Rss Feed
  1. Memiliki Kehilangan (Continued, pt. 2)

    Monday, September 30, 2013

     (1)
    Memahami Tanpa Berdiskusi

    Seringkali, kita tidak perlu berkomunikasi lisan untuk saling memahami, bahkan kita tidak perlu bertatap muka. Entah bagaimana, ketika sebuah pendapat diajukan kita sudah saling sepakat. Entah bagaimana, ketika terjadi sebuah keadaan kita sudah mendapat firasat. 

  2. (2)
    Unexpected Gift in Unexpected Time

    Jadi kawan, beberapa waktu lalu aku diberi beberapa aksesoris. Sebenarnya aku meminta, karena aksesoris yang serupa pernah diberikan padaku, namun aku menghilangkannya. Aku tidak tahu bagaimana benda itu bisa hilang. Aku mencari kemana-mana, membongkar seisi kamar, menanyai beberapa orang teman, nihil. Engkau tahu bagaimana rasanya jauh setelah ia tidak ada,




  3. Siapa yang tidak kenal dengan Cesar, yang gaya goyangannya disukai banyak orang hampir-hampir seperti Gangnam Style dan Harlem Dance. Goyang Cesar memang enerjik, menawarkan semangat. Kalau goyang ini dilakukan setiap pagi disekolah saat senam bersama, barangkali siswa-siswa akan mengikuti pelajaran dengan senyuman. Seperti jargonya Cesar,”Keep smile”. Popularitas Goyang Cesar yang menanjak tidak lepas dari acara YKS di stasiun televisi nasional Trans TV. YKS sekarang merupakan singkatan dari Yuk Keep Smile, dengan Cesar sebagai ikon. Konsep acaranya terbilang menarik dengan melibatkan kru televisi dan penonton di studio, jadinya acara tersebut terlihat alami. Beragam hadiah diberikan kepada penonton, tentunya dengan cara harus menyelesaikan tantangan tertentu. 

  4. Sabtu kemarin aku kuliah bersama dengan mahasiswa semester satu. Wajah-wajah lucu dan lugu. Tapi wajah itu tidak akan bertahan lama, yakin saja. 2 semester lagi yang ada hanya wajah-wajah lusuh akibat stres mikirin tugas kuliah. Bagaimanapun kuliah bersama mereka, membuat diri serasa jauh lebih muda. 

  5. Gitarmu, Teman

    Monday, September 23, 2013



    Jemarimu pernah lincah
    nyanyikan kemarahan; kesenangan
    sebelum retak oleh hantaman

    dalam,
    rumah bersama runtuh seketika
    dan melodi berhenti, kau tak bersuara

    bas kupetikkan
    imbangi jemari kini sendu
    ceritakan seorang perempuan
    putus asa, begitu kau juga

    sebuah kisah berbeda belum dilupa
    seorang perempuan pernah tertawa
    padanya, kau begitu terlena
    lalu lagumu terputus di batas senja

    gitarmu teman, lagu perkabungan di D minor
    seperti Padmasana menyayat rasa
    mestinya kuburan itu berbunga sejak lama
    selama ingatan mencoba
    mencari peralihan:
    perempuan dengan pesan singkat di shalat malam
    tidak cukup sepadan diperjuangkan?

    gitarmu teman, aku dengarkan
    bas kupetikkan,
    menyisipkan ritme ke dalam alunan
    agar permainanmu terus bertahan
    sebab rasamu bukan sepotong roti, bukan?

    gitarmu teman, itu harapan
    kemana hendak kau lemparkan
    sedang perempuan yang terpenjara
    tak butuh lebih banyak air mata

  6. Bang Irwan, Rinduku Tebal (3.1. Keriuhan Pagi)

    Thursday, September 19, 2013

    Pagi yang kutelusuri riuh tak bernyanyi,

    (1)

    Keriuhan pagi di kampung halaman adalah suara induk ayam menggiring anak-anaknya mematuk-matuk tanah mencari sarapan; kokok ayam jantan membangunkan matahari memperingatkan orang-orang bahwa waktu kerja akan segera dimulai; kicau burung bersahutan melengkapi desir angin yang mengalun manja; suara mendidih minyak di penggorengan pertanda sarapan akan segera dihidangkan; rengekan si bungsu karena dibangunkan terlalu pagi; ketukan sepatu anak-anak hendak berangkat sekolah; suara ribut mereka meminta uang saku untuk di sekolah; dan suara ayah pertanda tidak puas dengan nilai anaknya.

