Rss Feed
  1. Dosenku Cerdas, Sayang Bahasanya Melangit

    Monday, September 30, 2013

    Sabtu kemarin aku kuliah bersama dengan mahasiswa semester satu. Wajah-wajah lucu dan lugu. Tapi wajah itu tidak akan bertahan lama, yakin saja. 2 semester lagi yang ada hanya wajah-wajah lusuh akibat stres mikirin tugas kuliah. Bagaimanapun kuliah bersama mereka, membuat diri serasa jauh lebih muda. 


    Sebagai mahasiswa tua, aku harus tahu diri. Duduk di pojok belakang sebelah kiri, berdiam diri sampai kuliah diakhiri. Sekalipun ada yang tidak disepakati, diam saja demi kebaikan bersama. Beberapa kali aku sempat hendak memotong pembicaraan dosen itu, tapi  akhirnya menahan diri. Serba salah. Di satu sisi, aku tidak ingin mahasiswa-mahasiswa baru ini mendapatkan pengetahuan yang “salah”. Di sisi lain, ini menyangkut kredibilitas dosen. Aku khawatir dosen itu akan kehilangan kredibilitasnya karena aku sela. Itu bukan pemikiran semata. Tahun lalu aku pernah melakukannya, dan akhirnya mahasiswa lebih percaya dengan apa yang kukatakan daripada dosen pengampunya. Itu hal yang menyakitkan bagi seorang pendidik, tidak diakui oleh peserta didiknya sendiri. 

    Tapi dosen satu ini memang pintar. Aku acungi jempol untuk wawasannya, sekalipun beberapa konsep yang dia ajarkan kadangkala tidak didefinisikan dengan jelas. Selama aku kuliah, aku hanya mengenal 3 dosen muda yang pengetahuannya aku kagumi. Salah satunya adalah dosen yang tidak aku suka, tapi itu tidak masalah. Aku tidak suka dengan cara dia mengajar, bukan dengan apa yang dia ajarkan. 

    Kalau dosen tua, cukup banyak. Salah satunya adalah dosen yang mengajar 3 mata kuliah sekaligus, Fiqh Munakahat, Fiqh Muamalah, dan Ushl Fiqh. Aku benar-benar kagum dengan dosen satu ini. Dia butuh 3 pertemuan hanya untuk mendefinisikan satu istilah saja. Luar biasa, seperti perpustakaan berjalan, kata orang. Dosen ini sendiri mengatakan, bahkan satu istilah saja bisa membutuhkan waktu satu semester agar dia bisa benar-benar dipahami. Dan aku sepakat soal itu. jika istilah tidak secara jelas didefinisikan, maka kita akan kesulitan masuk ke pembahasan yang lebih detail. Dosen lainnya yang mengajar ilmu balaghah. Seperti dosen diatas, dia butuh 3 sampai 4 pertemuan untuk mengajarkan satu definisi saja. Bedanya, dosen ini memang bisa menggunakan cara yang beragam, sehingga tidak membosankan. Terlepas dari mahasiswanya benar paham atau tidak. 

    Hanya saja, hampir seluruh dosen cerdas dan luas wawasan memiliki satu persoalan bersama. Bahasa mereka sulit dipahami, dan biasanya tempo bicara mereka cepat, kecuali dosen terakhir yang aku sebutkan. Kebanyakan mahasiswa tidak pernah benar-benar memahami apa yang mereka katakan. Komentar mereka sederhana,”dosennya pintar, tapi bahasanya melangit. Jadinya malas ngikutin.” Kalaupun bisa menangkap hanya setengah saja, itu pun sudah luar biasa. Dunia akademik kita memang mengalami problematika yang agaknya serupa bila soal pendidik. Ada dosen yang wawasannya tidak seberapa, tapi mereka jago untuk meyakinkan. Di sisi lain dosen yang wawasannya luar biasa, justru mereka tidak bisa menyesuaikan perkataan. Mana yang lebih baik, entahlah. Pada jenis dosen pertama, mahasiswa cepat paham tapi akan cenderung menjadi kaku, karena tidak mengenal banyak ragam pemikiran. Sementara jenis dosen kedua, mereka tidak paham sama sekali dan jelas saja semua ceramah akan menjadi sia-sia. 

