Rss Feed

  1. Punyanya www.patheos.com
    Saya kira, kebanyakan kita pernah mendengar nasihat ini: kalau kita di bawah jangan banyak protes ikuti sajalah. Yap, itu salah satu strategi ampuh untuk bertahan di pertarungan kehidupan. Dalam bahasa lebih bijak, mengalah untuk menang. Strategi ini menjadi cara untuk melawan orang lain, tanpa harus benar-benar terlibat dalam pertempuran yang akan merugikan diri.

    Ilmu psikologi menyebutnya pasif agresif. Saya sudah begitu lama mengenal kata satu ini, tapi tidak pernah benar-benar tahu maknanya sampai setahun yang lalu, saat membaca-baca tulisan mengenai mekanisme pertahanan diri. Pasif agresif memang merupakan salah satu jenis mekanisme pertahanan diri. Beberapa waktu lalu, saya kembali tertarik dengan ide pasif agresif. Saya menemukan, pasif agresif merupakan sebuah gaya berkomunikasi. Semakin jauh, saya menyadari, pasif agresif tidak hanya bersifat situasional, berlaku pada saat khusus, namun ia bagian dari budaya kita.
    ***

    Pasif agresif: Sekedar contoh

    Contoh pertama:

    Orang tua saya benar-benar kesal dengan para tetangganya saat Pemilihan Umum 2014 lalu. Kedua orang tua saya adalah kader sebuah partai politik, sebut saja para PAKSA. Sejak beberapa tahun sebelumnya, ia aktif mengusahakan bantuan-bantuan ke anggota dewan: sapi, ikan, dan sembako. Orang-orang yang dibantu berjanji akan memilih partai PAKSA, namun saat pemilihan ternyata pada hilang semua.

    Pengalaman orang tua saya pastinya dialami oleh ribuan calon legislatif juga. Sudah banyak mengeluarkan uang, eh ternyata tidak ada yang milih. Orang-orang biasa bilang, “kalo kita dikasih uang, diambil saja, tapi nanti tidak usah milih”.

    Contoh kedua:

    Ahmad memiliki tanah luas di sebuah daerah. Karena jauh dari rumah akhirnya tidak pernah digarap. Beberapa waktu ia tidak pernah melihat tanah tersebut, ternyata sudah ditanami oleh tanaman. Tanahnya bahkan sudah dicaplok orang lain. Yang mencaplok bukan siapa-siapa, temannya sendiri. Saat ditanya alasannya,”Siapa suruh punya tanah tidak dimanfaatkan, ya dicaplok orang lah.”

    Contoh tiga:

    Entah karena apa, Rustam merasa tidak cocok dengan Efendi. Efendi adalah seorang mantan tentara yang menguasai bela diri. Tidak mungkin Rustam mampu melawan. Rustam kemudian menjelek-jelekkan Efendi setiap kali dia bertemu orang lain untuk meningkatkan sentimen negatif orang lain terhadap Efendi.

    Kebetulan Rustam mendapat banyak dukungan. Suatu hari dia membawa puluhan orang ke rumah Efendi dan mengusir Efendi dari rumahnya.

    Contoh empat:

    Para anggota legislatif dan calon pemimpin pemerintahan biasanya selalu banyak berjanji saat Pemilu, tapi ketika terpilih malah mangkir. Setiap kali ditanyai, selalu menjawab,”Mohon bersabar, semuanya sedang dalam proses”

    Contoh kelima:

    Orang tertib berlalu lintas bila ada petugas, jika tidak lampu merah pun tidak kelihatan.
    ***

    Merasa Familiar?: That’s Passive-Agressive!


    Kita punya ungkapan untuk contoh-contoh di atas, seperti musuh dalam selimut, lempar batu sembunyi tangan, menggunting dalam lipatan, mengalah untuk menang, diam tapi melawan, atau menusuk dari belakang. Kita begitu terbiasa dengan contoh-contoh di atas, mulai dari lingkungan rumah, lingkungan pertemanan, masyarakat, organisasi, hingga pemerintahan. Contoh itu bisa ditambah sampai kita benar-benar kaget dengan betapa membudayanya pola pasif agresif di masyarakat.

    Saya tumbuh sebagai seorang pasif agresif. Banyak orang juga begitu. Pasif agresif merupakan sebuah mekanisme pertahanan diri sekaligus gaya berkomunikasi. Cara ini terutama dimanfaatkan saat kita merasa tidak berdaya, namun tidak ingin patuh. Dari pada harus berhadapan dengan konflik terbuka yang bisa mengancam diri, lebih baik diam tapi mencari cara untuk membalikkan keadaan. Jika keadaan tidak berbalik, ia tidak akan rugi apapun.