  7. Saya tertawa saat pertama kali melihat secara lansung di televisi bagaimana Vicky Prasetyo mantan tunangan Saskia ‘Gotik’ beraksi dengan kalimat-kalimat yang penuh dengan kesan intelektual. ‘kontrofersi hati’, ‘kudeta kemakmuran’, ‘twenty nine my age’, ‘labil ekonomi’, dan ‘statutisasi’ adalah sekelumit kata yang dapat saya ingat dari tontonan itu. Saya tertawa, sungguh, secara kasat begitu. Entah bagaimana, ada satu sisi diri saya yang sangat terpukul dan malu saat benar-benar tahu seperti apa itu ‘Sindrom Vicky’.

  8. Pada akhirnya saya bisa juga ‘memaksakan’ diri untuk membuat kelanjutan tulisan yang kemarin sempat tertunda. Setelah cukup kelelahan akhir-akhir ini, siang ini analisis amatiran tentang isi berita koran bisa dituliskan. Kalau belum baca tulisan pertama saya, bisa dibaca disini.

  9. Sudah sejak lama saya hampir melupakan kalau yang namanya televisi itu merupakan salah satu teknologi yang populer selain telepon genggam. Ah, saya hampir melupakan keduanya juga. Satu-satunya media massa yang masih suka saya baca adalah koran. Kebetulan, tadi pagi saya membaca sebuah koran ternama. Tidak usah saya sebutkan namanya. Membaca itu, jadi ingin membuat tulisan yang agak serius. Tulisan ini saya bagi menjadi 2, agar tidak terlalu panjang. hehe

    Setelah membaca halaman depan, opini membaca, membaca sedikit perkembangan rupiah, saya beralih ke berita internasional. Suriah masih menjadi topik favorit ternyata. Rencana serangan Amerika, persiapan Assad beserta sekutunya Iran dan Rusia. Ah, kenapa masih perang saja yang suka kita bicarakan di media. Berita itu masih ditambah lagi dengan serangan militer Mesir ke Gurun sinai. Apakah ini perang dunia ketiga? saya segera beralih ke halaman berikutnya. Perhatian saya tertuju pada 2 artikel yang berurutan ke bawah di kolom sebelah kiri halaman.

    Judul artikel pertama, Serbuan MNLF, Ribuan Orang Mengungsi

    Dalam berita itu diberitakan: 6 orang tewas, 30 warga, 1500 orang mengungsi. itu tulisan di kalimat pertama. tidak usah dianalisis dulu. saya melanjutkan ke paragraf berikutnya. 

     ‘Ratusan pemberontak tiba-tiba menyerbu...’ seandainya anda seorang petarung sejati, anda tidak akan tiba-tiba saja menyerang. Eh, bukan, menyerbu. Tiba-tiba saja menyerbu menimbulkan konotasi bahwa itu adalah sebuah tindakan agresif yang sama sekali tidak fair, nggak gentle, kata anak-anak muda. Apalagi itu adalah sebuah serbuan, sebuah tindakan yang membabi-buta.

    Mereka adalah pemberontak. Seandainya pembaca adalah seorang nasionalis, ia akan sepakat agar pemberontak ini diberantas. Pemberontakan membuat kondisi negara menjadi tidak aman. Jadi, terlepas apapun latar belakangnya, mereka tidak boleh dibiarkan.

    ‘peristiwa ini membuat walikota....memerintahkan semua sekolah, pertokoan, perkantoran, dan bandara ditutup,’ jika ini membuat otoritas memberi perintah untuk menutup semua institusi pendidikan, ekonomi, dan transportasi, berarti ini adalah ancaman serius. Ancaman serius ini ditegaskan semakin ditegaskan dalam kesaksian walikota,”warga ketakutan dan meninggalkan rumah mereka”. Saking seriusnya, juru bicara kepresidenan ‘mengecam’ lalu ‘mengutuk’ bahkan ‘akan memberantas’. Memberantas? Seperti kecoa, ia harus diberantas karena sangat menganggu dan dapat menimbulkan penyakit. Bukankah begitu konotasi dari kata ‘berantas’?

