Rss Feed
  1. Pertanyaan

    Friday, November 29, 2013

    Aku sangat yakin, masa depan banyak hanya tergantung dari satu pertanyaan pendek dengan jawaban yang lebih pendek. Apapun pertanyaan itu, mestinya ia adalah pertanyaan penting dengan jawaban yang sama pentingnya. Kadangkala jawaban sangat sulit untuk dikemukakan, kali lain pertanyaanlah yang sulit untuk diungkapkan.

  2. Uang Pinjaman

    Monday, November 18, 2013

    “Anak ayam saja bisa cari makan sendiri seminggu sejak dia menetas. Kau anak orang, sudah berani kawin pula, masa tidak bisa cari makan sendiri!” ungkapnya dengan sengit dari kejauhan.

    Aku sudah mengira, akan begini jadinya. Tahu begitu, aku tidak pernah memutuskan untuk datang. Kalau tidak karena istri memaksa, tidak pernah sudi aku menginjakkan kaki di rumah ini lagi.

    “aku sudah bilang...” kataku berusaha membalas, tapi suara lain memotong kata-kataku.

     “Pakai otak kalau ngomong. Anakmu itu belum kerja, dia lagi butuh uang buat ngontrak rumah. kau samakan dia dengan anak ayam. Kenapa tidak kau bilang saja dia anak anjing!” suara perempuan tidak kalah sengitnya dengan suara laki-laki tadi.

    Aku terdiam mendengar itu. Siapa yang mestinya pakai otak, siapa yang mestinya pakai hati? Ah,  itu tidak soal. Ibuku hampir setiap hari menganggap pria itu tidak punya otak dan tidak punya hati. Setiap kali bertengkar ia pasti menyebut satu dari 2 kalimat ini: “pakai otak kalau ngomong!” atau “kau memang tidak punya perasaan!”. Lalu siapa pria itu? robot? Tidak. Dia orang yang dengan mesra disebut sebagai bapak oleh saudara-saudaraku.

    Dan aku? Entahlah, aku tidak punya sebutan khusus untuknya. Laki-laki yang meneriakiku tadi merupakan guru yang baik soal makian. Segala macam jenis makian dia ajarkan, mulai dari isi kebun binatang hingga alat kemaluan, dari berbagai jenis bahasa dengan berbagai intonasi pengucapan. Sempurna. Dan anak Anjing? Itu makian favoritnya dulu. Tapi, aku yakin dia sudah jera menggunakan kata itu. Buktinya dia lansung diam, menggerutu sendirian dengan suara hampir tak terdengar sambil memperhatikan acara tivi yang ada di hadapannya.

    Dia sudah berhenti memakiku dengan istilah itu sejak ibu membalas makian dia kepadaku,”kalau anakmu anjing, berarti kau bapaknya anjing.” Kupikir dia berhenti memaki bukan karena tidak ingin memberi contoh buruk, tapi karena dia tidak mau disamakan dengan binatang favoritnya satu itu.

    “butuh uang berapa.” Kata ibu merendahkan suaranya kepadaku. Berbeda sekali saat dia tadi sedang meneriaki bapak. Aku ragu-ragu menjawab, kulirik bapak dari sudut mataku. Dia masih berpura-pura terus menikmati acara tivi itu, tapi aku yakin dia sedang memikirkan serangan berikutnya kepadaku.

    “aku...”

    “Sudah. Ngapain dikasih uang. Kalau mau minta, minta sama mertuamu sana.” Kata bapak tiba-tiba. Benar dugaanku.

    Aku semakin geram,”Jangan bawa-bawa mertuaku disini. aku datang kemari bukan mau meminta-minta! Aku mau meminjam uang!” Kataku dengan ketus.

    Kulihat ibu juga geram memandang bapak. Tapi kali ini dia tidak menimpali apapun. Dia beranjak dari tempat duduk, pergi ke kamar, dan kembali dengan sejumlah uang.

    “untuk apa uang itu?” tanya bapak.

    “untuk anakmu lah, untuk siapa lagi.”

    “jangan dikasih.”
    “kenapa? Kau sudah dengar, kan? Dia mau minjam, bukan minta.”

    “pokoknya jangan. Itu uangku, aku yang cari uang itu.”

    “aku yang ngatur uang. Apalah arti uang segini. Kau nggak bakal kelaparan besok cuma gara-gara ngasih pinjaman uang ke anak sendiri.”

    “tidak, sekali tidak. Tidak. Biar dari cari uang sendiri.”

    “ini uang untuk anakmu, darah dagingmu, kenapa sama anak sendiri pelit.”

    “aku tidak pelit. Biar dia cari sendiri uang untuk hidupnya.”

    “iya, tapi anakmu lagi benar-benar butuh uang.”

    Apa yang kau pikirkan laki-laki? Apa yang kau pikirkan perempuan? Apa yang kalian pikirkan!? Aku disini! Halo? Aku disini. aku tidak peduli kalian mau bertengkar soal apa. Tapi aku disini. orang yang kalian bicarakan sedang menunggu kalian mengakhiri pertengkaran.

