Sejak jum’at, serasa ada mendung yang tak ingin matang. Musim
hujan sudah bertamu kembali. Kucermati tetes demi tetes air jatuh dari seng,
mencoba untuk melambatkannya. Mengikuti setiap detik waktu jatuhnya. Seperti
aku ingin melambatkan detak jantung dan arus darah yang tiba-tiba menjadi
cepat. Seperti aku ingin memecah butiran hujan yang terus menitik di dalam
dada.
Rasanya ingin bercerita. Mengajak teman untuk berbagi
gelisah. Seperti biasa, aku yang memilih berdiam. Mendengarkan. Semisal saja,
mendung di perasaan ini sealami mendung legam di langit, aku bisa menangis
kapan saja. Menangisi kerinduan yang tak pernah terpenuhi setelah
bertahun-tahun. Menangis karena sudah saatnya hujan turun deras membasahi tanah
kering.
‘Rambut ibu sebagian sudah putih, dia sudah tidak bergigi,’ Kata
adikku, saat aku bilang belum tahu hendak tinggal dimana setelah ini. Haruskah
pulang atau berpetualang sebentar lagi?
Tidak kuat rasanya. Tak mampu kubayangkan rambut putih menyentuh
tangan saat ia hendak memeluk untuk kedua kalinya. Tak mampu kulihat bibir tak
bergigi itu berkata-kata dengan air mata mengalir lancar di sebelahnya. Tak mampu
kurasakan saat yang serupa saat ia menungguku di tepi jalan, berharap aku
segera menjejakkan kaki di kampung halaman sendiri.
Saat dia tiba-tiba merangkul dan menangis. Aku yakin begitu.
Itu akan terulang lagi. Tapi kali ini dia akan mendekatiku dengan langkah
tertatih, karena betisnya sudah sakit, katanya.
Aku tak ingin membayangkan, tapi itu selalu terlintas. Bagaimana
aku siap menghadapi keadaan, saat ia harus pergi?
Dengan gampang dia berkata,’Umur di tangan Allah. Kalau
sudah saatnya mati, ya mati saja.’ Aku ingin marah saat itu. kukatakan padanya,
dia mungkin tidak masalah hendak pergi kapan saja. Tapi, kepergiannya itu
masalah buat yang ditinggalkannya.
Dia masih membela diri. Aku bilang,’Seperti apa rasamu saat
merisaukanku, seperti itu juga rasaku merisaukanmu.’
Selalu hujan yang membawa aroma tanah dari rumah. selalu
gelegarnya yang menautkan tubuh pada mereka. dan kelembapan setelahnya
menjalarkan rasa dingin dari lantai rumah. kehangatan setelahnya meresapkan
seluruh pengabulan mereka.
Aku ingin merisaukannya. Menyentuh rambut putihnya. Melihat senyum
di bibir kosongnya. Melihat kembali, dan kali ini akan kunikmati sepenuh hati. Sekarang
ini dingin, tapi aku tak ingin menggigil dan demam karenanya. Biar sakit kepala
tak pudar, biar badan selalu terkapar, aku sedang ingin mengenangnya dengan
keras kepala yang sama. Membuat rencana, untuk kembali ke rumah.
0 comments:
Post a Comment