Yang wajib dari hati, adalah kata
Yang wajib dari kata, adalah tanya
Yang wajib dari tanya, adalah kita
Yang wajib dari kita, adalah cinta
(Sisir Tanah, Lagu Wajib)
Alkisah, seorang
Gadis Ahok ditanyai perihal rukun Islam dan rukun Iman. Penanya sepertinya
seorang anti Ahok, mungkin seorang alumni 212, mohon dikoreksi bila saya salah.
Lelaki yang bertanya itu sedang berjudi, bila pertanyaannya dijawab benar,
tidak akan diunggah videonya, kalau pertanyaannya dijawab kurang tepat, dia
yakin ini video pasti viral. Keimanannya bisa jadi sedemikian kuat sehingga
memenangkan perjudian.
Gadis yang
terlihat cantik dengan seragam kotak-kotak itu rupanya orang yang pernah
diperbincangkan sebelumnya di salah satu gerakan mahasiswa muslim yang tidak
signifikan – barangkali karena terbebani nama besar ‘bapaknya’ sehingga tidak
terlalu bergaung di kancah politik pergerakan nasional-, Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah. Bukan sekedar kader unyu-unyu di tingkat kampus, ia pernah di pimpinan
pusat. Pilihannya sebagai Gadis Ahok mengharuskannya keluar dari jajaran pimpinan
level tertinggi IMM. Entah apa alasannya menjadi Gadis Ahok, pastinya muslim
dan mukmin yang taat tidak akan memahaminya. Sialnya, dia jadi sasaran
kekesalan muslim dan mukmin yang taat, sebab katanya banyak non-muslimah
pendukung Ahok berhijab untuk meraih simpati umat. Setelah Nusron, Ella – nama gadis
jelita itu – kesandung batu.
Lebih parah, video semacam ini bisa berdampak buruk pada IMM. Bisa jadi bakal dipelintir di
GEMA HTI atau KAMMI, menjadi senjata mengkader mahasiswa-mahasiswa baru di
Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Ini bukti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah tidak
benar dalam memahamkan islam kepada anggota-anggotanya. Afwan Ikhwan
GEMA HTI dan KAMMI, no offense, sekedar memperkirakan sesuatu berdasarkan
pengalaman.
Saya tidak sempat
menonton video terlalu sampai selesai. Terlalu memalukan. Apalagi setelah
membaca salah satu komentar di bawah ini.

Sebagai keluaran
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, saya merasa perlu angkat bicara. Membela dan
melawan kebodohan dengan kebodohan saya. Jadi mohon maaf bila tulisan ini hanya
bodoh-bodohan saja. Bukan pernyataan resmi. Siapalah saya, sekedar sampah yang
menolak menjadi buih.
Anak TK aja Tau Rukun Islam dan
Rukun Iman
Sepanjang ingatan
religius saya, menjadi muslim dan mukmin itu sederhana: bersyahadat, lalu hidup
mematuhi Firman Allah dan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW. Menghafal rukun iman
dan rukun Islam tidak menjadikan seseorang muslim atau mukmin. Tidak hafal juga
mungkin tidak akan membatalkan keimanan dan keislamannya.
Formalisasi aspek-aspek
asasi keislaman dan keimanan kiranya ditujukan untuk kebutuhan edukatif,
kebutuhan pengajaran. Yang dimaksud formal tersebut adalah apa yang dihapalkan
oleh anak-anak muslim di sekolah-sekolah mereka. Rasulullah tidak mewariskan 5
rukun islam dan 6 rukun iman yang terformalkan tersebut, tidak dalam bentuk
tekstualnya yang diketahui secara luas saat ini. Lebih sulit menghapal ayat dan
hadits berkaitan islam dan iman tinimbang memadatkannya menjadi sebuah
daftar. Menyarikan ayat dan hadits ke dalam daftar memudahkan
repetisi-repetisi, memudahkannya untuk diingat.
Sehingga anak TK
pun mampu menghapalnya. Jangan salahkan
kalau ketika dewasa mereka tidak lagi hapal. Bisa jadi buah hati njenengan yang
dimodelkan karena bisa menyebutkan rukun islam dan iman akan sama gagap dan
diplomatisnya saat ditanyai soal yang sama 15-20 tahun kemudian. Alami. Hapalan
terlupakan karena berbagai hal: tidak pernah diulang, tergantikan dengan
ingatan yang lebih berguna, atau faktor umur.