    Mereka masih saja berdebat, apakah aku pantas mendapatkan uang itu. Aku memutuskan keluar. Duduk di lantai teras kecil di depan rumah. kujejakkan kaki ke tanah, membiarkan tapaknya kotor.

    Mencoba untuk menikmati setiap detail rumah yang sudah semakin rusak, seperti mereka yang semakin tua. Barangkali itu makna perlindungan. Mereka semakin tua bukan karena umur, tapi karena perlindungan. Melindungi sesuatu yang mereka anggap berharga, kami. Tapi apakah perlu mereka selalu begitu, memekakkan telingaku selama belasan tahun?

    Lama aku duduk disana. Memikirkan jawaban pertanyaan itu. Tidak ada satu katapun terlintas. Tidak kurang lima puntung rokok sudah bertebaran di tanah. Tadinya, aku berpikir bisa menikmati rokok-rokok itu bersama secangkir kopi, mengobrol hangat dengan mereka. Sudahlah. Kudengar senyap dari dalam ruang tengah. Mereka sudah berhenti rupanya. Segera kuinjak rokok terakhir dengan telapak kaki telanjang ini. Membiarkan rasa terbakar itu menetralisir amarah di dalam dada. lalu aku masuk ke rumah, menghampiri mereka berdua.

    “Sudah selesai bertengkarnya?” kedua orang itu memandang kearahku.”sejak awal tadi aku sudah bilang, kalau ada uang. Kalau tidak ya tidak masalah. Aku kemari karena kalian orang terdekat, bukan untuk meminta-minta.” Kataku mengakhiri kalimat dengan delikan tajam ke arah Bapak.

    Bapak masih ingin berkomentar, segara kuhentikan sebelum ia berbicara.”Cukup. Aku sudah tidak mau dengar apa-apa lagi.” Kataku sambil menghadapkan telapak kanan tangan kananku ke arahnya. Aku beranjak bangkit.

    “Aku pergi.” Kataku sambil melengos keluar.

    Kutinggalkan kedua manusia setengah baya itu, membiarkan mereka masih saling menatap sinis. Membiarkan mereka kembali mengenang kata yang sama yang kulontarkan saat aku pertama kali keluar dari rumah ini. membiarkan pikiran kusam ini mengenyamukkan marah, khawatir, dan kebingungan.


    Di luar hari sudah larut malam. Langit agak berkabut, tidak ada cahaya padahal malam ini purnama. Aku melanjutkan perjalanan pulang menemui istriku. Jalanan hampir tidak kelihatan arahnya, tapi pasti berbeda jika besok pagi. Aku tidak repot dengan urusan pertengkaran bapak ibuku, paling besok sudah baikan. Aku justru mengkhawatirkan hal lain, barangkali pertengkaran lain sudah menunggu di rumah untuk diselesaikan. 

  3. Untitled Feeling

    Sunday, November 17, 2013

    Sejak jum’at, serasa ada mendung yang tak ingin matang. Musim hujan sudah bertamu kembali. Kucermati tetes demi tetes air jatuh dari seng, mencoba untuk melambatkannya. Mengikuti setiap detik waktu jatuhnya. Seperti aku ingin melambatkan detak jantung dan arus darah yang tiba-tiba menjadi cepat. Seperti aku ingin memecah butiran hujan yang terus menitik di dalam dada.

    Rasanya ingin bercerita. Mengajak teman untuk berbagi gelisah. Seperti biasa, aku yang memilih berdiam. Mendengarkan. Semisal saja, mendung di perasaan ini sealami mendung legam di langit, aku bisa menangis kapan saja. Menangisi kerinduan yang tak pernah terpenuhi setelah bertahun-tahun. Menangis karena sudah saatnya hujan turun deras membasahi tanah kering.

    ‘Rambut ibu sebagian sudah putih, dia sudah tidak bergigi,’ Kata adikku, saat aku bilang belum tahu hendak tinggal dimana setelah ini. Haruskah pulang atau berpetualang sebentar lagi?

    Tidak kuat rasanya. Tak mampu kubayangkan rambut putih menyentuh tangan saat ia hendak memeluk untuk kedua kalinya. Tak mampu kulihat bibir tak bergigi itu berkata-kata dengan air mata mengalir lancar di sebelahnya. Tak mampu kurasakan saat yang serupa saat ia menungguku di tepi jalan, berharap aku segera menjejakkan kaki di kampung halaman sendiri.

    Saat dia tiba-tiba merangkul dan menangis. Aku yakin begitu. Itu akan terulang lagi. Tapi kali ini dia akan mendekatiku dengan langkah tertatih, karena betisnya sudah sakit, katanya.

    Aku tak ingin membayangkan, tapi itu selalu terlintas. Bagaimana aku siap menghadapi keadaan, saat ia harus pergi?

    Dengan gampang dia berkata,’Umur di tangan Allah. Kalau sudah saatnya mati, ya mati saja.’ Aku ingin marah saat itu. kukatakan padanya, dia mungkin tidak masalah hendak pergi kapan saja. Tapi, kepergiannya itu masalah buat yang ditinggalkannya. 

