Rss Feed
  1. Bang Irwan, Rinduku Tebal (1)

    Thursday, September 5, 2013


    Rinduku setebal awan legam di musim penghujan. Gelap, aku hampir lupa jalan pulang. Ini soal mengingat ayah, apakah aku sudah mencoreng nama keluarga. Bang Iwan, aku selalu mengenang ayahku dalam perjalanan. Tentang ibuku, yang selalu menangis dalam hati saat bercanda denganku dari kejauhan. Saat aku memandang sawah, rumah, dan pertokoan, ingatanku seluruhnya tersangkut disana. Tak ada lagi yang tersisa untuk dibawa pulang. Hanya kesan kerinduan yang acapkali mendesak tangisan. Getir, tapi itu begitulah hidup harus ditahan. (04 September 2013)

    Hampir tidak tertahankan. Temanku bilang, pantang menangis di depan teman laki-laki. Barangkali iya. Hanya ada beberapa laki-laki yang pernah melihatku menangis, Ayah dan adik-adik ku. Aku tidak punya keyakinan seperti teman itu, tapi tetap saja tidak pernah ada tangisan di depan teman-teman.

    Malam itu setelah menyelesaikan beberapa tulisan, aku mendengar sebuah lagu dari kamar sebelah. “Rinduku Tebal” lagu milik Iwan Fals. Dulu pernah hapal, sering dinyanyikan bersama teman-teman satu Band, versi punk rock. Ini pertama kali mendengarnya kembali setelah hampir setahun. Aku tersentak, mendadak seluruh ingatan tentang laki-laki itu kembali hadir.

    Namanya Irwan, lelaki batak kelahiran Tapanuli Selatan. Nama itu hampir terlupakan, sebab aku hampir tidak pernah menghubunginya. Apalagi untuk menyebut namanya. Aku punya marga, Batubara. Tapi ia melarang semua anak untuk memakainya. “Nanti hanya akan membuat masalah,” barangkali dia punya pengalaman buruk dengan keluarga dan nama marga, entahlah. Aku memutuskan untuk menuliskan inisial marga itu di alamat emailku, bb. Bukan untuk penanda suku, tapi untuk pengingat belaka. Bahwa aku anaknya. Larangannya itu begitu mendalam tertanam di kepala anak-anaknya, khususnya aku dan adikku. Kami tidak pernah peduli soal marga dan keluarga, bahkan cenderung tidak dekat dengan mereka.

    Dulu aku pernah berpikir, jika aku diberi pilihan aku tidak pernah mau menjadi anaknya. Bekas luka di siku kananku sampai saat ini tidak pernah hilang sejak SD. Bekas itu aku dapatkan karena tergores kayu yang tertanam di dalam sungai. Dia yang melempar aku ke dalamnya.  Tulang telapak kananku mungkin juga telah patah karena ia pukul dengan gagang sapu berbahan alumunium ketika kelas 2 SMP. Kala itu tanganku sampai bengkak hampir seminggu. Aku tidak pernah merasa bersalah, dan dia tidak pernah mau meminta maaf.

    Lelaki pendiam dan tidak banyak bicara. Bayangkan, seumur hidupku belum pernah kutahu ia bercanda denganku. Kecuali saat aku masih bayi, kata ibu. Aku sering iri ketika ia bercengkrama dengan Anggi, adik perempuanku satu-satunya. Begitu lepasnya ia tertawa, kenapa ia tak bisa begitu kepada anak laki-lakinya? Satu-satunya pembicaraan hanyalah makian. Hampir setiap hari. Aku pernah bilang ke ibu, mengapa laki-laki seolah-olah mencari-cari masalah denganku, sebab aku tidak pernah merasa bersalah. Ibu tak menjawab.

    Entahlah, kemarin kubilang, aku ingin dipeluk olehnya melihat dia menangis dipundakku. Bukan karena aku ingin dia merendahkan diri dengan tangisan, tapi karena aku hanya ingin tahu, bahwa aku masih ia akui sebagai anak. Ada rasa ragu, aku khawatir dia sudah begitu marah padaku. Aku berpesan ke adikku bahwa aku ingin menelepon dia. Tapi adikku tidak memberi jawaban. Jangan-jangan dia begitu marah, dan ibu menjadi sasarannya. Aku takut mereka bertengkar lagi dan lagi karena persoalan yang sama, soal anak pertamanya. Umurku sudah dua lima, memalukan bertengkar karena lelaki seusia itu.


    Lagu ini mengingatkanku dengan seluruh kehidupanku. Tiap lirik berhubungan dengan berbagai momen kehidupanku, sekalipun tidak persis. aku butuh tulisan lainnya, tidak disini, sebab ada yang sudah mendesak untuk dikeluarkan. 

  2. 0 comments:

    Post a Comment