Penelitian
menunjukkan otak kita punya kapasitas maksimal. Semacam perilaku terhadap
komputer, informasi-informasi tidak berguna dilempar ke recycle bin. Akhirnya
kita butuh waktu me-restore-nya kembali. Seperti menumpukkan buku-buku
SD di gudang, kita juga memperlakukan hal serupa pada ingatan. Perlu waktu
tidak sedikit membongkar gudang, menemukan apa yang dicari.
Ingatan juga
tidak bekerja bebas. Dari waktu ke waktu diakui emosi punya pengaruh terhadap
kemampuan memanggil ingatan tertentu. Orang yang tidak pernah berbicara di
depan umum sangat mungkin kehilangan sebagian hapalannya ketika ia gugup harus
menyampaikan pidato di sebuah majelis. Ketenangan dan sikap rileks membantu
otak menelusuri ingatan-ingatan yang diperlukan dan memanggilnya kembali. Bisa
saja sang gadis itu dalam kondisi tertekan, ego menguasainya karena pertanyaan
kekanak-kanakan, lalu lintas pikiran tiba-tiba menjadi sibuk, ingatan-ingatan
yang tidak diperlukan tiba-tiba muncul ke permukaan, ingatan tentang rukun iman dan islam tentang tetap aman tidak
tersentuh di gudang ingatan.
Saya cukup yakin
akan berbeda hasilnya bila dilakukan dalam diskusi terbuka, bukannya
pertanyaan-pertanyaan tertutup.
Sampai batas
tertentu, kurang tepat rasanya membandingkan anak TK dengan seorang perempuan
dewasa. Keduanya memiliki kemampuan berpikir, ruang kosong ingatan, dan fokus
pikiran berbeda. Anak-anak dapat menikmati apa yang mereka hapal sekalipun
tidak tahu maknanya. Informasi-informasi masih tidak terlalu banyak tersimpan
dan masih belum diperlukan dalam rangka hidup mandiri. Orang dewasa akan
menyingkirkan ingatan yang tidak diperlukan dalam rangka survivalitasnya. Pada
banyak kasus, terlalu banyak informasi masuk ke dalam kepala, menjadi
terspesialisasi, sehingga lupa letak kunci rumah, letak dompet, dan sebagainya.
Perbincangan-perbincangan
keseharian, atau bahkan religius, dengan orang-orang di sekitar kita akan
menunjukkan hal tersebut. Saya kerap menemukan orang yang mengatakan, ‘kayaknya
itu ada di al-Qur’an’, ‘itu hadits nabi’, ‘dulu ustadzku pernah bilang begitu’.
Kita tidak punya respons lain selain berusaha memahami, memberi tahu jika bisa.
Kita hanya bisa menghela napas, sebab tidak mungkin juga meminta mereka membaca
rujukan yang pasti. Kesibukan-kesibukan orang sering membuat mereka cepat
melupakan. Sekarang bilang akan dipelajari, tidak lama setelah itu anaknya
menangis, dan semuanya tinggal ucapan. Sejujurnya, persoalan-persoalan mendalam
dalam islam saja tidak akan mereka pelajari apalagi terus menerus menghapal
rukun Islam, rukun iman, atau butir-butir Pancasila. Tidak praktis, tidak
membantu kebertahanan hidup.
Pembuktian keislaman dan
keimanan
Ella mungkin saja
memang kurang beriman dan tidak taat beribadah mahdah – seperti shalat
lima waktu sehari dan puasa di bulan Ramadhan. Bisa jadi juga seperti kata
salah satu komentar, rukun islam dan iman saja tidak hafal, bagaimana dapat
beriman dan berislam dengan benar.
Bisa jadi juga
salah.
Dalam bodoh saya,
lebih gampang menilai islam dibandingkan iman. Mengerjakan kelima unsur termaktub
di dalamnya menjadikanmu terlihat muslim sepenuhnya. Iman lebih sulit, sebab
basisnya iman adalah pengakuan di dalam hati. Hanya iman tidak akan terbuktikan
bila sekedar pengakuan dalam hati.
