Saya tertawa saat pertama kali melihat secara lansung di
televisi bagaimana Vicky Prasetyo mantan tunangan Saskia ‘Gotik’ beraksi dengan
kalimat-kalimat yang penuh dengan kesan intelektual. ‘kontrofersi hati’, ‘kudeta
kemakmuran’, ‘twenty nine my age’, ‘labil ekonomi’, dan ‘statutisasi’ adalah
sekelumit kata yang dapat saya ingat dari tontonan itu. Saya tertawa, sungguh,
secara kasat begitu. Entah bagaimana, ada satu sisi diri saya yang sangat
terpukul dan malu saat benar-benar tahu seperti apa itu ‘Sindrom Vicky’.
Saya tidak pernah peduli dengan berita-berita populer
apalagi berita selebriti. Apapun alasannya lah. Termasuk juga ketika persoalan
intrik percintaan vicky menjadi berita besar di media. saya juga tidak menaruh
perhatian ketika banyak media online yang saya baca mempersoalkan gaya bahasa
Vicky. Rasa penasaran tiba-tiba muncul saat seorang teman saya membuat komentar
dengan penggunaan istilah yang acak-acakan di status FB saya. saya bingung,
kenapa tiba-tiba saja kalimatnya begitu aneh dan tidak dapat saya pahami. Secara
lengkap, komentar dia seperti ini:
punk atau emo merupakn statusisasi yg masih belum terpecahkn oleh khalayak, butuh suatu anlisis yg presisi dan objektifitasi dalam penilainnya, shingga btuh pemikir2 ulung utk nasionalis maupu barati dan timuris demi harmonisais musikalitas yg tak terabsorbsi (ketularan virus vikky gara2 L****n Gr*******ts V***e) hahaha
Saya coba cross check ke berbagai media online, tapi
tidak ada satu berita pun yang memuaskan keingintahuan. Akhirnya saya menonton
berita di televisi. Penggunaan istilah asal dan struktur tata bahasa yang
acak-acakan, begitu berita-berita di media menyoal. Kalau dipikir-dipikir iya
juga. Saya juga tidak paham apa yang ia katakan dengan istilah-istilah keren
itu, hehe
Menurut saya, bahasa vicky itu sah-sah saja kok. Di satu
sisi justru kreatif, asalkan digunakan dengan ‘tepat’. Misalnya, seperti contoh
di bawah ini.
‘kontrofersi hati’ yang ditimbulkan vicky berlanjut hingga penyelidikan tentang ‘kudeta kemakmuran’ yang men-‘statutisasi’ vicky menjadi seorang yang ‘labil ekonomi’.
Sekalipun memang masih cukup sulit dipahami, tapi bagi
kalangan tertentu contoh di atas jauh lebih mudah dipahami. Menurut saya. hehe
***
Haha, entah bagaimana saya rindu dengan istilah-istilah
demikian. Saya pikir saya jauh lebih jago dibandingkan vicky dalam menggunakan
istilah-istilah sulit secara tepat dengan struktur bahasa yang baik. Jujur saja,
saya juga pernah menjadi penggila istilah-istilah semacam itu. Tidak satu dua
orang yang mengatakan bahasa saya dengan tanggapan ‘sulit dipahami’, ‘tinggi’, ‘elit’,
dan lain-lainnya. Lalu kemudian saya menyadari satu hal, fungsi praktis bahasa
adalah untuk efektifitas komunikasi.
Haha, saya mulai menggunakan istilah sulit lagi. Efektifitas
komunikasi secara sederhana dapat dikatakan bahwa orang lain paham dengan apa
yang kita bicarakan. Jadi, kalau orang lain tidak paham, apapun yang kita
katakan akan sia-sia. Yah, beda cerita kalau kita ingin pamer. Tapi saya tidak
pernah ingin pamer. Satu-satunya alasan saya untuk menjaga penggunaan istilah
yang dianggap orang sulit adalah karena istilah-istilah itu mampu mencakup
makna yang ingin saya sampaikan. Misalnya, saya mengatakan kata ‘transformasi’.
Secara sederhana kita dapat gunakan istilah ‘perubahan’. Tapi revolusi juga
perubahan, evolusi juga perubahan. Jadi, transformasi itu perubahan yang
semacam apa? Nah, agar tidak terjadi penyimpangan makna, saya tetap menggunakan
istilah-istilah itu. Persoalannya, apa gunanya makna yang tidak menyimpang
kalau tokh tidak dapat dipahami juga?
Inilah yang membuat saya memikirkan berbagai strategi untuk
menyampaikan maksud saya. sekarang saya sudah punya beberapa strategi. Ada 3 cara
yang biasa saya gunakan. Pertama, menggunakan istilah sulit satu atau 2 saja
lalu diberi penjelasan yang sederhana. Kedua, dengan menggunakan pengandaian. Dan
ketiga, menyertakan contoh nyata untuk setiap istilah sulit yang saya
sampaikan. Tidak tahu sih seberapa efektif, tapi menurut beberapa orang, bahasa
saya sekarang sudah jauh lebih sederhana.
