Rss Feed
  1. Menghapal Iman dan Islam

    Wednesday, January 11, 2017


    Yang wajib dari hati, adalah kata
    Yang wajib dari kata, adalah tanya
    Yang wajib dari tanya, adalah kita
    Yang wajib dari kita, adalah cinta
    (Sisir Tanah, Lagu Wajib)

    Alkisah, seorang Gadis Ahok ditanyai perihal rukun Islam dan rukun Iman. Penanya sepertinya seorang anti Ahok, mungkin seorang alumni 212, mohon dikoreksi bila saya salah. Lelaki yang bertanya itu sedang berjudi, bila pertanyaannya dijawab benar, tidak akan diunggah videonya, kalau pertanyaannya dijawab kurang tepat, dia yakin ini video pasti viral. Keimanannya bisa jadi sedemikian kuat sehingga memenangkan perjudian.

    Gadis yang terlihat cantik dengan seragam kotak-kotak itu rupanya orang yang pernah diperbincangkan sebelumnya di salah satu gerakan mahasiswa muslim yang tidak signifikan – barangkali karena terbebani nama besar ‘bapaknya’ sehingga tidak terlalu bergaung di kancah politik pergerakan nasional-, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Bukan sekedar kader unyu-unyu di tingkat kampus, ia pernah di pimpinan pusat. Pilihannya sebagai Gadis Ahok mengharuskannya keluar dari jajaran pimpinan level tertinggi IMM. Entah apa alasannya menjadi Gadis Ahok, pastinya muslim dan mukmin yang taat tidak akan memahaminya. Sialnya, dia jadi sasaran kekesalan muslim dan mukmin yang taat, sebab katanya banyak non-muslimah pendukung Ahok berhijab untuk meraih simpati umat. Setelah Nusron, Ella – nama gadis jelita itu – kesandung batu.

    Lebih parah, video semacam ini bisa berdampak buruk pada IMM. Bisa jadi bakal dipelintir di GEMA HTI atau KAMMI, menjadi senjata mengkader mahasiswa-mahasiswa baru di Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Ini bukti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah tidak benar dalam memahamkan islam kepada anggota-anggotanya. Afwan Ikhwan GEMA HTI dan KAMMI, no offense, sekedar memperkirakan sesuatu berdasarkan pengalaman.

    Saya tidak sempat menonton video terlalu sampai selesai. Terlalu memalukan. Apalagi setelah membaca salah satu komentar di bawah ini.


    Sebagai keluaran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, saya merasa perlu angkat bicara. Membela dan melawan kebodohan dengan kebodohan saya. Jadi mohon maaf bila tulisan ini hanya bodoh-bodohan saja. Bukan pernyataan resmi. Siapalah saya, sekedar sampah yang menolak menjadi buih.

    Anak TK aja Tau Rukun Islam dan Rukun Iman


    Meneruskan bacaan komentar, saya temukan ini,



    Sepanjang ingatan religius saya, menjadi muslim dan mukmin itu sederhana: bersyahadat, lalu hidup mematuhi Firman Allah dan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW. Menghafal rukun iman dan rukun Islam tidak menjadikan seseorang muslim atau mukmin. Tidak hafal juga mungkin tidak akan membatalkan keimanan dan keislamannya.

    Formalisasi aspek-aspek asasi keislaman dan keimanan kiranya ditujukan untuk kebutuhan edukatif, kebutuhan pengajaran. Yang dimaksud formal tersebut adalah apa yang dihapalkan oleh anak-anak muslim di sekolah-sekolah mereka. Rasulullah tidak mewariskan 5 rukun islam dan 6 rukun iman yang terformalkan tersebut, tidak dalam bentuk tekstualnya yang diketahui secara luas saat ini. Lebih sulit menghapal ayat dan hadits berkaitan islam dan iman tinimbang memadatkannya menjadi sebuah daftar. Menyarikan ayat dan hadits ke dalam daftar memudahkan repetisi-repetisi, memudahkannya untuk diingat. 

    Sehingga anak TK pun mampu menghapalnya.  Jangan salahkan kalau ketika dewasa mereka tidak lagi hapal. Bisa jadi buah hati njenengan yang dimodelkan karena bisa menyebutkan rukun islam dan iman akan sama gagap dan diplomatisnya saat ditanyai soal yang sama 15-20 tahun kemudian. Alami. Hapalan terlupakan karena berbagai hal: tidak pernah diulang, tergantikan dengan ingatan yang lebih berguna, atau faktor umur.

