Siapa yang tidak kenal dengan Cesar, yang gaya goyangannya disukai
banyak orang hampir-hampir seperti Gangnam Style dan Harlem Dance. Goyang Cesar
memang enerjik, menawarkan semangat. Kalau goyang ini dilakukan setiap pagi
disekolah saat senam bersama, barangkali siswa-siswa akan mengikuti pelajaran
dengan senyuman. Seperti jargonya Cesar,”Keep smile”. Popularitas Goyang Cesar
yang menanjak tidak lepas dari acara YKS di stasiun televisi nasional Trans TV.
YKS sekarang merupakan singkatan dari Yuk Keep Smile, dengan Cesar sebagai
ikon. Konsep acaranya terbilang menarik dengan melibatkan kru televisi dan penonton
di studio, jadinya acara tersebut terlihat alami. Beragam hadiah diberikan
kepada penonton, tentunya dengan cara harus menyelesaikan tantangan tertentu.
Nah, kebetulan kemarin aku tidak sengaja melihat salah satu
sesi acara ini di televisi. Baru sekitar 2 hari yang lalu, kalau tidak salah
ingat. Waktu itu acaranya diadakan di luar studio, sepertinya di sebuah taman. Sewaktu
aku menonton, sedang ada sesi tantangan. Ada 5 orang yang dipilih dari
penonton. Lalu mereka diminta untuk melakukan goyang Cesar dengan masing-masing
memegang 2 buah barbel. Goyangan mereka akan dinilai. Juara satu akan
mendapatkan 1 juta rupiah, juara 2, 750 ribu rupiah, dan juara 3 sejumlah 500
ribu rupiah. Ketika musik dihentak, mulailah ke 5 orang itu bergoyang. Setiap orang
berusaha sebisa mungkin tampil enerjik. Musik kemudian berhenti dan goyangan
pun selesai. Ketika juara 3 dan 2 terpilih, biasa saja. Lalu ketika uang satu
juta rupiah diberikan kepada seorang ibu yang menjadi kontestan, dia lansung
melemparkan barbel yang ada di kedua tangannya. Tiba-tiba menjerit kesenangan
dan menangis. Para host terkaget, begitu juga penonton ku kira. Sambil sesenggukan
dia berkata,”Alhamdulillah, ini buat bayar uang sekolah anak saya.”
Seketika perasaanku menjadi campur aduk melihat itu. ada
banyak pikiran bercampur-baur menyesak. Seorang ibu harus rela “mempermalukan”
dirinya di depan televisi demi mendapat uang sejumlah (hanya) satu juta rupiah.
Saat itu juga aku menduga, keenerjikan penonton disana bisa jadi juga karena
mengharapkan hal yang sama. Sejenak aku menduga, siapa saja yang berada disana,
dari latar belakang apa, apa saja pekerjaan mereka. Jika itu aku, misalnya, aku
tidak akan mau ‘mempermalukan’ diri untuk hadir di acara semacam itu. tapi
mereka mau, kenapa? Aku tidak tahu. Hanya bisa menduga.
Konsep acara hiburan dengan menggabungkan tantangan
berhadiah sebenarnya tidak hanya ada di acara ini saja. Banyak acara serupa di
stasiun televisi berbeda. lebih dari itu, acara yang menampilkan orang-orang
tidak berada pun banyak. Aku tidak ingin menyebutkannya satu persatu. Aku pikir
ini merupakan salah satu fenomena baru di dunia pertelevisian di indonesia. Menampilkan
orang-orang dari kalangan biasa dan tidak berada, lalu diberi “hadiah” di akhir
atau di tengah acara. Bagi sebagian orang ini adalah kepedulian, sekaligus
motivasi kehidupan. Bagiku, ini adalah eksploitasi.
Orang-orang miskin, tidak berada, mereka harus berjuang
keras untuk kehidupan mereka. Acara-acara tertentu bahkan sengaja
mengeksplorasi kerasnya perjuangan mereka melalui pertanyaan-pertanyaan
interogatif yang membuat mereka harus mengeluarkan air mata. Para penonton
pasti suka, air mata adalah salah satu hal yang menarik untuk ditonton. Kerasnya
perjuangan mereka itu kemudian diakhiri dengan pemberian sejumlah uang untuk
hidup mereka. Ini seperti happy ending di dalam film. Para penonton pun ikut
bahagia, dan merasa terinspirasi dari mereka.
Tapi tunggu dulu, mereka adalah tokoh di dunia nyata. Sekalipun
mereka difilmkan, tapi kehidupan mereka bukanlah fiksi. Mereka tetap harus
menghadapi kerasnya kehidupan setelah acara berakhir. Mereka mungkin akan
menginspirasi, tapi belum tentu mereka hidup dengan inspirasi yang sama. Sementara
penonton melihatnya seperti drama fiksi belaka, dengan plot yang sama:
perkenalan, permasalahan, dan penyelesaian. Kepedulian pada akhirnya hanya
sampai acara berakhir, setelah itu penonton harus menjalani kehidupan seperti
biasa barangkali dengan inspirasi baru setelah menonton acara ini. Kepedihan hidup
si miskin di televisi pada akhirnya menjadi biasa. Kalau pun kita peduli, maka
kepedulian itu hanya akan muncul dalam satu komentar sederhana,”kasihan.”
Apakah semua penonton begitu? Tidak. Kupikir. Tapi siapa
sesungguhnya yang diuntungkan? Siapa yang dirugikan? Katakanlah, dengan uang
itu tokoh dalam reality show akan dapat memperbaiki hidupnya. Tapi bagaimana
mereka yang tidak berada disana. Katakanlah tetangga mereka. Bisa jadi saja
tetangga mereka juga mengalami hal yang sama. Hanya saja tidak diliput. Sementara
kita, dengan tangisan iba, apakah mereka sebenarnya menginginkannya? Apakah mereka
ingin ditampilkan sebagai orang yang sepantasnya dikasihani? Sebagai orang yang
lemah tidak berdaya?
Aku pikir itu tidak adil buat mereka. Aku tidak pernah
mempersoalkan bantuan yang diberikan kepada mereka. Itu hal yang semestinya
kita lakukan. Tapi ketika ia diliput dan dieksplorasi? Bukankah itu adalah
eksploitasi demi keuntungan? Apakah uang
satu juta sepadan dengan keuntungan yang didapatkan televisi? Dengan inspirasi dan
kesenangan yang didapatkan oleh penonton?
0 comments:
Post a Comment