    Ini belum selesai. Pada paragraf ke-sebelas, artikel ini menjelaskan apa itu MNLF. ‘MNLF adalah gerilyawan muslim yang menginginkan otonomi Islam merdeka di Filipina....150.000 orang tewas akibat ulah mereka.’ Ulah? Apa tidak lebih baik membuat kalimat semisal,”pemberontakan ini telah menimbulkan korban jiwa sebanyak 150.000 orang.” Lebih netral bukan? Ulah itu berhubungan dengan tindakan emosional, tanpa pikir panjang, sia-sia, dan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dan yang ‘berulah’ itu adalah muslim.

    Hmm, barangkali memang tindakan MNLF itu pantas disebut ‘ulah’. Buktinya pada paragraf berikutnya disebutkan ‘membentuk daerah otonomi khusus muslim di wilayah yang mayoritas warganya pemeluk katolik roma.” Egois bukan? Kekanak-kanakan. Udah tahu minoritas masih saja ingin membuat daerah otonomi. Nggak tanggung-tanggung, otonomi Islam. Hehe

    Kita belum berhenti. Di paragraf selanjutnya disebutkan “penyerangan...adalah pesan..bahwa perjanjian perdamaian...tidak menjamin perang akan berhenti” semakin jelas, MNLF adalah gerilyawan yang isinya muslim yang egois. Udah ada perjanjian damai kok masih terus saja ingin perang.

    Di paragraf terakhir ditampilkan kutipan perkataan dari Banlaoi, Direktur Eksekutif Keamanan Filipina,”itu akan terus terjadi sampai keinginan Misuari mendirikan negara Islam di Filipina terpenuhi,” loh, ini kok malah nggak konsisten? Tadi di awal cuma daerah otonomi Islam, kok di akhir tiba-tiba jadi negara Islam. Wah, ini berarti MNLF memang punya rencana jangka panjang untuk menjadikan Filipina sebagai negara Islam.

    Egois, kekanak-kanakan, brutal, menakutkan. Barangkali itu yang saya tangkap dari artikel tersebut mengenai MNLF. Yah, orang lain boleh punya pendapat berbeda. ini cuma analisis amatir kok. Hehe. Yang jelas, MNLF itu isinya Muslim. Dan perlu dicatat, kata islam atau muslim itu diulang 4 kali dalam 5 paragraf terakhir. Mubazir menurut saya, tidak efektif.

    Ini cuma spekulasi saya saja, bisa benar-bisa tidak. Mudah-mudahan saja salah. Pembaca koran itu adalah orang Indonesia. Isu mengenai negara Islam, perda Syari’ah, Khilafah masih cukup marak disini. Apabila berita semacam itu terus ditampilkan. Secara psikologis ia akan membekas, mengenai gambaran muslim yang egois dan brutal untuk mendirikan negara Islam. Itu menakutkan, dan dikhawatirkan akan menaikkan sentimen negatif terhadap Islam.

    Saya adalah seorang rasional, dan berusaha menjaga netralitas dalam analisis. secara tidak sadar mungkin saja apa yang saya tuliskan di atas juga merupakan dorongan psikologis karena saya seorang muslim. tapi saya sudah berusaha menekan itu. tulisan ini adalah tulisan spontan, tidak terencana. So, kalau ada yang nggak sepakat, silahkan kritik tulisan ini. Kalau mau analisis sendiri, nanti bisa kita diskusikan. Pada tulisan kedua saya akan perlihatkan, bahwa kata yang diulang 4 kali pada artikel pertama, hanya disebutkan sekali pada artikel kedua. Sementara ‘sinonim’ yang digunakan adalah ‘minoritas’, dan itu diulang 3 kali. Letaknya tepat dibawah artikel pertama. Pada artikel pertama, muslim adalah penyerang. Sedangkan pada artikel kedua, muslim sebagai korban.


    Wassalam. 

