Rss Feed
  1. Uneg-Uneg Soal Sejarah

    Saturday, November 16, 2013

    Setiap kali menghadiri kuliah ini, perasaan dan pikiran saya menggelegak. Ada perasaan bercampur-baur: sedih, marah, kecewa, kesal. Mata kuliah itu mengingatkan saya pada beberapa buku beraroma sejarah yang telah saya baca sebelumnya. Sejarah perkembangan kekuasaan politik pada agama yang kini saya anut, Islam.


    Saya tidak tahu pasti apakah sejarah politik kekuasaan di agama lain juga mengalami peristiwa-peristiwa yang serupa. Dugaan saya, sama saja. Sejarah kekuasaan penuh dengan darah dan pengkhianatan, itu yang bisa saya simpulkan. Tidak peduli apakah dia berlandaskan agama atau tidak. Persoalan perebutan kekuasaan tidak ada ubahnya seperti kasus Suriah, Mesir, atau Irak. Darah dan pengkhianatan tercium anyir dimana-mana. Dan pelakunya adalah orang-orang yang sama: sama-sama mengaku Islam dan sama-sama kerap mengkafirkan satu sama lain.

    Mata kuliah itu: Sejarah Peradaban Islam. Mata kuliah yang baru saya ulang kembali setelah 7 tahun berlalu. Selama ini saya memang agak jauh dari sejarah, khususnya sejarah perkembangan politik islam. Kesukaan saya pada persoalan pengetahuan membuat saya cenderung melihat sejarah dari sudut pandang perkembangan pemikiran. Namun kali ini agak berbeda. Sebagaimana pelajaran sejarah yang kerap kita pahami dalam kerangka akademik, sejarah berarti perkembangan politik kekuasaan, pergantian dari satu penguasa ke penguasa lainnya, perang, kudeta, dan diplomasi. Sejarah semacam itulah yang harus kembali saya hadapi kini.

    Sejak kecil, saya selalu diajari sejarah seperti itu. Sejarah adalah perebutan kekuasaan politik, begitulah yang saya tahu. Tapi saya tidak pernah sadar, bahwa saat saya membayangkan kejadian tersebut, yang timbul hanya rasa miris. Sebagaimana yang sedang saya alami kini.

    Terlepas dari kelompok Sunni yang menghukumi Syi’ah sebagai kafir, saya kira cukup mampu merasakan bagaimana ‘rasa marah’ yang muncul dari kelompok ini. Sekalipun saya masih harus membaca lebih banyak lagi, setidaknya dari apa yang diketahui, Ali telah ‘dikudeta’  oleh kelompok Muawiyah. Kemudian Hasan yang didukung untuk menggantikan Ali sebagai khalifah ke-5. Ia “diliciki’ dan dibunuh. Hasan dan Ali adalah keluarga Rasulullah. Bayangkan saja, seperti apa rasa marah itu? terlepas dari segala hal yang dikatakan menyimpang dari penganut Syi’ah, saya rasa itu wajar. Terlepas Syi’ah dikatakan ada hubungannya dengan Yahudi atau apapunlah, Saya tahu betul seperti rasanya dikhianati itu.  Kemarahan seringkali berada di atas akal sehat. Kemarahan sering membuatmu mengeluarkan diri, dan membuat dirimu benar-benar berbeda dari mereka yang telah mengkhianati. Tidak urusan apakah itu benar atau salah, yang penting kau bisa berbeda.

    Sempat terlintas sesaat tadi, saya ingin menjadi seorang Syi’ah. Baru lintasan, belum keputusan. Karena saya juga tidak bisa mengabaikan Abdullah bin Zubair. Kemana hilangnya teks sejarah tentang Abdullah bin Zubair di dalam buku-buku sejarah sekolah kita? Saya sedang membayangkan betapa mengenaskannya kematian cucu Abu bakar Ash-Shiddiq ini. Digempur habis-habisan di Makkah lalu dibunuh dengan cara tidak manusiawi (ah, mana ada pembunuhan yang manusiawi). Betapa memuakkannya peperangan yang sampai berani mengotori Ka’bah.

    Lalu apakah saya masih harus mengakui Muawi’yah sebagai khalifah, setelah sebelumnya saya mulai meragukan Utsman bin Affan? Seandainya saya berada pada masa itu akan kemana saya akan berkiblat, kepada Ali yang dikhianati, kepada ‘Asyiah yang suaranya tidak didengarkan, atau kepada Mu’awiyah?

    Entahlah, semuanya begitu berkecamuk. Barangkali saya memilih menjadi seorang Murji’ah atau Khawarij. Barangkali saja. Yang pasti semua ini menuntut saya untuk kembali menengok apa yang telah saya abaikan selama ini. Melihat secara lebih jernih apa yang sebenarnya pernah terjadi. Mudah-mudahan saja, akan ada keputusan suatu hari nanti. Bisa jadi saja, pemahaman sejarah saya berubah. Misalnya, Hasan sebagai khalifah ke-5 dan Abdullah bin Zubair sebagai khalifah ke-6 dan menghilangkan segala kedinastian dari alam pikiran sejarah. Bisa saja iya, bisa juga tidak, tergantung sejauh mana kemampuan mendapatkan informasi yang terpercaya.

    Yang pasti semua itu tidak ada hubungannya dengan keyakinan pada ajaran Islam. Karena seperti yang saya bilang di awal, barangkali semua agama pun mengalami hal yang sama. Saya tidak bilang bahwa semua agama itu benar. Namun, ajaran Islam dan politik atas nama Islam adalah 2 hal yang berbeda.

    Tulisan ini pun hanya berdasarkan pengetahuan awam saya. jadi, kalau memang ada yang salah, monggo disalahkan saja saya. 



  2. 0 comments:

    Post a Comment