Sewindu sudah
lamanya waktu tinggalkan tanah kelahiranku, rinduku tebal kasih yang kekal. Detik-ke
detik bertambah tebal.
(Rinduku Tebal,
Iwan Fals)
Setahun lagi, sewindu.
Memang bukan tempat aku dilahirkan, tapi dibesarkan. Katanya,
tempat aku dilahirkan dekat dengan sebuah lereng gunung. Aku tidak pasti, belum
pernah melihatnya sampai saat ini.
Aku lupa kapan ibu mulai bercerita mengenai tempat
kelahiranku. Katanya aku tinggal disebuah pondok kecil di lereng gunung Sibayak.
Wilayah itu adalah tempat orang-orang Batak Karo berada. Kata ibu, orang karo berbeda
dengan orang batak jenis lainnya. Bicara mereka lembut seperti orang Jawa. Lucunya,
anak mereka sering diberi nama dengan sesuatu yang tampak di depan mata ketika
ia lahir. Kata ibuku, dahulu ada nama anak teman ayahku yang bernama Cangkul. Nama
itu diberi karena ketika si anak lahir, bapaknya sedang mencangkul.
Kala itu ayah masih mengerjakan tanah orang. Hasil tanaman
lalu ia bawa ke kota. Kami tidak pernah memiliki tanah dan rumah sendiri hingga
aku aku hampir lulus SD (atau kelas 1 SMP?). Dalam ingatanku, pertama kali kami
punya rumah berhubungan dengan kelahiran, Toni, adikku yang nomor 5. Kalau dihitung,
13 tahun kedua orang tuaku menjadi ‘nomaden’. Tak heran, cara hidup semacam itu
membuat keluarga kami menjadi orang-orang yang ‘keras’.
Ingatan yang paling membekas sampai saat ini adalah ketika
ayah hendak membawa hasil tanamannya ke kota untuk dijual. Ayah sering
membawanya malam hari. Dua puluh lima tahun yang lalu, tentunya tempat tinggal
orang tuaku masih di tengah hutan. Tidak ada listrik disana. Rumahku baru
mendapat sambungan listrik ketika aku SMA. Itu berasal dari rumah tetangga di
sebelah selatan rumah dengan biaya seratus ribu perbulannya. Meteran sendiri
baru di dapat setelah aku kuliah. Baru beberapa tahun yang lalu. Dua puluh lima
tahun yang lalu, di tengah hutan, bisa dibayangkan betapa mengerikan hidup
disana. Sebagai anak-anak aku merinding ketika mendengar cerita itu. Aku juga
tinggal di pinggir hutan, tapi tidak di tengah hutan. Kata ibu, segala macam
binatang buas ada disana. Suatu hari, kata ibu, ayah pernah bertemu dengan
harimau. Saat mendengar itu aku lansung antusias,
”lalu bagaimana?” tanyaku.
“Ayahmu diam saja. Dia nggak bisa apa-apa.”
“Ayah tidak takut?”
“ya takut, siapa yang tidak takut.” Kata ibu.”Tapi mereka
tidak mau menganggu kalau tidak diganggu.” Lanjutnya.
Hebat juga ayahku, pikirku saat itu. Sejak saat itu aku
mengerti, binatang buas tidak akan mengganggu kalau tidak diganggu. Dan mereka
memang tidak pernah mau menganggu. Karena tempat tinggalku di tepi hutan,
sering binatang liar datang ke pemukiman dan memakan tanaman. Biasanya gajah. Mereka
datang bergerombol, memakan batang pohon kelapa atau tanaman kebun. Setiap kali
gerombolan gajah datang, kami hanya diam di dalam rumah. Di tempatku dulu ada
keyakinan, kalau gajah datang kita tidak boleh memakinya. Biarkan saja. Kita juga
tidak boleh menyebut kata gajah tapi ‘Datuk’. Bahkan dalam permainan, kami
tidak pernah menyebut gajah atau harimau dengan nama asli mereka, tapi dengan
istilah datuk. Kata orang-orang tua disana, gajah atau harimau akan
mendatangimu malam-malam kalau kau menyebut nama asli mereka.
Ibu selalu antusias setiap kali menceritakan kehidupan ayah.
Aku tidak tahu kenapa. Aku pernah bertanya, bagaimana mereka bisa menikah. Apakah
ibu pernah suka sama dia.
“Dia yang suka sama mamak. Mamak dulu walaupun tomboy kayak
laki-laki, jelek-jelek begini banyak yang suka. Ayahmu itu dulu saingannya
banyak,” jelas ibu dengan bangga. [cat: mamak adalah panggilan untuk ibu. Seperti
emak.]
“terus, mamak nggak suka dengan ayah?”
Ibuku tertawa,”mamak itu nggak pernah kenal cinta-cinta
kayak anak-anak jaman sekarang. Ayah sama mamak nggak pernah pacaran. Mamak juga
nggak tahu cinta atau tidak sama bapakmu itu.”