    Para pakar psikologi menganggap pasif agresif sebagai gangguan kejiwaan, dan tentu saja, sebuah penyakit sosial.  Saya sendiri tidak menganggap pasif agresif selalu buruk. Tapi coba pikir, berapa orang harus stres dan masuk rumah sakit jiwa karena sikap masyarakat terhadap para calon legislatif pada contoh di atas. Berapa banyak orang harus menderita karena janji-janji kosong para pemimpin?

    Pasif agresif bisa benar-benar merusak organisasi. Saya menghadapi banyak kasus seperti ini sewaktu masih aktif di organisasi mahasiswa dulu. Teman-teman ‘seperjuangan’ kerap menyetujui sesuatu, ternyata di belakang buat kesepakatan lain dengan orang lain. Teman-teman kerap menyetujui sebuah program, tapi saat diminta bekerja dan bertanggung jawab, hilang entah kemana.  

    Orang pasif agresif menunjukkan sikap pasif ketika berhadapan dengan orang lain, seperti tidak mau membantah, selalu mengiyakan, atau patuh. Namun dia menyimpan karakter agresif di dalam. Sikap-sikap yang tampak seperti: menghindari orang yang tidak disukai, menjelek-jelekkan di belakang, menunda atau mengerjakan sebuah pekerjaan yang diterima bila tidak suka. Orang pasif agresif berpotensi menjadi agresif saat dia memiliki kesempatan. Mau contoh: pemusnahan anggota PKI 1965 dan penyerangan etnis Cina 1998. Mengerikan bukan?
    ***

    Bagaimana kita menjadi pasif agresif

    Saya tumbuh sebagai seorang pasif agresif. Tentu banyak orang juga begitu. Kondisi sosial-budaya membentuk orang menjadi pasif, namun menyimpan sifat agresif di dalam dirinya. Saya sendiri harus menghadapi kekerasan oleh orang tua sejak kecil. Tidak ada tempat bagi saya untuk mengajukan pendapat, atau saya akan dimaki dan dipukul. Itu yang membentuk saya menjadi pendiam sekaligus pemberontak. Saya tahu, ada banyak orang seperti saya, harus menghadapi kerasnya kemauan orang tua, sekalipun kita tidak sepakat dengannya.

    Keadaan itu tidak hanya ada di rumah, namun juga di masyarakat. Masyarakat kita adalah masyarakat hierarkis, bertingkat-tingkat. Masih tinggi penghormatan terhadap orang berstatus sosial tinggi, kaya, berposisi tinggi, dan orang tua. Kita bahkan diajarkan: jangan pernah melawan mereka. Sebagian besar orang, menerima keadaannya dan menjadi pasif. Sebagian lain, seperti saya, yang menolak tunduk, menjadi pasif agresif.

    Pasif agresif merupakan gaya berkomunikasi yang buruk. Kekhawatiran kita dengan konflik yang benar-benar bisa merusak secara emosional maupun fisik, membuat kita memilih berdiam atau menarik diri tanpa harus mengikuti sesuatu. Saya kira, saya masih beruntung. Saya menyadari karakter pasif agresif saya, sehingga bisa mengendalikannya. Sebagian orang lain tidak tahu tapi terbiasa dengannya. Dia tidak sadar telah merusak banyak hal, tapi tetap merasa wajar.

    Ungkapan mengalah untuk menang barangkali muncul dari pengalaman-pengalaman nyata berhadapan dengan tatanan sosial hierarkis, otoriter, feodal, seperti yang masih kita hadapi sampai saat ini. Sepanjang hari kita masih menghadapi orang-orang berkuasa yang dengan kekuasaannya berpotensi berbuat seenak jidat. Apa yang terjadi bila kita melawan otoritas, orang-orang berkuasa? Kita akan disingkirkan. Para mahasiswa, bersiap-siaplah mendapat nilai E dan mengulang 3 tahun berturut-turut dengan dosen yang sama bila protes terhadapnya. Para karyawan bersiap-siaplah dipecat bila protes pada atasan. Bersiap-siaplah disingkirkan, dijatuhkan, dipojokkan.

    Siapa yang siap? Tidak ada yang siap diperlakukan seperti itu. Itulah kenapa, lebih baik kita mengalah sekalipun tidak sepakat. Mari mundur perlahan,”Dan lihat saja nanti Kau!” begitu umpat si pasif agresif dalam hati. :-)


  2. 0 comments:

    Post a Comment