Bulan puasa, sebuah perbincangan teologis. Sudah lama
rasanya aku meninggalkan pembicaraan semacam itu. Dan tampaknya kau masih cukup
antusias. Aku akan melatihmu lagi, dengan segala istilah rumit yang selama ini
sengaja aku sembunyikan dari setiap perbincangan. Kau harus melatih memori,
rasa ingin tahu, dan sikap keras kepala untuk mencari jawabanmu sendiri. Tidak boleh
berhenti di sini.
Kau bertanya, untuk apa salat? Ku jawab,”Tidak perlu ada
alasan. Kalau dia wajib ya dikerjakan.” Kenapa? Hmm, aku hanya ingin memberikan
sedikit gambaran sebisaku saja. Dengan kutipan seingatku saja.
Salat, puasa, zakat adalah ritual. Terlepas dari apa tujuannya,
ia tetap harus dilaksanakan, tentu bila kau meyakini Allah, Muhammad, dan
al-Qur’an. Aku sedang tidak ingin terlibat pada perdebatan mana agama yang
benar, paling benar, atau tidak ada yang benar sama sekali. Prinsip dasar
ritual adalah kepatuhan. Tidak peduli apa alasannya, apa risikonya, ia tetap
harus dilaksanakan.
Semua agama, semua budaya, memiliki ritual yang
diulang-ulang. Misalnya, kenapa harus merayakan tahun baru, valentin, April mop?
Ku pikir, tidak banyak yang benar-benar punya alasan pasti, apalagi dasar yang
pasti. Lha, salat itu kan dasarnya sudah pasti kenapa harus ditanyakan
lagi alasannya? Padahal kita terlalu sering melakukan sesuatu yang kita bahkan
tidak tahu alasannya apalagi dasarnya?
Kita orang awam ini kerap kali berusaha mencapai ‘pikiran’ Allah.
Meraba-raba keinginannya, kemauannya, bahkan ‘pengetahuan’nya. Misalnya,
mengapa laki-laki ditinggikan satu derajat dari perempuan? Para ulama
berspekulasi, entah dari mana sumbernya, karena laki-laki lebih tajam akalnya,
lebih kuat, dan bla bla bla. Okelah, para ulama punya wawasan yang memadai untuk
menafsirkan itu, terlepas dari bias budaya patriarki di dalam tafsirnya. Tapi kita?
Membaca al-qur’an saja hampir tidak pernah, lalu dengan gegabah mencoba-coba
memahami ‘pikiran’ Allah.
Kita akan berhubungan dengan persoalan epistemologis. Di dalam
bukan Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Kuntowijoyo
mengajukan pertanyaan serupa: Apakah kita benar-benar mampu mengetahui al-Qur’an
sebagaimana al-Qur’an benar-benar menginginkannya? Seberapa mampu kita menghindari
bias-bias intelektual dan pengalaman kita dalam menafsirkannya? Kuntowijoyo
membiarkannya tetap menjadi misteri. Menurutnya, terlepas dari seberapa dekat atau
seberapa jauh kita dengan kebenaran sebagaimana yang dimaksudkan oleh al-Qur’an.
Al-qur’an adalah unsur konstitutif di dalam Islam. Artinya, al-Qur’an adalah
rujukan utama. Ia adalah ‘undang-undang’ dasarnya Islam. Al-qur’an bersifat
konstitutif dan mutlak, sementara tafsirannya bersifat debatable dan
dinamis.
Sebagian orang ada yang berusaha mempertentangkan al-Qur’an
dengan akal. Mana yang harus didahulukan. Itu adalah pertentangan yang tidak
dapat diterima. Al-Qur’an tidak satu kategori dengan akal. Al-Qur’an adalah
teks. Ia adalah sesuatu yang harus dijelaskan. Sementara akal adalah alat,
sesuatu yang digunakan untuk menjelaskan. Bagaimana mungkin mempertentangkan
supir bis dengan bis yang dikemudikannya? Tidak mungkin. Wahyu dan Akal tidak
bisa dipertentangkan. Tanpa akal, wahyu tidak akan pernah bisa ditafsirkan.
Masalahnya, tidak ada satu pun yang bisa dijelaskan tanpa
ada pengetahuan yang mendukungnya. Misalnya, bagaimana kau menjelaskan kata “rumah”.
Tanpa ada kata lain yang bisa kau kaitkan dengan kata itu, kau tidak bisa
menjelaskan apapun. Artinya, kita tidak bisa melepaskan diri dari budaya,
keyakinan, pemikiran filosofis, teori ilmiah yang kita miliki saat kita ingin
menjelaskan sesuatu. Inilah yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai bias
intelektual.
Jadi, bila engkau ingin mengutak-atik Islam. Saranku, kau
harus sadar dengan bias-bias intelektual yang mempengaruhimu dalam
mempertanyakan sesuatu. Kita semua memiliki keyakinan terdahulu yang kita
dapatkan dari refleksi atas pengalaman, bacaan, diskusi, ceramah, dan
semacamnya. Kau perlu tahu dari mana kau mendapatkan itu, siapa yang
mengatakannya padamu, siapa yang berteori, dan siapa saja yang mempengaruhinya.
Itulah kenapa, dalam sebuah buku aku pernah membaca, saat seseorang mempelajari
pemikiran filosofis, ia mau tidak mau harus mempelajari sejarah filsafat. Seorang
pemikir kritis tidak hanya berusaha memahami bagaimana sebuah teori dijelaskan,
tapi juga dari mana ia berasal.
