“Do you believe in getting avenge?” kata
pewawancaranya. Perempuan tua dengan rambut keriting botak di tengah kepalanya
menjawab,
”Do you mean revenge?.”
“Yes,”
“Yes, i believe in revenge. I absolutely believe in
revenge...i don’t believe ini forgiveness.” Kata perempuan itu.
Dia bernama Fran Lebowitz. Tidak begitu banyak informasi
yang saya ketahui mengenai perempuan ini. Wikipedia bilang dia merupakan
Dorothy Parker baru. Siapa pula Dorothy Parker? Saya hanya mengenal Fran
Lebowitz melalui sebuah film dokumenter berjudul “Fran Lebowitz: on Public
Speaking”. Film ini terselip dalam satu folder berisi puluhan film dokumenter lain
yang saya copy dari seorang teman.
Dia sangat percaya diri. Berbicara dengan intonasi tegas,
menggerak-gerakkan badan, wajah yang ekspresif. Dia berbicara seperti seorang vokalis
band hadcore punk, sangat cepat, saya belum pernah mendengar seseorang
berbicara dengan bahasa Inggris secepat itu. Saya harus mengulang-ngulang film
tersebut agar dapat menangkap maksud pembicaraannya. Sampai saat ini, masih
cukup banyak yang belum dapat dipahami.
Menurutnya, “i love to talk.” Saya sangat suka
berbicara”, katanya. Ya, kecepatan berbicara, dan ekspresinya menunjukkan itu. Dan
menurutnya “i’m very judgemental”. Dia merupakan orang yang ‘sangat
menghakimi.”
Perkataan terakhir itu mengingatkan saya pada seorang
sahabat yang mempercayai hal yang sama. Seorang sahabat yang akhir-akhir ini
selalu ingin saya ceritakan. September tahun lalu saya pernah mengunjunginya. Kami
berdebat panjang mengenai “forgiveness (pengampunan) dan revenge
(balas dendam)”. Dalam perdebatan itu, saya menjadi seorang pendukung ‘pengampunan’
dan dia seorang pendukung ‘balas dendam’. Kami berdebat panjang karena beberapa
beberapa persoalan kecil. Diantaranya mengenai keterlambatan saya sampai ke
kamar kost-nya.
Dia berbicara agak pedas saat saya tiba jam 9 malam. Padahal
sebelumnya saya bilang saya akan tiba maksimal jam 7 malam. Saya dianggap tidak
menepati janji. Saya diminta meminta maaf kepadanya dan harus melakukan sesuatu
untuknya sebagai ganti atas permintaan maaf tersebut. Saya lupa apa pastinya
waktu itu.
Saya sampaikan alasan keterlambatan tersebut. Saya menunggu
seseorang yang katanya ingin ikut. Tapi sampai maghrib saya menunggu, ternyata
dia membatalkan secara sepihak.
“lu nggak marah sama dia?” katanya.
“nggak, buat apa?”
“ya, lu harus
menuntut dia. Karena dia telah berbuat salah. Dia telah menyalahgunakan
kepercayaan elu kepada dia,” katanya lagi.
“aku tidak sepakat
dengan itu. Janji harus ditepati. Harga diri lu sebagai manusia sudah
diinjak-injak. Lu sudah dianggap remeh. Dan dia secara tidak lansungpun
telah meremehkan kemanusiaannya sendiri.”
“Aku tidak masalah
soal itu. Aku memahami kenapa dia seperti itu. Aku pikir dia butuh waktu untuk
berubah.”
“tapi lu nggak
boleh segitu mudahnya memaafkan. Gua sangat ketat soal janji. Kalau elu
sudah janji, gua bakal tagih. Kalau elu nggak nepatin,
gua bakal menghukum elu.”
“aku juga sama, buat
aku janji ya janji. Harus ditepati. Aku tidak pernah menerima pengingkaran
janjinya itu. Tapi karena kondisinya, gua berusaha memahami.”
“Iya, tapi elu juga
harus kasih dia sanksi.”
“untuk apa?”
“Agar dia tahu kalau
setiap kesalahan layak mendapatkan hukuman.”
“Iya, tapi hanya jika
dia siap.”
“Menurut lu, Tuhan
memasukkan orang ke neraka karena dia siap? Nggak ada orang yang siap
masuk ke neraka.”
“Aku bukan Tuhan. Aku tidak
dalam posisi menghukum, aku dalam posisi mendidik.”
“lu terlalu
pemaaf, gua nggak setuju dengan cara mendidik lu itu.” katanya.”dan
akibatnya lu yang tersingkir, mengasingkan diri.”
