-
Cerita Lain Tentang Si Introvert
Tuesday, September 29, 2015
Hari ini saya begitu kacau. Keadaan ini sudah saya alami sejak seorang partner kerja memutuskan keluar hari Ahad lalu. Ditambah lagi beberapa urusan yang secara tidak langsung harus melibatkan saya, secara emosional khususnya.Kembali menjadi melankolis...setelah bertemu orang yang mengingatkan saya pada diri saya 3-5 tahun lalu.Posted by lain-lain at 7:01 PM | Labels: Introversi | 2 comments | Email This BlogThis! Share to X Share to Facebook |
-
Hidup Hanyalah Hidup
Thursday, August 27, 2015
Entah ada angin apa, saya ingin menulis pagi ini. Barangkali pagi di Sukoharjo tidak sedingin biasanya, sehingga saya berani mengangkat tubuh ke luar kamar, duduk di depan komputer dan mengetik. (ngomong-ngomong saya sekarang tinggal di Sukoharjo).
Ada yang banyak cerita yang terabaikan sejak saya kembali ke Jawa. Hasrat menulis tidak cukup kuat menggerakkan tangan, menceritakan kembali, agar jadi inspirasi, motivasi, atau apapunlah namanya.Padahal, keseharian saya hanyalah mengetik, mengetik, dan mengetik. Silakan tambahkan kata mengetik itu sampai bosan. Itulah hidup saya.Barangkali saya bukan satu-satunya orang di dunia yang merasa "hidup hanyalah hidup". Ah, terlalu pesimis. Ayolah, jujur saja. Berapa banyak orang di dunia ini yang menyerahkan mimpi-mimpinya, hanya demi bertahan hidup? Saya cukup yakin, sebagian orang yang membaca tulisan ini mengalami hal itu. Sebagian besar kita hanya bisa "menyukai apa yang kita dapatkan, bukan mendapatkan apa yang kita sukai".Beda halnya jika Anda orang yang tidak pernah bermimpi. Atau mungkin tidak mau bermimpi. Yang terakhir ini lebih realistis. Jika saya punya anak nanti, sejak kecil saya akan ajari dia:"Nak, kalau mau mimpi, waktu tidur saja. Bermimpi saat kau terbangun hanya membuat sakit hati."Sialnya, saya bukan orang religius. Andai saya seorang religius, saya bisa masuk tivi cuma karena "hidup hanyalah hidup" itu. Tentu tak mungkin saya bilang begitu kepada para penonton. Paling tidak saya akan bilang "Allah sudah menentukan jalan terbaik untuk kita. Barangkali ada jalan tikus di sana. Masalahnya, kita masih terlalu jauh dari-Nya, sehingga tidak diberitahu di mana jalan tikus itu berada."Orang akan banyak mengangguk dan memberi jempol kalau saya bilang, "Hidup mengikuti takdir Allah". Tapi orang akan menganggap saya kehilangan motivasi saya saya bilang "hidup hanyalah hidup". Lha, apa beda keduanya?Bedanya, kalimat pertama mengandung Allah. Yang diacungi jempol bukan hidup dan takdirnya, tapi Allah. Kalimat kedua sama sekali tidak penting, malah bisa membuat orang kehilangan motivasi.***Namun saya perlu kagum. Belajar menyukai apa yang dia dapatkan itu sulit. Bahkan gigih hidup di dalam hidup yang awalnya tidak disukai itu.Entah bagaimana pepatah "witing tresno jalaran seko kulino" itu ada benarnya juga. Walau saya yakin pepatah itu sangat patriarkal dan feodalistik (opo kuwi?), namun saya juga yakin pepatah itu mewakili keseharian kehidupan banyak orang.Saya masih mewarisi cara hidup ala pantun melayu: dari mata turun ke hati. Saya belum pernah dengan pepatah 'ala suka karena biasa'. Yang ada, 'ala bisa karena biasa'.
Konsep dari mata turun ke hati itu memandang penting pandangan pertama. Pandangan pertama yang saya maksud lebih dari sekedar melihat langsung suka, karena saya tidak yakin orang bisa suka sesuatu tanpa sebab. Preferensi kesukaan selalu berdasar sesuatu yang ada di pikiran kita. Sesuatu yang kita sukai. Itu artinya, kita sudah menyukai sesuatu sekalipun belum melihatnya.Sesuatu yang kita sukai itu berhubungan dengan sesuatu dari masa lalu. Misalnya, jika saya menyukai seorang perempuan, tinggal cari tahu, apakah dia mirip dengan ibu saya, mantan saya, artis idola saya, atau citra perempuan ideal yang saya ciptakan berdasarkan pengetahuan saya.
Dalam arti luas, saya memaknai 'dari mata turun ke hati' berarti suka dulu baru bertindak. Sementara 'witing tresno jalaran seko kulino', bertindak dulu baru suka. Sial sungguh sial, saya tidak lahir di Jawa dan saya baru 9 tahun tinggal di pulau ini.
Padahal menurut para pakar psikologi, masa kecil sangat mempengaruhi kepribadian. Yakin tidak yakin, saya yakin juga, melihat betapa pilih-pilihnya saya. Tidak yakin juga, mengamati betapa saya mulai terpengaruh untuk berusaha menyukai apa yang saya lakukan.Lingkungan pasti sangat dominan atas (sedikit) perubahan ini. Apalagi, saya sering dinasehati, karena banyak orang yang tahu: kalau suka dikerjakan, kalau tidak ditinggalkan. Nasehatnya, jalani dulu. Kita nggak bakal tahu suka apa nggak kalau nggak dialami.Betul juga, saya harus begitu agaknya. Toh orang tidak akan pedulikan saya bila hanya mengerjakan sesuatu berdasarkan kesukaan. Saya pasti akan disebut sok pilih-pilih dan pemalas. Demi hidup saya dan menyenangkan mata orang lain, saya sedang berusaha menyukai apa yang saya dapatkan. Dan inilah yang menjadi kesimpulan sementara: hidup hanyalah hidup.***Dan tiba-tiba saja otak saya berhenti berbicara. Artinya, sudah waktunya igauan ini diakhiri. Ini tulisan sekedar buat teman sarapan pagi, kalau pun ada yang mau membaca. Dan saya yakin pembaca akan kecewa, tulisan ini malah membuat orang jadi tidak semangat melewati hari. :-DPosted by lain-lain at 6:42 AM | 0 comments | Email This BlogThis! Share to X Share to Facebook |
-
Mau Tahu Pikiran Tuhan? Jadilah Tuhan
Sunday, June 21, 2015
Masih punya keyakinan? Jagalah itu. Sebab beberapa bagian tulisan ini membuat kalian ingin membunuh saya.Tulisan ini jawaban pertanyaan seorang teman. Anggap saja ini part 1-nya. Dia mempersoalkan beberapa isu berkaitan dengan moralitas dan ketuhanan. Butuh waktu cukup lama memikirkan kembali komentar apa yang harus diberikan.Saya memutuskan menjawab pertanyaan berkaitan dengan ketuhanan dulu. Saya tampilkan skrinsyutnya:Barangkali ia bermaksud mengatakan, jika panduannya sudah ada terlebih dahulu, tentu semuanya menjadi lebih teratur.Kawan saya ini sudah membatasi pertanyaannya: kita sebagai manusia beragama abrahamik. Yang dia pertanyakan nggak tanggung-tanggung, soal penciptaan manusia. Sebenarnya saya bisa saja memberikan komentar sederhana. Tapi saya ingin mengajaknya sedikit ‘bermain-main’. Lihat saja seberapa berani dia menjelajahi pikirannya.Allah Bukan Satu-Satunya Pencipta
Agama-agama abrahamik (Yahudi, Nasrani, dan Islam) meyakini Adam dan Hawa sebagai pasangan pertama. Dalam Islam diyakini, keduanya diciptakan oleh Allah. Tapi tahukah kita, bahwa di belahan dunia lain, ada keyakinan lain mengenai penciptaan.
Saya tidak bermaksud mengatakan bukan Allah yang menciptakan kita, sebab itu di luar kemampuan berpikir saya, memastikan Allah atau bukan yang menciptakan manusia. Saya hanya menyampaikan cerita, selanjutnya terserah pembaca.
Bagaimana kita berkeliling dunia sebentar, bertemu dengan cerita penciptaan manusia pertama. Berangkat ke utara Eropa, kita akan bertemu dengan 3 bersaudara anak Bor: Odin, Vili, dan Ve. Jadi, ceritanya ketiga anak Bor ini lagi jalan-jalan di tepi pantai, eh mereka nemu dua pohon. Entah ada ilham apa, ketiganya lalu menciptakan laki-laki dan perempuan pertama dari pohon tersebut. Odin memberi keduanya roh, Vili memberi kemampuan bergerak, dan Ve memberi pakaian dan nama. Nama laki-laki pertama itu adalah Ask, dan perempuan pertama adalah Embla.
Alih-alih cerita bahwa manusia pertama adalah laki-laki, bagaimana jika manusia pertama itu adalah hermaprodite? Mari kita terbang ke India, tempat di mana Manu, sang Hermaprodite melahirkan manusia-manusia pertama.
Suka nonton film Korea? Hmm, saya sampaikan satu fakta. Orang korea berasal dari Beruang. Hah!? Dulu, dulu sekali, ada beruang yang ingin jadi manusia. Dewa Hwang Un yang kala itu memerintah bumi mengabulkan permintaannya setelah si beruang melewati tes tertentu. Beruang bertransformasi menjadi seorang perempuan. Nah, rupanya perempuan ini kesepian dan memohon agar diberi seorang teman. Dewa Hwang Un lalu menjadikan perempuan ini sebagai istri. Dari sini lahirlah Dang Gun yang konon merupakan asal usul orang korea. Di Tibet bahkan ada yang menganggap mereka berasal dari perkawinan antara makhluk luar angkasa dengan monyet (fyuh..). Beberapa daerah di Tiongkok menganggap nenek moyang mereka bernama Pan Gu. Dan tebak siapa Pan Gu…sosok bertubuh manusia berkepala anjing. Ada pula legenda Tiongkok yang menyatakan kalau manusia berasal dari lempung kuning hasil pekerjaan dewi bernama Nu Wa, dewi tubuh bagian atas seperti manusia tapi bagian bawah menyerupai ular atau naga.
