Sabtu kemarin aku kuliah bersama dengan mahasiswa semester
satu. Wajah-wajah lucu dan lugu. Tapi wajah itu tidak akan bertahan lama, yakin
saja. 2 semester lagi yang ada hanya wajah-wajah lusuh akibat stres mikirin
tugas kuliah. Bagaimanapun kuliah bersama mereka, membuat diri serasa jauh
lebih muda.
Sebagai mahasiswa tua, aku harus tahu diri. Duduk di pojok
belakang sebelah kiri, berdiam diri sampai kuliah diakhiri. Sekalipun ada yang
tidak disepakati, diam saja demi kebaikan bersama. Beberapa kali aku sempat
hendak memotong pembicaraan dosen itu, tapi
akhirnya menahan diri. Serba salah. Di satu sisi, aku tidak ingin
mahasiswa-mahasiswa baru ini mendapatkan pengetahuan yang “salah”. Di sisi
lain, ini menyangkut kredibilitas dosen. Aku khawatir dosen itu akan kehilangan
kredibilitasnya karena aku sela. Itu bukan pemikiran semata. Tahun lalu aku
pernah melakukannya, dan akhirnya mahasiswa lebih percaya dengan apa yang
kukatakan daripada dosen pengampunya. Itu hal yang menyakitkan bagi seorang
pendidik, tidak diakui oleh peserta didiknya sendiri.
Tapi dosen satu ini memang pintar. Aku acungi jempol untuk
wawasannya, sekalipun beberapa konsep yang dia ajarkan kadangkala tidak
didefinisikan dengan jelas. Selama aku kuliah, aku hanya mengenal 3 dosen muda
yang pengetahuannya aku kagumi. Salah satunya adalah dosen yang tidak aku suka,
tapi itu tidak masalah. Aku tidak suka dengan cara dia mengajar, bukan dengan
apa yang dia ajarkan.
Kalau dosen tua, cukup banyak. Salah satunya adalah dosen
yang mengajar 3 mata kuliah sekaligus, Fiqh Munakahat, Fiqh Muamalah, dan Ushl
Fiqh. Aku benar-benar kagum dengan dosen satu ini. Dia butuh 3 pertemuan hanya
untuk mendefinisikan satu istilah saja. Luar biasa, seperti perpustakaan
berjalan, kata orang. Dosen ini sendiri mengatakan, bahkan satu istilah saja
bisa membutuhkan waktu satu semester agar dia bisa benar-benar dipahami. Dan aku
sepakat soal itu. jika istilah tidak secara jelas didefinisikan, maka kita akan
kesulitan masuk ke pembahasan yang lebih detail. Dosen lainnya yang mengajar
ilmu balaghah. Seperti dosen diatas, dia butuh 3 sampai 4 pertemuan untuk
mengajarkan satu definisi saja. Bedanya, dosen ini memang bisa menggunakan cara
yang beragam, sehingga tidak membosankan. Terlepas dari mahasiswanya benar
paham atau tidak.
Hanya saja, hampir seluruh dosen cerdas dan luas wawasan
memiliki satu persoalan bersama. Bahasa mereka sulit dipahami, dan biasanya
tempo bicara mereka cepat, kecuali dosen terakhir yang aku sebutkan. Kebanyakan
mahasiswa tidak pernah benar-benar memahami apa yang mereka katakan. Komentar mereka
sederhana,”dosennya pintar, tapi bahasanya melangit. Jadinya malas ngikutin.” Kalaupun
bisa menangkap hanya setengah saja, itu pun sudah luar biasa. Dunia akademik
kita memang mengalami problematika yang agaknya serupa bila soal pendidik. Ada dosen
yang wawasannya tidak seberapa, tapi mereka jago untuk meyakinkan. Di sisi lain
dosen yang wawasannya luar biasa, justru mereka tidak bisa menyesuaikan
perkataan. Mana yang lebih baik, entahlah. Pada jenis dosen pertama, mahasiswa
cepat paham tapi akan cenderung menjadi kaku, karena tidak mengenal banyak
ragam pemikiran. Sementara jenis dosen kedua, mereka tidak paham sama sekali
dan jelas saja semua ceramah akan menjadi sia-sia.
