melindungi sesuatu yang mereka anggap berharga, kami. Tapi apakah perlu mereka selalu begitu, memekakkan telingaku selama belasan tahun?

    Lama aku duduk disana. Memikirkan jawaban pertanyaan itu. Tidak ada satu katapun terlintas. Tidak kurang lima puntung rokok sudah bertebaran di tanah. Tadinya, aku berpikir bisa menikmati rokok-rokok itu bersama secangkir kopi, mengobrol hangat dengan mereka. Sudahlah. Kudengar senyap dari dalam ruang tengah. Mereka sudah berhenti rupanya. Segera kuinjak rokok terakhir dengan telapak kaki telanjang ini. Membiarkan rasa terbakar itu menetralisir amarah di dalam dada. lalu aku masuk ke rumah, menghampiri mereka berdua.

    “Sudah selesai bertengkarnya?” kedua orang itu memandang kearahku.”sejak awal tadi aku sudah bilang, kalau ada uang. Kalau tidak ya tidak masalah. Aku kemari karena kalian orang terdekat, bukan untuk meminta-minta.” Kataku mengakhiri kalimat dengan delikan tajam ke arah Bapak.

    Bapak masih ingin berkomentar, segara kuhentikan sebelum ia berbicara.”Cukup. Aku sudah tidak mau dengar apa-apa lagi.” Kataku sambil menghadapkan telapak kanan tangan kananku ke arahnya. Aku beranjak bangkit.

    “Aku pergi.” Kataku sambil melengos keluar.

    Kutinggalkan kedua manusia setengah baya itu, membiarkan mereka masih saling menatap sinis. Membiarkan mereka kembali mengenang kata yang sama yang kulontarkan saat aku pertama kali keluar dari rumah ini. membiarkan pikiran kusam ini mengenyamukkan marah, khawatir, dan kebingungan.


    Di luar hari sudah larut malam. Langit agak berkabut, tidak ada cahaya padahal malam ini purnama. Aku melanjutkan perjalanan pulang menemui istriku. Jalanan hampir tidak kelihatan arahnya, tapi pasti berbeda jika besok pagi. Aku tidak repot dengan urusan pertengkaran bapak ibuku, paling besok sudah baikan. Aku justru mengkhawatirkan hal lain, barangkali pertengkaran lain sudah menunggu di rumah untuk diselesaikan. 

  2. 0 comments:

    Post a Comment