  10. Selamat tidur insomnia, saatnya Istirahat (2)

    Saturday, September 7, 2013

    Insomnia adalah perempuan mungil bersenyum ceria. Insomnia adalah rumah tempat orang tua selalu berselisih karena anaknya. insomnia adalah tugas kuliah yang harus dikumpulkan esok paginya. Insomnia adalah pelajaran yang memandang tajam ingin dibaca. Insomnia adalah pekerjaan yang menuntut untuk diselesaikan. Insomnia adalah kumpulan masalah yang dihadapi dengan rasa cinta.

    Insomnia bersama bergelas-gelas kopi melebamkan mata. Urat-urat tampak keluar,”Matamu merah”, kata nenek waktu itu. “begadang sampai pagi, tidur sampai siang hari, dasar anak wong sugih!” teriaknya lagi. Tidak ada yang paling menyakiti daripada tuduhan yang tidak dapat dibuktikan dengan pengalaman.  

    Padamkan layar komputer, lepaskan kacamata, baringkan tubuh, pejamkan mata, lupakan masalah, jangan lupa berdoa, coba mengkhayal apa saja. Menghitung domba atau lelucon yang indah, mungkin bisa. Lalu meminta instrumentalia membawa kepada mimpi yang selalu sama, tentang pengalaman dan masa depan melebur jadi cerita rumit menyentak dada.


    Mari tidur, insomnia. Biarkan mimpi menjadi psikotropika atau narkotika. Itu lebih baik daripada segelas anggur merah bahkan vodka, lebih baik daripada kokain, morfin, atau ganja. Biarkan mimpi indah menjadi placebo atau menjadi sekedar sugesti saja. 

  11. Bang Irwan, Rinduku Tebal (2)

    Friday, September 6, 2013

    Sewindu sudah lamanya waktu tinggalkan tanah kelahiranku, rinduku tebal kasih yang kekal. Detik-ke detik bertambah tebal.
    (Rinduku Tebal, Iwan Fals)
    Setahun lagi, sewindu.

    Memang bukan tempat aku dilahirkan, tapi dibesarkan. Katanya, tempat aku dilahirkan dekat dengan sebuah lereng gunung. Aku tidak pasti, belum pernah melihatnya sampai saat ini.

  12. Bang Irwan, Rinduku Tebal (1)

    Thursday, September 5, 2013


    Rinduku setebal awan legam di musim penghujan. Gelap, aku hampir lupa jalan pulang. Ini soal mengingat ayah, apakah aku sudah mencoreng nama keluarga. Bang Iwan, aku selalu mengenang ayahku dalam perjalanan. Tentang ibuku, yang selalu menangis dalam hati saat bercanda denganku dari kejauhan. Saat aku memandang sawah, rumah, dan pertokoan, ingatanku seluruhnya tersangkut disana. Tak ada lagi yang tersisa untuk dibawa pulang. Hanya kesan kerinduan yang acapkali mendesak tangisan. Getir, tapi itu begitulah hidup harus ditahan. (04 September 2013)

    Hampir tidak tertahankan. Temanku bilang, pantang menangis di depan teman laki-laki. Barangkali iya. Hanya ada beberapa laki-laki yang pernah melihatku menangis, Ayah dan adik-adik ku. Aku tidak punya keyakinan seperti teman itu, tapi tetap saja tidak pernah ada tangisan di depan teman-teman.

    Malam itu setelah menyelesaikan beberapa tulisan, aku mendengar sebuah lagu dari kamar sebelah. “Rinduku Tebal” lagu milik Iwan Fals. Dulu pernah hapal, sering dinyanyikan bersama teman-teman satu Band, versi punk rock. Ini pertama kali mendengarnya kembali setelah hampir setahun. Aku tersentak, mendadak seluruh ingatan tentang laki-laki itu kembali hadir.

    Namanya Irwan, lelaki batak kelahiran Tapanuli Selatan. Nama itu hampir terlupakan, sebab aku hampir tidak pernah menghubunginya. Apalagi untuk menyebut namanya. Aku punya marga, Batubara. Tapi ia melarang semua anak untuk memakainya. “Nanti hanya akan membuat masalah,” barangkali dia punya pengalaman buruk dengan keluarga dan nama marga, entahlah. Aku memutuskan untuk menuliskan inisial marga itu di alamat emailku, bb. Bukan untuk penanda suku, tapi untuk pengingat belaka. Bahwa aku anaknya. Larangannya itu begitu mendalam tertanam di kepala anak-anaknya, khususnya aku dan adikku. Kami tidak pernah peduli soal marga dan keluarga, bahkan cenderung tidak dekat dengan mereka.

