Rss Feed
  1. Eksploitasi Si Miskin di Televisi

    Monday, September 30, 2013



    Siapa yang tidak kenal dengan Cesar, yang gaya goyangannya disukai banyak orang hampir-hampir seperti Gangnam Style dan Harlem Dance. Goyang Cesar memang enerjik, menawarkan semangat. Kalau goyang ini dilakukan setiap pagi disekolah saat senam bersama, barangkali siswa-siswa akan mengikuti pelajaran dengan senyuman. Seperti jargonya Cesar,”Keep smile”. Popularitas Goyang Cesar yang menanjak tidak lepas dari acara YKS di stasiun televisi nasional Trans TV. YKS sekarang merupakan singkatan dari Yuk Keep Smile, dengan Cesar sebagai ikon. Konsep acaranya terbilang menarik dengan melibatkan kru televisi dan penonton di studio, jadinya acara tersebut terlihat alami. Beragam hadiah diberikan kepada penonton, tentunya dengan cara harus menyelesaikan tantangan tertentu. 


    Nah, kebetulan kemarin aku tidak sengaja melihat salah satu sesi acara ini di televisi. Baru sekitar 2 hari yang lalu, kalau tidak salah ingat. Waktu itu acaranya diadakan di luar studio, sepertinya di sebuah taman. Sewaktu aku menonton, sedang ada sesi tantangan. Ada 5 orang yang dipilih dari penonton. Lalu mereka diminta untuk melakukan goyang Cesar dengan masing-masing memegang 2 buah barbel. Goyangan mereka akan dinilai. Juara satu akan mendapatkan 1 juta rupiah, juara 2, 750 ribu rupiah, dan juara 3 sejumlah 500 ribu rupiah. Ketika musik dihentak, mulailah ke 5 orang itu bergoyang. Setiap orang berusaha sebisa mungkin tampil enerjik. Musik kemudian berhenti dan goyangan pun selesai. Ketika juara 3 dan 2 terpilih, biasa saja. Lalu ketika uang satu juta rupiah diberikan kepada seorang ibu yang menjadi kontestan, dia lansung melemparkan barbel yang ada di kedua tangannya. Tiba-tiba menjerit kesenangan dan menangis. Para host terkaget, begitu juga penonton ku kira. Sambil sesenggukan dia berkata,”Alhamdulillah, ini buat bayar uang sekolah anak saya.” 

    Seketika perasaanku menjadi campur aduk melihat itu. ada banyak pikiran bercampur-baur menyesak. Seorang ibu harus rela “mempermalukan” dirinya di depan televisi demi mendapat uang sejumlah (hanya) satu juta rupiah. Saat itu juga aku menduga, keenerjikan penonton disana bisa jadi juga karena mengharapkan hal yang sama. Sejenak aku menduga, siapa saja yang berada disana, dari latar belakang apa, apa saja pekerjaan mereka. Jika itu aku, misalnya, aku tidak akan mau ‘mempermalukan’ diri untuk hadir di acara semacam itu. tapi mereka mau, kenapa? Aku tidak tahu. Hanya bisa menduga. 

    Konsep acara hiburan dengan menggabungkan tantangan berhadiah sebenarnya tidak hanya ada di acara ini saja. Banyak acara serupa di stasiun televisi berbeda. lebih dari itu, acara yang menampilkan orang-orang tidak berada pun banyak. Aku tidak ingin menyebutkannya satu persatu. Aku pikir ini merupakan salah satu fenomena baru di dunia pertelevisian di indonesia. Menampilkan orang-orang dari kalangan biasa dan tidak berada, lalu diberi “hadiah” di akhir atau di tengah acara. Bagi sebagian orang ini adalah kepedulian, sekaligus motivasi kehidupan. Bagiku, ini adalah eksploitasi. 

    Orang-orang miskin, tidak berada, mereka harus berjuang keras untuk kehidupan mereka. Acara-acara tertentu bahkan sengaja mengeksplorasi kerasnya perjuangan mereka melalui pertanyaan-pertanyaan interogatif yang membuat mereka harus mengeluarkan air mata. Para penonton pasti suka, air mata adalah salah satu hal yang menarik untuk ditonton. Kerasnya perjuangan mereka itu kemudian diakhiri dengan pemberian sejumlah uang untuk hidup mereka. Ini seperti happy ending di dalam film. Para penonton pun ikut bahagia, dan merasa terinspirasi dari mereka. 

    Tapi tunggu dulu, mereka adalah tokoh di dunia nyata. Sekalipun mereka difilmkan, tapi kehidupan mereka bukanlah fiksi. Mereka tetap harus menghadapi kerasnya kehidupan setelah acara berakhir. Mereka mungkin akan menginspirasi, tapi belum tentu mereka hidup dengan inspirasi yang sama. Sementara penonton melihatnya seperti drama fiksi belaka, dengan plot yang sama: perkenalan, permasalahan, dan penyelesaian. Kepedulian pada akhirnya hanya sampai acara berakhir, setelah itu penonton harus menjalani kehidupan seperti biasa barangkali dengan inspirasi baru setelah menonton acara ini. Kepedihan hidup si miskin di televisi pada akhirnya menjadi biasa. Kalau pun kita peduli, maka kepedulian itu hanya akan muncul dalam satu komentar sederhana,”kasihan.”

    Apakah semua penonton begitu? Tidak. Kupikir. Tapi siapa sesungguhnya yang diuntungkan? Siapa yang dirugikan? Katakanlah, dengan uang itu tokoh dalam reality show akan dapat memperbaiki hidupnya. Tapi bagaimana mereka yang tidak berada disana. Katakanlah tetangga mereka. Bisa jadi saja tetangga mereka juga mengalami hal yang sama. Hanya saja tidak diliput. Sementara kita, dengan tangisan iba, apakah mereka sebenarnya menginginkannya? Apakah mereka ingin ditampilkan sebagai orang yang sepantasnya dikasihani? Sebagai orang yang lemah tidak berdaya? 

    Aku pikir itu tidak adil buat mereka. Aku tidak pernah mempersoalkan bantuan yang diberikan kepada mereka. Itu hal yang semestinya kita lakukan. Tapi ketika ia diliput dan dieksplorasi? Bukankah itu adalah eksploitasi demi keuntungan?  Apakah uang satu juta sepadan dengan keuntungan yang didapatkan televisi? Dengan inspirasi dan kesenangan yang didapatkan oleh penonton?



  2. 0 comments:

    Post a Comment