Rss Feed
  1. Cinta yang Membebaskan? Hmm, :=)

    Saturday, November 2, 2013

    Dalam setahun terakhir ini saya pernah ditanyai beberapa kali tentang apa itu cinta, menurut saya. apa bedanya cinta dengan suka, peduli, kasih, sayang, perhatian, senang, dll. Hampir semuanya tidak sepakat dengan konsep yang saya utarakan.

    Mereka bilang saya punya konsep cinta yang aneh. Aneh itu biasa buat saya selama masuk akal. Dan sebenarnya pun penerimaan saya untuk menggunakan kata ini baru beberapa tahun terakhir. Sebelumnya saya bahkan ‘menghapuskan’ kata cinta dari kamus pikiran saya.

    Kala itu saya berpikir bahwa cinta adalah salah satu kata yang paling banyak disalahgunakan, karena ia merupakan salah satu kata yang membuat banyak kerusakan. Orang-orang membiarkan kata itu tanpa kejelasan agar ia mudah disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Ia menimbulkan perang, ia menimbulkan perpecahan, bahkan ia menimbulkan kebencian. Aneh, kita membenci atas nama cinta. Maka saya berpikir, satu-satunya cara adalah dengan menghapuskan kata itu dari kamus, dan menggantinya dengan kata semacam empati atau afeksi.

    Tapi kemudian saya mengubah pemikiran itu setelah bertemu dengan seseorang. Ya, bertemu secara imajinatif melalui pemikirannya. Dia yang membuat saya bisa menangis membaca buku dia, padahal bukunya itu buku yang filosofis. Hehe

    Membaca buku dia, membuat seluruh pertanyaan saya mengenai cinta terjawab, seluruh kebingungan saya menjadi masuk akal. Misalnya, kenapa kita melakukan peperangan membunuhi banyak orang, padahal kita tidak benci? Menurut orang ini, itu mungkin saja. Karena cintanya adalah cinta yang menindas.

    Cinta yang menindas dan cinta yang membebaskan

    Namun, pertemuan saya dengan buku “Pedagogy of The Opressed” membuat saya berpikir ulang mengenai kata itu. “Pedagogy of The Opressed” atau Pedagogi Kaum Tertindas merupakan buku yang dikarang oleh Paulo Freire, seorang pionir dalam pendidikan kritis a.k.a pendidikan pembebasan, pendidikan hadap masalah, atau pendidikan dialogis. Di dalamnya, saya membaca bahwa cinta adalah basis untuk pembebasan. Membaca buku itu, membuat saya berpikir, bahkan pemikir sekelas Paulo Freire saja mempertahankan penggunaan kata cinta. Sebenarnya bukan kata cinta, tapi “love”, karena saya membaca versi bahasa Inggrisnya yang saya unduh di internet.

    Kata love ini juga yang membuat saya tidak membedakan kata sayang, cinta, dan kasih sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Love sering kita artikan sebagai cinta. Tapi kata ini juga bisa diartikan sayang atau kasih sayang. Di negara asalnya, seorang ibu sangat senang sekali bila anaknya mengatakan ‘i love you, mom”. Tapi di Indonesia, agak aneh rasanya kalau seorang anak mengatakan,”aku mencintaimu, bu.” Lebih tepat jika mengatakan,”aku sayang ibu.” Padahal ya tidak apa-apa sebenarnya. Menurut saya itu cuma persoalan biasa atau tidak biasa menggunakannya.

    Itulah kenapa saat menerjemahkan kata love, saya sengaja mengartikannya dengan frasa ‘kasih sayang’. Sekalipun itu dalam konteks hubungan laki-kali perempuan, konteks yang membuat kata cinta itu begitu eksklusif dan sempit. Saya mengira kita terlalu latah menggunakan kata cinta, tanpa tahu benar apa yang kita gunakan itu. mengartikan kata love menjadi kasih sayang menurut saya adalah salah satu cara untuk membuat kata cinta menjadi kata yang terbuka dan tidak sempit lagi.

    Mengapa kata itu harus dibuat terbuka atau inklusif? Untuk itu, saya harus kembali ke konsep Freire tadi. Di dalam buku tersebut, Freire mendasarkan konsepnya pada Erich Fromm. Sayang, saya belum sempat baca buku Erich Fromm mengenai cinta ini. Erich Fromm pernah mengemukakan konsep nekrofili atau cinta kebendaan/kematian dan biofili atau cinta kehidupan.

    Apa itu cinta kebendaan/kematian? Menurut Fromm sebagaimana dikutip Freire, cinta ini adalah cinta kepada segala yang mati. Mencintai uang adalah salah satunya. Freire kemudian menjelaskan lebih lanjut, cinta kematian ini adalah dasar untuk segala bentuk penindasan. Jadi, menurut Freire, bahkan penindas itu pun melakukan penindasan bukan karena kebencian, tapi karena kecintaannya yang berlebihan terhadap sesuatu yang mati. Karakter cinta ini adalah cinta satu arah, possesif, statis/jumud/jalan di tempat, dan memaksakan.

