Pak Asep dulunya seorang konsultan hukum sukses. Ia juga
pernah menyambi sebagai jurnalis. Sampai berumur 75 tahun, tanahnya sudah
tersebar di berbagai tempat. Kalau dijumlah ada puluhan hektar juga.
Itu masa lalu. Ia bercerai, pergi dari rumah dengan baju di
badan dan beberapa surat tanah yang dapat ia selamatkan. Dua anak yang keduanya
perempuan tidak memedulikan. Sekarang ia hidup menumpang bersama seorang tua
lain di sebuah rumah tua. Rumah tanpa toilet (jangan anggap remeh pentingnya
toilet dalam sebuah rumah). Rumah dengan hanya satu lampu di ruang tengah,
sesak hingga siang hari pasti terasa gerah.
Jika menggunakan hiperbola, kondisi hidupnya mengenaskan.
Terima kasih kepada Tuhan jika ia dapat makan sayur dua hari sekali. Sering ia
harus menahan lapar hanya karena tidak tahan makan hanya berlauk sambal. Ada
sambal setiap hari sudah termasuk mewah. Tidak jarang ia hanya melihat nasi dan
garam di dapur. Berbeda dengan seorang tua satu lagi, Pak Asep tidak terbiasa
makan hanya dengan nasi dan garam. Dalam keadaan terpaksa, mau tidak mau hanya
makan nasi saja. Kalau perut dirasa masih tahan, ia memilih berpuasa makan.
Bagaimana ia berakhir seperti itu? Itu cerita lain. Saya
tidak pernah menginterogasi proses menyakitkan yang membuatnya terdampar di
rumah tua tersebut. Cerita kehidupannya hanya didapat melalui apa yang ia
ceritakan tanpa saya tanya. Tidak lebih. Yang saya tahu, sejak dua tahun
terakhir ia pergi dari rumah, dia sibuk menjual tanahnya dengan harapan ada
pegangan sampai ia mati nanti.
Urusan tanah itu juga masih belum selesai, padahal hampir
dua tahun dan sudah banyak uang keluar. Ia harus bolak-balik ke berbagai tempat
mengurusi uang penjualan tanah dengan hasil nihil. Orang harus angkat jempol
dengan usahanya. Tempat ia memiliki tanah bukannya dekat dari tempat ia
tinggal. Ia harus naik bus antar kota dan berjalan di bawah terik matahari.
Semua dilakukan sendirian tanpa teman. Dan pikir, umurnya 75 tahun! Bibir
bawahnya gemetaran sepanjang hari, mengangkat gelas pun sudah sulit. Dia sama
sekali tidak lincah, hanya sikap keras kepala yang tersisa sehingga ia mampu
pergi ke sana kemari.
Tanpa uang di tangan, ia harus pinjam ke sana kemari agar
bisa berangkat mengurus penjualan tanah. Tidak secara langsung, tapi melalui
seorang tua lain yang tinggal bersamanya. Namanya Pak Tri, 65 tahun. Pak Tri
sudah lebih dikenal di lingkungan sekitar, sehingga lebih mudah meminjamkan
uang. Tentu tidak selalu ada pinjaman. Kalau kebetulan uang sedang kosong di
tangan, tidak ada yang bisa dilakukan selain membaringkan tubuhnya yang sudah
sakit-sakitan di kamar pengap dan gelap.
Sedikit banyak saya bisa memahami bagaimana keadaannya,
bagaimana perasaannya. Apa yang dia rasakan pasti jauh lebih berat dari apa
yang mampu saya bayangkan. Suatu hari, ia pernah memukul seorang calon pembeli
karena emosi tidak kunjung dibayar tanahnya. Ia sampai berurusan dengan polisi
karena kejadian itu. Setiap kali saya datang dan bertemu dia, saya akan
diperdengarkan kekesalan yang sama, kekecewaan yang sama, ketidaksabaran yang
sama. Ia ceritakan berkali-kali, hampir setiap kali saya bertemu dengannya.
Keadaan pak Asep mempertegas kekhawatiran saya pada satu
hal: Saat orangtua semakin uzur, apa yang bisa saya lakukan? Pertanyaan itu
telah menggelayuti pikiran sejak beberapa tahun lalu. Sampai saat ini belum
saya temukan jawabannya.
