Rss Feed
  1. Untitled Feeling

    Sunday, November 17, 2013

    Sejak jum’at, serasa ada mendung yang tak ingin matang. Musim hujan sudah bertamu kembali. Kucermati tetes demi tetes air jatuh dari seng, mencoba untuk melambatkannya. Mengikuti setiap detik waktu jatuhnya. Seperti aku ingin melambatkan detak jantung dan arus darah yang tiba-tiba menjadi cepat. Seperti aku ingin memecah butiran hujan yang terus menitik di dalam dada.

    Rasanya ingin bercerita. Mengajak teman untuk berbagi gelisah. Seperti biasa, aku yang memilih berdiam. Mendengarkan. Semisal saja, mendung di perasaan ini sealami mendung legam di langit, aku bisa menangis kapan saja. Menangisi kerinduan yang tak pernah terpenuhi setelah bertahun-tahun. Menangis karena sudah saatnya hujan turun deras membasahi tanah kering.

    ‘Rambut ibu sebagian sudah putih, dia sudah tidak bergigi,’ Kata adikku, saat aku bilang belum tahu hendak tinggal dimana setelah ini. Haruskah pulang atau berpetualang sebentar lagi?

    Tidak kuat rasanya. Tak mampu kubayangkan rambut putih menyentuh tangan saat ia hendak memeluk untuk kedua kalinya. Tak mampu kulihat bibir tak bergigi itu berkata-kata dengan air mata mengalir lancar di sebelahnya. Tak mampu kurasakan saat yang serupa saat ia menungguku di tepi jalan, berharap aku segera menjejakkan kaki di kampung halaman sendiri.

    Saat dia tiba-tiba merangkul dan menangis. Aku yakin begitu. Itu akan terulang lagi. Tapi kali ini dia akan mendekatiku dengan langkah tertatih, karena betisnya sudah sakit, katanya.

    Aku tak ingin membayangkan, tapi itu selalu terlintas. Bagaimana aku siap menghadapi keadaan, saat ia harus pergi?

    Dengan gampang dia berkata,’Umur di tangan Allah. Kalau sudah saatnya mati, ya mati saja.’ Aku ingin marah saat itu. kukatakan padanya, dia mungkin tidak masalah hendak pergi kapan saja. Tapi, kepergiannya itu masalah buat yang ditinggalkannya. 

    Dia masih membela diri. Aku bilang,’Seperti apa rasamu saat merisaukanku, seperti itu juga rasaku merisaukanmu.’

    Selalu hujan yang membawa aroma tanah dari rumah. selalu gelegarnya yang menautkan tubuh pada mereka. dan kelembapan setelahnya menjalarkan rasa dingin dari lantai rumah. kehangatan setelahnya meresapkan seluruh pengabulan mereka. 

    Aku ingin merisaukannya. Menyentuh rambut putihnya. Melihat senyum di bibir kosongnya. Melihat kembali, dan kali ini akan kunikmati sepenuh hati. Sekarang ini dingin, tapi aku tak ingin menggigil dan demam karenanya. Biar sakit kepala tak pudar, biar badan selalu terkapar, aku sedang ingin mengenangnya dengan keras kepala yang sama. Membuat rencana, untuk kembali ke rumah. 

  2. 0 comments:

    Post a Comment