Itulah kenapa kukatakan, hormati dan akui siapa pun yang
darinya kau mendapatkan pengetahuan. Ini bukan sekedar penghormatan. Namun,
juga sebagai pengingat. Saat kau mengutip sesuatu, pastikan kau tahu dari mana
kau mendapatkannya dan siapa yang mengatakannya. Agar kau tidak terjebak dalam
kebingungan yang tidak perlu saat situasi pemikiranmu semakin menyulitkan.
Kita kembali ke persoalan ritual tadi. Mengapa kita sering kali membutuhkan sesuatu
yang jelas tujuannya saat ingin melakukan sesuatu? Menurutku, karena kita
semakin dewasa. Kalau anak-anak, kita cenderung tidak akan bertanya ini dan
itu. Anak-anak akan ikut salat berjamaah sekalipun dia tidak tahu kenapa dan
bagaimana bacaannya. Sementara kita, dalam konsep andragogi atau pendidikan
orang dewasa, cenderung untuk mempertanyakan tujuan saat ingin melakukan
sesuatu. Bila kita pikir tidak ada tujuannya, maka itu tidak perlu dilakukan.
Apakah ada alasan untuk salat. Tentu ada. Misalnya, ‘salat
mencegah perbuatan keji dan mungkar’. Tapi aku adalah orang yang tidak
memedulikan persoalan teleologis semacam itu. Aku tidak mengingkarinya, hanya
tidak memedulikannya. Aku tidak boleh mengingkari, karena tujuan itu tertera
jelas di dalam teks wahyu, terlepas dari bagaimana penafsirannya.
Jika itu aku, maka buatku satu-satunya tujuan salat adalah
mendekatkan diri pada Allah. Bukankah di dalam organisasi yang kau ikuti ada disebut
dengan Masail Khamsah, Masalah Lima. Itu adalah definisi dasar dari 5
persoalan penting di dalam Islam, yaitu,
agama, ibadah, dunia, sabilillah, dan qiyas. Hayoo, sudah hapal
belum dengan masalah lima. :D
Dalam soal ibadah, organisasi itu merumuskan:
IBADAH dirumuskan sebagai:
Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan jalan menaati segala perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkan Allah.
Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus:
a. Yang umum ialah segala amalan yang diizinkan Allah
b. Yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu.
Ibadah yang umum itu disebut dengan ibadah ghairu mahdhah,
sementara ibadah khusus disebut dengan ibadah mahdhah. Persoalan hubungan
antar manusia, misalnya tentang ekonomi dan politik masuk ke dalam ibadah umum.
Sementara, salat dan puasa misalnya, masuk ke dalam ibadah khusus. Tentu semuanya
harus berdasarkan wahyu, sekalipun itu ibadah umum. Dalam persoalan kelima,
mengenai Qiyas, kau akan menemukan ini:
Bahwa di mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tidak bersangkutan dengan ibadah mahdhah padahal untuk alasan atasnya tiada terdapat nash sharih dan tegas) di dalam al-Quran atau as-Sunnah shahihah maka dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istinbath dari pada nash-nash yang ada melalui persamaan ‘illat ; sebagaimana telah dilakukan oleh ulama-ulama salaf dan khalaf.
Kau mungkin akan bertanya, kenapa kita harus kembali pada
wahyu. Itu karena ritual itu, ibadah itu, adalah ajaran agama tertentu. Keterlibatan
pemikiran lain hanya membuatmu menyimpang dari makna sebenarnya yang ingin kau
dapatkan. Lain persoalan bila kita sedang mendiskusikan apakah tuhan itu ada
atau tidak. Kau boleh melampaui batas doktrin agama dan pemikiran.
Ilustrasinya, kalau kau ingin menjelaskan sesuatu tentang ‘Komputer’ kau harus
mencari segala sesuatu tentang ‘komputer’, bukan tentang ‘Telepon Genggam’. Mungkin
saja ada sintesis antara ‘Komputer’ dengan ‘telepon genggam’ menjadi ‘tablet’,
tapi kau tidak bisa melakukannya bila kau tidak paham tentang ‘komputer’ dan ‘telepon
genggam’.
Kau harus kembali merujuk pada al-qur’an dan penjelasan para
intelektual muslim mengenainya. Jika ingin ketat kau harus membaca dan mengkaji
lebih banyak. Bukan sekedar hanya mendasarkan jawaban atas bantuan pengalaman
dan pemikiran yang kau sendiri tidak tahu dari mana asal muasalnya. Bukan tidak
boleh. Kuntowijoyo mengatakan itu pendekatan sintesis. Yaitu, memahami ajaran
berdasarkan pengalaman pribadi. Namun, yang demikian itu sangat subjektif dan resik
penyimpangannya lebih tinggi.
Kalau mau serius, ada kok disiplin ilmu yang berhubungan
dengan pertanyaanmu itu. Namanya, maqashid syar’iah. Di sana kau akan
berhadapan dengan persoalan tujuan dalam hukum Islam. Aku tidak mendalam soal
itu, jadi tidak berani bicara lebih banyak. Jika ingin tahu, silahkan pelajari
sendiri. :D
Sebagai penutup, seorang dosenku pernah ditanyai, “Kenapa
babi diharamkan?” Dosenku menjawab,”karena nash (teks)-nya berkata
begitu.” Selesai urusan. Jawaban itu tentu tidak menjawab pertanyaan sang
mahasiswa. Dosenku menambahkan, “Memang benar ada penelitian yang menyebutkan
bahwa babi memiliki dampak negatif, namun itu ada pula penelitian yang
menunjukkan babi bisa digunakan untuk kesehatan. Terus apakah itu akan membuat
babi menjadi halal? Kita tidak pernah tahu pasti apa tujuan Allah
mengharamkannya.”
0 comments:
Post a Comment