Berdasarkan bacaan
yang dapat dilihat di bagian paling bawah tulisan ini, islam dibuktikan dari
pelaksanaannya. Iman juga sama, namun terdengar dalam ucapan juga. Islam dan
iman itu tindakan. Sepanjang bacaan saya, setiap unsur rukun islam dan rukun
iman yang tertera di hadits atau ayat selalu didahului kata kerja. Otomatis,
yang ada adalah berislam dan beriman: bertindak.
Saya tidak tahu
apakah tindakan Ella menjadi Gadis Ahok termasuk mengurangi iman atau tidak,
atau bahkan menjadikannya kafir. Tidak tahu, standarnya bisa berbeda-beda.
Keimanan membutuhkan hierarki pemikiran tertentu dan penafsiran tertentu
terhadap otoritas (al-Qur’an dan hadits) hingga seseorang dapat menemukan indikator-indikator
yang menjadikan orang beriman, kurang beriman, atau kafir. Tidak korupsi adalah
bentuk keimanan, menerima kenyataan karena ditolak pekerjaan juga bentuk
keimanan, tidak menipu saat berjualan juga bagian keimanan, dan lain-lain. Iman
ditunjukkan dari sikap-sikap dan tindakan-tindakan, sehingga politik pun bagian
dari keimanan. Bagi kelompok yang lebih radikal, mendukung Ahok jelas kurang
beriman atau bahkan kafir, tapi tidak bagi kelompok yang lebih moderat atau
liberal.
Yang jelas, video
tersebut salah kaprah bila keislaman dan keimanan dapat dibuktikan melalui hapalan
rukun iman dan rukun islam. Demikian pula para komentatornya. Lihat
kesehariannya, apakah dia shalat lima waktu, baru tentukan dia berislam dengan
benar atau tidak. Sedang soal iman, itu soal lain.
Viralnya video
tersebut agaknya lebih ke soal iman, bukan islam. Ya, ini soal iman. Iman
politik. Tapi kita mau ikut fatwa politik siapa?
Berempati di media sosial
Mungkin Ella lagi
berkurang imannya, tapi itu tidak masalah. Bukankah umum disepakati bahwa iman
dapat berkurang? Bertambah dan berkurangnya iman itu bagian dari dinamika
kehidupan seseorang. Dia bukan satu-satu orang di dunia, di Indonesia, atau di
Jakarta yang punya masalah sama.
Lalu kenapa cuma
dia yang di-bully?
Ella korban politik.
Salahnya sendiri mendukung Ahok. Ups, tidak boleh begitu, saya sedang berusaha
berempati. Masih banyak orang yang mengaku berislam dan beriman tapi tidak
hapal rukun islam dan rukun iman. Orang tua saya mungkin saja tidak hapal rukun
islam dan rukun iman. Begitu pula tetangga-tetangga saya. Hidup begitu sibuk
dan ketat sehingga tidak ada ruang tetap menjaga hapalan kedua rukun. Tidak
semua orang juga pergi ke TK untuk menghapalnya. Para penyair sufistik abad
ke-11 mengungkapkan,”Kini tasawuf adalah nama yang tanpa kenyataan, tetapi dulu
kenyataan tanpa nama...kepura-puraannya dikenal luas dan pelaksanaannya tidak
diketahui”. Ungkapan ini relevan dalam persoalan iman dan islam. Masalahnya
adalah menghapal nama dan atau melakukan dalam kenyataan.
Bagi banyak
orang, entah mereka hapal atau tidak, yang jelas kalau adzan maghrib ikut
shalat maghrib, kalau masuk bulan Ramadhan ikut puasa, besok lebaran hari ini
bayar zakat fitrah, kalau ada uang berangkat haji. Mereka mengakui keberadaan
malaikat entah siapa namanya; mengakui al-Qur’an meski kitab itu cuma pajangan
ruang tamu; mengakui qadha dan qadar meski kadang mengumpat kalau
penghasilan tidak mampu menutupi kebutuhan harian; Meyakini Allah, meyakini Rasulullah,
dan meyakini hari akhir meski kadang kalap kalau sudah urusan dunia.
Banyak orang
pula, hapal dengan baik rukun islam dan rukun iman, tapi tidak pernah
melakukannya sama sekali.
