Dalam setahun terakhir ini saya pernah ditanyai beberapa
kali tentang apa itu cinta, menurut saya. apa bedanya cinta dengan suka, peduli,
kasih, sayang, perhatian, senang, dll. Hampir semuanya tidak sepakat dengan
konsep yang saya utarakan.
Mereka bilang saya punya konsep cinta yang aneh. Aneh itu
biasa buat saya selama masuk akal. Dan sebenarnya pun penerimaan saya untuk
menggunakan kata ini baru beberapa tahun terakhir. Sebelumnya saya bahkan ‘menghapuskan’
kata cinta dari kamus pikiran saya.
Kala itu saya berpikir bahwa cinta adalah salah satu kata yang
paling banyak disalahgunakan, karena ia merupakan salah satu kata yang membuat
banyak kerusakan. Orang-orang membiarkan kata itu tanpa kejelasan agar ia mudah
disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Ia menimbulkan perang, ia
menimbulkan perpecahan, bahkan ia menimbulkan kebencian. Aneh, kita membenci
atas nama cinta. Maka saya berpikir, satu-satunya cara adalah dengan
menghapuskan kata itu dari kamus, dan menggantinya dengan kata semacam empati
atau afeksi.
Tapi kemudian saya mengubah pemikiran itu setelah bertemu
dengan seseorang. Ya, bertemu secara imajinatif melalui pemikirannya. Dia yang
membuat saya bisa menangis membaca buku dia, padahal bukunya itu buku yang
filosofis. Hehe
Membaca buku dia, membuat seluruh pertanyaan saya mengenai
cinta terjawab, seluruh kebingungan saya menjadi masuk akal. Misalnya, kenapa
kita melakukan peperangan membunuhi banyak orang, padahal kita tidak benci? Menurut
orang ini, itu mungkin saja. Karena cintanya adalah cinta yang menindas.
Cinta yang menindas dan cinta yang membebaskan
Namun, pertemuan saya dengan buku “Pedagogy of The Opressed”
membuat saya berpikir ulang mengenai kata itu. “Pedagogy of The Opressed” atau
Pedagogi Kaum Tertindas merupakan buku yang dikarang oleh Paulo Freire, seorang
pionir dalam pendidikan kritis a.k.a pendidikan pembebasan, pendidikan hadap
masalah, atau pendidikan dialogis. Di dalamnya, saya membaca bahwa cinta adalah
basis untuk pembebasan. Membaca buku itu, membuat saya berpikir, bahkan pemikir
sekelas Paulo Freire saja mempertahankan penggunaan kata cinta. Sebenarnya bukan
kata cinta, tapi “love”, karena saya membaca versi bahasa Inggrisnya yang saya
unduh di internet.
Kata love ini juga yang membuat saya tidak membedakan kata
sayang, cinta, dan kasih sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Love
sering kita artikan sebagai cinta. Tapi kata ini juga bisa diartikan sayang
atau kasih sayang. Di negara asalnya, seorang ibu sangat senang sekali bila
anaknya mengatakan ‘i love you, mom”. Tapi di Indonesia, agak aneh rasanya
kalau seorang anak mengatakan,”aku mencintaimu, bu.” Lebih tepat jika
mengatakan,”aku sayang ibu.” Padahal ya tidak apa-apa sebenarnya. Menurut saya
itu cuma persoalan biasa atau tidak biasa menggunakannya.
Itulah kenapa saat menerjemahkan kata love, saya
sengaja mengartikannya dengan frasa ‘kasih sayang’. Sekalipun itu dalam konteks
hubungan laki-kali perempuan, konteks yang membuat kata cinta itu begitu
eksklusif dan sempit. Saya mengira kita terlalu latah menggunakan kata cinta,
tanpa tahu benar apa yang kita gunakan itu. mengartikan kata love menjadi kasih
sayang menurut saya adalah salah satu cara untuk membuat kata cinta menjadi
kata yang terbuka dan tidak sempit lagi.
Mengapa kata itu harus dibuat terbuka atau inklusif? Untuk itu,
saya harus kembali ke konsep Freire tadi. Di dalam buku tersebut, Freire
mendasarkan konsepnya pada Erich Fromm. Sayang, saya belum sempat baca buku
Erich Fromm mengenai cinta ini. Erich Fromm pernah mengemukakan konsep
nekrofili atau cinta kebendaan/kematian dan biofili atau cinta kehidupan.
Apa itu cinta kebendaan/kematian? Menurut Fromm sebagaimana
dikutip Freire, cinta ini adalah cinta kepada segala yang mati. Mencintai uang
adalah salah satunya. Freire kemudian menjelaskan lebih lanjut, cinta kematian
ini adalah dasar untuk segala bentuk penindasan. Jadi, menurut Freire, bahkan
penindas itu pun melakukan penindasan bukan karena kebencian, tapi karena
kecintaannya yang berlebihan terhadap sesuatu yang mati. Karakter cinta ini
adalah cinta satu arah, possesif, statis/jumud/jalan di tempat, dan memaksakan.