    Penelitian menunjukkan otak kita punya kapasitas maksimal. Semacam perilaku terhadap komputer, informasi-informasi tidak berguna dilempar ke recycle bin. Akhirnya kita butuh waktu me-restore-nya kembali. Seperti menumpukkan buku-buku SD di gudang, kita juga memperlakukan hal serupa pada ingatan. Perlu waktu tidak sedikit membongkar gudang, menemukan apa yang dicari.

    Ingatan juga tidak bekerja bebas. Dari waktu ke waktu diakui emosi punya pengaruh terhadap kemampuan memanggil ingatan tertentu. Orang yang tidak pernah berbicara di depan umum sangat mungkin kehilangan sebagian hapalannya ketika ia gugup harus menyampaikan pidato di sebuah majelis. Ketenangan dan sikap rileks membantu otak menelusuri ingatan-ingatan yang diperlukan dan memanggilnya kembali. Bisa saja sang gadis itu dalam kondisi tertekan, ego menguasainya karena pertanyaan kekanak-kanakan, lalu lintas pikiran tiba-tiba menjadi sibuk, ingatan-ingatan yang tidak diperlukan tiba-tiba muncul ke permukaan, ingatan tentang rukun iman dan islam tentang tetap aman tidak tersentuh di gudang ingatan.

    Saya cukup yakin akan berbeda hasilnya bila dilakukan dalam diskusi terbuka, bukannya pertanyaan-pertanyaan tertutup.

    Sampai batas tertentu, kurang tepat rasanya membandingkan anak TK dengan seorang perempuan dewasa. Keduanya memiliki kemampuan berpikir, ruang kosong ingatan, dan fokus pikiran berbeda. Anak-anak dapat menikmati apa yang mereka hapal sekalipun tidak tahu maknanya. Informasi-informasi masih tidak terlalu banyak tersimpan dan masih belum diperlukan dalam rangka hidup mandiri. Orang dewasa akan menyingkirkan ingatan yang tidak diperlukan dalam rangka survivalitasnya. Pada banyak kasus, terlalu banyak informasi masuk ke dalam kepala, menjadi terspesialisasi, sehingga lupa letak kunci rumah, letak dompet, dan sebagainya.

    Perbincangan-perbincangan keseharian, atau bahkan religius, dengan orang-orang di sekitar kita akan menunjukkan hal tersebut. Saya kerap menemukan orang yang mengatakan, ‘kayaknya itu ada di al-Qur’an’, ‘itu hadits nabi’, ‘dulu ustadzku pernah bilang begitu’. Kita tidak punya respons lain selain berusaha memahami, memberi tahu jika bisa. Kita hanya bisa menghela napas, sebab tidak mungkin juga meminta mereka membaca rujukan yang pasti. Kesibukan-kesibukan orang sering membuat mereka cepat melupakan. Sekarang bilang akan dipelajari, tidak lama setelah itu anaknya menangis, dan semuanya tinggal ucapan. Sejujurnya, persoalan-persoalan mendalam dalam islam saja tidak akan mereka pelajari apalagi terus menerus menghapal rukun Islam, rukun iman, atau butir-butir Pancasila. Tidak praktis, tidak membantu kebertahanan hidup.

    Pembuktian keislaman dan keimanan


    Ella mungkin saja memang kurang beriman dan tidak taat beribadah mahdah – seperti shalat lima waktu sehari dan puasa di bulan Ramadhan. Bisa jadi juga seperti kata salah satu komentar, rukun islam dan iman saja tidak hafal, bagaimana dapat beriman dan berislam dengan benar.

    Bisa jadi juga salah.

    Dalam bodoh saya, lebih gampang menilai islam dibandingkan iman. Mengerjakan kelima unsur termaktub di dalamnya menjadikanmu terlihat muslim sepenuhnya. Iman lebih sulit, sebab basisnya iman adalah pengakuan di dalam hati. Hanya iman tidak akan terbuktikan bila sekedar pengakuan dalam hati.