    Dulu aku pernah berpikir, jika aku diberi pilihan aku tidak pernah mau menjadi anaknya. Bekas luka di siku kananku sampai saat ini tidak pernah hilang sejak SD. Bekas itu aku dapatkan karena tergores kayu yang tertanam di dalam sungai. Dia yang melempar aku ke dalamnya.  Tulang telapak kananku mungkin juga telah patah karena ia pukul dengan gagang sapu berbahan alumunium ketika kelas 2 SMP. Kala itu tanganku sampai bengkak hampir seminggu. Aku tidak pernah merasa bersalah, dan dia tidak pernah mau meminta maaf.

    Lelaki pendiam dan tidak banyak bicara. Bayangkan, seumur hidupku belum pernah kutahu ia bercanda denganku. Kecuali saat aku masih bayi, kata ibu. Aku sering iri ketika ia bercengkrama dengan Anggi, adik perempuanku satu-satunya. Begitu lepasnya ia tertawa, kenapa ia tak bisa begitu kepada anak laki-lakinya? Satu-satunya pembicaraan hanyalah makian. Hampir setiap hari. Aku pernah bilang ke ibu, mengapa laki-laki seolah-olah mencari-cari masalah denganku, sebab aku tidak pernah merasa bersalah. Ibu tak menjawab.

    Entahlah, kemarin kubilang, aku ingin dipeluk olehnya melihat dia menangis dipundakku. Bukan karena aku ingin dia merendahkan diri dengan tangisan, tapi karena aku hanya ingin tahu, bahwa aku masih ia akui sebagai anak. Ada rasa ragu, aku khawatir dia sudah begitu marah padaku. Aku berpesan ke adikku bahwa aku ingin menelepon dia. Tapi adikku tidak memberi jawaban. Jangan-jangan dia begitu marah, dan ibu menjadi sasarannya. Aku takut mereka bertengkar lagi dan lagi karena persoalan yang sama, soal anak pertamanya. Umurku sudah dua lima, memalukan bertengkar karena lelaki seusia itu.


    Lagu ini mengingatkanku dengan seluruh kehidupanku. Tiap lirik berhubungan dengan berbagai momen kehidupanku, sekalipun tidak persis. aku butuh tulisan lainnya, tidak disini, sebab ada yang sudah mendesak untuk dikeluarkan. 



  13. Tapi aku sedang bahagia sekaligus rindu. Ada 2 tulisan yang hendak kubuat pagi-pagi buta ini. tubuh sudah begitu kelelahan karena kemarin seharian mengerjakan beberapa tulisan. Kucuri sedikit waktu istirahat untuk menjejakkan sedikit kenangan. Sedikit ulasan, entah akan jadi tulisan atau tidak, biar itu urusan masa depan.

    3 september 2013, salah satu momen paling spesial dalam hidup. Itulah tulisan yang ingin dibuat. Beberapa peristiwa rasanya menghidupkan lagi mesin imajinasi untuk berani bermimpi, untuk terus bertahan dengan mimpi ini. Aku bahagia, merasa selangkah lebih maju dari fase hidup sebulan yang lalu, setelah di akhir bulan aku dikritik habi-habisan. terima kasih kepada kawan, di jurang ini aku menemukan alasan untuk bangkit kembali. Terima kasih kepada kawan, di jurang ini kau berikan aku kesabaran.

    Lewat sedikit tengah malam, sementara seluruh anak kontrakan sedang bercengkrama di beranda, sebuah lagu lama membangkitkan kerinduan kepada rumah. “Bang Iwan, Rinduku Tebal”, judulnya. Rinduku setebal awan legam di musim penghujan. Gelap, aku tak melihat jalan pulang. Ini soal mengingat ayah, apakah aku sudah mencoreng nama keluarga. Bang Iwan, aku selalu mengenang ayahku dalam perjalanan. Tentang ibuku, yang selalu menangis dalam hati saat bercanda denganku dari kejauhan. Saat aku memandang sawah, rumah, dan pertokoan, ingatanku seluruhnya tersangkut disana. Berceceran. Tak ada lagi yang tersisa untuk dibawa pulang. Hanya kesan kerinduan yang acapkali mendesak tangisan. Getir, tapi itu begitulah hidup harus ditahan.

