Rss Feed
  1. Malam Lain, Masih Terasing

    Monday, September 15, 2014


    www.bayattic.com

    Life is when we busy to think another thing. Hidup adalah ketika kita sibuk memikirkan hal lain. Saya lupa mengutip itu dari film apa. Bukan film Box Office tentunya. Saat ini, saya sedang mengalami hidup jenis itu, hidup ketika saya sibuk memikirkan hal lain.

    Malam ini saya masih seorang nokturnal, manusia malam. Sendiri, memikirkan diri. Seperti biasa banyak yang terlintas. Gagasan-gagasan lama yang terus-menerus muncul dan minta diuji kembali. Persoalan-persoalan yang saling bertentangan satu sama lain. Saat saya memutuskan untuk menulis tulisan ini, saya sedang memikirkan keterasingan. 

    ***
    Malam ini malam Ahad. Sabtu malam, tapi bukan malam Minggu. Begitu kata saya kepada Ihya, sahabat satu rumah kos. Bukan persoalan Islami atau tidak. Konotasi maknanya berbeda. Malam Ahad adalah malam pertama dalam satu minggu. Malam Minggu adalah malam terakhir. Yang pertama adalah hari pertama untuk memulai kesibukan, yang kedua adalah hari untuk bersenang-senang dan melupakan pekerjaan. 

    Saya tidak pernah punya malam Minggu. Seperti malam itu, saya sedang mengutak-atik skripsi untuk terakhir kali. Sebelumnya Ihya mengajak saya ke Kampus kesayangannya, jurusan Desain Komunikasi Visual MSD. Mulai duduk di depan pintu masuk kampus sampai pulang, soal skripsi tidak lepas dari pikiran. 

    Sesaat saya memutuskan bahwa draf skripsi saya sudah final, sebuah pesan singkat masuk. ‘Bay, sini nongkrong. Ada Edi Susilo’. Mas Fathoni mengajak saya keluar dari kamar, penjara kesukaan saya. 
    Fathoni dan Edi Susilo adalah dua orang yang dahulu menjadi teman diskusi setia kala saya masih hidup sekontrakan dengan mereka di rumah ‘reot’ yang kami namakan Rumah Semesta. Selain keduanya, masih ada orang-orang lain lagi yang juga suka berdebat di rumah berhantu itu: Andre, Hardha, Harmoko, Putra, Deni, dan Chris. 

    Itu baru penghuninya saja. Rumah Semesta adalah sebuah lokus yang menyatukan keragaman mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan, tempat di mana kami semua kuliah. Rumah Semesta adalah wilayah netral, tanggalkan sentimen keyakinan di depan pagar masuk. Di dalamnya kau manusia biasa dengan hak setara, bahkan kucing pun diperlakukan sama dengan manusia. Mungkin ada ratusan orang yang pernah singgah di sana. Sekedar mampir, menumpang tidur, menumpang makan, berdebat, sampai menumpang pacaran. Apapun yang ada di ruang tamu boleh dipergunakan dan dikonsumsi, kecuali perempuan tentunya. Apapun boleh diperbincangkan, dari persoalan toilet sampai tuhan. Sebagian orang bisa bertahan, kebanyakan hanya sekedar jalan-jalan.

    Singkatnya, nostalgia itu refleks menggerakkan keinginan untuk kembali bercengkerama. Alasan lainnya, bersama mereka adalah salah satu dari beberapa momen yang membuat saya menjadi manusia ‘normal’ untuk sementara. Setelah berganti kostum, saya dan adik saya meluncur ke De Kongkow, salah satu warung kopi di daerah Gambiran. 

    ***
    Ini pertama kalinya saya masuk ke warung kopi ini. Wajah-wajah familiar yang tidak saya ingat namanya segera terlihat begitu saya masuk ke dalam. Setelah sekedar menyapa, bersalaman, dan berbasa-basi saya mencari Fathoni dan Edi. Pencahayaan redup menyulitkan saya menemukan mereka. Akhirnya ditemukan juga di bagian tengah bersama dua orang lainnya. Satunya Istri mas Edi dan satu lagi, seorang perempuan, tapi saya tidak ingat siapa namanya. 

    Perbincangan seperti biasa. Topik-topik serius yang dibahas dengan jenaka. Di sisi lain kota ini, perbincangan-perbincangan senada sedang terjadi. Manusia-manusia malam tanpa kehidupan romantis, mengalihkan cintanya pada topik-topik yang sulit dipahami orang kebanyakan. Bukankah cinta juga begitu? :-)

    Tampaknya malam itu saya kurang beruntung. Ihya telah mengejek saya karena masih saja memikirkan skripsi ketika sedang nongkrong. Di sini pun saya jadi bahan ejekan karena masih saja mencatat sesuatu. Kebetulan, teman istri mas Edi juga adalah seorang jomblo, tidak punya pacar. Jadilah saya dan temannya itu bahan ejekan. 