Pada titik itu, saya
terdiam. Sifat pemaaf itu, membuat saya kehilangan ‘ambisi’. Ketika saya,
dengan segala idealisme saya tidak diterima, saya memaafkan. Namun tersingkir,
karena tidak ingin membalas dendam.
“aku tersingkir tapi
aku tidak diam. Memaafkan bukan berarti berdiam diri.” Kataku membela diri. Dia
kembali menilaiku. Sebaliknya aku pun tidak terima. Pembicaraan kami berlanjut
dan berkembang semakin rumit. Aku yakin, banyak orang yang bakal bengong dengan
pembicaraan kami. Kami mulai bicara tentang sah tidaknya perang sebagai balas
dendam, tentang sikap Gandhi yang pemaaf, tentang karakter masyarakat yang
mudah memaafkan pemimpin, tentang kemungkinan kediktatoran yang muncul karena
balas dendam, tentang apakah perdamaian bisa terwujud melalui balas dendam atau
pengampunan. Pembicaraan itu tidak berujung dan tidak selesai.
Kami sering
berseberangan pendapat mengenai banyak hal. Khususnya saat kami membela
karakter masing-masing. Ketika kami membela alasan-alasan kami melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Perdebatan itu pun sebenarnya lebih menyerupai dialektika. Saat
berdebat, tidak seorang dari kami berdua yang ingin mengalah. Setelahnya, baru
kami berubah. Baru ada titik temu diantara kami berdua. Tesis bertemu
anti-tesis menjadi sintesis.
Dalam persoalan
memaafkan dan balas dendam itu pun kami memiliki titik temu, walaupun belum
final. Setidaknya saya berusaha lebih menghargai dia. Saya sadar, tindakan
memaafkan tanpa menerapkan sanksi itu ternyata berefek buruk juga. Secara tidak
sadar saya mulai menganggap remeh banyak hal. Misalnya, janji untuk datang
mengunjunginya baru bisa terwujud bulan september. Padahal saya berkata akan
datang bulan Juni.
Saya menghargai
pandangan itu, bahwa balas dendam itu penting. Dia, sebagaimana Fran Lebowitz,
menganggap bahwa selama ada kesempatan untuk balas dendam, sekecil apapun itu,
jangan biarkan dia lewat begitu saja. Penghargaan itu saya wujudkan dengan cara
mematuhi aturannya saat saya melakukan sesuatu dengannya. Sebaliknya, saya
katakan kepadanya, patuhi aturan saya saat dia melakukan sesuatu kepada saya.
Menurut saya, akar
dari persoalan memaafkan dan membalas dendam itu terletak pada pertentangan
antara pemahaman (understanding) dan penghakiman (judgement). Saya
belum bisa komentar banyak soal ini, karena masih ada hal-hal yang belum bisa
saya jelaskan secara verbal. Namun, karakter kami berdua barangkali bisa
menjadi ilustrasi.
Kira-kira, perbedaan
kami seperti perbedaan pendapat antara orang pendidikan dan orang hukum. Saya adalah
seorang yang berusaha memahami situasi orang lain, menganggap bahwa seseorang
punya masa lalu yang tidak pernah saya alami, dan saya tidak dapat menyalahkan
apapun yang terjadi pada masa lalunya. Pengalaman masa lalu seseorang membentuk
karakteristik berpikir, bersikap, dan bertindak seseorang. Konsekuensinya saya
tidak bisa dengan serta-merta menghakimi orang lain. Saya ingin dan berusaha
membuat dia berubah, tapi itu tidak mudah. Saya memaafkan demi masa lalunya. Saya
akan melakukan cara lain untuk mengubah dia. Saya mengedepankan sisi edukatif.
Teman saya juga sepakat
dengan pandangan bahwa karakter seseorang dibentuk berdasarkan masa lalunya. Tapi
sebagai seseorang yang bisa berpikir, seseorang mestinya tahu apa yang harus
dipertahankan dan tidak dipertahankan. Bila dia membuat kesalahan, meskipun itu
karena masa lalunya, dia tetap harus dihukum. Apabila dia dibiarkan, dia akan
semakin merusak. Dia menghakimi demi masa depan. Teman saya mengedepankan sisi
hukum.
Saya belum tahu titik
temu pastinya. Yang jelas, kecenderungan pada aspek edukatif pun bukan berarti
menafikkan penghukuman, karena sebaliknya, hukuman pun memiliki aspek edukatif.
Misalnya, apakah perlu memaafkan seorang koruptor atau perlu menghakimi seorang
perempuan yang membunuh suaminya karena dia diperlakukan secara tidak
manusiawi. Sampai dibatas mana saya perlu menghukum atau tidak; perlu membalas
dendam atau tidak; dalam situasi apa; apakah perlu pengecualian atau tidak;
saya belum tahu.
0 comments:
Post a Comment