Pergi ke Afrika, di Kenya ada cerita, kalau manusia berasal dari sepasang kaki dewa.
Bagaimana kalau kita sekarang ke benua Amerika. Suku Navajo di selatan Amerika Serikat punya cerita lain. Di sebuah dunia yang disebut dunia keempat, tinggallah makhluk dengan kaki seperti serangga dan tangan seperti binatang buas. Tiba-tiba datang empat dewa entah dari mana dan berkata “hei, kami mau buat kalian menjadi lebih mirip seperti kami, tanpa tangan dan kaki seperti itu”. Lalu lewat proses tertentu muncullah laki-laki dan perempuan pertama.
Cerita itu membuat kita agak hina. Bayangkan saja anak-anak dari perempuan kulit hitam yang dihamili oleh laki-laki kulit putih di masa perbudakan Amerika. Sekalipun keturunan kulit putih, mereka tetaplah bukan kulit putih, terhina. Kita barangkali keturunan Dewa, tapi tetaplah setengahnya adalah binatang buas/serangga.
Bagaimana kalau sekarang kita ke suku Aborigin. Kita adalah keturunan berasal dari Dewi bernama ‘Ibu Matahari’. Ibu Matahari melahirkan dua anak ‘Bintang Pagi’ (laki-laki) dan ‘Bulan’ (perempuan). Dari sinilah kita muncul. Hmm, ini lebih baik, kita benar-benar keturunan dewa tanpa harus bercampur dengan binatang buas.
Masih mau jalan-jalan lagi?
Sepertinya kita akhiri saja untuk sementara. Kita kembali ke Indonesia dan membahas teori lain tentang penciptaan manusia.Ancient Aliens: Bagaimana jika pengikut Darwin atau Agama Abrahamik salah?
Sejauh ini banyak orang mengenal dua teori penciptaan. Satu menganggap manusia berkembang secara bertahap dari homo erectus menjadi homo sapiens, yang lain menganggap manusia diciptakan Tuhan. Yang pertama disebut dengan teori evolusi dan yang kedua disebut teori kreasi. Pengikut teori evolusi yang salah satu tokoh pentingnya Darwin, disebut sebagai evolusionis. Pengikut teori kreasi yang di antaranya adalah agama Abrahamik, disebut sebagai kreasionis.
Dalam teori evolusi ada yang disebut dengan lompatan evolusi, dari kera menjadi manusia. Ada yang hilang dalam proses tersebut. Mestinya ada transisi, tapi transisi ini tidak dapat dijelaskan. Nah, ada teori yang bisa menjelaskan ‘missing link’ ini, bahwa manusia berasal dari campur tangan alien.Bagaimana jika, kera sebenarnya tidak pernah berevolusi menjadi manusia dan manusia tidak pernah diciptakan. Bagaimana jika manusia adalah hasil percobaan genetika makhluk luar angkasa. Misalnya, bagaimana jika dahulu pernah ada makhluk luar angkasa turun ke bumi dan membuat percobaan: mencampurkan DNA mereka dengan kera? Lalu muncullah manusia. Manusia pertama inilah yang kita sebut dengan Adam dan Hawa. Atau barangkali manusia pertama ini hanyalah Manu yang hermaprodite.
Lalu karena alasan tertentu mereka kembali ke asal. Lalu terciptalah mitos, dewa dan tuhan. Bukankah kita selalu menganggap Tuhan, dewa, atau apapun namanya itu berada di atas sana, di langit?
Beberapa cerita penciptaan manusia dari berbagai belahan dunia menunjukkan kemungkinan tersebut. Kita hasil pencampuran dewa (makhluk luar angkasa) dengan binatang (makhluk bumi). Cerita dari suku Navajo atau Aborigin bisa lebih dekat dengan teori ini.
Tapi alien ini tetap mengawasi manusia. Belajar dari kesalahan manusia pertama, alien secara periodik mengintervensi manusia, mengirim ‘kitab suci’ pada manusia. Ini juga bisa menjelaskan alasan mengapa manusia dulu yang diciptakan dan bukan panduannya dulu.
Konon menurut teori ini, panduan itu diberikan sebagai bagian dari: percobaan dan memastikan alien tetap tidak teridentifikasi.
Ini salah satu teori baru tentang penciptaan manusia. Saya tidak akan singgung lebih jauh. Sila melihat film dokumenter berjudul Ancient Aliens. Film ini terdiri dari 4 season, masing-masing season terdiri dari paling sedikit 10 episode. Gila! Niat banget yang buat film itu. Butuh waktu berhari-hari tanpa istirahat untuk menyelesaikan seluruh season. Kalau bosan menonton lama dan ingin sedikit lebih fiksi cobalah tonton film ‘Jupiter Ascending’.Ini bukan kesimpulan
Setelah pembicaraan cukup panjang, akhirnya saya tidak akan menyimpulkan apa-apa. Saya tetap akan punya komentar mengenai pertanyaannya.
Mengapa bukan panduannya dulu yang dibuat?
Jawabannya: Saya tidak tahu. Karena saya tidak hadir sewaktu penciptaan manusia dan saya bukan tuhan tempat bertanya.
Apakah memang tuhan yang menciptakan manusia? Jawabannya sama. Saya tidak tahu karena saya tidak hadir sewaktu penciptaan manusia dan tidak ada satu dokumentasi pun yang benar-benar berasal dari waktu manusia diciptakan. Misalnya: video atau foto tentang penciptaan manusia.
Bayangkan kita sedang berada di sebuah pengadilan yang sedang membahas apa Tuhan bertanggung jawab atau tidak atas keberadaan manusia. Hakim akan memutuskan, kasus ditutup karena alasan yang jelas: Kurangnya Bukti.
Coba lihat seberapa banyak variasi teori asal-usul manusia di berbagai budaya. Variasi-variasi itu menunjukkan usaha manusia memahami asal-usulnya. Dalam agama yang sampai saat ini masih saya yakini, satu-satunya rujukan asal usul manusia adalah al-Qur’an. Al-Qur’an adalah fakta. Untuk memahami al-Qur’an, umat Islam harus mengandalkan tafsir. Dan saya bukan orang yang tepat untuk menafsirkannya.
Kita kerap menganggap, entah melalui sikap atau ucapan, kita paham apa yang tuhan pikirkan. “Kamu, bangkrut, itu ujian Tuhan.”, “Tuhan tidak ingin kamu begitu.”, “Aku dapat lotere hari ini, ini pasti jawaban dari tuhan atas doaku selama ini.”, “biar aja dia mampus, itu hukuman dari tuhan.” What the...? Emang elu juru bicara Tuhan?
Tujuan saya mengajak bermain-main adalah karena teman saya ini ingin melampaui ajaran agamanya sendiri. Saya ingin mengajaknya sejenak keluar dari dari sudut pandang yang ada di agamanya, dan melihat hal lain. Saya ingin tahu, apakah setelah berkelana sepintas, dia masih ingin mengajukan pertanyaan-pertanyaan serupa? Atau justru memutuskan untuk menjelajah lebih jauh? Itu pilihannya.Kawan saya ini hanya satu versi manusia yang berusaha memahami jalan pikiran tuhan. Versi lain dari mereka justru menganggap mereka tahu apa yang tuhan pikirkan. Tunggu dulu. satu-satunya cara memahami pikiran tuhan adalah dengan menjadi tuhan. Want to be a God? Anda tidak akan bisa, tidak akan pernah bisa, selama anda masih percaya tuhan.
Saya beri sebuah ilustrasi. Sewaktu kita kecil, pernahkah kita paham masalah yang dihadapi oleh orang tua kita. Tidak. Sampai kita benar-benar jadi orang tua. Saya barangkali tidak akan pernah paham sikap ayah dan ibu yang sering menyebalkan, kecuali saya menjadi orang tua. Atau misalnya, Saya kasih teman saya ini sebuah buku milih mahasiswa matematika atau fisika dan suruh dia jelaskan. Bisa? Saya tidak yakin bisa.
Sedang sesama kita saja, kita masih tidak bisa paham. Apalagi apa yang tuhan pikirkan. Tuhan barangkali tidak perlu alasan, tidak perlu pengetahuan, atau bahkan tidak pernah bisa kita bahasakan. Itu di luar kemampuan saya.
Jadi, saran saya, jika masih punya keyakinan terhadap agama, nggak usah neko-neko. Patuhi ajarannya, itu cukup. Nggak usah mempertanyakan kenapa ajaran harus begini atau begitu, bahkan sampai bilang harusnya tuhan buat ajaran yang berbeda. Patuhi saja, tidak ada jalan memperbaharui sumber ajaran, kecuali memperbaharui cara pandang/penafsiran terhadap sumber ajaran. Atau kecuali memang ajarannya menyebutkan “Anda bebas memodifikasi ajaran agama ini bila anda punya kapasitas”.
