![]() |
www.bayattic.com |
Life is when we busy to think another thing. Hidup adalah ketika kita sibuk memikirkan hal lain. Saya lupa mengutip itu dari film apa. Bukan film Box Office tentunya. Saat ini, saya sedang mengalami hidup jenis itu, hidup ketika saya sibuk memikirkan hal lain.
Malam ini saya
masih seorang nokturnal, manusia malam. Sendiri, memikirkan diri. Seperti biasa
banyak yang terlintas. Gagasan-gagasan lama yang terus-menerus muncul dan minta
diuji kembali. Persoalan-persoalan yang saling bertentangan satu sama lain.
Saat saya memutuskan untuk menulis tulisan ini, saya sedang memikirkan
keterasingan.
***
Malam ini malam Ahad.
Sabtu malam, tapi bukan malam Minggu. Begitu kata saya kepada Ihya, sahabat
satu rumah kos. Bukan persoalan Islami atau tidak. Konotasi maknanya berbeda.
Malam Ahad adalah malam pertama dalam satu minggu. Malam Minggu adalah malam
terakhir. Yang pertama adalah hari pertama untuk memulai kesibukan, yang kedua
adalah hari untuk bersenang-senang dan melupakan pekerjaan.
Saya tidak pernah
punya malam Minggu. Seperti malam itu, saya sedang mengutak-atik skripsi untuk
terakhir kali. Sebelumnya Ihya mengajak saya ke Kampus kesayangannya, jurusan
Desain Komunikasi Visual MSD. Mulai duduk di depan pintu masuk kampus sampai
pulang, soal skripsi tidak lepas dari pikiran.
Sesaat saya
memutuskan bahwa draf skripsi saya sudah final, sebuah pesan singkat masuk.
‘Bay, sini nongkrong. Ada Edi Susilo’. Mas Fathoni mengajak saya keluar dari
kamar, penjara kesukaan saya.
Fathoni dan Edi
Susilo adalah dua orang yang dahulu menjadi teman diskusi setia kala saya masih
hidup sekontrakan dengan mereka di rumah ‘reot’ yang kami namakan Rumah
Semesta. Selain keduanya, masih ada orang-orang lain lagi yang juga suka
berdebat di rumah berhantu itu: Andre, Hardha, Harmoko, Putra, Deni, dan Chris.
Itu baru
penghuninya saja. Rumah Semesta adalah sebuah lokus yang menyatukan keragaman
mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan, tempat di mana kami semua kuliah. Rumah
Semesta adalah wilayah netral, tanggalkan sentimen keyakinan di depan pagar
masuk. Di dalamnya kau manusia biasa dengan hak setara, bahkan kucing pun
diperlakukan sama dengan manusia. Mungkin ada ratusan orang yang pernah singgah
di sana. Sekedar mampir, menumpang tidur, menumpang makan, berdebat, sampai
menumpang pacaran. Apapun yang ada di ruang tamu boleh dipergunakan dan dikonsumsi,
kecuali perempuan tentunya. Apapun boleh diperbincangkan, dari persoalan toilet
sampai tuhan. Sebagian orang bisa bertahan, kebanyakan hanya sekedar
jalan-jalan.
Singkatnya,
nostalgia itu refleks menggerakkan keinginan untuk kembali bercengkerama.
Alasan lainnya, bersama mereka adalah salah satu dari beberapa momen yang
membuat saya menjadi manusia ‘normal’ untuk sementara. Setelah berganti kostum,
saya dan adik saya meluncur ke De Kongkow, salah satu warung kopi di daerah
Gambiran.
***
Ini pertama
kalinya saya masuk ke warung kopi ini. Wajah-wajah familiar yang tidak saya
ingat namanya segera terlihat begitu saya masuk ke dalam. Setelah sekedar
menyapa, bersalaman, dan berbasa-basi saya mencari Fathoni dan Edi. Pencahayaan
redup menyulitkan saya menemukan mereka. Akhirnya ditemukan juga di bagian
tengah bersama dua orang lainnya. Satunya Istri mas Edi dan satu lagi, seorang
perempuan, tapi saya tidak ingat siapa namanya.
Perbincangan
seperti biasa. Topik-topik serius yang dibahas dengan jenaka. Di sisi lain kota
ini, perbincangan-perbincangan senada sedang terjadi. Manusia-manusia malam
tanpa kehidupan romantis, mengalihkan cintanya pada topik-topik yang sulit
dipahami orang kebanyakan. Bukankah cinta juga begitu? :-)
Tampaknya malam
itu saya kurang beruntung. Ihya telah mengejek saya karena masih saja
memikirkan skripsi ketika sedang nongkrong. Di sini pun saya jadi bahan ejekan
karena masih saja mencatat sesuatu. Kebetulan, teman istri mas Edi juga adalah
seorang jomblo, tidak punya pacar. Jadilah saya dan temannya itu bahan ejekan.