Salah satu nenek saya pernah bilang, rambut saya berjambul,
kalau besar akan jadi anak durhaka. Saya tak percaya ilmu titen semacam
itu, tapi sempat beberapa kali saya dibilang anak durhaka oleh orang tua. Saya
khawatir, suatu hari benar-benar menjadi anak durhaka. Berapa banyak orang tua,
saat ia tidak lagi produktif bekerja, ditelantarkan anaknya? Saya mengenal
banyak. Baanyak. Apalagi pikiran saya sudah teracuni kota, gaya hidup tidak
acuh pada urusan orang lain.
Tapi agaknya, keadaan tersebut sudah berlangsung lama, lama
sejak sebelum gagasan ‘urus urusanmu sendiri’ mewabah di Indonesia. Cerita anak
durhaka sudah ada sejak zaman Malinkundang! Sudah begitu tua. Ilmu titen nenek
saya barangkali berasal dari pengamatan masa lalu bahwa sebagian besar anak
berjambul menjadi durhaka. Hah?!!
Barangkali, penelantaran orangtua masih akan terus ada
sampai Tuhan akhirnya memutuskan bumi harus diakhiri hayatnya. Mari ambil
beberapa contoh. Dari pada mengurusi orang tuanya, banyak yang justru sibuk
mengurusi pembagian harta warisan orang tua. Mereka yang sudah menikah memilih
diam, karena khawatir tidak adil. Tidak adil bila hanya memperhatikan orang tua
dari istri atau suami saja, namun tidak mampu bila harus memperhatikan
keduanya.
Sebenarnya, terlepas dari potensi kedurhakaan saya, saya
tidak habis pikir dengan sikap semacam itu. Secara, orang Indonesia itu dikenal
sebagai masyarakat guyub. Bahasa ilmu sosiologinya, masyarakat kolektif. Kita
sangat terikat dengan yang namanya kekeluargaan. Orang Jawa bilang: makan nggak
makan, yang penting ngumpul. Prinsip itu pula yang hendak dianut ibu saya yang
kebetulan orang Jawa. Dia tidak peduli saya kerja atau tidak, yang penting di
rumah.
Kata orang bijak, kasih orangtua sepanjang jalan, kenapa
kasih anak bisa hanya sepanjang sumbu mercon? Orangtua di masyarakat guyub rela
berkorban apa saja demi anak cucu. Orangtua tidak akan tahan melihat anaknya
menderita bahkan ketika anak-anaknya sudah menikah. Selagi mereka masih bisa
ikut campur memperbaiki kondisi kehidupan anaknya, mereka akan turun tangan.
Bagi (kebanyakan) mereka, kita selamanya anak-anak. Bukan sekedar anak, tapi
anak-anak.
Itu pula yang dipikirkan Pak Asep untuk kedua anaknya. Tegas
ia katakan, tidak mau berurusan dengan mantan istri lagi. Sementara untuk
anak-anak, dia akan memberikan beberapa bagian dari uang yang akan didapatkan
untuk mereka, walau mereka tidak perhatian. Anak tetap anak, begitu katanya.
Saya tidak berpikir anak-anak pak Asep anak durhaka. Barangkali
mereka juga ingin perhatian, tapi serba salah. Kita punya masalah yang sangat
akut dalam berhubungan. Apa yang tampak sering kali berbeda dengan apa yang
dipendam. Kita kerap tidak dapat mengutarakan isi pikiran dan bertindak seperti
yang diinginkan. Apalagi jika berhadapan dengan orang yang berposisi lebih
tinggi seperti orangtua.
Terkadang hubungan seperti itu sedemikian dalam sehingga
sedemikian sulit diubah. Bukan tidak ada yang ingin dilakukan, tapi apapun yang
akan dilakukan akan terlihat salah. Katakanlah, jika anaknya datang dan sering
memberi bantuan, orang akan berpikir anaknya tidak perhatian. Kenapa tidak
diajak tinggal bersama? Padahal bisa saja, bapaknya yang keras kepala, seperti
pak Asep misalnya. Anak lalu tidak datang, menuruti kata bapaknya, malah
dibilang orang lain kurang ajar.