    Sebaliknya cinta kehidupan adalah cinta kepada sesuatu yang hidup, misalnya manusia. bentuk cinta ini menganggap bahwa sebagaimana pecinta, yang dicintai pun tidak ada bedanya dengan dirinya sendiri. Itu artiknya, antara pecinta dan yang dicintai sama-sama memiliki kehendak bebas, sama-sama berhak untuk menentukan keputusannya masing-masing. Menurut Freire, inilah cinta yang membebaskan. Cinta ini memiliki karakter 2 arah/dialogis, mandiri, dinamis, dan toleran.

    Pembahasan tentang cinta nekrofili dan cinta biofili bisa ditemukan di bab 1 buku pedagogi kaum tertindas. Di bab 3, Freire membahas sedikit lagi mengenai cinta. Kali ini ia membahas tentang cinta yang menindas dan cinta yang membebaskan. Menurutnya cinta yang menindas berakar pada konsep sado-masokistik. sedangkan cinta yang membebaskan berakar pada konsep dialog.

    Apa itu cinta sado-masokistik? Sado-masokistik merupakan gabungan dari 2 kata, sadisme dan masokisme. Setahu saya, dalam kajian psikologi keduanya merupakan sebuah orientasi seksual yang dianggap tidak wajar. Sadisme merupakan orientasi seksual yang berhubungan dengan keinginan untuk selalu mendominasi dengan kekerasan saat berhubungan seksual. Sebaliknay, masokisme merupakan orientasi seksual yang berhubungan dengan keinginan untuk selalu didominasi atau pasrah secara sukarela dengan kekerasan saat berhubungan seksual.

    Namun, konsep sadisme dan masokisme bukanlah semata orientasi seksual, ia menjadi mentalitas. Mentalitas untuk mendominasi dan didominasi. Mentalitas inilah yang menurut Freire bukan merupakan kodratnya manusia. mentalitas sadisme dan masokisme adalah mentalitas yang kurang manusiawi bahkan kurang manusiawi. Cinta sado-masokistis merupakan hubungan diantara manusia yang tidak seimbang dan tidak manusiawi, karena satu pihak menafikkan kemanusiaan pihak yang lainnya. jika pecinta menafikkan kemanusiaan yang ia cinta, maka pecinta pun menjadi tidak manusia. akhirnya pecinta dan yang dicintai sama-sama “tidak menjadi manusia”.

    Manusia, menurut Freire, adalah makhluk yang dinamis. Ia adalah makhluk yang ‘tidak utuh’. Tidak utuh, karena ia selalu berusaha untuk menjadi sempurna. Itu artinya, manusia merupakan makhluk yang melalui pemikiran, bahasa, dan pengalamannya selalu berkembang dan selalu berproses. Singkatnya, manusia hanya menjadi manusia apabila ia terus berproses. Kodrat manusia untuk terus berproses berarti manusia hanya bisa dikatakan sebagai manusia apabila ia melakukan perubahan. Itu artinya, siapapun yang menolak perubahan sejatinya adalah orang yang menolak kemanusiaannya sendiri.

    Disinilah cinta yang membebaskan itu berperan. Agar manusia bisa melakukan perubahan, maka ia harus berinteraksi dengan manusia lain dengan cara dialog. Dialog berarti relasi yang seimbang diantara manusia untuk mencapai perubahan melalui diskusi yang terbuka tanpa ada satu pihak pun yang memaksakan keinginannya kepada pihak yang lainnya. artinya, dialog merupakan interaksi yang dilakukan dengan akal sehat dan toleransi.

    Freire berpendapat bahwa tidak akan pernah ada perubahan tanpa ada rasa Cinta, rasa cinta yang tulus kepada rakyat, rasa cinta yang memberinya energi untuk menjadi berani dan berkorban. Bukankah itu yang menjadi karakteristik rasa cinta? Namun, rasa cinta itu adalah cinta kehidupan atau cinta yang membebaskan. Bukan cinta kematian atau cinta sadomasokistis.

    Dengan cinta yang membebaskan a.k.a cinta dialogis, cinta kehidupan, atau cinta kemanusiaan, kita dapat membuat dunia ini menjadi lebih baik. Seperti Ghandi, Bunda Theresa, Malcom X, atau Martin Luther King. Mereka adalah orang-orang penuh rasa cinta menurut saya. mereka adalah orang yang berani mengangkat kodratnya kembali sebagai manusia dengan cara mencintai.

    Inilah yang membuat saya kembali menerima kata cinta, dan menggunakannya lebih sering daripada yang pernah saya lakukan sebelumnya. Katakanlah saya seorang moralis. Kawan-kawan saya barangkali akan mengejek, terserahlah. Teknoshit bilang bahwa mereka tidak menerima cintanya Ghandi karena perjuangan dengan cinta itu tidak cocok untuk melawan penindas. Marjinal bilang cinta itu pembodohan. Okelah, saya akui secara teori konsep berjuang dengan cinta itu terlalu utopis, tapi kalau dia jadi gerakan, bukankah yang utopis itu bisa menjadi realistis?



  2. 0 comments:

    Post a Comment