Saya tidak tahu
apakah saya terlalu terlihat seperti orang yang kurang ‘kasih sayang’, tidak
mengenal perempuan, tidak punya pacar, tepatnya tidak mau pacaran? Sial.
Fathoni sesukanya bergurau saya jomblo tanpa bertanya siapa pacar saya
sekarang. Walau pada faktanya memang tidak ada pacar. Atau lebih parah, saya
justru menjadi salah tingkah ketika digoda. Sesunyi itukah hidup saya?
***
Fathoni adalah
salah seorang yang saya kagumi. Wawasan dan sikap demokratisnya. Sederhananya,
dia selalu berhasil membuat saya melihat sudut pandang lain. Perjalanan skripsi
saya juga saya konsultasikan kepadanya. Terkadang saya merasa ia tidak setuju
dengan saja, tapi saya selalu gagal membaca itu di wajah dan
kalimat-kalimatnya. Alih-alih menolak, dia selalu memberi
pertimbangan-pertimbangan. Saya selalu merasa aman dengan orang-orang semacam
itu.
Saat itu kami
tinggal bertiga. Edi bersama istri dan temannya telah pulang lebih dahulu
karena anak mas Edi sudah rewel. Tidak lama kemudian Chris, adik saya, juga
ikut pulang karena tidak tahan dengan dingin, katanya.
Yogya memang
lebih dingin dari biasanya sekitar sebulan terakhir. Saya masih ingat ibu
penjaga warung langganan saya yang menggigil sewaktu saya membeli rokok di sana
sekitar jam 3 pagi. Padahal sedang musim panas.
Katakanlah kami
pasangan yang sedang dirundung cinta, dinginnya malam semakin meromantiskan
suasana. Perbincangan-perbincangan menjadi semakin privat. Malam selalu begitu.
Pada malam-malam lainnya, malam selalu bisa membuat orang membuka dirinya.
Membuat orang bermimpi, mendengkur, dengan jari-jari entah menjelajah ke mana
tanpa mereka sadari, membuat orang ingin bercerita soal rahasia-rahasia yang
disembunyikan dibalik topeng kehidupan siangnya.
Persoalan kami
sama, gamang pulang ke rumah. Aku merasa sebagaimana dia, orang tua telah
mempersiapkan sesuatu untuk kami di sana, di rumah yang telah jauh berbeda
sejak kami berangkat ke Yogya.
“Aku nggak tahu
mas, siap atau tidak kalau nanti pulang ke Riau”
“Kalau kata
Bourdieu, kamu sudah punya modal intelektual, tapi belum punya modal politik,
modal ekonomi, dan modal sosial. Orang-orang seperti itu biasanya lebih dekat
ke dunia pendidikan.”
Saya juga
berpikir demikian. Menjadi pendidik adalah salah satu pilihan terbaik yang bisa
dipikirkan. Saya tidak tegaan, itu membuat saya tidak bisa jadi pedagang. Saya
juga masih terlalu moralis untuk bisa menjadi seorang politisi. Dan toh, saya
juga bukan anak seorang terpandang agar bisa tiba-tiba dihormati ketika pulang
ke rumah.
“Tapi aku terlalu
berbeda, Mas. Ibuku cuma tahu aku merokok. Itu pun dia bilang aku harus
berhenti merokok kalau sudah di sana, soalnya aku disuruh melamar jadi guru di
sekolah Islam.” kataku sambil tertawa miris.”Dia belum tahu bagaimana kacaunya
hidupku di sini.”
“Jangan takutlah. kita memang terasing. Tanpa
sadar kita (mahasiswa) memang sengaja diasingkan. Kita tercerabut dari
kehidupan sosial kita. Kita jadi khawatir untuk pulang. yah, paling nanti shock
selama dua bulan. Aku yakin kamu bisa ngatasi itu. Tergantung analisis
sosialnya.”
“Tapi aku sudah
terlalu lama tidak pulang ke sana, Mas. Adikku bilang, di sana sudah banyak
berubah. Aku sama sekali nggak punya gambaran apa-apa.”
Saya diam
sebentar, teringat dengan curahan hati seorang teman lain. Dia seorang kutu
buku, melahap buku-buku posmodernisme. Buku-buku yang sampai sekarang masih
cukup sulit saya pahami. Dia berkata bahwa masalah terbesar ketika di kampung
halaman adalah menjaga idealisme dan menerjemahkan itu ke dalam bahasa yang
dipahami orang awam. Tampaknya dia kesulitan, dan kini memilih tinggal di
Yogya.
Barangkali itu
pula salah satu alasan kenapa banyak sarjana memilih tinggal di kota. Secara
psikologis, mereka tidak siap untuk kembali dan menghadapi persoalan yang
begitu berbeda dari bayangannya: pengangguran, sindiran, minim akses,
sendirian.
