Rss Feed
  1. Pengampunan Versus Balas Dendam

    Sunday, January 19, 2014

    Do you believe in getting avenge?” kata pewawancaranya. Perempuan tua dengan rambut keriting botak di tengah kepalanya menjawab,

    Do you mean revenge?.”

    Yes,”

    Yes, i believe in revenge. I absolutely believe in revenge...i don’t believe ini forgiveness.” Kata perempuan itu.


    Dia bernama Fran Lebowitz. Tidak begitu banyak informasi yang saya ketahui mengenai perempuan ini. Wikipedia bilang dia merupakan Dorothy Parker baru. Siapa pula Dorothy Parker? Saya hanya mengenal Fran Lebowitz melalui sebuah film dokumenter berjudul “Fran Lebowitz: on Public Speaking”. Film ini terselip dalam satu folder berisi puluhan film dokumenter lain yang saya copy dari seorang teman.
    Dia sangat percaya diri. Berbicara dengan intonasi tegas, menggerak-gerakkan badan, wajah yang ekspresif. Dia berbicara seperti seorang vokalis band hadcore punk, sangat cepat, saya belum pernah mendengar seseorang berbicara dengan bahasa Inggris secepat itu. Saya harus mengulang-ngulang film tersebut agar dapat menangkap maksud pembicaraannya. Sampai saat ini, masih cukup banyak yang belum dapat dipahami.
       
    Menurutnya, “i love to talk.” Saya sangat suka berbicara”, katanya. Ya, kecepatan berbicara, dan ekspresinya menunjukkan itu. Dan menurutnya “i’m very judgemental”. Dia merupakan orang yang ‘sangat menghakimi.”

    Perkataan terakhir itu mengingatkan saya pada seorang sahabat yang mempercayai hal yang sama. Seorang sahabat yang akhir-akhir ini selalu ingin saya ceritakan. September tahun lalu saya pernah mengunjunginya. Kami berdebat panjang mengenai “forgiveness (pengampunan) dan revenge (balas dendam)”. Dalam perdebatan itu, saya menjadi seorang pendukung ‘pengampunan’ dan dia seorang pendukung ‘balas dendam’. Kami berdebat panjang karena beberapa beberapa persoalan kecil. Diantaranya mengenai keterlambatan saya sampai ke kamar kost-nya.

    Dia berbicara agak pedas saat saya tiba jam 9 malam. Padahal sebelumnya saya bilang saya akan tiba maksimal jam 7 malam. Saya dianggap tidak menepati janji. Saya diminta meminta maaf kepadanya dan harus melakukan sesuatu untuknya sebagai ganti atas permintaan maaf tersebut. Saya lupa apa pastinya waktu itu.

    Saya sampaikan alasan keterlambatan tersebut. Saya menunggu seseorang yang katanya ingin ikut. Tapi sampai maghrib saya menunggu, ternyata dia membatalkan secara sepihak.

    lu nggak marah sama dia?” katanya.

    “nggak, buat apa?”

    “ya, lu harus menuntut dia. Karena dia telah berbuat salah. Dia telah menyalahgunakan kepercayaan elu kepada dia,” katanya lagi.

    “aku tidak sepakat dengan itu. Janji harus ditepati. Harga diri lu sebagai manusia sudah diinjak-injak. Lu sudah dianggap remeh. Dan dia secara tidak lansungpun telah meremehkan kemanusiaannya sendiri.”

    “Aku tidak masalah soal itu. Aku memahami kenapa dia seperti itu. Aku pikir dia butuh waktu untuk berubah.”

    “tapi lu nggak boleh segitu mudahnya memaafkan. Gua sangat ketat soal janji. Kalau elu sudah janji, gua bakal tagih. Kalau elu nggak nepatin, gua bakal menghukum elu.

    “aku juga sama, buat aku janji ya janji. Harus ditepati. Aku tidak pernah menerima pengingkaran janjinya itu. Tapi karena kondisinya, gua berusaha memahami.”

    “Iya, tapi elu juga harus kasih dia sanksi.”

    “untuk apa?”

    “Agar dia tahu kalau setiap kesalahan layak mendapatkan hukuman.”

    “Iya, tapi hanya jika dia siap.”

    “Menurut lu, Tuhan memasukkan orang ke neraka karena dia siap? Nggak ada orang yang siap masuk ke neraka.”

    “Aku bukan Tuhan. Aku tidak dalam posisi menghukum, aku dalam posisi mendidik.”

    lu terlalu pemaaf, gua nggak setuju dengan cara mendidik lu itu.” katanya.”dan akibatnya lu yang tersingkir, mengasingkan diri.”