    Saya tidak tahu apakah saya terlalu terlihat seperti orang yang kurang ‘kasih sayang’, tidak mengenal perempuan, tidak punya pacar, tepatnya tidak mau pacaran? Sial. Fathoni sesukanya bergurau saya jomblo tanpa bertanya siapa pacar saya sekarang. Walau pada faktanya memang tidak ada pacar. Atau lebih parah, saya justru menjadi salah tingkah ketika digoda. Sesunyi itukah hidup saya?

    ***
    Fathoni adalah salah seorang yang saya kagumi. Wawasan dan sikap demokratisnya. Sederhananya, dia selalu berhasil membuat saya melihat sudut pandang lain. Perjalanan skripsi saya juga saya konsultasikan kepadanya. Terkadang saya merasa ia tidak setuju dengan saja, tapi saya selalu gagal membaca itu di wajah dan kalimat-kalimatnya. Alih-alih menolak, dia selalu memberi pertimbangan-pertimbangan. Saya selalu merasa aman dengan orang-orang semacam itu. 

    Saat itu kami tinggal bertiga. Edi bersama istri dan temannya telah pulang lebih dahulu karena anak mas Edi sudah rewel. Tidak lama kemudian Chris, adik saya, juga ikut pulang karena tidak tahan dengan dingin, katanya. 

    Yogya memang lebih dingin dari biasanya sekitar sebulan terakhir. Saya masih ingat ibu penjaga warung langganan saya yang menggigil sewaktu saya membeli rokok di sana sekitar jam 3 pagi. Padahal sedang musim panas. 

    Katakanlah kami pasangan yang sedang dirundung cinta, dinginnya malam semakin meromantiskan suasana. Perbincangan-perbincangan menjadi semakin privat. Malam selalu begitu. Pada malam-malam lainnya, malam selalu bisa membuat orang membuka dirinya. Membuat orang bermimpi, mendengkur, dengan jari-jari entah menjelajah ke mana tanpa mereka sadari, membuat orang ingin bercerita soal rahasia-rahasia yang disembunyikan dibalik topeng kehidupan siangnya.

    Persoalan kami sama, gamang pulang ke rumah. Aku merasa sebagaimana dia, orang tua telah mempersiapkan sesuatu untuk kami di sana, di rumah yang telah jauh berbeda sejak kami berangkat ke Yogya. 

    “Aku nggak tahu mas, siap atau tidak kalau nanti pulang ke Riau” 

    “Kalau kata Bourdieu, kamu sudah punya modal intelektual, tapi belum punya modal politik, modal ekonomi, dan modal sosial. Orang-orang seperti itu biasanya lebih dekat ke dunia pendidikan.”

    Saya juga berpikir demikian. Menjadi pendidik adalah salah satu pilihan terbaik yang bisa dipikirkan. Saya tidak tegaan, itu membuat saya tidak bisa jadi pedagang. Saya juga masih terlalu moralis untuk bisa menjadi seorang politisi. Dan toh, saya juga bukan anak seorang terpandang agar bisa tiba-tiba dihormati ketika pulang ke rumah.

    “Tapi aku terlalu berbeda, Mas. Ibuku cuma tahu aku merokok. Itu pun dia bilang aku harus berhenti merokok kalau sudah di sana, soalnya aku disuruh melamar jadi guru di sekolah Islam.” kataku sambil tertawa miris.”Dia belum tahu bagaimana kacaunya hidupku di sini.”

     “Jangan takutlah. kita memang terasing. Tanpa sadar kita (mahasiswa) memang sengaja diasingkan. Kita tercerabut dari kehidupan sosial kita. Kita jadi khawatir untuk pulang. yah, paling nanti shock selama dua bulan. Aku yakin kamu bisa ngatasi itu. Tergantung analisis sosialnya.”

    “Tapi aku sudah terlalu lama tidak pulang ke sana, Mas. Adikku bilang, di sana sudah banyak berubah. Aku sama sekali nggak punya gambaran apa-apa.” 

    Saya diam sebentar, teringat dengan curahan hati seorang teman lain. Dia seorang kutu buku, melahap buku-buku posmodernisme. Buku-buku yang sampai sekarang masih cukup sulit saya pahami. Dia berkata bahwa masalah terbesar ketika di kampung halaman adalah menjaga idealisme dan menerjemahkan itu ke dalam bahasa yang dipahami orang awam. Tampaknya dia kesulitan, dan kini memilih tinggal di Yogya. 

    Barangkali itu pula salah satu alasan kenapa banyak sarjana memilih tinggal di kota. Secara psikologis, mereka tidak siap untuk kembali dan menghadapi persoalan yang begitu berbeda dari bayangannya: pengangguran, sindiran, minim akses, sendirian. 

