Rss Feed
  1. Minjam dari zoerooney.com


    Iklan televisi itu durasinya sedemikian pendek, rata-rata hanya 30 detik. Hebatnya 30 detik itu mampu menangkap seluruh permasalahan kita dan membuat kita selalu bahagia dengan menggunakan produk yang diiklankan. Kamu akan selalu ceria dan bahagia dengan menggunakan shampo tertentu, parfum tertentu, moisturizer tertentu, cairan pembersih tertentu, alat kontrasepsi tertentu, dan seterusnya-dan seterusnya. Bukankah senyum dan keriangan selalu menyertai para tokoh iklan sebagai bukti keampuhan produk. Coba dengarkan musik latar di setiap iklan televisi, mana ada yang mellow dan galau. Semuanya ceria.

    Iklan rokok lebih hebat lagi. Iklan rokok benar-benar seperti mengiklankan kucing dalam karung. Jangankan melihat bentuk rokok, bahkan bungkusnya pun kita tidak pernah tahu. Bukankah seperti mengiklankan lelembut, tidak tahu rupa bentuknya? Tapi ia selalu berhasil menampilkan citra ideal orang-orang yang diharapkan menghisapnya, target pasarnya. Dan isinya tidak jauh-jauh dari kesuksesan, kebahagiaan, petualangan, dan keceriaan. Padahal semua tahu, siapapun, selalu ada kalimat “merokok membunuhmu” di akhir setiap iklan. Kenapa tidak ada musik latar seperti musik pengiring kematian di iklan itu. Saya berharap setidaknya saat pengiklan menunjukkan kalimat kematian itu, musik latar berubah menjadi musik pengiring kematian.

    Tiba-tiba, iklan menjadi pemberi petuah baru. Iklan tidak semata memberitahukan produk dan keunggulan produknya, namun menyisipkan petuah hidup di dalamnya. Tiba-tiba, sebuah operator berfilosofi tentang kebebasan. Tiba-tiba, iklan air mineral memberi nasihat mengenai lingkungan. Tiba-tiba iklan pembersih lantai bicara tentang perhatian terhadap anak. Iklan susu anak bicara tentang kecerdasan anak. Tiba-tiba, kita semakin dibingungkan mana iklan mana petuah.

    Tapi itu tidak jadi soal bagi saya. Saya selalu berharap, andaikata diberikan kesempatan. Saya ingin merasakan hidup seperti di iklan, walau 30 detik saja. Tidak jadi soal apakah saya harus membeli produk iklan, bahkan jika itu rokok atau alat kontrasepsi. Barangkali apa yang saya harapkan diharapkan pula oleh banyak orang. Bedanya, saya lebih sering hanya berangan-angan, sementara mereka langsung bertindak, bertindak membeli produk dengan harapan mendapatkan kebahagiaan seperti di iklan.

    Apa itu kebahagiaan?

    Apa itu kebahagiaan? Apa itu kebahagiaan? Apa itu kebahagiaan? Apa itu kebahagiaan? Bahagiakah saya? Entahlah. Saya sedang berhadapan dengan ‘dunia nyata’ sebagai lawan ‘dunia mahasiswa’. Di sini saya bertemu orang-orang dengan persoalan hidup konkret. Kalau gagal tidak bisa mengulang tahun depan, tapi kehilangan kesempatan selamanya. Tidak bisa seenaknya mengungkapkan pikiran atau akan kehilangan pekerjaan.

    Saya tekankan, ini bukan semata tentang saya. Saya masih seorang sarjana dengan bayang-bayang ‘dunia mahasiswa’, jadi belum benar-benar merasakan pahitnya hidup (alah..). Seorang bapak dua anak mengeluh tidak bisa buat rumah karena gaji pas-pasan, atau bapak yang khawatir masa depan pendidikan anak-anaknya, seorang teman lama jadi bandar sabu-sabu agar dapat makan, seorang adik disunat gajinya 3 juta rupiah perbulan, atau seorang teman lain mengeluh karena perusahaan hanya kontrak 3 bulan. Silakan tambahkan daftar orang yang terpaksa melakukan apa yang tidak diinginkan sekedar bertahan hidup dan mengeluh sepanjang hidup,

    Saya tidak tahu berapa banyak orang di dunia ini sebenarnya selalu bersemangat di dalam hidup, selalu merasa bahagia dengan kehidupannya. Jika hidup seperti di iklan, tentu hidup selalu cerah. Tapi hadapilah, hidup bukan iklan.