Masalah serupa
dialami oleh teman saya yang lain. Beruntungnya dia tinggal di Bantul, dekat
dengan pusat kota. Begitu dia terasing dia bisa melarikan diri ke kota. Atau
cerita teman lainnya lagi yang juga tinggal di Bantul. Setiap hari cuma
mendekam di rumah karena merasa tidak cocok dengan orang-orang di sekitarnya.
Apakah saya akan
seperti itu juga? Saya tidak ingin seperti itu.
“Di tempatku
lebih parah.” katanya,”Sudah tidak ada anak mudanya.”
“ya, aku juga
pernah dengar cerita itu dari beberapa orang teman. Di Gunung Kidul sama di
Magelang. Kalaupun ada paling cuma anak SMA.”
“Itu karena
sekolah masih dekat. Di tempatku, kalau tidak merantau kerja, ya kuliah. Aku
malah pernah diceritakan, ada kampung yang itu isinya cuma orang tua saja.”
Aku
berseloroh,”Kalau gitu, apa aku tinggal di Jawa aja ya, Mas? Lama-lama Jawa
makin kosong. Kita bisa ngerampok tanah.”
Kami tertawa
sejenak. Ia melanjutkan,”Ini ada hubungannya dengan pusat dan pinggiran yang
kita bicarakan tadi. Ada kekuatan apa yang bisa menarik orang-orang di
pinggiran sampai semuanya ke kota. Seperti magnet. Invisible Hand. Seperti
ada kekuatan Jin. Jin Ifrit saja tidak sekuat itu. Dulu waktu Sulaiman
memerintahkan jin untuk mengangkut istana Ratu Saba’, itu riil. Ada tenaganya
dan jelas yang dipindahkan. Tapi ini apa? Tidak kelihatan dan dia memindahkan
semua orang.”
Mas Fath selalu
handal memainkan simbol-simbol semacam itu, menjelaskan sesuatu tanpa memerinci
dengan logika.
“Dulu aku sempat
berdebat juga soal ini, Mas” tanggapku,”Apakah kita perlu tinggal di kota atau
ke daerah. Menurut dia, kalau mau mengembangkan jaringan dan pemikiran ya tinggal
di kota. Tapi, persoalannya, kota semakin padat. Kita akan bicara soal
pengembangan daerah. Sementara kita tidak tahu apa-apa soal kondisi di daerah.
Daerah tetap kosong, dan kita sebut tertinggal. Padahal kita enggan pulang ke
sana.”
“Barangkali itu
salah satu alasan aku ingin pulang ke daerah. Walaupun aku belum merasa siap
dengan kondisi-kondisi yang mungkin kuhadapi.” lanjutku.
Dia berkomentar,“Persoalannya
kita sadar. Kita sadar bahwa kita terasing. Kita bisa menjelaskan masalah kita dengan mencari penyebab-penyebabnya. Itu sudah modal. Masih banyak teman-teman kita lain yang nggak sadar sama sekali kalau mereka terasing. Akhirnya, ya, tetap terasing.”
“Persoalan
selanjutnya, adalah bagaimana cara mengatasinya.” sahutku
Dia
meluruskan,”Tepatnya, berapa lama kita mampu mengatasinya. Ada orang yang cepat
dan ada pula yang lambat.”
Berapa lama saya
baru bisa mengatasinya? Sebulan? Dua bulan? Setahun? Dua tahun? Dia bilang, ada
kekagetan saat kita pertama kali kembali muncul ke publik. Pikiran tidak mampu
mengendalikan tubuh. Kita merasa salah tingkah begitu saja. Seperti yang
kualami ketika tadi aku digoda. Berapa lama aku baru bisa mengatasi ini? Atau
aku terlalu khawatir?
Ah, entahlah. Saya
tidak ingin berspekulasi. Tapi pemikiran itu tidak bisa kuhindari.
Perbincangan-perbincangan semacam ini, entah berapa lama saya lalui. Selalu
saja tidak menghasilkan resolusi dan rasa aman. Barangkali perlu menceburkan
diri ke laut dulu, biar tahu bagaimana nikmatnya berenang, begitu cerita hikmah
yang pernah saya baca. Bagaimana kalau saya tenggelam. Tidak adakah pilihan
lain?
***
Aku berusaha
menangkap perbincangan kami malam itu sekenanya. Barangkali ada yang
kukarang-karang juga. Tapi aku yakin aku telah mengungkapkan intinya. Malam
itu, kami hidup ketika kami sibuk memikirkan hal-hal lain yang kami
khawatirkan.
Di perjalanan
pulang, dalam boncengannya saya bertanya,”Mas, nggak pernah merasa sakit karena
sendirian?”
Dia tertawa,”Ya
pernah, sering. Apalagi kalau ke kampus. Nggak ada yang dikenal. Terasing. Tapi
ya, tadi gimana cara ngatasinya aja.” Begitu kira-kira ia menjawab.
0 comments:
Post a Comment