    Seluruh kebahagian dan seluruh kerinduan. Paradoksa kehidupan. Leburan tak mampu menyimpulkan bagaimana kebenaran harus diungkapkan. Campur aduk seperti reaksi kimia dalam percobaan. Mungkin gagal, mungkin berhasil, setidaknya terus mencari jalan.

    Barangkali sarannya benar, pikiranku butuh rehat kalau tidak, bisa macet ini otak.  Paling tidak, tidur sejenak, melegakan rencana yang terus mendesak. Esok,  tumpukan masalah masih manja ingin diperhatikan. Itu akan melelahkan, sisakan energi sedikit untuk kesenangan, meratapi kehidupan dengan senyuman. 

    Pagi buta, pukul 2, ini akhir untuk insomnia. Saatnya istirahat.

  14. Menghadirkan Yang Lain, Menghadirkan Diri

    Tuesday, September 3, 2013



    Seringkali yang kita butuhkan bukanlah pembicaraan yang penuh tanggapan, tapi sekedar kehadiran. Baik kehadiran itu adalah kehadiran secara lansung atau ditengahi oleh sesuatu. Apakah ia hadir di hadapan atau di dalam pikiran. 

    Hadir tidak harus berbicara, walau acapkali kita ajak bicara. Orang-orang yang kita sayangi sering menuntut agar mengabari, bahwa kita masih ada. Para guru dan dosen seringkali tidak mempersoalkan peserta didiknya berbicara atau tidak, yang penting hadir mengisi absensi. Para penganut agama tidak mempersoalkan Tuhannya membalas atau tidak, yang penting Ia dihadirkan. Para pengagum tokoh menghadirkan foto atau buku di kamarnya, para pacar menghadirkan pacarnya melalui benda-benda hadiah. Kehadiran yang lain, lansung atau dimediasi, dihadapi atau dihadirkan, menjadi penegas. Menjadi pengakuan pada diri, bahwa kita ada. Seperti kebutuhan kita pada cermin, kita tidak benar-benar merasa ada tanpa kehadiran yang lain. 

    Kita ada karena keberadaan yang lain. Dan kegelisahan atau keresahan sering menarik kita ke dalam keterasingan. Menyendiri. Tidak harus secara nyata, tapi juga pikiran yang menyendiri. Tubuh dimana, pikiran dimana, tidak ada bersama. Semakin jauh kita dari kehadiran yang lain, semakin kita merasa tidak ada di dunia, semakin merasa tidak hidup. Kehadiran yang lain dapat membantu untuk menyatukan kembali tubuh dan pikiran, sekalipun kesatuan itu tidak lantas menyelesaikan kegelisahan.

    Setidaknya, menjadi hadir, menjadi eksis, ada kepercayaan diri untuk mengatasi kegelisahan. Sebab, kehadiran yang lain bisa menjadi energi, inspirasi, atau bahkan menjadi alasan untuk bertahan.

  15. Menemani, Mendengarkan, dan Bercerita

    Monday, September 2, 2013

    Sebagian besar yang kutulis disini merupakan cerita nyata atau ada berhubungan dengan sesuatu yang benar-benar terjadi. Sebagai penulis pemula dengan imajinasi biasa-biasa saja, gaya menulis seperti inilah yang paling mudah bagiku jika dibandingkan dengan menulis cerita yang sepenuhnya fiktif. Aku terbiasa menulis tulisan-tulisan ilmiah, tapi tidak dengan fiksi.

  16. Menemani, Bercerita, dan Mendengarkan

    Sunday, September 1, 2013

    Tadi aku “menemani” pacar adikku dan pacar sahabatku chat di FB (kalau dengan pacar sahabatku tepatnya bukan menemani, tapi sekedar menyapa). Tidak ada yang akan cemburu. Sehingga aku bisa lepas berbicara dengan mereka. Adikku tidak mungkin punya prasangka buruk, begitu juga sahabatku, sebab mereka tahu aku tidak akan merebut pacar mereka. Semua pembicaraan tanpa fokus, sekedar “menggantikan” pacar-pacar mereka yang sedang sibuk mengurusi orderan.