    Pada titik itu, saya terdiam. Sifat pemaaf itu, membuat saya kehilangan ‘ambisi’. Ketika saya, dengan segala idealisme saya tidak diterima, saya memaafkan. Namun tersingkir, karena tidak ingin membalas dendam.
    “aku tersingkir tapi aku tidak diam. Memaafkan bukan berarti berdiam diri.” Kataku membela diri. Dia kembali menilaiku. Sebaliknya aku pun tidak terima. Pembicaraan kami berlanjut dan berkembang semakin rumit. Aku yakin, banyak orang yang bakal bengong dengan pembicaraan kami. Kami mulai bicara tentang sah tidaknya perang sebagai balas dendam, tentang sikap Gandhi yang pemaaf, tentang karakter masyarakat yang mudah memaafkan pemimpin, tentang kemungkinan kediktatoran yang muncul karena balas dendam, tentang apakah perdamaian bisa terwujud melalui balas dendam atau pengampunan. Pembicaraan itu tidak berujung dan tidak selesai.

    Kami sering berseberangan pendapat mengenai banyak hal. Khususnya saat kami membela karakter masing-masing. Ketika kami membela alasan-alasan kami melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Perdebatan itu pun sebenarnya lebih menyerupai dialektika. Saat berdebat, tidak seorang dari kami berdua yang ingin mengalah. Setelahnya, baru kami berubah. Baru ada titik temu diantara kami berdua. Tesis bertemu anti-tesis menjadi sintesis.

    Dalam persoalan memaafkan dan balas dendam itu pun kami memiliki titik temu, walaupun belum final. Setidaknya saya berusaha lebih menghargai dia. Saya sadar, tindakan memaafkan tanpa menerapkan sanksi itu ternyata berefek buruk juga. Secara tidak sadar saya mulai menganggap remeh banyak hal. Misalnya, janji untuk datang mengunjunginya baru bisa terwujud bulan september. Padahal saya berkata akan datang bulan Juni.

    Saya menghargai pandangan itu, bahwa balas dendam itu penting. Dia, sebagaimana Fran Lebowitz, menganggap bahwa selama ada kesempatan untuk balas dendam, sekecil apapun itu, jangan biarkan dia lewat begitu saja. Penghargaan itu saya wujudkan dengan cara mematuhi aturannya saat saya melakukan sesuatu dengannya. Sebaliknya, saya katakan kepadanya, patuhi aturan saya saat dia melakukan sesuatu kepada saya.

    Menurut saya, akar dari persoalan memaafkan dan membalas dendam itu terletak pada pertentangan antara pemahaman (understanding) dan penghakiman (judgement). Saya belum bisa komentar banyak soal ini, karena masih ada hal-hal yang belum bisa saya jelaskan secara verbal. Namun, karakter kami berdua barangkali bisa menjadi ilustrasi.

    Kira-kira, perbedaan kami seperti perbedaan pendapat antara orang pendidikan dan orang hukum. Saya adalah seorang yang berusaha memahami situasi orang lain, menganggap bahwa seseorang punya masa lalu yang tidak pernah saya alami, dan saya tidak dapat menyalahkan apapun yang terjadi pada masa lalunya. Pengalaman masa lalu seseorang membentuk karakteristik berpikir, bersikap, dan bertindak seseorang. Konsekuensinya saya tidak bisa dengan serta-merta menghakimi orang lain. Saya ingin dan berusaha membuat dia berubah, tapi itu tidak mudah. Saya memaafkan demi masa lalunya. Saya akan melakukan cara lain untuk mengubah dia. Saya mengedepankan sisi edukatif.

    Teman saya juga sepakat dengan pandangan bahwa karakter seseorang dibentuk berdasarkan masa lalunya. Tapi sebagai seseorang yang bisa berpikir, seseorang mestinya tahu apa yang harus dipertahankan dan tidak dipertahankan. Bila dia membuat kesalahan, meskipun itu karena masa lalunya, dia tetap harus dihukum. Apabila dia dibiarkan, dia akan semakin merusak. Dia menghakimi demi masa depan. Teman saya mengedepankan sisi hukum.


    Saya belum tahu titik temu pastinya. Yang jelas, kecenderungan pada aspek edukatif pun bukan berarti menafikkan penghukuman, karena sebaliknya, hukuman pun memiliki aspek edukatif. Misalnya, apakah perlu memaafkan seorang koruptor atau perlu menghakimi seorang perempuan yang membunuh suaminya karena dia diperlakukan secara tidak manusiawi. Sampai dibatas mana saya perlu menghukum atau tidak; perlu membalas dendam atau tidak; dalam situasi apa; apakah perlu pengecualian atau tidak; saya belum tahu. 

  2. 0 comments:

    Post a Comment