    Berdasarkan bacaan yang dapat dilihat di bagian paling bawah tulisan ini, islam dibuktikan dari pelaksanaannya. Iman juga sama, namun terdengar dalam ucapan juga. Islam dan iman itu tindakan. Sepanjang bacaan saya, setiap unsur rukun islam dan rukun iman yang tertera di hadits atau ayat selalu didahului kata kerja. Otomatis, yang ada adalah berislam dan beriman: bertindak.

    Saya tidak tahu apakah tindakan Ella menjadi Gadis Ahok termasuk mengurangi iman atau tidak, atau bahkan menjadikannya kafir. Tidak tahu, standarnya bisa berbeda-beda. Keimanan membutuhkan hierarki pemikiran tertentu dan penafsiran tertentu terhadap otoritas (al-Qur’an dan hadits) hingga seseorang dapat menemukan indikator-indikator yang menjadikan orang beriman, kurang beriman, atau kafir. Tidak korupsi adalah bentuk keimanan, menerima kenyataan karena ditolak pekerjaan juga bentuk keimanan, tidak menipu saat berjualan juga bagian keimanan, dan lain-lain. Iman ditunjukkan dari sikap-sikap dan tindakan-tindakan, sehingga politik pun bagian dari keimanan. Bagi kelompok yang lebih radikal, mendukung Ahok jelas kurang beriman atau bahkan kafir, tapi tidak bagi kelompok yang lebih moderat atau liberal.

    Yang jelas, video tersebut salah kaprah bila keislaman dan keimanan dapat dibuktikan melalui hapalan rukun iman dan rukun islam. Demikian pula para komentatornya. Lihat kesehariannya, apakah dia shalat lima waktu, baru tentukan dia berislam dengan benar atau tidak. Sedang soal iman, itu soal lain.

    Viralnya video tersebut agaknya lebih ke soal iman, bukan islam. Ya, ini soal iman. Iman politik. Tapi kita mau ikut fatwa politik siapa?

    Berempati di media sosial


    Mungkin Ella lagi berkurang imannya, tapi itu tidak masalah. Bukankah umum disepakati bahwa iman dapat berkurang? Bertambah dan berkurangnya iman itu bagian dari dinamika kehidupan seseorang. Dia bukan satu-satu orang di dunia, di Indonesia, atau di Jakarta yang punya masalah sama.

    Lalu kenapa cuma dia yang di-bully?

    Ella korban politik. Salahnya sendiri mendukung Ahok. Ups, tidak boleh begitu, saya sedang berusaha berempati. Masih banyak orang yang mengaku berislam dan beriman tapi tidak hapal rukun islam dan rukun iman. Orang tua saya mungkin saja tidak hapal rukun islam dan rukun iman. Begitu pula tetangga-tetangga saya. Hidup begitu sibuk dan ketat sehingga tidak ada ruang tetap menjaga hapalan kedua rukun. Tidak semua orang juga pergi ke TK untuk menghapalnya. Para penyair sufistik abad ke-11 mengungkapkan,”Kini tasawuf adalah nama yang tanpa kenyataan, tetapi dulu kenyataan tanpa nama...kepura-puraannya dikenal luas dan pelaksanaannya tidak diketahui”. Ungkapan ini relevan dalam persoalan iman dan islam. Masalahnya adalah menghapal nama dan atau melakukan dalam kenyataan.

    Bagi banyak orang, entah mereka hapal atau tidak, yang jelas kalau adzan maghrib ikut shalat maghrib, kalau masuk bulan Ramadhan ikut puasa, besok lebaran hari ini bayar zakat fitrah, kalau ada uang berangkat haji. Mereka mengakui keberadaan malaikat entah siapa namanya; mengakui al-Qur’an meski kitab itu cuma pajangan ruang tamu; mengakui qadha dan qadar meski kadang mengumpat kalau penghasilan tidak mampu menutupi kebutuhan harian; Meyakini Allah, meyakini Rasulullah, dan meyakini hari akhir meski kadang kalap kalau sudah urusan dunia.

    Banyak orang pula, hapal dengan baik rukun islam dan rukun iman, tapi tidak pernah melakukannya sama sekali.

    Saya tidak hendak membela Ella, tapi menyerang mereka yang gegabah (dalam pikiran orang yang tidak sepakat, sama saja, saya tetap membela Ella). 2016 lalu dianggap tahun berita hoax, tahun ketika para penyebarnya meraup banyak uang, ketika pembacanya menjadi hakim yang maha.