Aku tidak bisa menyalahkan sepenuhnya dosen-dosen yang
cerdas ini. Salah satu kritik yang aku ajukan kepada dunia pendidikan dasar dan
menengah kita adalah budaya literasi dan kritisisme yang rendah. Berapa banyak
sih mahasiswa baru yang ketika menginjakkan kaki di perguruan tinggi yang sudah
suka membaca? Berapa banyak diantara mereka yang terbuka dengan berbagai macam pemikiran
yang berbeda? Tidak banyak. Apalagi dalam kondisi sekarang, semakin parah. Anak-anak
yang lebih suka update status twitter dan FB daripada meng-update bacaan
mereka. Anak-anak yang lebih suka copy-paste daripada berpikir sendiri untuk
makalah mereka. Anak-anak yang tidak sabaran dan manja. Anak-anak yang tidak
suka rumit-rumit dengan berbagai persoalan yang membingungkan. Begitu kesimpulanku.
Jadi tidak heran jika mereka sedikit kesulitan untuk mengikuti pembicaraan
dosen-dosen ini.
Jadi apa yang bisa dilakukan oleh para dosen cerdas ini? Tentu
saja menyesuaikan perkataan. Tapi ini juga memang agak sulit, karena berbagai
alasan. Bisa saja mereka tidak terampil dalam hal itu. bisa jadi mereka tidak
mau. Untuk alasan terakhir ini, aku sempat mendengar beberapa kali dari dosen. Mereka
tidak mau karena memang semestinya bahasa semacam itulah yang digunakan di
dunia akademik. Mereka juga tidak mau menyederhanakan karena pembahasan
mengenai istilah justru semakin tidak jelas ketika mereka menyederhanakan
istilah. Sementara jika mereka memilih untuk mendefinisikan sebuah istilah
hingga benar-benar jelas, resikonya mereka membutuhkan beberapa kali pertemuan
agar ia tuntas. Akibatnya, perkuliahan pasti tidak akan tuntas di akhir
semester.
Kalau begitu, apa lagi? Kita perlu menggiatkan budaya
literasi dan kritisisme di perkuliahan. Mahasiswa perlu dipersiapkan agar
mereka siap berhadapan dengan dosen-dosen cerdas ini. Jadi mereka harus
didorong dan dibiasakan untuk membaca, berdiskusi, dan menulis sendiri. Kita bisa
berharap pada fakultas dan dosen untuk memperketat aturan dalam pembuatan
makalah, misalnya. Kita bisa berharap pada gerakan mahasiswa dan study club
untuk menghidupkan forum-forum diskusi, membentuk focal point dengan
misi literasi mahasiswa. Tapi kalau kita bicara kenyataan, agaknya sedikit
menyedihkan. Birokasi perguruan tinggi kita sudah semakin dekat dengan pasar. Satu-satunya
yang dibutuhkan dari lulusan adalah bagaimana agar mereka bisa dilemparkan ke
pasar kerja. Jadi tidak usah repot-repot dengan misi literasi dan kritisisme
mahasiswanya. Yang penting IPK mereka tinggi, setelah itu mereka bisa bekerja,
itu sudah cukup. Hal yang sama juga tidak jauh berbeda pada mahasiswa. Study club
berbasis enterpreneurship bermunculan, mengalahkan study club berbasis
kajian ilmiah. Pamflet-pamflet pelatihan dan seminar menjadi pengusaha cerdas
dan sukses dan bertebaran dimana-mana, didukung oleh universitas, tidak
sebanding dengan pamflet tentang pelatihan dan seminar tentang ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan menjadi budak politik dan ekonomi, tidak
independen. Gerakan mahasiswa kita menjadi semakin dekat dengan politik
pragmatis, semakin ekonomis, bahkan terlalu birokratis. Yang dipikirin setiap
hari hanya menjalankan program kerja rutin, tanpa memikirkan perkembangan
kesadaran mahasiswa.
Ah, kampus menjadi sepi seperti kuburan. Tidak ada
perdebatan, tidak ada kedinamisan. Lalu apalagi
solusi yang bisa ditawarkan? Entahlah. Jika sudah begini untuk sementara, aku
akan menggunakan alasan klasik para pembuat alasan: ‘masalah ini kompleks,
sulit diuraikan’ dan satu lagi, “ini sudah takdir Tuhan, yang bisa kita lakukan
adalah berdoa semoga Allah akan mengubahnya.” :)
0 comments:
Post a Comment