Sekalipun ternyata saya sudah menggunakan istilah-istilah
yang sederhana dan mudah dipahami. Ternyata ini juga masih bermasalah. Yang saya
maksud istilah sederhana adalah istilah yang sering digunakan sehari-hari. Pertama,
karena ada perbedaaan makna beberapa istilah sederhana seperti cinta, hidup,
dan sebagainya. Kedua, karena struktur tata bahasa saya. Kedua hal ini juga
membuat saya harus berbicara jauh lebih banyak daripada yang seharusnya saya
bicarakan.
[ catatan: Saya tidak mempersoalkan kawan-kawan yang sampai saat ini
masih menjaga ‘kemurnian’ bahasa mereka. Saya juga tetap menggunakan
istilah-istilah itu ketika berdiskusi dengan mereka. istilah-istilah "sulit" pun masih bertebaran di tulisan-tulisan saya. tapi itu karena saya tidak punya pilihan lain, karena sebenarnya sudah di-indonesiakan atau karena belum ada padanan kata yang tepat.]
***
Saya secara pribadi sebenarnya adalah seorang yang dualistik
mengenai persoalan apakah bahasa harus sesuai dengan kaidah tertentu atau
bahasa harus dibiarkan berkembang begitu saja.
Dalam satu pendapat populer, bahasa adalah ekspresi budaya
sebuah bangsa. Jika bahasanya hilang, sangat mungkin budaya akan hilang juga. Tapi
kalau budaya hilang tapi bahasanya masih ada, sangat mungkin budaya akan
dihidupkan kembali sekalipun tidak persis sama. Oleh karena sebuah bahasa
sangat berhubungan dengan budayanya, berarti dengan menerapkan satu kaidah saja
kita mungkin akan membuat bahasa lain punah bersama dengan budayanya. Ini bisa
saja menjadi sebuah penjajahan bahasa.
Saya tidak sepakat dengan itu. Dualisme saya adalah dualisme
dialektik, dengan pemahaman bahwa sesuatu di dalam sejarah akan selalu
berkembang dan memang harus berkembang. Dan bentuk perkembangan yang saya
dukung adalah perkembangan yang bisa bermanfaat bagi umat manusia. Artinya, bahasa
silahkan berkembang asalkan perkembangan itu tidak dipenuhi dengan unsur-unsur
penindasan dan penjajahan. Yang lama dan yang baru silahkan berdialektika di
dalam sejarah untuk menciptakan bahasa yang memang benar-benar tidak menindas
dan efektif untuk digunakan.
***
Perkembangan bahasa itu arbitrer atau sewenang-wenang,
itulah yang saya pelajari di bangku kuliah. Seseorang tidak dapat mengontrol
perkembangan sebuah bahasa. Setiap bahasa memiliki ‘takdir’-nya sendiri. Istilah-istilah
baru bermunculan, sebagian bertahan dan sebagian lagi hilang karena tidak
digunakan. Dulu kita mengenal istilah do’i dan doski. Sekarang istilah itu
sudah mulai ditinggalkan. Dulu kita tidak punya satu istilah yang dapat
mencakup semua kegelisahan hati akibat asmara, sekarang kita punya istilah ‘galau’.
Dulu bahasa-bahasa puitis (dalam arti populer) sangat disukai orang, sekarang
dibilang ‘lebai’.
Sebuah bahasa bisa bertahan karena ia terus dilestarikan dan
digunakan. Sebaliknya, ia akan hilang saat orang mulai meninggalkan. Sebuah istilah
atau cara berbahasa bisa begitu banyak digunakan apabila ia memang dipopulerkan,
dengan berbagai alasan dan tujuan. Entah itu karena kebijakan penguasa atau
propaganda media. Entah itu untuk kelancaran aktifitas ekonomi atau hanya untuk
efektifitas komunikasi sehari-hari. Ambil saja contoh, dahulu sebelum bahasa
Indonesia diajarkan secara massif di sekolah-sekolah, banyak orang yang tidak
bisa berbahasa Indonesia. Dahulu sebelum bahasa ‘alay’ dipopulerkan oleh
stasiun televisi nasional, bahasa ini dianggap menjijikkan. Istilah galau atau
gadget bisa menjadi populer karena ia sangat efektif. Dengan kenyataan semacam
itu, Bahasa vicky, bahasa alay, dan bahasa-bahasa lainnya, barangkali juga bisa
bertahan atau hilang seketika. itu semua tergantung seberapa efektif untuk
digunakan dan seberapa kuat ia dapat bertahan.
0 comments:
Post a Comment