    Dia masih membela diri. Aku bilang,’Seperti apa rasamu saat merisaukanku, seperti itu juga rasaku merisaukanmu.’

    Selalu hujan yang membawa aroma tanah dari rumah. selalu gelegarnya yang menautkan tubuh pada mereka. dan kelembapan setelahnya menjalarkan rasa dingin dari lantai rumah. kehangatan setelahnya meresapkan seluruh pengabulan mereka. 

    Aku ingin merisaukannya. Menyentuh rambut putihnya. Melihat senyum di bibir kosongnya. Melihat kembali, dan kali ini akan kunikmati sepenuh hati. Sekarang ini dingin, tapi aku tak ingin menggigil dan demam karenanya. Biar sakit kepala tak pudar, biar badan selalu terkapar, aku sedang ingin mengenangnya dengan keras kepala yang sama. Membuat rencana, untuk kembali ke rumah. 

  4. Uneg-Uneg Soal Sejarah

    Saturday, November 16, 2013

    Setiap kali menghadiri kuliah ini, perasaan dan pikiran saya menggelegak. Ada perasaan bercampur-baur: sedih, marah, kecewa, kesal. Mata kuliah itu mengingatkan saya pada beberapa buku beraroma sejarah yang telah saya baca sebelumnya. Sejarah perkembangan kekuasaan politik pada agama yang kini saya anut, Islam.


  5. Menyegarkan Ingatan

    Saturday, November 9, 2013

    Kelas selesai sejak tadi, tapi aku sedang tidak ingin pulang. Ingin melihat seseorang.

    “siapa?” serang seorang kawan.

    “tidak tahu.” Jawabku sesingkat pertanyaannya.

    Penasarannya tidak hilang. Kualihkan pembicaraan. Sesaat kemudian yang kutunggu datang. Aku puas. Kuajak kawanku pulang.

    “sudah bertemu?”

    “sudah.”

    “Siapa?”

    “tidak kenal.”

    Dia diam, memandang heran. Tidak kupedulikan. Hanya sedang ingin menyegarkan ingatan. Saat mata ke mata, waktu ke waktu berpapasan dan melintas tanpa sapaan. Saat malam berarti insomnia dan siang berarti kecemasan.

    Entah siapa yang dipandang, bukan dia. Hanya sedang ingin menyegarkan ingatan. Pada raut yang mengguratkan senyumannya di pikiran.  Pada tubuh yang telah berlalu di awal tahun lalu.

    Dan dia pun pergi, tersisa jejaknya. Tangga demi tangga dipasangkan, masih tak jelas dimana atapnya. Berdiri di atas jejaknya, haruskah aku kesana, atau cukup memanggil saja dari kejauhan. Berulang dan diulang lagi. Tak bosan. Sampai mungkin raut suaranya memudar takkan terhindarkan.

    Tidak tahu, biar ragu menguap bersama asap yang jadi tanda keberadaan. barangkali memang belum masanya tanah mencicipi buah dari pepohonan. Nanti, pasti. Saat buah siap kehilangan ranting, melebur bersama tanah. Lalu kembali menumbuhkan daun dan batang.

    Sesudahnya pasti ada setelah siap hilang. 

  6. Draft tulisan bertumpuk-tumpuk untuk diselesaikan. Outline demi outline telah dipersiapkan, tinggal dikembangkan. Saya hanya memandanginya, terlalu lelah untuk berpikir. Tubuh pun tidak seperti dulu lagi, saat saya bisa memaksanya beraktifitas sekalipun dia tak kuat. Tubuh telah mendapatkan kuasanya. Ini seperti sebuah kudeta, seperti saat diktator dijatuhkan dan tak lagi bisa berbuat semaunya.

    Saya mulai merasa khawatir, teringat sebuah cerpen yang pernah dibaca bertahun lalu. Suatu hari nanti, tulisanmu akan menuntutmu. Mengapa meninggalkannya sebelum dilahirkan. Suatu hari nanti tulisanmu akan menghantuimu, karena telah membiarkannya mati sebelum ia diselesaikan.

    Tulisan adalah anak yang dilahirkan dari rahim imajinasi melalui proses persalinan kreatif. Mereka adalah anak-anak yang hidup dan berkembang pada zamannya. Mereka punya masa depannya sendiri. “Mereka adalah anak-anak spiritual saya”, kata Pramoedya.

    Dan saya belum mampu begitu. Saya terlalu sering mengaborsi tulisan-tulisan sendiri. Membiarkan mereka bergelimpangan di folder-folder komputer. Lebih parah, membiarkan mereka bertumpuk-tumpuk di lembaran-lembaran lalu mengilokannya pada penadah kertas.

    Apakah itu sebuah kekejaman? Saya menganggapnya kekejaman. Tapi saya terlalu sering menoleransi kekejaman sendiri. Barangkali karena keyakinan saya tidak sekuat Pram atau penulis lainnya, penulis-penulis yang bahkan berani terus menulis penjara, seperti Tan Malaka, Gramsci, Buya Hamka, atau Sayyid Quthb.