    Aku tidak bisa menyalahkan sepenuhnya dosen-dosen yang cerdas ini. Salah satu kritik yang aku ajukan kepada dunia pendidikan dasar dan menengah kita adalah budaya literasi dan kritisisme yang rendah. Berapa banyak sih mahasiswa baru yang ketika menginjakkan kaki di perguruan tinggi yang sudah suka membaca? Berapa banyak diantara mereka yang terbuka dengan berbagai macam pemikiran yang berbeda? Tidak banyak. Apalagi dalam kondisi sekarang, semakin parah. Anak-anak yang lebih suka update status twitter dan FB daripada meng-update bacaan mereka. Anak-anak yang lebih suka copy-paste daripada berpikir sendiri untuk makalah mereka. Anak-anak yang tidak sabaran dan manja. Anak-anak yang tidak suka rumit-rumit dengan berbagai persoalan yang membingungkan. Begitu kesimpulanku. Jadi tidak heran jika mereka sedikit kesulitan untuk mengikuti pembicaraan dosen-dosen ini. 

    Jadi apa yang bisa dilakukan oleh para dosen cerdas ini? Tentu saja menyesuaikan perkataan. Tapi ini juga memang agak sulit, karena berbagai alasan. Bisa saja mereka tidak terampil dalam hal itu. bisa jadi mereka tidak mau. Untuk alasan terakhir ini, aku sempat mendengar beberapa kali dari dosen. Mereka tidak mau karena memang semestinya bahasa semacam itulah yang digunakan di dunia akademik. Mereka juga tidak mau menyederhanakan karena pembahasan mengenai istilah justru semakin tidak jelas ketika mereka menyederhanakan istilah. Sementara jika mereka memilih untuk mendefinisikan sebuah istilah hingga benar-benar jelas, resikonya mereka membutuhkan beberapa kali pertemuan agar ia tuntas. Akibatnya, perkuliahan pasti tidak akan tuntas di akhir semester.

    Kalau begitu, apa lagi? Kita perlu menggiatkan budaya literasi dan kritisisme di perkuliahan. Mahasiswa perlu dipersiapkan agar mereka siap berhadapan dengan dosen-dosen cerdas ini. Jadi mereka harus didorong dan dibiasakan untuk membaca, berdiskusi, dan menulis sendiri. Kita bisa berharap pada fakultas dan dosen untuk memperketat aturan dalam pembuatan makalah, misalnya. Kita bisa berharap pada gerakan mahasiswa dan study club untuk menghidupkan forum-forum diskusi, membentuk focal point dengan misi literasi mahasiswa. Tapi kalau kita bicara kenyataan, agaknya sedikit menyedihkan. Birokasi perguruan tinggi kita sudah semakin dekat dengan pasar. Satu-satunya yang dibutuhkan dari lulusan adalah bagaimana agar mereka bisa dilemparkan ke pasar kerja. Jadi tidak usah repot-repot dengan misi literasi dan kritisisme mahasiswanya. Yang penting IPK mereka tinggi, setelah itu mereka bisa bekerja, itu sudah cukup. Hal yang sama juga tidak jauh berbeda pada mahasiswa. Study club berbasis enterpreneurship bermunculan, mengalahkan study club berbasis kajian ilmiah. Pamflet-pamflet pelatihan dan seminar menjadi pengusaha cerdas dan sukses dan bertebaran dimana-mana, didukung oleh universitas, tidak sebanding dengan pamflet tentang pelatihan dan seminar tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menjadi budak politik dan ekonomi, tidak independen. Gerakan mahasiswa kita menjadi semakin dekat dengan politik pragmatis, semakin ekonomis, bahkan terlalu birokratis. Yang dipikirin setiap hari hanya menjalankan program kerja rutin, tanpa memikirkan perkembangan kesadaran mahasiswa.

    Ah, kampus menjadi sepi seperti kuburan. Tidak ada perdebatan, tidak ada kedinamisan.  Lalu apalagi solusi yang bisa ditawarkan? Entahlah. Jika sudah begini untuk sementara, aku akan menggunakan alasan klasik para pembuat alasan: ‘masalah ini kompleks, sulit diuraikan’ dan satu lagi, “ini sudah takdir Tuhan, yang bisa kita lakukan adalah berdoa semoga Allah akan mengubahnya.” :)

  2. 0 comments:

    Post a Comment