berani berpetualang? coba baca ini:
1. List of Creation Myths
2. Creation Myths From Many CulturesPosted by lain-lain at 12:52 AM | 0 comments | Email This BlogThis! Share to X Share to Facebook |
-
Ini Kesimpulan Saya: Vicky Prasetyo adalah Seorang Penyair
Sunday, May 24, 2015
"Bagi saya cinta hanyalah alusinisasi tak ada yang semu,"(Vicky Prasetyo) (4)
Untuk merefresh lagi ingatan kita tentang bagaimana nama Vicky Prasetyo mencuat, coba baca berita ini: "Kontroversi Hati" dan "Konspirasi Kemakmuran" ala Vicky Prasetyo"Saya geli campur aneh tiap kali denger dia ngomong. Kalau harus jujur sih, muak. Tapi mau bagaimana, remote control televisi hampir selalu dipegang sama tuan atau nyonya besar di rumah, jadi pasrah aja. Ibu sama bapak saya sih nganggapnya keren (sepenangkapan saya begitu). Mereka malah pernah komentar, "Dia kalo ngomong memang pintar." Pintar dari Hongkong?Iya juga sih, ia emang pinter ngomong, kalau pintar ngomong diartikan pandai berkelit. Tapi kalau membuat kalimat bermakna dengan kata yang tepat, khususnya dengan kata-kata tingkat dewa, sori bro, Anda sama sekali tidak qualified masuk ke dalam jajaran dewa di menara gading.Untungnya muak saya tidak semuak saat mendengar para pejabat yang kelit sana kelit sini menghindari pertanyaan wartawan. Saya malah ingin sekali berguru kepada vicky kalau ternyata ia memang sengaja membuat cara berbicara semacam itu. Berdasar pengetahuan saya sebagai sarjana sastra, kemampuan vicky itu sangat langka. Kok sangat langka? Untuk itu, saya harus membawa kita ke dalam sebuah pelajaran bernama sosiolinguistik. Kalo nggak tahu apa itu sosiolinguistik, nanya aja sama mbah google.Saya akan singgung beberapa hal yang berhubungan, seperti dwi/multibahasa, Peminjaman kata dan perpindahan kode, dan laras.Apa sih dwi/multibahasa?
dwibahasa atau multibahasa merupakan kondisi seseorang menguasai beberapa bahasa. Kalo dia menguasai dua bahasa disebut dengan dwibahasawati/wan, misalnya bahasa Indonesia dan Inggris. Kalo dia menguasai lebih dari dua bahasa disebut multibahasawati/wan, misalnya Indonesia, Jawa, Batak, Inggris, dan sebagainya. Jadi, bisa dikatakan kebanyakan kita memiliki kemampuan dwibahasa, sekalipun satu bahasa nasional dan satunya lagi bahasa daerah.Orang dwibahasa biasanya akan melakukan peminjaman kata (borrowing) atau perpindahan kode (codeswitching).Apa itu peminjaman kata dan perpindahan kode?
Salah satu yang menjadi perhatian utama sosiolinguistik adalah bahasa ujaran. Bahasa ujaran maksudnya adalah bahasa omongan, bukan tulisan. Orang dwibahasa biasanya akan mencampur-campur bahasa dalam ujarannya. Misalnya:1. Mas nang ngendi? aku tadi ke rumahmu. Kamu nggak ada.kalimat di atas mencampurkan bahasa jawa dengan bahasa Indonesia. Kita bisa sebut dia dengan 'perpindahan kode', karena orang yang ngomong (baca: penutur) memindahkan atau mengubah satu kode satu bahasa ke kode bahasa lain. Dari 'mas nang ngendi' (Jawa) ke 'aku tadi ke rumahmu...' (Indonesia).2. Aku lagi nggak kehilangan mood.Kalimat di atas mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Karena hanya ada satu kata bahasa Inggris di sana, kita anggap dia sebagai peminjaman kata, sebab orang yang ngomong meminjam kata bahasa Inggris 'mood'. Kata 'mood' sebenarnya bisa kita ubah dengan istilah 'suasana hati'Nah, sekarang kita terapkan ke cara berbicara Vicky, apakah vicky menggunakan perpindahan kode atau peminjaman kata? Tidak dua-duanya. Vicky memang menggabung-gabungkan kata-kata yang asing di telinga orang, tapi dia hanya menggunakan satu bahasa. Bahasa Indonesia. Kadang-kadang ia memang memindahkan kode, misal: 29 my age. Tapi itu nggak perlu dianggap, karena cuma sesekali.Kita akan berhubungan dengan istilah lain. Istilah itu adalah laras.Apa sih laras itu?Pernah ngadepin hal seperti ini: Kamu lagi jalan sama teman yang seneng bola. Kamu nggak suka bola. Eh, dianya ngajak nonton bareng. Waktu lagi nonton bareng mereka ngobrol. Karena kita nggak tahu apa-apa soal bola, akhirnya orang paling asing di dunia. Malah sampe ngerasa diremehkan, berpikir "Emang aku dari planet Mars apa?"Nyantai, nggak usah dibawa ke hati. Itu wajar. Kita sedang berhadapan dengan laras. Nggak usah ngebayangin yang aneh-aneh, seperti cewek cantik berbodi aduhai. Laras itu istilah dalam kajian bahasa.Dari satu tulisan yang saya baca, ditulis sama Lewandowski, laras itu:Registers are sets of language items associated with discrete occupational or social groups. Surgeons, airline pilots, bank managers, sales clerks, jazz fans, and pimps employ different registers.
artinya dikira-kira:Laras merupakan sekumpulan item bahasa yang berhubungan dengan pekerjaan atau kelompok sosial yang berbeda-beda. Dokter beda, pilot, manajer bank, pegawai sales, fans musik Jazz, maupun calo, masing-masing memiliki laras sendiri-sendiri.
Gampangnya begini, pernah liat orang di televisi lagi debat politik tapi kita suka bingung dia ngomong apa? Atau ngeliat aktivis mahasiswa koar-koar di tengah jalan saat demo, tiba-tiba kamu berpikir "What the hell they are talking?" Nah itu karena laras kita beda sama laras yang lagi debat atau koar-koar, makanya sama sekali nggak ngerti. Atau tahu bagaimana cara menirukan kata-kata dan cara ngomong reporter dan pembawa berita di televisi? Nah, itu juga namanya laras. Terus gimana kalo kita pake cara ngomong reporter dan pembawa berita di kehidupan sehari-hari? Aneh, orang malah ketawa.Yang kuliah, coba deh anak sastra dengerin anak farmasi lagi ngomong soal kuliahnya. Padahal masi pake bahasa Indonesia juga, tapi ya kok roaming abis. Kalau kita nggak tahu sama sekali dengan sebuah laras yang terjadi cuma satu, bengong. Sama seperti kita bengong ngeliat orang ngomong pake bahasa Inggris.Apa yang membuat saya geli melihat Vicky karena ia menggunakan kata dari laras berbeda, mencampuradukkannya, menggunakannya dalam situasi yang sama sekali nggak tepat. Okelah, kamu terpesona dengan omongan dia. Ngerti nggak? Zaskia Gothik menjawab, tidak. Sama, saya juga tidak mengerti. Ini contoh beberapa laras yang ia gabung-gabungkan:
- metafora: sastra, retorika
- embrio: biologi
- kemakmuran: sosiologi, politik, ekonomi
Vicky adalah satu-satunya orang di dunia yang memiliki laras itu. Langka bukan? :-)tapi sebenarnya laras bukan cuma berhubungan dengan kata, tapi juga dengan makna kata. Orang beda profesi bisa menggunakan kata sama dengan arti beda:
- Istilah sentimen dalam ekonomi beda artinya dengan istilah sentimen dalam kehidupan sehari-hari
- tekanan dalam bahasa beda artinya dengan tekanan dalam psikologi
atau menggunakan istilah berbeda untuk hal yang sama:
- akademisi akan menggunakan istilah 'metafora', sementara orang biasa menggunakan istilah 'perumpamaan'
Mikir ulang: pantas nggak cara ngomong Vicky disebut Laras?Seorang tokoh lain, namanya Ferguson mengatakan kalo 'Kalo orang-orang terlibat dalam situasi sama berulang kali, mereka bakal buat istilah sama, cara menekan kata yang sama, cara mengatur kata yang sama, termasuk cara membunyikan huruf dan kalimat yang sama. Jadi nggak heran kalo anak bola ketemu sama anak motor bakal roaming. nggak heran juga misalnya, kita ke acara yang melibatkan orang dari berbagai profesi, mereka bakal ngumpul dengan kelompoknya masing-masing. Itu wajar, nggak usah dibawa ke hati. Kalo dicampur-campur malah nggak bakal ada perbincangan sama sekali.
Nah, berhubung Vicky merupakan satu-satunya pemilik laras yang ia gunakan, tepatkah cara berbicaranya disebut laras? Sebenarnya nggak yakin juga sih. Menurut pengetahuan saya, ya istilah yang paling cocok menggambarkan cara berbicara vicky adalah laras. Tapi bisa jadi aja ada istilah lain yang saya nggak tahu. Kalau misalnya istilah laras tidak tepat dan tidak ada di dalam kajian bahasa, berarti para ilmuwan sosiolinguistik harus mikirin istilah baru. Luar biasa kamu Vicky.Lalu apa identitas si Vicky? Terpelajar?Laras itu ngomongin identitas. Cara kamu ngomong, kata-kata yang kamu gunakan, menggambarkan diri kamu, khususnya profesi atau spesialisasi. Sekalipun kita nggak terbiasa dengan sebuah laras, tapi tahu sedikit tentang laras itu, kita akan mudah mengetahui identitasnya. Misalnya, kalau temanmu suka ngomongin software atau program komputer, kita mungkin mengatakan "anak teknik informatika, ya?"Biar omongan saya kuat, ini nih kutipan dari ahlinya:Each register helps you to express your identity at a specific time or place, i.e., how you seek to present yourself to others.
Artinya dikira-kira:
Masing-masing laras membantu kamu ngungkapin indentitasmu saat berada di tempat dan waktu tertentu, misalnya bagaimana kamu nunjukin diri ke orang lain.