    Masalah serupa dialami oleh teman saya yang lain. Beruntungnya dia tinggal di Bantul, dekat dengan pusat kota. Begitu dia terasing dia bisa melarikan diri ke kota. Atau cerita teman lainnya lagi yang juga tinggal di Bantul. Setiap hari cuma mendekam di rumah karena merasa tidak cocok dengan orang-orang di sekitarnya. 

    Apakah saya akan seperti itu juga? Saya tidak ingin seperti itu. 

    “Di tempatku lebih parah.” katanya,”Sudah tidak ada anak mudanya.”

    “ya, aku juga pernah dengar cerita itu dari beberapa orang teman. Di Gunung Kidul sama di Magelang. Kalaupun ada paling cuma anak SMA.”

    “Itu karena sekolah masih dekat. Di tempatku, kalau tidak merantau kerja, ya kuliah. Aku malah pernah diceritakan, ada kampung yang itu isinya cuma orang tua saja.”

    Aku berseloroh,”Kalau gitu, apa aku tinggal di Jawa aja ya, Mas? Lama-lama Jawa makin kosong. Kita bisa ngerampok tanah.”

    Kami tertawa sejenak. Ia melanjutkan,”Ini ada hubungannya dengan pusat dan pinggiran yang kita bicarakan tadi. Ada kekuatan apa yang bisa menarik orang-orang di pinggiran sampai semuanya ke kota. Seperti magnet. Invisible Hand. Seperti ada kekuatan Jin. Jin Ifrit saja tidak sekuat itu. Dulu waktu Sulaiman memerintahkan jin untuk mengangkut istana Ratu Saba’, itu riil. Ada tenaganya dan jelas yang dipindahkan. Tapi ini apa? Tidak kelihatan dan dia memindahkan semua orang.”

    Mas Fath selalu handal memainkan simbol-simbol semacam itu, menjelaskan sesuatu tanpa memerinci dengan logika.

    “Dulu aku sempat berdebat juga soal ini, Mas” tanggapku,”Apakah kita perlu tinggal di kota atau ke daerah. Menurut dia, kalau mau mengembangkan jaringan dan pemikiran ya tinggal di kota. Tapi, persoalannya, kota semakin padat. Kita akan bicara soal pengembangan daerah. Sementara kita tidak tahu apa-apa soal kondisi di daerah. Daerah tetap kosong, dan kita sebut tertinggal. Padahal kita enggan pulang ke sana.”

    “Barangkali itu salah satu alasan aku ingin pulang ke daerah. Walaupun aku belum merasa siap dengan kondisi-kondisi yang mungkin kuhadapi.” lanjutku.

    Dia berkomentar,“Persoalannya kita sadar. Kita sadar bahwa kita terasing. Kita bisa menjelaskan masalah kita dengan mencari penyebab-penyebabnya. Itu sudah modal. Masih banyak teman-teman kita lain yang nggak sadar sama sekali kalau mereka terasing. Akhirnya, ya, tetap terasing.”

    “Persoalan selanjutnya, adalah bagaimana cara mengatasinya.” sahutku

    Dia meluruskan,”Tepatnya, berapa lama kita mampu mengatasinya. Ada orang yang cepat dan ada pula yang lambat.”

    Berapa lama saya baru bisa mengatasinya? Sebulan? Dua bulan? Setahun? Dua tahun? Dia bilang, ada kekagetan saat kita pertama kali kembali muncul ke publik. Pikiran tidak mampu mengendalikan tubuh. Kita merasa salah tingkah begitu saja. Seperti yang kualami ketika tadi aku digoda. Berapa lama aku baru bisa mengatasi ini? Atau aku terlalu khawatir?

    Ah, entahlah. Saya tidak ingin berspekulasi. Tapi pemikiran itu tidak bisa kuhindari. Perbincangan-perbincangan semacam ini, entah berapa lama saya lalui. Selalu saja tidak menghasilkan resolusi dan rasa aman. Barangkali perlu menceburkan diri ke laut dulu, biar tahu bagaimana nikmatnya berenang, begitu cerita hikmah yang pernah saya baca. Bagaimana kalau saya tenggelam. Tidak adakah pilihan lain?

    ***
    Aku berusaha menangkap perbincangan kami malam itu sekenanya. Barangkali ada yang kukarang-karang juga. Tapi aku yakin aku telah mengungkapkan intinya. Malam itu, kami hidup ketika kami sibuk memikirkan hal-hal lain yang kami khawatirkan.

    Di perjalanan pulang, dalam boncengannya saya bertanya,”Mas, nggak pernah merasa sakit karena sendirian?”

    Dia tertawa,”Ya pernah, sering. Apalagi kalau ke kampus. Nggak ada yang dikenal. Terasing. Tapi ya, tadi gimana cara ngatasinya aja.” Begitu kira-kira ia menjawab.





  2. 0 comments:

    Post a Comment