    Barangkali juga belum ada yang protes dengan kekejaman saya. tulisan-tulisan saya seperti janin yang tidak pernah berontak. Yah, tidak akan ada yang pernah berontak jika dia belum pernah dilahirkan.

    Tulisan seperti anakmu. Bila kau lahirkan, ia bisa menjadi pemberontak. Tulisanmu akan menyulitkanmu seperti kala anak-anakmu memasuki masa pubertas. Ia bisa menyulitkanmu selamanya. Dan dia bisa menyelamatkanmu, tergantung zaman berkehendak apa.

    Namun tulisan tetaplah bukan anak manusia. ia tidak pernah mati. Semua tulisan akan abadi selama tidak ada yang menghancurkannya seperti kehancuran besar ilmu pengetahuan saat Timurleng menghancurkan perpustakaan kota Baghdad di abad ke 12. Tulisan menjadi saksi sejarah sekaligus sejarah itu sendiri. Tulisanlah yang menentukan seseorang atau sebuah masa akan dikenang atau tidak.


    Motivasinya begitu. Terlepas entah apa yang akan dilakukan tulisan itu kepada saya nantinya. Entah siapa yang akan membaca. Terlepas ia tidak pernah dipedulikan. Tidak ada yang boleh diabaikan kalau ia pantas untuk diselesaikan. Sebab menulis bukanlah decak kagum pembaca, tapi rasa cinta.

    Jadi, saya kembali memandangi satu persatu draft yang tidak pernah saya selesaikan tersebut. Mencoba memperbaiki, menambah sedikit-sedikit. Dan kembali belajar menggunakan kertas dan pena. Mencoba untuk tidak mengulangi kekejaman yang sama. 

  7. Cinta tidak Boleh Memiliki (pt. 2)

    Sunday, November 3, 2013

    Kutipan dari Pedagogy of The Opressed tentang Biofili dan Nekrofili

    Pedagogy of The Opressed adalah buku Filsafat Pendidikan. Filsafat pendidikan yang membebaskan manusia agar ia dapat memenuhi fitrahnya sebagai manusia sejati. Paulo Freire, sang pengarang, meyakini bahwa manusia hanya benar-benar menjadi manusia bila dia melakukan perubahan secara terus menerus, sesuatu yang terus selalu saja dinafikkan di sepanjang sejarah kemanusiaan.

    Menurut Freire, pendidikan memiliki konstribusi besar dalam penafikkan ini. pendidikan telah menjadi alat untuk melayani kepentingan penindasan dan eksploitasi manusia. pendidikan semacam ini disebut Freire sebagai pendidikan gaya bank (banking concept of Education). Sebagai lawannya Freire menawarkan Pendidikan hadap masalah (problem posing education) yang berbasis pada dialog.

    Apa itu pendidikan gaya bank? Secara sederhana, pendidikan jenis ini merupakan pendidikan yang menganggap bahwa pendidik adalah penguasa pengetahuan, sedangkan peserta didik adalah wadah kosong yang harus diisi.

    Lalu apa hubungannya pendidikan Freire dengan cinta. Bagi Freire, pendidikan hadap masalah tidak dapat  berjalan tanpa dialog. Dialog sendiri ada syarat khususnya, salah satunya, dialog tidak dapat berlansung tanpa cinta. Cinta ini merupakan dasar untuk dialog, sekaligus dialog itu sendiri. Tapi cinta ini adalah cinta jenis khusus, bukan sembarang cinta. Cinta inilah yang dalam konsep Erich Fromm disebut dengan Biofili.

    Dalam Pedagogy of The Opressed, kata biofili dan nekrofili pertama kali ditemukan di halaman 74:

    1.      “Pendidikan gaya bank berawal dari pemahaman yang salah bahwa laki-laki dan perempuan adalah objek. Dengan demikian, pendidikan gaya bank tidak dapat mendorong perkembangan sesuatu yang disebut oleh Fromm dengan biofili, sebaliknya ia bahkan menghasilkan “nekrofili”.”

    Apa itu biofili dan nekrofili? Freire mengutip buku Erich Fromm yang berjudul The Heart of Man. Dia mengutip panjang mengenai nekrofili, tapi hanya sangat sedikit mengenai biofili (bahkan hampir tidak terdeteksi). Barangkali karena memang filsafat pendidikannya didasarkan pada biofili, jadi dia tidak menyinggung secara panjang lebar soal konsep tersebut.

    "Sementara kehidupan dicirikan dengan pertumbuhan dalam pola yang terstruktur dan fungsional, orang nekrofilis mencintai apapun yang tidak tumbuh, semua yang mekanis. Orang nekrofilis didorong oleh keinginan untuk mengubah sesuatu yang organik menjadi tidak organik, memandang kehidupan secara mekanis, seolah-olah semua makhluk hidup adalah benda mati...yang diperhitungkan adalah memori, bukan pengalaman, kepemilikan, bukan keberadaan. Orang nekrofilis hanya bisa berhubungan dengan objek (apakah itu setangkai bunga atau seseorang) jika ia memilikinya; oleh karena itu, ancaman bagi kepemilikannya berarti ancaman terhadap dirinya sendiri; jika ia kehilangan miliknya, ia kehilangan kontak dengan dunia....dia mencintai kendali, dan dengan tindakan mengendalikan ini dia membunuh kehidupan."