Kalo mau dipaksa-paksa, cara berbicara vicky sebenarnya bisa masuk ke dalam laras para akademisi atau intelektual, tapi intelektual nggak jadi. Kalau kalimatnya dipenggal menjadi kumpulan kata, akademisi atau orang-orang berpendidikan tinggi (kuliah) biasanya paham dengan makna kata itu. Barangkali ia memang ingin menampilkan imej terpelajar kepada orang lain. Entah dia sengaja atau tidak, Kalimat-kalimatnya sulit dimaknai bahkan oleh para akademisi sekalipun. Sebenarnya ada satu lagi yang lebih tepat, Vicky itu termasuk seorang penyair.Vicky adalah seorang PenyairAnda boleh tidak setuju, tapi kemampuan vicky itu adalah kemampuan yang hanya dimiliki oleh seorang penyair. Dalam puisi kamu bebas memakai kata apa saja, dari laras mana aja. Semua dicampur aduk, diubah-ubah maknanya. Misalnya puisi ini:TEKNIK MENGHIBUR PENONTONKebahagiaan peti mati mengucapkan selamat tahun baru.Maksudku, peti mati dan tahun baru.Kata-kata melintasinya dan jatuh seperti burung yangditembaki dalam mata pelajaran biologi.Intelektualitas yang merasa bisa menjadi mediatorantara tubuh dan realitas, terjungkal dari rak buku.Maksudku terjungkal dan rak buku.Titik dan koma tersesat dalam perangkap titik dan koma.Kata-kata telah ditundukkan oleh badai kamus.Dipisahkan lagi antara badai dan kamus.Sebuah bossanoba di tengah api perpustakaan.Dipisahkan lagi antara musik dan api dalam perpustakaan.“Tuan penghibur,” kataku, untuk melihat rohkudi antara kumpulan harga apartemen dan tiketpertandingan sepak bola.Baskom dalam timbunan penduduk kota.Tepuk tangan para pembuat parfumdan mesin pencetak dari rumah sakit.(Afrizal Malna)
Hmm, Saya perlu membaca berulang kali, sampai dapat gambaran. Bahkan barangkali nggak bakal pernah paham sama sekali. :-pHebatnya Vicky nggak perlu merenung dulu, spontan keluar begitu saja. Para penyair biasanya butuh jeda dan waktu lama hanya untuk membuat satu buku puisi kecil. Nah dia, membuat puisi setiap hari. Bisa dibilang puitis nggak kata-katanya di bawah ini:
batin saya yang menyuruh untuk bertapa (3)Retorika waktu yang akan menjawab (1)"...Konflik yang memicu adrenalin....elemenisasi mampu bisa menjadi orang yang bijak" (2)Para penyair barangkali akan marah bila Vicky saya masukkan sebagai penyair. Okelah, saya punya alternatif terakhir, Vicky adalah seorang komedian.Vicky adalah seorang Komedian
Kembali ke contoh di awal tadi, bagaimana bila cara berbicara seorang reporter di televisi digunakan di dalam kehidupan sehari-hari? Kita bakal geli. Bagaimana jika seorang sarjana fresh graduate tiba-tiba disuruh ngasih penyuluhan di masyrakat yang sama sekali tidak ia kenali sebelumnya, masyarakat itu barangkali akan merasa lucu melihat sarjana itu. Kasus yang sama berlaku terhadap Vicky.Tepat membawa Vicky ke ILK. Kemampuannya mengotak-atik laras membuat orang (setidaknya saya) justru merasa lucu, bukannya pintar. Tapi di mata orang awam, Ia kelihatan pintar sekaligus lucu (jadinya ngegemesin, dong, haha). Makanya, wajar kalo Channel TV tertentu menganggap dia unik dan perlu dilibatkan dalam acara-acara mereka. Terlepas dari seluruh skandal cintanya, kekacauan bahasanya justru berpotensi membuat acara-acara mereka lebih menarik. Bukan begitu?
Saya juga pernah bahas soal Vicky di sini: "Statusisasi Bahasa Vicky di Tengah Kontrofersi Hati dan Kudeta Kemakmuran", ternyata bertahan juga bahasa dia .. haha
Bacaannya:
Berita
(1) Ini omongan aslinya ""Kita kenalnya cepat, di lokasi syuting. Retorika waktu yang akan menjawab. Saya akan berupaya mencapai kebahagian dengan cara saya sendiri," Dari berita berjudul "Putus dari Zaskia Gotik, Vicky Prasetyo Akan Nikahi Penyanyi Ini?"
(2) Ini omongan aslinya "Aksi damai ini sebagai bentuk perwakilan panggilan kami generasi muda Indonesia, konflik yang memicu adrenalin. Sebagai bentuk aksi damai, elemenisasi mampu bisa menjadi orang yang bijak". Diambil dari "KPK vs Polri, Vicky Prasetyo: Konflik yang Memicu Adrenalin"
(3) Omongan aslinya ""Jadi batin saya yang menyuruh untuk bertapa, mungkin ini sebuah petunjuk," dari infotainment news berjudul "Gampang Dapat Pacar, Vicky Prasetyo Bertapa di Garut"
(4) "Vicky Prasetyo: Cinta Adalah Alusinisasi"
(5) "Kontroversi Hati" dan "Konspirasi Kemakmuran" ala Vicky Prasetyo"
Tulisan dari para tokoh:
- Sociolects and Registers – a Contrastive Analysis of Two Kinds of Linguistic Variation, yang nulis namanya Marcin Lewandowski
- Register as a Dimension of Linguistic Variation, yang nulis dua orang: Arnold M. Zwicky dan Ann D. Zwicky
- Styles, Registers, and Belief, dari buku An Introduction to Sociolinguistic keluaran Blacwell. Yang nulis namanya Ronald Wardhaugh.
Posted by lain-lain at 3:09 AM | Labels: Bahasa | 0 comments | Email This BlogThis! Share to X Share to Facebook |
-
Saat Orangtuamu Bertambah Uzur, Apa yang Kau Lakukan?
Friday, May 22, 2015
Pak Asep dulunya seorang konsultan hukum sukses. Ia juga pernah menyambi sebagai jurnalis. Sampai berumur 75 tahun, tanahnya sudah tersebar di berbagai tempat. Kalau dijumlah ada puluhan hektar juga.Itu masa lalu. Ia bercerai, pergi dari rumah dengan baju di badan dan beberapa surat tanah yang dapat ia selamatkan. Dua anak yang keduanya perempuan tidak memedulikan. Sekarang ia hidup menumpang bersama seorang tua lain di sebuah rumah tua. Rumah tanpa toilet (jangan anggap remeh pentingnya toilet dalam sebuah rumah). Rumah dengan hanya satu lampu di ruang tengah, sesak hingga siang hari pasti terasa gerah.Jika menggunakan hiperbola, kondisi hidupnya mengenaskan. Terima kasih kepada Tuhan jika ia dapat makan sayur dua hari sekali. Sering ia harus menahan lapar hanya karena tidak tahan makan hanya berlauk sambal. Ada sambal setiap hari sudah termasuk mewah. Tidak jarang ia hanya melihat nasi dan garam di dapur. Berbeda dengan seorang tua satu lagi, Pak Asep tidak terbiasa makan hanya dengan nasi dan garam. Dalam keadaan terpaksa, mau tidak mau hanya makan nasi saja. Kalau perut dirasa masih tahan, ia memilih berpuasa makan.Bagaimana ia berakhir seperti itu? Itu cerita lain. Saya tidak pernah menginterogasi proses menyakitkan yang membuatnya terdampar di rumah tua tersebut. Cerita kehidupannya hanya didapat melalui apa yang ia ceritakan tanpa saya tanya. Tidak lebih. Yang saya tahu, sejak dua tahun terakhir ia pergi dari rumah, dia sibuk menjual tanahnya dengan harapan ada pegangan sampai ia mati nanti.Urusan tanah itu juga masih belum selesai, padahal hampir dua tahun dan sudah banyak uang keluar. Ia harus bolak-balik ke berbagai tempat mengurusi uang penjualan tanah dengan hasil nihil. Orang harus angkat jempol dengan usahanya. Tempat ia memiliki tanah bukannya dekat dari tempat ia tinggal. Ia harus naik bus antar kota dan berjalan di bawah terik matahari. Semua dilakukan sendirian tanpa teman. Dan pikir, umurnya 75 tahun! Bibir bawahnya gemetaran sepanjang hari, mengangkat gelas pun sudah sulit. Dia sama sekali tidak lincah, hanya sikap keras kepala yang tersisa sehingga ia mampu pergi ke sana kemari.Tanpa uang di tangan, ia harus pinjam ke sana kemari agar bisa berangkat mengurus penjualan tanah. Tidak secara langsung, tapi melalui seorang tua lain yang tinggal bersamanya. Namanya Pak Tri, 65 tahun. Pak Tri sudah lebih dikenal di lingkungan sekitar, sehingga lebih mudah meminjamkan uang. Tentu tidak selalu ada pinjaman. Kalau kebetulan uang sedang kosong di tangan, tidak ada yang bisa dilakukan selain membaringkan tubuhnya yang sudah sakit-sakitan di kamar pengap dan gelap.Sedikit banyak saya bisa memahami bagaimana keadaannya, bagaimana perasaannya. Apa yang dia rasakan pasti jauh lebih berat dari apa yang mampu saya bayangkan. Suatu hari, ia pernah memukul seorang calon pembeli karena emosi tidak kunjung dibayar tanahnya. Ia sampai berurusan dengan polisi karena kejadian itu. Setiap kali saya datang dan bertemu dia, saya akan diperdengarkan kekesalan yang sama, kekecewaan yang sama, ketidaksabaran yang sama. Ia ceritakan berkali-kali, hampir setiap kali saya bertemu dengannya.Keadaan pak Asep mempertegas kekhawatiran saya pada satu hal: Saat orangtua semakin uzur, apa yang bisa saya lakukan? Pertanyaan itu telah menggelayuti pikiran sejak beberapa tahun lalu. Sampai saat ini belum saya temukan jawabannya.Salah satu nenek saya pernah bilang, rambut saya berjambul, kalau besar akan jadi anak durhaka. Saya tak percaya ilmu titen semacam itu, tapi sempat beberapa kali saya dibilang anak durhaka oleh orang tua. Saya khawatir, suatu hari benar-benar menjadi anak durhaka. Berapa banyak orang tua, saat ia tidak lagi produktif bekerja, ditelantarkan anaknya? Saya mengenal banyak. Baanyak. Apalagi pikiran saya sudah teracuni kota, gaya hidup tidak acuh pada urusan orang lain.Tapi agaknya, keadaan tersebut sudah berlangsung lama, lama