Rss Feed
  1. Bang Irwan, Rinduku Tebal (2)

    Friday, September 6, 2013

    Sewindu sudah lamanya waktu tinggalkan tanah kelahiranku, rinduku tebal kasih yang kekal. Detik-ke detik bertambah tebal.
    (Rinduku Tebal, Iwan Fals)
    Setahun lagi, sewindu.

    Memang bukan tempat aku dilahirkan, tapi dibesarkan. Katanya, tempat aku dilahirkan dekat dengan sebuah lereng gunung. Aku tidak pasti, belum pernah melihatnya sampai saat ini.


    Aku lupa kapan ibu mulai bercerita mengenai tempat kelahiranku. Katanya aku tinggal disebuah pondok kecil di lereng gunung Sibayak. Wilayah itu adalah tempat orang-orang Batak Karo berada. Kata ibu, orang karo berbeda dengan orang batak jenis lainnya. Bicara mereka lembut seperti orang Jawa. Lucunya, anak mereka sering diberi nama dengan sesuatu yang tampak di depan mata ketika ia lahir. Kata ibuku, dahulu ada nama anak teman ayahku yang bernama Cangkul. Nama itu diberi karena ketika si anak lahir, bapaknya sedang mencangkul.

    Kala itu ayah masih mengerjakan tanah orang. Hasil tanaman lalu ia bawa ke kota. Kami tidak pernah memiliki tanah dan rumah sendiri hingga aku aku hampir lulus SD (atau kelas 1 SMP?). Dalam ingatanku, pertama kali kami punya rumah berhubungan dengan kelahiran, Toni, adikku yang nomor 5. Kalau dihitung, 13 tahun kedua orang tuaku menjadi ‘nomaden’. Tak heran, cara hidup semacam itu membuat keluarga kami menjadi orang-orang yang ‘keras’.

    Ingatan yang paling membekas sampai saat ini adalah ketika ayah hendak membawa hasil tanamannya ke kota untuk dijual. Ayah sering membawanya malam hari. Dua puluh lima tahun yang lalu, tentunya tempat tinggal orang tuaku masih di tengah hutan. Tidak ada listrik disana. Rumahku baru mendapat sambungan listrik ketika aku SMA. Itu berasal dari rumah tetangga di sebelah selatan rumah dengan biaya seratus ribu perbulannya. Meteran sendiri baru di dapat setelah aku kuliah. Baru beberapa tahun yang lalu. Dua puluh lima tahun yang lalu, di tengah hutan, bisa dibayangkan betapa mengerikan hidup disana. Sebagai anak-anak aku merinding ketika mendengar cerita itu. Aku juga tinggal di pinggir hutan, tapi tidak di tengah hutan. Kata ibu, segala macam binatang buas ada disana. Suatu hari, kata ibu, ayah pernah bertemu dengan harimau. Saat mendengar itu aku lansung antusias,

    ”lalu bagaimana?” tanyaku.

    “Ayahmu diam saja. Dia nggak bisa apa-apa.”

    “Ayah tidak takut?”

    “ya takut, siapa yang tidak takut.” Kata ibu.”Tapi mereka tidak mau menganggu kalau tidak diganggu.” Lanjutnya.

    Hebat juga ayahku, pikirku saat itu. Sejak saat itu aku mengerti, binatang buas tidak akan mengganggu kalau tidak diganggu. Dan mereka memang tidak pernah mau menganggu. Karena tempat tinggalku di tepi hutan, sering binatang liar datang ke pemukiman dan memakan tanaman. Biasanya gajah. Mereka datang bergerombol, memakan batang pohon kelapa atau tanaman kebun. Setiap kali gerombolan gajah datang, kami hanya diam di dalam rumah. Di tempatku dulu ada keyakinan, kalau gajah datang kita tidak boleh memakinya. Biarkan saja. Kita juga tidak boleh menyebut kata gajah tapi ‘Datuk’. Bahkan dalam permainan, kami tidak pernah menyebut gajah atau harimau dengan nama asli mereka, tapi dengan istilah datuk. Kata orang-orang tua disana, gajah atau harimau akan mendatangimu malam-malam kalau kau menyebut nama asli mereka.

    Ibu selalu antusias setiap kali menceritakan kehidupan ayah. Aku tidak tahu kenapa. Aku pernah bertanya, bagaimana mereka bisa menikah. Apakah ibu pernah suka sama dia.

    “Dia yang suka sama mamak. Mamak dulu walaupun tomboy kayak laki-laki, jelek-jelek begini banyak yang suka. Ayahmu itu dulu saingannya banyak,” jelas ibu dengan bangga. [cat: mamak adalah panggilan untuk ibu. Seperti emak.]

    “terus, mamak nggak suka dengan ayah?”