    Lebih lanjut, Freire mengatakan bahwa nekrofili atau cinta kematian lah yang membuat penindasan terus langgeng. Menurutnya pula, pendidikan gaya bank juga didasarkan pada nekrofili.

    2.       Penindasan (yang merupakan kendali yang berlebihan) bersifat nekrofilis; ia terus dilanggengkan oleh cinta kematian, bukan cinta kehidupan. Pendidikan gaya bank, sebagai pendidikan yang melayani kepentingan penindasan, juga bersifat nekrofilis. Pendidikan ini mengubah siswa menjadi objek yang menerima berdasarkan pandangan yang mekanistis, statis, naturalistis, dan terspasialisasi. Pendidikan ini berusaha untuk mengendalikan pemikiran dan tindakan, mengarahkan laki-laki dan perempuan untuk menyesuaikan dirinya dengan dunia, dan menghambat kekuatan kreatif mereka.
    Di bab 4, freire menyinggung sedikit lagi mengenai biofili dan nekrofili. Kali ini ia menghubungkannya dengna hubungan orang tua dan anak, kondisi sosial di sekitar, dan sekolah. Menurutnya nekrofili yang melanggengkan penindasan dan begitu juga sebaliknya. Penindasan dan nekrofili menjadi langgeng karena adanya cinta segitiga antara rumah, sekolah, dan kondisi sosial.

    3.  Hubungan orangtua dan anak di rumah biasanya mencerminkan kondisi kultural objektif struktur sosial disekitarnya. Jika kondisi sosial yang merasuk ke dalam rumah bersifat otoriter, kaku, dan mendominasi, maka iklim penindasan akan meningkat di rumah.


    4.  Seiring dengan meningkatnya intensitas hubungan otoriter diantara orang tua dan anak ini, internalisasi kekuasaan paternal juga meningkat pada anak di masa kecil mereka. (154)

    5.    Saat membahas masalah nekrofili dan biofili (dengan kejernihan pemikirannya yang seperti biasa), Fromm menganalisa kondisi objektif yang menghasilkan berbagai kondisi lain, apakah itu di dirumah (hubungan orang tua dan anak dalam iklim ketidak acuhan dan penindasan atau dalam iklim cinta dan kebebasan), atau dalam konteks sosiokultural. Jika anak-anak dibesarkan dalam atmosfer penindasan dan tanpa cinta, anak-anak ini memiliki potensi menjadi frustasi. Pada masa muda mereka, mereka tidak akan mampu melakukan pemberontakan yang otentik atau mereka akan benar-benar menjadi tidak acuh, terasing dari kenyataan karena kekuasaan-kekuasaan dan mitos-mitos yang telah ‘membentuk’ mereka. Atau, mereka bisa saja terlibat dalam berbagai macam tindakan-tindakan yang merusak. (155)

    6.   Atmosfer di rumah ini terjadi juga di sekolah, dimana para siswa dengan segera akan menemukan bahwa (sama seperti di rumah) untuk mencapai beberapa kepuasan mereka harus beradaptasi dengan aturan yang telah ditentukan dari atas. Salah satu aturan itu adalah untuk tidak berpikir.

    Sebenarnya, orang-orang yang ingin memahami Freire, perlu menghancurkan cara pandangnya yang selama ini ia anut tentang pendidikan. Pendidikan tidak saja berhubungan dengan sekolah. Pendidikan bisa terjadi dimana saja. Interaksi apapun yang memungkinkan terjadinya perubahan pada kesadaran bisa disebut dengan pendidikan. Jadi, pendidikan itu bisa berarti hubungan antara pemerintah dengan rakyat, guru dengan siswa, rektor dengan dosen, dosen dengan mahasiswa, laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak, dan sebagainya.

    Dan hubungan apapun pasti melibatkan kekuasaan. Itu artinya, cinta itu politis.  Hanya ada 2 jenis hubungan dalam hubungannya dengan kekuasaan: hubungan otoriter atau hubungan egaliter. Hubungan otoriter berkaitan dengan nekrofili atau cinta kematian, sedangkan hubungan egaliter berhubungan dengan biofili atau cinta kehidupan.

    Di bagian berikutnya saya akan membahas sedikit lagi mengenai kata nekrofili dan biofili, dan mengapa cinta tidak harus memiliki.