Sebaliknya cinta kehidupan adalah cinta kepada sesuatu yang
hidup, misalnya manusia. bentuk cinta ini menganggap bahwa sebagaimana pecinta,
yang dicintai pun tidak ada bedanya dengan dirinya sendiri. Itu artiknya,
antara pecinta dan yang dicintai sama-sama memiliki kehendak bebas, sama-sama
berhak untuk menentukan keputusannya masing-masing. Menurut Freire, inilah
cinta yang membebaskan. Cinta ini memiliki karakter 2 arah/dialogis, mandiri,
dinamis, dan toleran.
Pembahasan tentang cinta nekrofili dan cinta biofili bisa
ditemukan di bab 1 buku pedagogi kaum tertindas. Di bab 3, Freire membahas
sedikit lagi mengenai cinta. Kali ini ia membahas tentang cinta yang menindas
dan cinta yang membebaskan. Menurutnya cinta yang menindas berakar pada konsep
sado-masokistik. sedangkan cinta yang membebaskan berakar pada konsep dialog.
Apa itu cinta sado-masokistik? Sado-masokistik merupakan
gabungan dari 2 kata, sadisme dan masokisme. Setahu saya, dalam kajian
psikologi keduanya merupakan sebuah orientasi seksual yang dianggap tidak
wajar. Sadisme merupakan orientasi seksual yang berhubungan dengan keinginan
untuk selalu mendominasi dengan kekerasan saat berhubungan seksual. Sebaliknay,
masokisme merupakan orientasi seksual yang berhubungan dengan keinginan untuk
selalu didominasi atau pasrah secara sukarela dengan kekerasan saat berhubungan
seksual.
Namun, konsep sadisme dan masokisme bukanlah semata
orientasi seksual, ia menjadi mentalitas. Mentalitas untuk mendominasi dan
didominasi. Mentalitas inilah yang menurut Freire bukan merupakan kodratnya
manusia. mentalitas sadisme dan masokisme adalah mentalitas yang kurang
manusiawi bahkan kurang manusiawi. Cinta sado-masokistis merupakan hubungan
diantara manusia yang tidak seimbang dan tidak manusiawi, karena satu pihak
menafikkan kemanusiaan pihak yang lainnya. jika pecinta menafikkan kemanusiaan
yang ia cinta, maka pecinta pun menjadi tidak manusia. akhirnya pecinta dan
yang dicintai sama-sama “tidak menjadi manusia”.
Manusia, menurut Freire, adalah makhluk yang dinamis. Ia adalah
makhluk yang ‘tidak utuh’. Tidak utuh, karena ia selalu berusaha untuk menjadi
sempurna. Itu artinya, manusia merupakan makhluk yang melalui pemikiran,
bahasa, dan pengalamannya selalu berkembang dan selalu berproses. Singkatnya,
manusia hanya menjadi manusia apabila ia terus berproses. Kodrat manusia untuk
terus berproses berarti manusia hanya bisa dikatakan sebagai manusia apabila ia
melakukan perubahan. Itu artinya, siapapun yang menolak perubahan sejatinya
adalah orang yang menolak kemanusiaannya sendiri.
Disinilah cinta yang membebaskan itu berperan. Agar manusia
bisa melakukan perubahan, maka ia harus berinteraksi dengan manusia lain dengan
cara dialog. Dialog berarti relasi yang seimbang diantara manusia untuk
mencapai perubahan melalui diskusi yang terbuka tanpa ada satu pihak pun yang
memaksakan keinginannya kepada pihak yang lainnya. artinya, dialog merupakan
interaksi yang dilakukan dengan akal sehat dan toleransi.
Freire berpendapat bahwa tidak akan pernah ada perubahan
tanpa ada rasa Cinta, rasa cinta yang tulus kepada rakyat, rasa cinta yang
memberinya energi untuk menjadi berani dan berkorban. Bukankah itu yang menjadi
karakteristik rasa cinta? Namun, rasa cinta itu adalah cinta kehidupan atau
cinta yang membebaskan. Bukan cinta kematian atau cinta sadomasokistis.
Dengan cinta yang membebaskan a.k.a cinta dialogis, cinta
kehidupan, atau cinta kemanusiaan, kita dapat membuat dunia ini menjadi lebih
baik. Seperti Ghandi, Bunda Theresa, Malcom X, atau Martin Luther King. Mereka adalah
orang-orang penuh rasa cinta menurut saya. mereka adalah orang yang berani
mengangkat kodratnya kembali sebagai manusia dengan cara mencintai.
Inilah yang membuat saya kembali menerima kata cinta, dan
menggunakannya lebih sering daripada yang pernah saya lakukan sebelumnya. Katakanlah
saya seorang moralis. Kawan-kawan saya barangkali akan mengejek, terserahlah. Teknoshit
bilang bahwa mereka tidak menerima cintanya Ghandi karena perjuangan dengan
cinta itu tidak cocok untuk melawan penindas. Marjinal bilang cinta itu
pembodohan. Okelah, saya akui secara teori konsep berjuang dengan cinta itu
terlalu utopis, tapi kalau dia jadi gerakan, bukankah yang utopis itu bisa
menjadi realistis?
0 comments:
Post a Comment