Itulah takdir pikirku waktu itu. Takdir yang membuat
perempuan itu melahirkan aku. Soal pernikahan, aku masih percaya dengan takdir
semacam itu. Semua terjadi begitu saja, kata ibu soal pernikahan mereka. Apakah
aku bisa begitu, aku juga tidak tahu. Kata ibu, mereka hanya kenal 3 bulan saja
lalu menikah. Ayah tergila-gila dengan ibu. Dia rela datang malam-malam dari
kampungnya ke rumah ibu untuk melamar.
Ia tidur di depan rumah sampai disangka maling oleh warga. Saat
ibu membuka pintu, ayah bertanya apakah ibu mau menikah dengannya. Ibu berkata,”kau
senang sama aku, ayo kita nikah sekarang.” Gila, ku pikir tidak akan banyak perempuan
yang berani seperti itu, tanpa berpikir panjang dahulu.
Pernikahan orang tuaku tidak direstui oleh nenek. Ibuku sebenarnya
sudah dijodohkan dengan orang lain. Tapi ibu tidak suka. Ibu sering bilang,”kalau
aku tidak nikah dengan bapakmu, sudah jadi orang kaya sekarang mamak. Nggak bakalan
hidup sengsara seperti sekarang ini.” Tentu sembaei bercanda. Sebab hidup bagi
orang tuaku tidak pernah menjadi penderitaan.
Ibuku menikah dengan kakak laki-lakinya sebagai wali. Aku tidak
tahu saksi-saksinya berasal dari mana saja. Konon, sejak menikah hingga aku
berumur satu bulan, ibu tidak pernah pulang kerumah. Saat aku sudah lahir, aku
dibawa ke rumah nenek. Nenek sangat marah. Sambil menangis dia menjambaki
rambut ibu.
“terus nenek nerima nggak?” tanyaku saat itu.
“yah, mau gimana lagi. Sudah terjadi, mau dibilang apa. Ya nerima
lah.” Jawab ibu sambil tersenyum.
Heroik, menurutku. Haha. Kadang aku berpikir ingin punya
kisah percintaan semacam itu, membawa anak perempuan kesayangan orang lain
untuk kawin lari.
Ibu suka sekali bercerita tentang ayah, sekalipun laki-laki
itu selalu memakinya. Aku tidak paham kenapa ibu terus tahan dengan ayah. Aku baru
tahu pada cerita lainnya. “dia keras, tapi penyayang.” Begitu simpulnya. aku
heran dengan kesimpulan itu, dia memang keras. Tapi kalau penyayang?
***
Setahun lagi, sewindu. Rinduku tebal, kasihku kekal.
Tulisan-tulisan akhir-akhir ini adalah ungkapan rindu dan
kasih. Aku tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan kepada orang tua. Satu-satunya
cara adalah menulisnya. Aku tidak pernah diajari bagaimana mengucap sayang dan
cinta. Pertama kali aku mengucap sayang kepada mereka adalah beberapa tahun
lalu saat malam peringatan kelahiranku. Kukatakan aku sayang mereka, aku banyak
salah, aku sudah banyak menyusahkan, aku minta maaf, aku akan jadi yang terbaik
bagi mereka. Itu janjiku setiap tahun saat aku hari kelahiranku. Menjadi yang
terbaik untuk mereka, membuat mereka bangga.
Kerinduan kepada ibu bisa dipahami, karena aku memang dekat
dengannya. Tapi kepada ayah? Itu aneh, ganjil. Aku tidak pernah dekat
dengannya. Walau tidak lagi membencinya, pengalaman masa lalu dengannya sudah
cukup menyakitkan untuk membuatku merasa rindu kepada laki-laki semacam itu.
Rasa rindu itu muncul pertama kali, saat aku bertemu
dengannya di jalan Abu bakar ali, dekat malioboro. Kerutan wajahnya, bicaranya
yang tidak lagi kasar. Apa aku rindu karena dia sudah tua? Atau aku rindu
karena aku masihlah anaknya? Atau aku rindu karena kepribadianku serupa dia? Entahlah.
Tahun depan tepat sewindu aku meninggalkan tanah asalku,
bukan tanah kelahiranku.. 5 tahun lalu aku pernah pulang ke rumah. Tapi cuma 2
mingggu. Itu pun hampir setiap hari aku tidak pernah di rumah. Saat ini, Kerinduan
demi kerinduan semakin membuncah. Aku semakin membutuhkan saluran untuk
mengungkapkannya. Aku sudah berjanji bahwa aku akan tidak akan bertemu muka
dengan mereka sebelum aku membawa ijasah. Bukan karena ijasah itu penting
buatku, tapi karena aku tidak ingin membuat mereka kecewa.
0 comments:
Post a Comment