    Glosarium:
    • Dialog: salah satu konsep inti Freire. Menurutnya dialog adalah proses yang terjadi diantara manusia, dengan menggunakan kata, ditengahi oleh dunia, untuk menamakan dunia. Dialog hanya dapat terjadi dengan beberapa syarat diantaranya adanya cinta, kerendahhatian, kekritisan, kesetaraan, kepercayaan kepada orang lain, dan harapan.
    • Struktur sosial: hubungan-hubungan yang terjadi di lingkungan masyarakat, misalnya ada orang kaya ada orang miskin, ada pejabat ada rakyat jelata, dan sebagainya.
    • Kekuasaan paternal à berhubungan dengan paternalistik, yaitu menganggap bahwa hanya jiwa kebapakan (tepatnya maskulinitas) yang layak digunakan dalam memimpin.
    • Kekuasaan otoriter à berhubungan dengan otoriterianisme, yaitu menganggap bahwa orang lain hanya mau melakukan sesuatu apabila ia diperintah dan dikendalikan.
    • Kondisi objektif: kondisi apa adanya. Kondisi ini dapat dicari fakta-faktanya melalui panca indera, dan semua orang tidak akan berbeda dalam melihatnya.
    • Kekuasaan egaliter, lawan dari kekuasaan otoriter: menganggap bahwa orang lain mampu melakukan sesuatu bila ia dipercaya dan diberi kesempatan untuk berekspresi.
    • Pemberontakan yang otentik (authentic rebellion): barangkali berhubungan dengan karakter anak muda yang suka memberontak. Menurut saya, pemberontakan otentik berhubungan dengan sikap memberontak yang kreatif dan positif.


    Referensi:
    Pedagogy of The Opressed, Paulo Freire, 2000, Continuum international Publishing.
    Selanjutnya:
    Keharusan memiliki adalah karakter khas Cinta kematian

  8. Prolog
    Cinta tidak harus memiliki. Kayak lirik lagu saja, hehe. Tapi yakinlah, pembahasan mengenai pernyataan ini sama sekali berbeda dengan seluruh lirik lagu yang pernah menyatakan bahwa cinta tidak harus memiliki. Barangkali, tidak satupun dari yang akan saya bahas disini akan disinggung di lagu-lagu cinta manapun. Hehe

    Saya tidak sepakat bahwa cinta kepada manusia harus memiliki, artinya memiliki sesuatu seperti seseorang memiliki benda. Kalau kita percaya bahwa diri kita sendiri mampu menentukan masa depan kita, konsekuensinya orang lain pun bisa. Kalau kita percaya bahwa seseorang memiliki kebebasan untuk menentukan arah hidupnya, berarti orang lain juga bisa. Dengan demikian, kita tidak mungkin bisa memiliki orang lain, karena kita sama-sama bebas, sama-sama mampu menentukan masa depan kita sendiri.

    Kepemilikan adalah cinta pada kematian atau cinta pada sesuatu yang mati. Erich Fromm menyebutnya dengan istilah nekrofili. Inilah yang akan saya singgung di artikel bersambung ini. sengaja dibuat bersambung, agar tidak terlalu panjang.

    Pada awalnya saya ingin menjelaskan keberpihakan saya pada pandangan bahwa cinta tidak harus memiliki melalui sebuah cerita fiktif, tapi terhenti di tengah jalan. yah, saya memang tipikal orang yang mudah ngos-ngosan kalau menulis fiksi yang cukup panjang. Sepertinya saya tidak cocok menjadi penulis fiksi.

    Kemarin, tiba-tiba saja saya ingin menulis artikel tentang cinta, dan jadilah tulisan berjudul cinta yang membebaskan. Ternyata, tulisan itu justru semakin membuat saya penasaran (hehe, yang penasaran malah penulisnya, bukan pembaca). Saya tertarik melakukan sedikit riset kecil setelah menulis artikel tersebut. Saya mencari beberapa referensi lebih lanjut apa sih sebenarnya konsep Erich Fromm mengenai biofili dan nekrofili itu. Untuk itu saya memulai dari tempat pertama kali saya menemukan istilah ini, yaitu di buku ‘Pegagogy of The Opressed’ atau Pedagogi kaum tertindas (PKT). Saya menemukan sedikit penjelasan mengenai nekrofili dan biofili ini di halaman 77-78 dan 154-155.
    Sebenarnya di dalam buku ini dia lebih banyak menjelaskan pengertian nekrofili. Barangkali karena buku ini adalah sebuah usaha untuk mendukung biofili makanya Freire tidak menjelaskan panjang lebar tentang istilah biofili.

    Saya akan memberikan kutipan-kutipan lansung dan menyeluruh dari halaman-halaman tersebut. Kutipan ini saya terjemahkan lansung dari versi bahasa Inggrisnya. Ada beberapa bagian terjemahan yang belum bisa saya terjemahkan dengan baik, jadi mohon maaf kalau ada yang agak janggal.

    Menurut Prof. Google, Konsep biofili dan nekrofili disinggung oleh Erich Fromm dalam 2 buku, The Heart of Man dan The Anatomy of Human Destructiveness saya hanya dapat menemukan buku The Anatomy of Human Destructiveness istilah biofili kemudian digunakan lagi oleh sir Edward Wilson dalam buku yang berjudul Biophilia. Saya tidak akan menyinggung tokoh terakhir ini. Pemikiran Erich Fromm sendiripun hanya akan saya singgung berdasarkan kerangka pemahaman saya mengenai PKT.


    Untuk bahasan selanjutnya, saya akan menuliskan kutipan-kutipan dari halaman tersebut secara utuh sebelum nanti akan saya coba singgung satu demi satu.

