Entah ada angin apa, saya ingin menulis pagi ini. Barangkali pagi di Sukoharjo tidak sedingin biasanya, sehingga saya berani mengangkat tubuh ke luar kamar, duduk di depan komputer dan mengetik. (ngomong-ngomong saya sekarang tinggal di Sukoharjo).
Ada yang banyak cerita yang terabaikan sejak saya kembali ke Jawa. Hasrat menulis tidak cukup kuat menggerakkan tangan, menceritakan kembali, agar jadi inspirasi, motivasi, atau apapunlah namanya.
Padahal, keseharian saya hanyalah mengetik, mengetik, dan mengetik. Silakan tambahkan kata mengetik itu sampai bosan. Itulah hidup saya.
Barangkali saya bukan satu-satunya orang di dunia yang merasa "hidup hanyalah hidup". Ah, terlalu pesimis. Ayolah, jujur saja. Berapa banyak orang di dunia ini yang menyerahkan mimpi-mimpinya, hanya demi bertahan hidup? Saya cukup yakin, sebagian orang yang membaca tulisan ini mengalami hal itu. Sebagian besar kita hanya bisa "menyukai apa yang kita dapatkan, bukan mendapatkan apa yang kita sukai".
Beda halnya jika Anda orang yang tidak pernah bermimpi. Atau mungkin tidak mau bermimpi. Yang terakhir ini lebih realistis. Jika saya punya anak nanti, sejak kecil saya akan ajari dia:"Nak, kalau mau mimpi, waktu tidur saja. Bermimpi saat kau terbangun hanya membuat sakit hati."
Sialnya, saya bukan orang religius. Andai saya seorang religius, saya bisa masuk tivi cuma karena "hidup hanyalah hidup" itu. Tentu tak mungkin saya bilang begitu kepada para penonton. Paling tidak saya akan bilang "Allah sudah menentukan jalan terbaik untuk kita. Barangkali ada jalan tikus di sana. Masalahnya, kita masih terlalu jauh dari-Nya, sehingga tidak diberitahu di mana jalan tikus itu berada."
Orang akan banyak mengangguk dan memberi jempol kalau saya bilang, "Hidup mengikuti takdir Allah". Tapi orang akan menganggap saya kehilangan motivasi saya saya bilang "hidup hanyalah hidup". Lha, apa beda keduanya?
Bedanya, kalimat pertama mengandung Allah. Yang diacungi jempol bukan hidup dan takdirnya, tapi Allah. Kalimat kedua sama sekali tidak penting, malah bisa membuat orang kehilangan motivasi.
***
Namun saya perlu kagum. Belajar menyukai apa yang dia dapatkan itu sulit. Bahkan gigih hidup di dalam hidup yang awalnya tidak disukai itu.
Entah bagaimana pepatah "witing tresno jalaran seko kulino" itu ada benarnya juga. Walau saya yakin pepatah itu sangat patriarkal dan feodalistik (opo kuwi?), namun saya juga yakin pepatah itu mewakili keseharian kehidupan banyak orang.
Saya masih mewarisi cara hidup ala pantun melayu: dari mata turun ke hati. Saya belum pernah dengan pepatah 'ala suka karena biasa'. Yang ada, 'ala bisa karena biasa'.
Konsep dari mata turun ke hati itu memandang penting pandangan pertama. Pandangan pertama yang saya maksud lebih dari sekedar melihat langsung suka, karena saya tidak yakin orang bisa suka sesuatu tanpa sebab. Preferensi kesukaan selalu berdasar sesuatu yang ada di pikiran kita. Sesuatu yang kita sukai. Itu artinya, kita sudah menyukai sesuatu sekalipun belum melihatnya.
Konsep dari mata turun ke hati itu memandang penting pandangan pertama. Pandangan pertama yang saya maksud lebih dari sekedar melihat langsung suka, karena saya tidak yakin orang bisa suka sesuatu tanpa sebab. Preferensi kesukaan selalu berdasar sesuatu yang ada di pikiran kita. Sesuatu yang kita sukai. Itu artinya, kita sudah menyukai sesuatu sekalipun belum melihatnya.
Sesuatu yang kita sukai itu berhubungan dengan sesuatu dari masa lalu. Misalnya, jika saya menyukai seorang perempuan, tinggal cari tahu, apakah dia mirip dengan ibu saya, mantan saya, artis idola saya, atau citra perempuan ideal yang saya ciptakan berdasarkan pengetahuan saya.
Dalam arti luas, saya memaknai 'dari mata turun ke hati' berarti suka dulu baru bertindak. Sementara 'witing tresno jalaran seko kulino', bertindak dulu baru suka. Sial sungguh sial, saya tidak lahir di Jawa dan saya baru 9 tahun tinggal di pulau ini.
Padahal menurut para pakar psikologi, masa kecil sangat mempengaruhi kepribadian. Yakin tidak yakin, saya yakin juga, melihat betapa pilih-pilihnya saya. Tidak yakin juga, mengamati betapa saya mulai terpengaruh untuk berusaha menyukai apa yang saya lakukan.
Dalam arti luas, saya memaknai 'dari mata turun ke hati' berarti suka dulu baru bertindak. Sementara 'witing tresno jalaran seko kulino', bertindak dulu baru suka. Sial sungguh sial, saya tidak lahir di Jawa dan saya baru 9 tahun tinggal di pulau ini.
Padahal menurut para pakar psikologi, masa kecil sangat mempengaruhi kepribadian. Yakin tidak yakin, saya yakin juga, melihat betapa pilih-pilihnya saya. Tidak yakin juga, mengamati betapa saya mulai terpengaruh untuk berusaha menyukai apa yang saya lakukan.
Lingkungan pasti sangat dominan atas (sedikit) perubahan ini. Apalagi, saya sering dinasehati, karena banyak orang yang tahu: kalau suka dikerjakan, kalau tidak ditinggalkan. Nasehatnya, jalani dulu. Kita nggak bakal tahu suka apa nggak kalau nggak dialami.
Betul juga, saya harus begitu agaknya. Toh orang tidak akan pedulikan saya bila hanya mengerjakan sesuatu berdasarkan kesukaan. Saya pasti akan disebut sok pilih-pilih dan pemalas. Demi hidup saya dan menyenangkan mata orang lain, saya sedang berusaha menyukai apa yang saya dapatkan. Dan inilah yang menjadi kesimpulan sementara: hidup hanyalah hidup.
***
Dan tiba-tiba saja otak saya berhenti berbicara. Artinya, sudah waktunya igauan ini diakhiri. Ini tulisan sekedar buat teman sarapan pagi, kalau pun ada yang mau membaca. Dan saya yakin pembaca akan kecewa, tulisan ini malah membuat orang jadi tidak semangat melewati hari. :-D
0 comments:
Post a Comment