Orang bilang, jangan pikirkan apa kata orang lain. Tidak, di
sini kita tidak bisa seperti itu. Apa yang dibilang orang lain itu penting. Bagi
orang seperti anak pak Asep, kata orang itu penting. Kata orang menggambarkan
bagaimana diri kita, walaupun bukan seperti itu diri kita sebenarnya. Kita
‘tidak ada’ tanpa pengakuan orang lain. Dan dianggap tidak ada itu menyakitkan.
Bisa jadi ada masalah lain yang membuat anak-anaknya tidak
dapat memberi perhatian. Masalah yang saya tidak ketahui sama sekali. Bagaimanapun
saya berharap salah satu anaknya berkenan merawat.
Merawat orang tua. Itu yang dipikirkan orang tua terhadap
anaknya. Saya belum jadi orang tua memang. Saya hanya mendapat cerita dari
orangtua-orangtua. Semua orang tua yang saya kenal berharap ketenangan di hari
tua, anak-anak sukses semua, kalau bisa berkumpul satu rumah. Hal yang terakhir
justru jarang terjadi. Anak-anak harus berpisah dengan orangtua saat ia menikah.
Beberapa siap bertetangga, sebagian lain jauh dari mereka.
Saat anak menikah urusan
sudah berbeda, rasa tidak nyaman barangkali saja menghinggapi menantu.
Hal ini dialami oleh seorang teman saya yang lain, yang merasa tidak nyaman
tinggal serumah dengan mertua. Bukan karena tidak suka, tapi segan.
Kalau mau mengikuti kebiasaan, saya bisa saja memerdekakan
diri dari tanggung jawab merawat orang tua. Anak-anak yang lahir terakhir
biasanya yang harus dikorbankan. Seperti adik saya, yang sudah diminta ibu agar
tidak kuliah jauh-jauh supaya bisa memperhatikan dia.
Tapi saya tidak ingin begitu. Okelah pada akhirnya adik saya
yang berkorban hidup dekat dengan orangtua, lalu haruskah saya menghilang tidak
jelas rimbanya? Kekhawatiran menjadi durhaka itu benar-benar menakutkan. Akhirnya
saya tertumbuk di pertanyaan yang sama, apa yang bisa dilakukan? Saya
benar-benar belum punya jawaban.
Banyak yang bilang, anak tidak akan pernah mampu membalas
pengorbanan orangtua. Tidak akan pernah cukup. Lantas apa perlu dipasrahkan
saja? Anggap pengorbanan mereka di masa lalu sebagai tugas mereka. Tugas itu
sudah rampung sekarang. Dan kita tinggal jalani hidup kita sendirian.
Ini bukan soal balas budi. Bukan soal take and give.
Bisa jadi kelahiran kita tanpa direncanakan, karena itu pula menghidupi kita
tanpa direncanakan. Para orangtua yang saya kenal tak pernah berpikir
membesarkan anak agar membayar kepada kita. Orangtua tidak pernah berpikir
membesarkan anak seperti membesarkan hewan ternak, kalau sudah besar dijual dan
dinikmati hasilnya. Tidak pernah.
Bukan tidak ada orangtua yang seperti itu, tapi itu lain
cerita.
Sebagian orang memilih, diam dan patuhi. Saya bisa diam,
tapi saya tidak dapat patuh. Maklum saya adalah produk masyarakat pasif
agresif. Saya punya harapan dan keinginan. Pandangan hidup saya juga berbeda
dengan orangtua. Di sini letak inti
persoalannya. Dari kasus yang serupa dengan saya, sebagian anak memilih melawan
secara langsung, sebagian lain memilih pergi dari rumah. Saya hendak memilih
opsi terakhir, tapi bagaimana jika saya kehilangan kesempatan memperhatikan
mereka? Saya tidak akan pernah memaafkan diri jika kedua orangtua terlantar
hidup menderita. Atau pahit-pahitnya, bagaimana jika saya kehilangan kesempatan
melihat wajah mereka untuk terakhir kali?
Barangkali saya terlalu jauh memikirkan hal yang belum saya
jalani sehingga saya tidak menemukan jawabannya. Jika itu dirimu, apa yang akan
kau lakukan?
0 comments:
Post a Comment