Saya tidak hendak
membela Ella, tapi menyerang mereka yang gegabah (dalam pikiran orang yang
tidak sepakat, sama saja, saya tetap membela Ella). 2016 lalu dianggap tahun
berita hoax, tahun ketika para penyebarnya meraup banyak uang, ketika
pembacanya menjadi hakim yang maha.
Kiranya percuma
meminta para hater menahan diri dan sejenak berefleksi diri. Jangankan Ella
yang cuma pion, orang sekelas Buya Syafi’i saja dibilang bagian tentara setan. Kebanyakan
mereka bilang mereka sedang membela al-Qur’an, membela agama Allah. Agaknya,
kasus Ahok yang menimbulkan berita-berita viral beruntun menjadi booster iman.
Agaknya pula, kebanyakan wadah imannya terlalu sempit sehingga bocor di
mana-mana, menenggelamkan pikiran dan emosi. Lisan tidak terjaga, mencaci maki
sekenanya di sosial media. Toh barangkali kesehariannya tidak ubahnya Ella,
sering naik turun imannya.
Barangkali kita
lupa atau madrasah-madrasah hapalan tidak pernah mendidik empati. Meletakkan diri
dalam posisi orang lain sebelum memberikan penilaian padanya. Mengapa kita
begitu tidak sabaran, padahal tidak akan membuat hidup lebih sulit?
Mari sejenak
meletakkan pikiran dan emosi di samping jasad, membiarkan diri terasuk dalam
pikiran dan emosi orang lain. Lalu kembali dan menemukan kesamaan. Dari kesamaan
beranjak ke gejala. Dari gejala beranjak ke fenomena. Dan perhatikan betapa
sempitnya dunia kita. Tidak hanya rukun islam dan rukun iman, kita bahkan telah
melupakan sekian banyak rukun lainnya. Tidak dapat mengingat rukun shalat,
rukun puasa, rukun zakat, rukun haji, dan sekian rukun lainnya. Hampir tidak
ada yang mempersoalkan itu. Orang akan bertanya pedas,”Bagaimana mungkin persoalan
asasi begitu mudah terlupa?” Jawabannya justru sebaliknya, justru karena dia
terlalu asasi dan abstrak sehingga terlupa.
Tapi iman kita
barangkali berbeda. Iman saya, mengakui Allah berarti mengakui setiap
makhluknya. Terlepas ia seiman atau tidak. Mencintai Allah berarti mencintai setiap
makhluk-Nya, terlepas apapun pandangan politiknya. Saya harus selalu mencari
cara terbaik menghormatinya, tanpa sedikitpun menahan sikap saya. Saya harus
mencari cara mengutuk tanpa harus menyakiti - meski sangat sulit atau bahkan
hampir tidak mungkin, sebab perbedaan membuat orang lain merasa tersakiti
begitu saja-, setidaknya berusaha mencari penjelasan paling berkepala dingin
yang saya bisa.
Mohon maaf sekali
lagi, karena kebodohan saya semakin parah, hilangkan saja fakta saya pernah di
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Saya tidak ingin mempermalukan IMM dan Muhammadiyah
lebih jauh. Mungkin saja saya akan dibilang hoaker, munafik, murtad, kafir. Sebutan
semacam itu akan menjadi citra buruk. Jadi ini adalah pandangan pribadi; secuil upaya mengurangi kebodohan saya sendiri (menulis konon dapat membuatmu tetap berpikir dan
berusaha mencari kesimpulan ‘lebih objektif’); pernyataan perang atas
kebodohan, pengutukan atas penghakiman, dan kemuakan atas kelatahan.
Bahan bacaan:
- Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah
- http://muslim.or.id/8631-definisi-iman.html
- Sumber: https://almanhaj.or.id/2956-bangunan-islam-syarah-rukun-islam-1.html
- https://hizbut-tahrir.or.id/2008/12/01/membuktikan-kebenaran-iman/
- http://muslim.or.id/425-islam-iman-ihsan.html
- https://sabilulilmi.wordpress.com/2013/09/29/iman-dan-akhlak/
- http://lifehacker.com/why-your-memory-sucks-and-what-you-can-do-about-it-596782066
- http://www.nytimes.com/2013/01/22/science/older-brain-is-willing-but-too-full-for-new-memories.html?_r=3&
- https://figureoneblog.wordpress.com/2013/05/02/why-do-we-remember-countless-song-lyrics-but-not-our-studies/
0 comments:
Post a Comment