    Berikutnya:


  9. Cinta yang Membebaskan? Hmm, :=)

    Saturday, November 2, 2013

    Dalam setahun terakhir ini saya pernah ditanyai beberapa kali tentang apa itu cinta, menurut saya. apa bedanya cinta dengan suka, peduli, kasih, sayang, perhatian, senang, dll. Hampir semuanya tidak sepakat dengan konsep yang saya utarakan.

    Mereka bilang saya punya konsep cinta yang aneh. Aneh itu biasa buat saya selama masuk akal. Dan sebenarnya pun penerimaan saya untuk menggunakan kata ini baru beberapa tahun terakhir. Sebelumnya saya bahkan ‘menghapuskan’ kata cinta dari kamus pikiran saya.

    Kala itu saya berpikir bahwa cinta adalah salah satu kata yang paling banyak disalahgunakan, karena ia merupakan salah satu kata yang membuat banyak kerusakan. Orang-orang membiarkan kata itu tanpa kejelasan agar ia mudah disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Ia menimbulkan perang, ia menimbulkan perpecahan, bahkan ia menimbulkan kebencian. Aneh, kita membenci atas nama cinta. Maka saya berpikir, satu-satunya cara adalah dengan menghapuskan kata itu dari kamus, dan menggantinya dengan kata semacam empati atau afeksi.

    Tapi kemudian saya mengubah pemikiran itu setelah bertemu dengan seseorang. Ya, bertemu secara imajinatif melalui pemikirannya. Dia yang membuat saya bisa menangis membaca buku dia, padahal bukunya itu buku yang filosofis. Hehe

    Membaca buku dia, membuat seluruh pertanyaan saya mengenai cinta terjawab, seluruh kebingungan saya menjadi masuk akal. Misalnya, kenapa kita melakukan peperangan membunuhi banyak orang, padahal kita tidak benci? Menurut orang ini, itu mungkin saja. Karena cintanya adalah cinta yang menindas.

    Cinta yang menindas dan cinta yang membebaskan

    Namun, pertemuan saya dengan buku “Pedagogy of The Opressed” membuat saya berpikir ulang mengenai kata itu. “Pedagogy of The Opressed” atau Pedagogi Kaum Tertindas merupakan buku yang dikarang oleh Paulo Freire, seorang pionir dalam pendidikan kritis a.k.a pendidikan pembebasan, pendidikan hadap masalah, atau pendidikan dialogis. Di dalamnya, saya membaca bahwa cinta adalah basis untuk pembebasan. Membaca buku itu, membuat saya berpikir, bahkan pemikir sekelas Paulo Freire saja mempertahankan penggunaan kata cinta. Sebenarnya bukan kata cinta, tapi “love”, karena saya membaca versi bahasa Inggrisnya yang saya unduh di internet.

    Kata love ini juga yang membuat saya tidak membedakan kata sayang, cinta, dan kasih sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Love sering kita artikan sebagai cinta. Tapi kata ini juga bisa diartikan sayang atau kasih sayang. Di negara asalnya, seorang ibu sangat senang sekali bila anaknya mengatakan ‘i love you, mom”. Tapi di Indonesia, agak aneh rasanya kalau seorang anak mengatakan,”aku mencintaimu, bu.” Lebih tepat jika mengatakan,”aku sayang ibu.” Padahal ya tidak apa-apa sebenarnya. Menurut saya itu cuma persoalan biasa atau tidak biasa menggunakannya.

    Itulah kenapa saat menerjemahkan kata love, saya sengaja mengartikannya dengan frasa ‘kasih sayang’. Sekalipun itu dalam konteks hubungan laki-kali perempuan, konteks yang membuat kata cinta itu begitu eksklusif dan sempit. Saya mengira kita terlalu latah menggunakan kata cinta, tanpa tahu benar apa yang kita gunakan itu. mengartikan kata love menjadi kasih sayang menurut saya adalah salah satu cara untuk membuat kata cinta menjadi kata yang terbuka dan tidak sempit lagi.

    Mengapa kata itu harus dibuat terbuka atau inklusif? Untuk itu, saya harus kembali ke konsep Freire tadi. Di dalam buku tersebut, Freire mendasarkan konsepnya pada Erich Fromm. Sayang, saya belum sempat baca buku Erich Fromm mengenai cinta ini. Erich Fromm pernah mengemukakan konsep nekrofili atau cinta kebendaan/kematian dan biofili atau cinta kehidupan.

    Apa itu cinta kebendaan/kematian? Menurut Fromm sebagaimana dikutip Freire, cinta ini adalah cinta kepada segala yang mati. Mencintai uang adalah salah satunya. Freire kemudian menjelaskan lebih lanjut, cinta kematian ini adalah dasar untuk segala bentuk penindasan. Jadi, menurut Freire, bahkan penindas itu pun melakukan penindasan bukan karena kebencian, tapi karena kecintaannya yang berlebihan terhadap sesuatu yang mati. Karakter cinta ini adalah cinta satu arah, possesif, statis/jumud/jalan di tempat, dan memaksakan.