    Kiranya percuma meminta para hater menahan diri dan sejenak berefleksi diri. Jangankan Ella yang cuma pion, orang sekelas Buya Syafi’i saja dibilang bagian tentara setan. Kebanyakan mereka bilang mereka sedang membela al-Qur’an, membela agama Allah. Agaknya, kasus Ahok yang menimbulkan berita-berita viral beruntun menjadi booster iman. Agaknya pula, kebanyakan wadah imannya terlalu sempit sehingga bocor di mana-mana, menenggelamkan pikiran dan emosi. Lisan tidak terjaga, mencaci maki sekenanya di sosial media. Toh barangkali kesehariannya tidak ubahnya Ella, sering naik turun imannya.

    Barangkali kita lupa atau madrasah-madrasah hapalan tidak pernah mendidik empati. Meletakkan diri dalam posisi orang lain sebelum memberikan penilaian padanya. Mengapa kita begitu tidak sabaran, padahal tidak akan membuat hidup lebih sulit?

    Mari sejenak meletakkan pikiran dan emosi di samping jasad, membiarkan diri terasuk dalam pikiran dan emosi orang lain. Lalu kembali dan menemukan kesamaan. Dari kesamaan beranjak ke gejala. Dari gejala beranjak ke fenomena. Dan perhatikan betapa sempitnya dunia kita. Tidak hanya rukun islam dan rukun iman, kita bahkan telah melupakan sekian banyak rukun lainnya. Tidak dapat mengingat rukun shalat, rukun puasa, rukun zakat, rukun haji, dan sekian rukun lainnya. Hampir tidak ada yang mempersoalkan itu. Orang akan bertanya pedas,”Bagaimana mungkin persoalan asasi begitu mudah terlupa?” Jawabannya justru sebaliknya, justru karena dia terlalu asasi dan abstrak sehingga terlupa.

    Tapi iman kita barangkali berbeda. Iman saya, mengakui Allah berarti mengakui setiap makhluknya. Terlepas ia seiman atau tidak. Mencintai Allah berarti mencintai setiap makhluk-Nya, terlepas apapun pandangan politiknya. Saya harus selalu mencari cara terbaik menghormatinya, tanpa sedikitpun menahan sikap saya. Saya harus mencari cara mengutuk tanpa harus menyakiti - meski sangat sulit atau bahkan hampir tidak mungkin, sebab perbedaan membuat orang lain merasa tersakiti begitu saja-, setidaknya berusaha mencari penjelasan paling berkepala dingin yang saya bisa.  

    Mohon maaf sekali lagi, karena kebodohan saya semakin parah, hilangkan saja fakta saya pernah di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Saya tidak ingin mempermalukan IMM dan Muhammadiyah lebih jauh. Mungkin saja saya akan dibilang hoaker, munafik, murtad, kafir. Sebutan semacam itu akan menjadi citra buruk. Jadi ini adalah pandangan pribadi; secuil upaya mengurangi kebodohan saya sendiri (menulis konon dapat membuatmu tetap berpikir dan berusaha mencari kesimpulan ‘lebih objektif’); pernyataan perang atas kebodohan, pengutukan atas penghakiman, dan kemuakan atas kelatahan.

    Bahan bacaan:
    1. Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah
    2. http://muslim.or.id/8631-definisi-iman.html
    3. Sumber: https://almanhaj.or.id/2956-bangunan-islam-syarah-rukun-islam-1.html
    4. https://hizbut-tahrir.or.id/2008/12/01/membuktikan-kebenaran-iman/
    5. http://muslim.or.id/425-islam-iman-ihsan.html
    6. https://sabilulilmi.wordpress.com/2013/09/29/iman-dan-akhlak/
    7. http://lifehacker.com/why-your-memory-sucks-and-what-you-can-do-about-it-596782066
    8. http://www.nytimes.com/2013/01/22/science/older-brain-is-willing-but-too-full-for-new-memories.html?_r=3&
    9. https://figureoneblog.wordpress.com/2013/05/02/why-do-we-remember-countless-song-lyrics-but-not-our-studies/



  2. 0 comments:

    Post a Comment