sejak sebelum gagasan ‘urus urusanmu sendiri’ mewabah di Indonesia. Cerita anak durhaka sudah ada sejak zaman Malinkundang! Sudah begitu tua. Ilmu titen nenek saya barangkali berasal dari pengamatan masa lalu bahwa sebagian besar anak berjambul menjadi durhaka. Hah?!!Barangkali, penelantaran orangtua masih akan terus ada sampai Tuhan akhirnya memutuskan bumi harus diakhiri hayatnya. Mari ambil beberapa contoh. Dari pada mengurusi orang tuanya, banyak yang justru sibuk mengurusi pembagian harta warisan orang tua. Mereka yang sudah menikah memilih diam, karena khawatir tidak adil. Tidak adil bila hanya memperhatikan orang tua dari istri atau suami saja, namun tidak mampu bila harus memperhatikan keduanya.Sebenarnya, terlepas dari potensi kedurhakaan saya, saya tidak habis pikir dengan sikap semacam itu. Secara, orang Indonesia itu dikenal sebagai masyarakat guyub. Bahasa ilmu sosiologinya, masyarakat kolektif. Kita sangat terikat dengan yang namanya kekeluargaan. Orang Jawa bilang: makan nggak makan, yang penting ngumpul. Prinsip itu pula yang hendak dianut ibu saya yang kebetulan orang Jawa. Dia tidak peduli saya kerja atau tidak, yang penting di rumah.Kata orang bijak, kasih orangtua sepanjang jalan, kenapa kasih anak bisa hanya sepanjang sumbu mercon? Orangtua di masyarakat guyub rela berkorban apa saja demi anak cucu. Orangtua tidak akan tahan melihat anaknya menderita bahkan ketika anak-anaknya sudah menikah. Selagi mereka masih bisa ikut campur memperbaiki kondisi kehidupan anaknya, mereka akan turun tangan. Bagi (kebanyakan) mereka, kita selamanya anak-anak. Bukan sekedar anak, tapi anak-anak.Itu pula yang dipikirkan Pak Asep untuk kedua anaknya. Tegas ia katakan, tidak mau berurusan dengan mantan istri lagi. Sementara untuk anak-anak, dia akan memberikan beberapa bagian dari uang yang akan didapatkan untuk mereka, walau mereka tidak perhatian. Anak tetap anak, begitu katanya.Saya tidak berpikir anak-anak pak Asep anak durhaka. Barangkali mereka juga ingin perhatian, tapi serba salah. Kita punya masalah yang sangat akut dalam berhubungan. Apa yang tampak sering kali berbeda dengan apa yang dipendam. Kita kerap tidak dapat mengutarakan isi pikiran dan bertindak seperti yang diinginkan. Apalagi jika berhadapan dengan orang yang berposisi lebih tinggi seperti orangtua.Terkadang hubungan seperti itu sedemikian dalam sehingga sedemikian sulit diubah. Bukan tidak ada yang ingin dilakukan, tapi apapun yang akan dilakukan akan terlihat salah. Katakanlah, jika anaknya datang dan sering memberi bantuan, orang akan berpikir anaknya tidak perhatian. Kenapa tidak diajak tinggal bersama? Padahal bisa saja, bapaknya yang keras kepala, seperti pak Asep misalnya. Anak lalu tidak datang, menuruti kata bapaknya, malah dibilang orang lain kurang ajar.Orang bilang, jangan pikirkan apa kata orang lain. Tidak, di sini kita tidak bisa seperti itu. Apa yang dibilang orang lain itu penting. Bagi orang seperti anak pak Asep, kata orang itu penting. Kata orang menggambarkan bagaimana diri kita, walaupun bukan seperti itu diri kita sebenarnya. Kita ‘tidak ada’ tanpa pengakuan orang lain. Dan dianggap tidak ada itu menyakitkan.Bisa jadi ada masalah lain yang membuat anak-anaknya tidak dapat memberi perhatian. Masalah yang saya tidak ketahui sama sekali. Bagaimanapun saya berharap salah satu anaknya berkenan merawat.Merawat orang tua. Itu yang dipikirkan orang tua terhadap anaknya. Saya belum jadi orang tua memang. Saya hanya mendapat cerita dari orangtua-orangtua. Semua orang tua yang saya kenal berharap ketenangan di hari tua, anak-anak sukses semua, kalau bisa berkumpul satu rumah. Hal yang terakhir justru jarang terjadi. Anak-anak harus berpisah dengan orangtua saat ia menikah. Beberapa siap bertetangga, sebagian lain jauh dari mereka.Saat anak menikah urusan sudah berbeda, rasa tidak nyaman barangkali saja menghinggapi menantu. Hal ini dialami oleh seorang teman saya yang lain, yang merasa tidak nyaman tinggal serumah dengan mertua. Bukan karena tidak suka, tapi segan.Kalau mau mengikuti kebiasaan, saya bisa saja memerdekakan diri dari tanggung jawab merawat orang tua. Anak-anak yang lahir terakhir biasanya yang harus dikorbankan. Seperti adik saya, yang sudah diminta ibu agar tidak kuliah jauh-jauh supaya bisa memperhatikan dia.Tapi saya tidak ingin begitu. Okelah pada akhirnya adik saya yang berkorban hidup dekat dengan orangtua, lalu haruskah saya menghilang tidak jelas rimbanya? Kekhawatiran menjadi durhaka itu benar-benar menakutkan. Akhirnya saya tertumbuk di pertanyaan yang sama, apa yang bisa dilakukan? Saya benar-benar belum punya jawaban.Banyak yang bilang, anak tidak akan pernah mampu membalas pengorbanan orangtua. Tidak akan pernah cukup. Lantas apa perlu dipasrahkan saja? Anggap pengorbanan mereka di masa lalu sebagai tugas mereka. Tugas itu sudah rampung sekarang. Dan kita tinggal jalani hidup kita sendirian.Ini bukan soal balas budi. Bukan soal take and give. Bisa jadi kelahiran kita tanpa direncanakan, karena itu pula menghidupi kita tanpa direncanakan. Para orangtua yang saya kenal tak pernah berpikir membesarkan anak agar membayar kepada kita. Orangtua tidak pernah berpikir membesarkan anak seperti membesarkan hewan ternak, kalau sudah besar dijual dan dinikmati hasilnya. Tidak pernah.Bukan tidak ada orangtua yang seperti itu, tapi itu lain cerita.Sebagian orang memilih, diam dan patuhi. Saya bisa diam, tapi saya tidak dapat patuh. Maklum saya adalah produk masyarakat pasif agresif. Saya punya harapan dan keinginan. Pandangan hidup saya juga berbeda dengan orangtua. Di sini letak inti persoalannya. Dari kasus yang serupa dengan saya, sebagian anak memilih melawan secara langsung, sebagian lain memilih pergi dari rumah. Saya hendak memilih opsi terakhir, tapi bagaimana jika saya kehilangan kesempatan memperhatikan mereka? Saya tidak akan pernah memaafkan diri jika kedua orangtua terlantar hidup menderita. Atau pahit-pahitnya, bagaimana jika saya kehilangan kesempatan melihat wajah mereka untuk terakhir kali?
Barangkali saya terlalu jauh memikirkan hal yang belum saya jalani sehingga saya tidak menemukan jawabannya. Jika itu dirimu, apa yang akan kau lakukan?Posted by lain-lain at 12:15 AM | Labels: renungan | 0 comments | Email This BlogThis! Share to X Share to Facebook |
-
Jika Saya Hidup Seperti di Iklan, 30 Detik Saja
Tuesday, May 19, 2015
Minjam dari zoerooney.com
Iklan televisi itu durasinya sedemikian pendek, rata-rata hanya 30 detik. Hebatnya 30 detik itu mampu menangkap seluruh permasalahan kita dan membuat kita selalu bahagia dengan menggunakan produk yang diiklankan. Kamu akan selalu ceria dan bahagia dengan menggunakan shampo tertentu, parfum tertentu, moisturizer tertentu, cairan pembersih tertentu, alat kontrasepsi tertentu, dan seterusnya-dan seterusnya. Bukankah senyum dan keriangan selalu menyertai para tokoh iklan sebagai bukti keampuhan produk. Coba dengarkan musik latar di setiap iklan televisi, mana ada yang mellow dan galau. Semuanya ceria.
Iklan rokok lebih hebat lagi. Iklan rokok benar-benar seperti mengiklankan kucing dalam karung. Jangankan melihat bentuk rokok, bahkan bungkusnya pun kita tidak pernah tahu. Bukankah seperti mengiklankan lelembut, tidak tahu rupa bentuknya? Tapi ia selalu berhasil menampilkan citra ideal orang-orang yang diharapkan menghisapnya, target pasarnya. Dan isinya tidak jauh-jauh dari kesuksesan, kebahagiaan, petualangan, dan keceriaan. Padahal semua tahu, siapapun, selalu ada kalimat “merokok membunuhmu” di akhir setiap iklan. Kenapa tidak ada musik latar seperti musik pengiring kematian di iklan itu. Saya berharap setidaknya saat pengiklan menunjukkan kalimat kematian itu, musik latar berubah menjadi musik pengiring kematian.
Tiba-tiba, iklan menjadi pemberi petuah baru. Iklan tidak semata memberitahukan produk dan keunggulan produknya, namun menyisipkan petuah hidup di dalamnya. Tiba-tiba, sebuah operator berfilosofi tentang kebebasan. Tiba-tiba, iklan air mineral memberi nasihat mengenai lingkungan. Tiba-tiba iklan pembersih lantai bicara tentang perhatian terhadap anak. Iklan susu anak bicara tentang kecerdasan anak. Tiba-tiba, kita semakin dibingungkan mana iklan mana petuah.
Tapi itu tidak jadi soal bagi saya. Saya selalu berharap, andaikata diberikan kesempatan. Saya ingin merasakan hidup seperti di iklan, walau 30 detik saja. Tidak jadi soal apakah saya harus membeli produk iklan, bahkan jika itu rokok atau alat kontrasepsi. Barangkali apa yang saya harapkan diharapkan pula oleh banyak orang. Bedanya, saya lebih sering hanya berangan-angan, sementara mereka langsung bertindak, bertindak membeli produk dengan harapan mendapatkan kebahagiaan seperti di iklan.Apa itu kebahagiaan?