    Sebaliknya cinta kehidupan adalah cinta kepada sesuatu yang hidup, misalnya manusia. bentuk cinta ini menganggap bahwa sebagaimana pecinta, yang dicintai pun tidak ada bedanya dengan dirinya sendiri. Itu artiknya, antara pecinta dan yang dicintai sama-sama memiliki kehendak bebas, sama-sama berhak untuk menentukan keputusannya masing-masing. Menurut Freire, inilah cinta yang membebaskan. Cinta ini memiliki karakter 2 arah/dialogis, mandiri, dinamis, dan toleran.

    Pembahasan tentang cinta nekrofili dan cinta biofili bisa ditemukan di bab 1 buku pedagogi kaum tertindas. Di bab 3, Freire membahas sedikit lagi mengenai cinta. Kali ini ia membahas tentang cinta yang menindas dan cinta yang membebaskan. Menurutnya cinta yang menindas berakar pada konsep sado-masokistik. sedangkan cinta yang membebaskan berakar pada konsep dialog.

    Apa itu cinta sado-masokistik? Sado-masokistik merupakan gabungan dari 2 kata, sadisme dan masokisme. Setahu saya, dalam kajian psikologi keduanya merupakan sebuah orientasi seksual yang dianggap tidak wajar. Sadisme merupakan orientasi seksual yang berhubungan dengan keinginan untuk selalu mendominasi dengan kekerasan saat berhubungan seksual. Sebaliknay, masokisme merupakan orientasi seksual yang berhubungan dengan keinginan untuk selalu didominasi atau pasrah secara sukarela dengan kekerasan saat berhubungan seksual.

    Namun, konsep sadisme dan masokisme bukanlah semata orientasi seksual, ia menjadi mentalitas. Mentalitas untuk mendominasi dan didominasi. Mentalitas inilah yang menurut Freire bukan merupakan kodratnya manusia. mentalitas sadisme dan masokisme adalah mentalitas yang kurang manusiawi bahkan kurang manusiawi. Cinta sado-masokistis merupakan hubungan diantara manusia yang tidak seimbang dan tidak manusiawi, karena satu pihak menafikkan kemanusiaan pihak yang lainnya. jika pecinta menafikkan kemanusiaan yang ia cinta, maka pecinta pun menjadi tidak manusia. akhirnya pecinta dan yang dicintai sama-sama “tidak menjadi manusia”.

    Manusia, menurut Freire, adalah makhluk yang dinamis. Ia adalah makhluk yang ‘tidak utuh’. Tidak utuh, karena ia selalu berusaha untuk menjadi sempurna. Itu artinya, manusia merupakan makhluk yang melalui pemikiran, bahasa, dan pengalamannya selalu berkembang dan selalu berproses. Singkatnya, manusia hanya menjadi manusia apabila ia terus berproses. Kodrat manusia untuk terus berproses berarti manusia hanya bisa dikatakan sebagai manusia apabila ia melakukan perubahan. Itu artinya, siapapun yang menolak perubahan sejatinya adalah orang yang menolak kemanusiaannya sendiri.

    Disinilah cinta yang membebaskan itu berperan. Agar manusia bisa melakukan perubahan, maka ia harus berinteraksi dengan manusia lain dengan cara dialog. Dialog berarti relasi yang seimbang diantara manusia untuk mencapai perubahan melalui diskusi yang terbuka tanpa ada satu pihak pun yang memaksakan keinginannya kepada pihak yang lainnya. artinya, dialog merupakan interaksi yang dilakukan dengan akal sehat dan toleransi.

    Freire berpendapat bahwa tidak akan pernah ada perubahan tanpa ada rasa Cinta, rasa cinta yang tulus kepada rakyat, rasa cinta yang memberinya energi untuk menjadi berani dan berkorban. Bukankah itu yang menjadi karakteristik rasa cinta? Namun, rasa cinta itu adalah cinta kehidupan atau cinta yang membebaskan. Bukan cinta kematian atau cinta sadomasokistis.

    Dengan cinta yang membebaskan a.k.a cinta dialogis, cinta kehidupan, atau cinta kemanusiaan, kita dapat membuat dunia ini menjadi lebih baik. Seperti Ghandi, Bunda Theresa, Malcom X, atau Martin Luther King. Mereka adalah orang-orang penuh rasa cinta menurut saya. mereka adalah orang yang berani mengangkat kodratnya kembali sebagai manusia dengan cara mencintai.

    Inilah yang membuat saya kembali menerima kata cinta, dan menggunakannya lebih sering daripada yang pernah saya lakukan sebelumnya. Katakanlah saya seorang moralis. Kawan-kawan saya barangkali akan mengejek, terserahlah. Teknoshit bilang bahwa mereka tidak menerima cintanya Ghandi karena perjuangan dengan cinta itu tidak cocok untuk melawan penindas. Marjinal bilang cinta itu pembodohan. Okelah, saya akui secara teori konsep berjuang dengan cinta itu terlalu utopis, tapi kalau dia jadi gerakan, bukankah yang utopis itu bisa menjadi realistis?