    Halo...jangan bilang mereka tak bersyukur. Tapi ups, saya pun tidak tahu apa artinya bersyukur. Bapak yang belum bisa bikin rumah tadi berkata,”Yang penting bisa makan sehari-hari sama anak bisa sekolah, sudah tenang kita.” Bukankah itu bentuk rasa syukur? Namun di lain waktu di bilang,”Kalau gaji kita segini, manalah cukup. Aku pun nggak tahu anakku nanti kukuliahkan atau nggak. Sama sekali belum ada gambaran.”

    Saya tidak tahu apa itu syukur, dan apakah itu penting. Saya bicara fakta, orang-orang yang saya temui. Singkirkan sejenak ceramah agama dan bla-bla-bla. Mereka semua tahu, tanpa diceramahi, merasa kadang-kadang tidak bersyukur. “Tapi bagaimana, keadaannya memang begitu.”

    Keadaan. Semua bicara keadaan. Di dunia nyata orang bilang dalam satu istilah yang sama, “Keadaan”. Di dunia mahasiswa, orang bilang keadaan itu dengan istilah “Sistem”. Keadaan dalam bahasa orang awam serupa dengan sistem dalam bahasa orang intelek. Ada keadaan yang membuat mereka (bahkan) takut berharap. "Nggak usah sok bicara kebebasan dan kesetaraan, kalau tidak mau dipecat, disingkirkan, atau dipinggirkan. Nggak usah banyak berharap, kalau mau ikuti aturan saya." begitu kira-kira orang-orang yang mengendalikan keadaan membuat ancaman tersirat. 

    Bahagia dan syukur itu seperti dua sisi mata uang. Kalau tak bersyukur, rasanya tak pernah cukup, dan takkan pernah bahagia. Tapi syukur dan bahagia, sifatnya sementara bagi banyak orang. Seolah selalu ada ancaman dalam hidupnya, “bagaimana jika tahun depan tidak dipakai perusahaan lagi? Mau dikasih makan apa anak-anak?”

    Di mana senyumanmu?

    Iklan selalu punya satu keserupaan, senyum tertebar di mana-mana. Senyum bisa menjadi penanda keceriaan, keceriaan bisa menjadi penanda kebahagiaan. Tapi pergilah ke jalan, di bis kota, di halte, di ruang tunggu, di mana pun tempat seseorang sendirian. Lihat di mana senyuman mereka?
    So, Hadapi dengan senyuman itu omong kosong. Barangkali tidak banyak orang yang benar-benar mampu tersenyum pada dirinya sendiri saat ia sendirian, kecuali bila sedang jatuh cinta atau dapat rezeki.

    Saya terbiasa mendapati tatapan kosong.

    Di mana semangat hidupmu?

    Saya bertanya pada seorang tua berumur 65 tahun,”Atuk, bagaimana cara menjaga semangat hidup?”
    Orang yang saya panggil Atuk itu terdiam.”Ah, saya pun tidak tahu, Nak. Tapi saya tahu, orang stres pasti bawaannya tidak sabar. Ibarat roda kita ini sedang di bawah. Jadi kita harus sabar. Pasti ada masanya nasib kita berubah.”

    Saat itu pula, saya menyadari pertanyaan mengenai semangat hidup mestinya adalah pertanyaan untuk anak muda, bukan untuk orang tua. Orang-orang tua lain yang saya temui juga tak pernah bicara soal semangat hidup. Tipikal pernyataan “yang penting dapat makan”, “asal dapat hidup”,”sebenarnya tidak tahan, tapi kalau tak begitu tak makan”, terlalu sering saya dengar. Pernyataan yang membuat kita mafhum: Kita tidak pernah bisa hidup seperti di iklan (seberapa banyak pun kita beli produk mereka).

    Bahkan iklan 30 detik barangkali dibuat orang-orang yang selalu tertekan karena pekerjaan. Hidup terlalu mudah kalau tidak ada proses. Dan proses itu menuntut kesabaran. Bahkan butuh waktu berbulan-bulan untuk membuat iklan 30 detik. Terserahlah orang mau bersyukur atau tidak, dia mau bahagia atau tidak, terserah kau mau tersenyum atau tidak, mau punya semangat hidup atau tidak, ada satu hal yang pasti, apapun yang terjadi kita harus bisa bersabar menjalani hidup. 

  2. 0 comments:

    Post a Comment