Apa itu kebahagiaan? Apa itu kebahagiaan? Apa itu kebahagiaan? Apa itu kebahagiaan? Bahagiakah saya? Entahlah. Saya sedang berhadapan dengan ‘dunia nyata’ sebagai lawan ‘dunia mahasiswa’. Di sini saya bertemu orang-orang dengan persoalan hidup konkret. Kalau gagal tidak bisa mengulang tahun depan, tapi kehilangan kesempatan selamanya. Tidak bisa seenaknya mengungkapkan pikiran atau akan kehilangan pekerjaan.
Saya tekankan, ini bukan semata tentang saya. Saya masih seorang sarjana dengan bayang-bayang ‘dunia mahasiswa’, jadi belum benar-benar merasakan pahitnya hidup (alah..). Seorang bapak dua anak mengeluh tidak bisa buat rumah karena gaji pas-pasan, atau bapak yang khawatir masa depan pendidikan anak-anaknya, seorang teman lama jadi bandar sabu-sabu agar dapat makan, seorang adik disunat gajinya 3 juta rupiah perbulan, atau seorang teman lain mengeluh karena perusahaan hanya kontrak 3 bulan. Silakan tambahkan daftar orang yang terpaksa melakukan apa yang tidak diinginkan sekedar bertahan hidup dan mengeluh sepanjang hidup,
Saya tidak tahu berapa banyak orang di dunia ini sebenarnya selalu bersemangat di dalam hidup, selalu merasa bahagia dengan kehidupannya. Jika hidup seperti di iklan, tentu hidup selalu cerah. Tapi hadapilah, hidup bukan iklan.
Halo...jangan bilang mereka tak bersyukur. Tapi ups, saya pun tidak tahu apa artinya bersyukur. Bapak yang belum bisa bikin rumah tadi berkata,”Yang penting bisa makan sehari-hari sama anak bisa sekolah, sudah tenang kita.” Bukankah itu bentuk rasa syukur? Namun di lain waktu di bilang,”Kalau gaji kita segini, manalah cukup. Aku pun nggak tahu anakku nanti kukuliahkan atau nggak. Sama sekali belum ada gambaran.”
Saya tidak tahu apa itu syukur, dan apakah itu penting. Saya bicara fakta, orang-orang yang saya temui. Singkirkan sejenak ceramah agama dan bla-bla-bla. Mereka semua tahu, tanpa diceramahi, merasa kadang-kadang tidak bersyukur. “Tapi bagaimana, keadaannya memang begitu.”
Keadaan. Semua bicara keadaan. Di dunia nyata orang bilang dalam satu istilah yang sama, “Keadaan”. Di dunia mahasiswa, orang bilang keadaan itu dengan istilah “Sistem”. Keadaan dalam bahasa orang awam serupa dengan sistem dalam bahasa orang intelek. Ada keadaan yang membuat mereka (bahkan) takut berharap. "Nggak usah sok bicara kebebasan dan kesetaraan, kalau tidak mau dipecat, disingkirkan, atau dipinggirkan. Nggak usah banyak berharap, kalau mau ikuti aturan saya." begitu kira-kira orang-orang yang mengendalikan keadaan membuat ancaman tersirat.
Bahagia dan syukur itu seperti dua sisi mata uang. Kalau tak bersyukur, rasanya tak pernah cukup, dan takkan pernah bahagia. Tapi syukur dan bahagia, sifatnya sementara bagi banyak orang. Seolah selalu ada ancaman dalam hidupnya, “bagaimana jika tahun depan tidak dipakai perusahaan lagi? Mau dikasih makan apa anak-anak?”Di mana senyumanmu?
Iklan selalu punya satu keserupaan, senyum tertebar di mana-mana. Senyum bisa menjadi penanda keceriaan, keceriaan bisa menjadi penanda kebahagiaan. Tapi pergilah ke jalan, di bis kota, di halte, di ruang tunggu, di mana pun tempat seseorang sendirian. Lihat di mana senyuman mereka?So, Hadapi dengan senyuman itu omong kosong. Barangkali tidak banyak orang yang benar-benar mampu tersenyum pada dirinya sendiri saat ia sendirian, kecuali bila sedang jatuh cinta atau dapat rezeki.
Saya terbiasa mendapati tatapan kosong.Di mana semangat hidupmu?
Saya bertanya pada seorang tua berumur 65 tahun,”Atuk, bagaimana cara menjaga semangat hidup?”Orang yang saya panggil Atuk itu terdiam.”Ah, saya pun tidak tahu, Nak. Tapi saya tahu, orang stres pasti bawaannya tidak sabar. Ibarat roda kita ini sedang di bawah. Jadi kita harus sabar. Pasti ada masanya nasib kita berubah.”
Saat itu pula, saya menyadari pertanyaan mengenai semangat hidup mestinya adalah pertanyaan untuk anak muda, bukan untuk orang tua. Orang-orang tua lain yang saya temui juga tak pernah bicara soal semangat hidup. Tipikal pernyataan “yang penting dapat makan”, “asal dapat hidup”,”sebenarnya tidak tahan, tapi kalau tak begitu tak makan”, terlalu sering saya dengar. Pernyataan yang membuat kita mafhum: Kita tidak pernah bisa hidup seperti di iklan (seberapa banyak pun kita beli produk mereka).
Bahkan iklan 30 detik barangkali dibuat orang-orang yang selalu tertekan karena pekerjaan. Hidup terlalu mudah kalau tidak ada proses. Dan proses itu menuntut kesabaran. Bahkan butuh waktu berbulan-bulan untuk membuat iklan 30 detik. Terserahlah orang mau bersyukur atau tidak, dia mau bahagia atau tidak, terserah kau mau tersenyum atau tidak, mau punya semangat hidup atau tidak, ada satu hal yang pasti, apapun yang terjadi kita harus bisa bersabar menjalani hidup.Posted by lain-lain at 3:39 AM | Labels: renungan | 0 comments | Email This BlogThis! Share to X Share to Facebook |
-
Pasif Agresif: Kita dan Budaya Kalah untuk Menang
Saturday, May 9, 2015
Punyanya www.patheos.com
Ilmu psikologi menyebutnya pasif agresif. Saya sudah begitu lama mengenal kata satu ini, tapi tidak pernah benar-benar tahu maknanya sampai setahun yang lalu, saat membaca-baca tulisan mengenai mekanisme pertahanan diri. Pasif agresif memang merupakan salah satu jenis mekanisme pertahanan diri. Beberapa waktu lalu, saya kembali tertarik dengan ide pasif agresif. Saya menemukan, pasif agresif merupakan sebuah gaya berkomunikasi. Semakin jauh, saya menyadari, pasif agresif tidak hanya bersifat situasional, berlaku pada saat khusus, namun ia bagian dari budaya kita.***Pasif agresif: Sekedar contoh
Contoh pertama:
Orang tua saya benar-benar kesal dengan para tetangganya saat Pemilihan Umum 2014 lalu. Kedua orang tua saya adalah kader sebuah partai politik, sebut saja para PAKSA. Sejak beberapa tahun sebelumnya, ia aktif mengusahakan bantuan-bantuan ke anggota dewan: sapi, ikan, dan sembako. Orang-orang yang dibantu berjanji akan memilih partai PAKSA, namun saat pemilihan ternyata pada hilang semua.
Pengalaman orang tua saya pastinya dialami oleh ribuan calon legislatif juga. Sudah banyak mengeluarkan uang, eh ternyata tidak ada yang milih. Orang-orang biasa bilang, “kalo kita dikasih uang, diambil saja, tapi nanti tidak usah milih”.
Contoh kedua:
Ahmad memiliki tanah luas di sebuah daerah. Karena jauh dari rumah akhirnya tidak pernah digarap. Beberapa waktu ia tidak pernah melihat tanah tersebut, ternyata sudah ditanami oleh tanaman. Tanahnya bahkan sudah dicaplok orang lain. Yang mencaplok bukan siapa-siapa, temannya sendiri. Saat ditanya alasannya,”Siapa suruh punya tanah tidak dimanfaatkan, ya dicaplok orang lah.”
Contoh tiga:
Entah karena apa, Rustam merasa tidak cocok dengan Efendi. Efendi adalah seorang mantan tentara yang menguasai bela diri. Tidak mungkin Rustam mampu melawan. Rustam kemudian menjelek-jelekkan Efendi setiap kali dia bertemu orang lain untuk meningkatkan sentimen negatif orang lain terhadap Efendi.
Kebetulan Rustam mendapat banyak dukungan. Suatu hari dia membawa puluhan orang ke rumah Efendi dan mengusir Efendi dari rumahnya.
Contoh empat:
Para anggota legislatif dan calon pemimpin pemerintahan biasanya selalu banyak berjanji saat Pemilu, tapi ketika terpilih malah mangkir. Setiap kali ditanyai, selalu menjawab,”Mohon bersabar, semuanya sedang dalam proses”
Contoh kelima:
Orang tertib berlalu lintas bila ada petugas, jika tidak lampu merah pun tidak kelihatan.***Merasa Familiar?: That’s Passive-Agressive!
Kita punya ungkapan untuk contoh-contoh di atas, seperti musuh dalam selimut, lempar batu sembunyi tangan, menggunting dalam lipatan, mengalah untuk menang, diam tapi melawan, atau menusuk dari belakang. Kita begitu terbiasa dengan contoh-contoh di atas, mulai dari lingkungan rumah, lingkungan pertemanan, masyarakat, organisasi, hingga pemerintahan. Contoh itu bisa ditambah sampai kita benar-benar kaget dengan betapa membudayanya pola pasif agresif di masyarakat.
Saya tumbuh sebagai seorang pasif agresif. Banyak orang juga begitu. Pasif agresif merupakan sebuah mekanisme pertahanan diri sekaligus gaya berkomunikasi. Cara ini terutama dimanfaatkan saat kita merasa tidak berdaya, namun tidak ingin patuh. Dari pada harus berhadapan dengan konflik terbuka yang bisa mengancam diri, lebih baik diam tapi mencari cara untuk membalikkan keadaan. Jika keadaan tidak berbalik, ia tidak akan rugi apapun.