    Ibuku tertawa,”mamak itu nggak pernah kenal cinta-cinta kayak anak-anak jaman sekarang. Ayah sama mamak nggak pernah pacaran. Mamak juga nggak tahu cinta atau tidak sama bapakmu itu.”

    Itulah takdir pikirku waktu itu. Takdir yang membuat perempuan itu melahirkan aku. Soal pernikahan, aku masih percaya dengan takdir semacam itu. Semua terjadi begitu saja, kata ibu soal pernikahan mereka. Apakah aku bisa begitu, aku juga tidak tahu. Kata ibu, mereka hanya kenal 3 bulan saja lalu menikah. Ayah tergila-gila dengan ibu. Dia rela datang malam-malam dari kampungnya ke rumah ibu untuk melamar.

    Ia tidur di depan rumah sampai disangka maling oleh warga. Saat ibu membuka pintu, ayah bertanya apakah ibu mau menikah dengannya. Ibu berkata,”kau senang sama aku, ayo kita nikah sekarang.” Gila, ku pikir tidak akan banyak perempuan yang berani seperti itu, tanpa berpikir panjang dahulu.

    Pernikahan orang tuaku tidak direstui oleh nenek. Ibuku sebenarnya sudah dijodohkan dengan orang lain. Tapi ibu tidak suka. Ibu sering bilang,”kalau aku tidak nikah dengan bapakmu, sudah jadi orang kaya sekarang mamak. Nggak bakalan hidup sengsara seperti sekarang ini.” Tentu sembaei bercanda. Sebab hidup bagi orang tuaku tidak pernah menjadi penderitaan.

    Ibuku menikah dengan kakak laki-lakinya sebagai wali. Aku tidak tahu saksi-saksinya berasal dari mana saja. Konon, sejak menikah hingga aku berumur satu bulan, ibu tidak pernah pulang kerumah. Saat aku sudah lahir, aku dibawa ke rumah nenek. Nenek sangat marah. Sambil menangis dia menjambaki rambut ibu.

    “terus nenek nerima nggak?” tanyaku saat itu.

    “yah, mau gimana lagi. Sudah terjadi, mau dibilang apa. Ya nerima lah.” Jawab ibu sambil tersenyum.

    Heroik, menurutku. Haha. Kadang aku berpikir ingin punya kisah percintaan semacam itu, membawa anak perempuan kesayangan orang lain untuk kawin lari.

    Ibu suka sekali bercerita tentang ayah, sekalipun laki-laki itu selalu memakinya. Aku tidak paham kenapa ibu terus tahan dengan ayah. Aku baru tahu pada cerita lainnya. “dia keras, tapi penyayang.” Begitu simpulnya. aku heran dengan kesimpulan itu, dia memang keras. Tapi kalau penyayang?

    ***

    Setahun lagi, sewindu. Rinduku tebal, kasihku kekal.

    Tulisan-tulisan akhir-akhir ini adalah ungkapan rindu dan kasih. Aku tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan kepada orang tua. Satu-satunya cara adalah menulisnya. Aku tidak pernah diajari bagaimana mengucap sayang dan cinta. Pertama kali aku mengucap sayang kepada mereka adalah beberapa tahun lalu saat malam peringatan kelahiranku. Kukatakan aku sayang mereka, aku banyak salah, aku sudah banyak menyusahkan, aku minta maaf, aku akan jadi yang terbaik bagi mereka. Itu janjiku setiap tahun saat aku hari kelahiranku. Menjadi yang terbaik untuk mereka, membuat mereka bangga.

    Kerinduan kepada ibu bisa dipahami, karena aku memang dekat dengannya. Tapi kepada ayah? Itu aneh, ganjil. Aku tidak pernah dekat dengannya. Walau tidak lagi membencinya, pengalaman masa lalu dengannya sudah cukup menyakitkan untuk membuatku merasa rindu kepada laki-laki semacam itu.

    Rasa rindu itu muncul pertama kali, saat aku bertemu dengannya di jalan Abu bakar ali, dekat malioboro. Kerutan wajahnya, bicaranya yang tidak lagi kasar. Apa aku rindu karena dia sudah tua? Atau aku rindu karena aku masihlah anaknya? Atau aku rindu karena kepribadianku serupa dia? Entahlah.


    Tahun depan tepat sewindu aku meninggalkan tanah asalku, bukan tanah kelahiranku.. 5 tahun lalu aku pernah pulang ke rumah. Tapi cuma 2 mingggu. Itu pun hampir setiap hari aku tidak pernah di rumah. Saat ini, Kerinduan demi kerinduan semakin membuncah. Aku semakin membutuhkan saluran untuk mengungkapkannya. Aku sudah berjanji bahwa aku akan tidak akan bertemu muka dengan mereka sebelum aku membawa ijasah. Bukan karena ijasah itu penting buatku, tapi karena aku tidak ingin membuat mereka kecewa. 

  2. 0 comments:

    Post a Comment