Para pakar psikologi menganggap pasif agresif sebagai gangguan kejiwaan, dan tentu saja, sebuah penyakit sosial. Saya sendiri tidak menganggap pasif agresif selalu buruk. Tapi coba pikir, berapa orang harus stres dan masuk rumah sakit jiwa karena sikap masyarakat terhadap para calon legislatif pada contoh di atas. Berapa banyak orang harus menderita karena janji-janji kosong para pemimpin?
Pasif agresif bisa benar-benar merusak organisasi. Saya menghadapi banyak kasus seperti ini sewaktu masih aktif di organisasi mahasiswa dulu. Teman-teman ‘seperjuangan’ kerap menyetujui sesuatu, ternyata di belakang buat kesepakatan lain dengan orang lain. Teman-teman kerap menyetujui sebuah program, tapi saat diminta bekerja dan bertanggung jawab, hilang entah kemana.
Orang pasif agresif menunjukkan sikap pasif ketika berhadapan dengan orang lain, seperti tidak mau membantah, selalu mengiyakan, atau patuh. Namun dia menyimpan karakter agresif di dalam. Sikap-sikap yang tampak seperti: menghindari orang yang tidak disukai, menjelek-jelekkan di belakang, menunda atau mengerjakan sebuah pekerjaan yang diterima bila tidak suka. Orang pasif agresif berpotensi menjadi agresif saat dia memiliki kesempatan. Mau contoh: pemusnahan anggota PKI 1965 dan penyerangan etnis Cina 1998. Mengerikan bukan?***Bagaimana kita menjadi pasif agresif
Saya tumbuh sebagai seorang pasif agresif. Tentu banyak orang juga begitu. Kondisi sosial-budaya membentuk orang menjadi pasif, namun menyimpan sifat agresif di dalam dirinya. Saya sendiri harus menghadapi kekerasan oleh orang tua sejak kecil. Tidak ada tempat bagi saya untuk mengajukan pendapat, atau saya akan dimaki dan dipukul. Itu yang membentuk saya menjadi pendiam sekaligus pemberontak. Saya tahu, ada banyak orang seperti saya, harus menghadapi kerasnya kemauan orang tua, sekalipun kita tidak sepakat dengannya.
Keadaan itu tidak hanya ada di rumah, namun juga di masyarakat. Masyarakat kita adalah masyarakat hierarkis, bertingkat-tingkat. Masih tinggi penghormatan terhadap orang berstatus sosial tinggi, kaya, berposisi tinggi, dan orang tua. Kita bahkan diajarkan: jangan pernah melawan mereka. Sebagian besar orang, menerima keadaannya dan menjadi pasif. Sebagian lain, seperti saya, yang menolak tunduk, menjadi pasif agresif.
Pasif agresif merupakan gaya berkomunikasi yang buruk. Kekhawatiran kita dengan konflik yang benar-benar bisa merusak secara emosional maupun fisik, membuat kita memilih berdiam atau menarik diri tanpa harus mengikuti sesuatu. Saya kira, saya masih beruntung. Saya menyadari karakter pasif agresif saya, sehingga bisa mengendalikannya. Sebagian orang lain tidak tahu tapi terbiasa dengannya. Dia tidak sadar telah merusak banyak hal, tapi tetap merasa wajar.
Ungkapan mengalah untuk menang barangkali muncul dari pengalaman-pengalaman nyata berhadapan dengan tatanan sosial hierarkis, otoriter, feodal, seperti yang masih kita hadapi sampai saat ini. Sepanjang hari kita masih menghadapi orang-orang berkuasa yang dengan kekuasaannya berpotensi berbuat seenak jidat. Apa yang terjadi bila kita melawan otoritas, orang-orang berkuasa? Kita akan disingkirkan. Para mahasiswa, bersiap-siaplah mendapat nilai E dan mengulang 3 tahun berturut-turut dengan dosen yang sama bila protes terhadapnya. Para karyawan bersiap-siaplah dipecat bila protes pada atasan. Bersiap-siaplah disingkirkan, dijatuhkan, dipojokkan.
Siapa yang siap? Tidak ada yang siap diperlakukan seperti itu. Itulah kenapa, lebih baik kita mengalah sekalipun tidak sepakat. Mari mundur perlahan,”Dan lihat saja nanti Kau!” begitu umpat si pasif agresif dalam hati. :-)
Posted by lain-lain at 11:30 PM | Labels: Sketsa Sosial | 0 comments | Email This BlogThis! Share to X Share to Facebook |
-
Bagaimana Berhadapan Dengan Si Introvert
Wednesday, April 22, 2015
Punya teman yang nggak banyak omong dan penyendiri? Saking penyendirinya, dia bisa sibuk sendiri dan tidak bicara apapun, padahal orang lain sedang ngobrol sambil ngakak. Kadang dia hanya mengamati dari awal sampai akhir, dan tidak akan bicara kecuali sesekali.Teman-teman saya pasti punya setidaknya satu orang, Saya!. :-DBahasa Psikologinya, INTROVERSI. Orangnya disebut INTROVERT. Barangkali seperti saya, beberapa orang akan memanggil orang-orang semacam ini aneh. Ya, aneh, kata itu nggak asing lagi sampai saya terbiasa dengannya. Ada juga yang bilang mereka kurang suka bergaul, kurang peduli, sombong.Nggak kok, semua itu cuma salah paham.Mereka demikian peduli, bahkan barangkali lebih dari yang Kamu kira (muji diri sendiri). Mereka hanya butuh waktu untuk membangun hubungan, karena mereka nggak pernah ngganggap remeh hubungan sosial dengan siapapun (weh, muji diri lagi. Hehe).Kalau kamu punya teman, murid, adik, kakak, orang tua, tetangga, pacar, istri, atau suami seperti saya, berarti perlu baca ini. Ini saya minjam dari sebuah postingan di situsnya 9GAG disini. Semacam 101 untuk memahami introversi. Menurut saya, ‘tutorial’ singkat ini sudah mewakili.Apa Itu Introversi?Hidup di bola hamster seukuran manusiaOrang-orang introvert hidup di bola hamster seukuran manusia. Kira-kira begitu gambarannya. Karakter utama introvert sejati, berbeda dengan seseorang yang menarik diri, adalah bagaimana cara mereka mendapatkan energi.Ekstrovert: menyerap energiOrang-orang ekstrovert mengumpulkan energi dari sekitarnya. Mereka menyerap ‘getaran baik’ dari orang-orang di sekitar mereka. Karena itu, mereka memerlukan banyak interaksi sosial.Introvert: memberi energiOrang-orang introvert menghasilkan sendiri energinya, bukannya mengambil dari orang lain. Mereka justru memberikan energi kepada orang lain melalui kontak sosial. Ini berarti kebanyakan interaksi sosial secara alami membuat mereka kehabisan energi dan mereka butuh waktu untuk mengisinya kembali.Energi terbatasKarena energi ini adalah sebuah sumber terbatas, mereka cenderung melihat orang-orang ekstrovert sebagai predator mengerikan yang ingin mencuri energi mereka. Itulah kenapa mereka memiliki ruang privat bernama bola hamster itu.[PS: Saya kehilangan seorang teman penting karena kasus ini. ;-( ]Bagaimana Berinteraksi Dengan MerekaHanya karena seseorang introvert bukan berarti mereka tidak menyukai kebersamaan. Hanya saja mereka harus ‘membayar mahal’ (dengan energinya) untuk berinteraksi dan mereka tidak ingin menghabiskannya untuk sesuatu yang mengganggu. Dengan kata lain, sia-sia.Ini yang bisa dilakukan:Sapa mereka, sopan dan santai, tunjukkan Kamu mengakui dan menerima kehadiran mereka. Penting bagi orang introvert merasa diterima. Mereka tidak ingin mengeluarkan energi berharga mereka untuk seseorang yang tidak menginginkan keberadaan mereka. Kalau ada kabar menarik/penting untuk disampaikan, sampaikan. Yang penting jangan sampai mengajak mereka bergosip.Kemudian kembalilah mengerjakan apapun yang Kamu kerjakan sebelumnya. Sekarang orang-orang introvert sudah tahu kalau Kamu bersahabat dan terbuka dengan interaksi namun tidak akan mengharuskan mereka mengeluarkan energi jika mereka merasa tidak perlu melakukannya.Dan.. Ta Da...Kamu sudah memulai awal yang baik. :-DYang perlu diingat:- Hormati ruang privat (bola hamster)
- Energi mereka terbatas
- Jangan tuntut mereka memberikan energi padamu kalau memang benar-benar tidak butuh
- Jangan anggap diam sebagai hinaan. Sama sekali bukan.
- Orang-orang introvert juga merasa kesepian.
Sumbernya lihat di sini ya... How to Interact With Introvert
Posted by lain-lain at 12:50 AM | 1 comments | Email This BlogThis! Share to X Share to Facebook |
-
Pisau Bermata Dua Itu Bernama Pengetahuan dan Kepemimpinan Pendidik
Monday, February 23, 2015
Ahad ini sebenarnya saya tidak ingin berangkat. Tapi tidak enak juga rasanya. Seperti merindukan seseorang, tidak ingin bertemu tapi kalau tidak bertemu rasanya seperti kehilangan sesuatu, he...bagaimanapun beruntung saya berangkat. Ada kemajuan baru dalam pemahaman saya atas anak-anak.Tanpa persiapan apa-apa saya berangkat. Sampai di sana, Masjid tempat Kami biasa berkumpul kosong. Saya menunggu sekitar seperempat jam sampai anak-anak datang setelah dipanggil oleh pembina mereka.Karena masjid dipakai oleh pertemuan lain, Kami pindah ke saung. Saya membuka netbook, bersiap dengan rencana spontan, menonton film. Beberapa anak di bawah kelas 3 SD ikut nimbrung. Terjadi pertengkaran kecil antara Putri, binaan saya, dengan dua orang anak tersebut. Beberapa anak binaan saya juga ikut nimbrung, memerintahkan kedua anak pergi dari saung, hingga salah satunya menangis. Saya bilang tidak apa-apa. Tapi suasana tidak juga reda.Seorang anak lain yang lebih besar datang membantu saya mengendalikan keadaan. Namanya M. Syu’aib, saya kenal nama itu setelah sempat berbincang sesaat setelah pertemuan selesai. Syu’aib meminta anak-anak selain binaan saya keluar dari saung.Setelah lebih terkendali, saya melihat Fahri di tengah anak-anak. Dia baru saja minta ijin potong rambut ke saya. Saya telah mengijinkan. Rupanya, ibu pembinanya meminta ia ikut pertemuan dulu. Saya batalkan rencana menonton film, sebab akan lama dan akhirnya Fahri tidak akan pergi potong rambut. Saya bilang, menonton filmnya minggu depan saja.Anak-anak setuju. Jadilah saya kembali ke model biasa, duduk melingkar membicarakan sebuah topik. Saya ajak anak-anak mendiskusikan musyawarah. Saya memang telah berencana membahas topik ini dengan arah praktis nantinya. Saya ingin mendiskusikan ulang beberapa hal terkait pertemuan, sehingga ke depannya bisa lebih terarah karena ada kesepahaman dan aturan bersama.Beberapa pertanyaan yang saya ajukan sebagai berikut:
- Pernah dengar istilah musyawarah
- Apa itu musyawarah
- Apa contoh musyawarah
- Apa saya yang ada di dalam musyawarah
- Apa yang membedakan musyawarah dengan yang lain
Semua anak mengenal musyawarah. Dulu pernah belajar kata mereka, tapi lupa. Saat saya minta mereka mencontohkan, hanya satu dari sekian contoh mereka termasuk dalam kategori musyawarah: briefing. Ada beberapa contoh lain mengarah ke sana, misalnya seorang anak mengatakan,”saat kita mengadakan sebuah acara.” Jika yang mengatakan itu mahasiswa, saya akan mudah menggiringnya pada pernyataan yang lebih tepat dengan pertanyaan yang tepat. Tapi, menghadapi komentar itu, saya malah bingung.Seperti biasa, anak-anak mulai kehilangan konsentrasi memasuki sekitar 15-20 menit pertemuan. Hah! Mereka terlalu mudah kehilangan konsentrasi. Beberapa sibuk sendiri. Sedikit saja mereka teralihkan, mereka akan seterusnya teralihkan. Tentu saja saya kebingungan, sekalipun kali ini saya bisa lebih cepat mengembalikan mereka ke topik. Tidak dengan cara kreatif sih, hanya mengatakan, “Ayo, kita fokus dulu.”Mereka bisa mengendalikan diri. Tetap saja, sudah tidak sekondusif di awal. Di luar saung juga sedang ada gotong royong dan suara bising mesin pemotong rumput. Suara saya lenyap dikalahkan suara mesin tersebut. Segera saja saya akhir pertemuan.Setelah membaca doa kafarat-ul majlis dan salam. Anak laki-laki segera keluar. Sementara anak perempuan mendekati saya. Ana menagih pena berwarna yang minggu lalu saya janjikan kepadanya. Saya pun berikan. Putri juga minta satu. Dia ambil pena berwarna hijau. Riza datang,”Eee, Kakak, saya mau pena yang warna hijau.” Putri juga ingin pena berwarna hijau. Bakal ada pertengkaran lain ini kalau saya biarkan. Saya memohon pada Putri,”Putri pena yang coklat saja, ya. Yang hijau kemarin sudah dipesan Riza.” Setelah beberapa menit merayu, mau juga Putri memberikan pena itu.Anak laki-laki juga sempat hampir merebut pena yang saya beri ke Ana. Saya tahan. Seperti perkataan kepada Putri, saya sampaikan kalau pena itu sudah dipesan. Ifa, dengan diamnya seperti biasa, tampaknya juga mau. Indikasinya, dia mendekat ke saya dan memperhatikan saksama saat saya memberikan pena ke anak-anak. Saya tanya,”Ifa belum, ya.” Dia mengangguk. Benar dugaan saya. Saya mencari-cari pena lain di tas. Tidak ada. Saya bilang minggu depan insya Allah dibawakan untuk Ifa. Dia mengangguk.Ada sedikit kemajuan hubungan saya dengan Ifa. Dia masih pendiam seperti biasa. Tapi dibandingkan ngambeknya dua minggu berturut-turut sebelumnya, kini dia lebih mudah diajak berkomunikasi. Beberapa percapakan pendek kami lakukan.Saya memang belum mampu mengosentrasikan mereka dalam waktu cukup lama saat pertemuan berlangsung. Saya menduga, ada kontradiksi dalam persepsi anak-anak mengenai pertemuan ini. Mereka mengira pembinaan ini serupa sekaligus tidak serupa dengan belajar di sekolah. Serupa karena ada struktur pertemuan dan ada topik (dalam pandangan mereka, tentu saja materi). Tidak serupa, karena mereka lebih bebas di dalam pertemuan. Keserupaan itu membuat anak-anak menjadikan saya sebagai pemangku pengetahuan di sana. Kata saya mutlak. Ketidakserupaan membuat mereka lebih bebas mencari alasan atau pergi begitu saja atau tiba-tiba mengalihkan pembicaraan: hal yang tidak mungkin mereka lakukan di sekolah. Tapi mereka masih menganggap ini seperti belajar di sekolah. Simpelnya, saya menduga pembelajaran di sekolah membosankan dan kebelummampuan saya menggunakan metode tepat membuat anak-anak segera menunjukkan kebosanan mereka.Ini baru dugaan, perlu pembuktian. Saya bisa ajukan bukti. Anak-anak lebih berkonsentrasi saat berbincang dengan saya di luar pertemuan dibandingkan saat pertemuan berlangsung. Padahal, saya menggunakan cara yang relatif serupa pada kedua situasi. Saya tetap hanya bertanya, mendengarkan, dan membawa mereka hingga menyimpulkan. Bedanya, ada struktur dan materi di dalam pertemuan.
Saya tidak memungkiri, saya lebih tahu dari mereka. Tentu saja mengenai topik yang saya kendalikan dalam pertemuan, karena dalam hal lain mereka lebih tahu dari saya, seperti pengetahuan mereka berkomunikasi sesama mereka. Saya pun tidak akan mengelak bila saya bertanggung jawab atas mereka. Ini bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, dengan itu saya bisa membawa mereka memiliki pengetahuan baru. Di sisi lain selalu ada perangkap saya menjadi terlalu dominan, sehingga akhirnya hanya menyuapkan. Saya bahkan tidak pungkiri, dengan keterbatasan pemahaman saya mengenai dunia anak, dunia mereka, sadar tidak sadar saya masih terlalu dominan menyuapkan.Anak-anak tentu saja perlu di arahkan. Tidak ada pendidikan netral, semua mengarahkan. Namun, bukan berarti anak-anak hanya perlu diam dan mendengarkan. Begitu keyakinan saya. Mereka memiliki anggapan-anggapan, jika bukan keyakinan (karena keyakinan terbentuk setelah puluhan tahun pengalaman) yang perlu didengarkan dan diuji. Kita perlu tahu apa yang mereka pikir, rasa, dan alami. Kita perlu belajar mengajak mereka belajar berpikir reflektif, menguji pengalaman secara ketat demi pengetahuan baru. Tentu saja tidak seketat mengajak orang dewasa berpikir dan tentu saja dengan cara berbeda, cara yang belum saya temukan.Apa yang menjadi kemajuan pemahaman saya adalah semakin kuatnya kemungkinan metode hadap masalah/dialogis diterapkan pada anak-anak. Saya kira ada yang sudah berhasil sebelumnya, tapi saya memang belum punya pengalaman di sana. Beberapa hipotesis yang saya bangun dan mulai terbukti adalah:Pertama, anak-anak tidak datang dari ruang vakum pengalaman. Sejak pertemuan awal anak-anak selalu mampu memberikan contoh-contoh dan jawaban-jawaban yang relevan atau kurang relevan berdasarkan pengalaman mereka. Memang, hal yang menarik perhatian saya, mereka spontan berkata tidak tahu jika merasa tidak ada pengalaman yang relevan dengan topik yang sedang dibicarakan.Kedua, anak-anak lebih tertarik membicarakan apa yang mereka tahu. sejak pertemuan pertama anak-anak akan antusias jika diajak berbicara apa yang mereka telah ketahui tentang topik. Kalau mereka bisa memberikan pengalaman yang relevan, mereka akan berebutan menjawab. Mereka juga antusias diajak berbicara mengenai hal yang mereka sukai, mereka inginkan, mereka alami, dan mereka kenal dengan baik. Problemnya, cerita mereka murni informatif sekedar memberitakan fakta, keadaan, kejadian. Informasi-informasi faktual inilah yang belum dapat saya gerakkan menuju pengetahuan baru.Saya berusaha menghormati pengetahuan, perasaaan, dan pengalaman mereka. Bukan berarti akan berhenti berputar pada pengetahuan, perasaan, dan pengalaman mereka saja. Saya harus mengajak mereka bergerak, tentu saja. Saya juga harus berhati-hati agar tidak manipulatif, seolah terlihat menghormati tapi sesungguhnya memaksa secara halus. Pisau bermata dua bernama pengetahuan dan kepemimpinan pendidik itu selalu mengancam. Dia masih melukai pertemuan yang saya pimpin ini. Namun saya yakin, saya akan semakin mahir menggunakan pisau tersebut sehingga tidak melukai siapapun.
* Ada dua anak baru lain, tapi saya lupa namanya. Ifan dan Ulfa masih belum kelihatan juga. Yoga tidak kelihatan, sudah dua pertemuan. Ridho, anak yang baru saja muncul minggu lalu, sudah menghilang lagi.Posted by lain-lain at 2:37 AM | Labels: Edukasi Anak | 0 comments | Email This BlogThis! Share to X Share to Facebook |