Nilai kok Jadi Mistis?
Akhir-akhir ini, setiap kali ngecek update-an status
teman-teman di Facebook, ada satu jenis status yang menarik perhatianku. Status-status
yang menginspirasiku untuk membuat tulisan ini. Status tentang kekagetan,
kelegaan, dan kepasrahan mengenai nilai semester. Diluar status-status yang
kutemukan itu, banyak mahasiswa yang was-was menunggu nilai apa yang akan
keluar di portal mereka. pembicaraan-pembicaraan tentang nilai menjadi salah
satu trending topic ketika ujian akhir semester telah berakhir. Ketika nilai-nilai
mulai keluar, biasanya reaksi mereka ada 2:
shock atau lega. Aku
pikir wajar saja kalau mahasiswa gelisah semacam itu, atau bahkan lega. Terlepas
dari motif pribadi yang melatarbelakangi mereka menginginkan nilai tertentu,
biaya kuliah sekarang mahalnya minta ampun. Dengan biaya yang mahal,
rasa-rasanya menakutkan untuk mengulang mata kuliah yang diambil semester ini
di tahun depan. Apalagi mahasiswa-mahasiswa yang masih mendapat asupan bulanan
dari orang tua. Jadinya, menunggu nilai seperti menunggu nomor undian yang akan
keluar atau seperti menunggu putusan pengadilan.
Sebenarnya ada lagi sih reaksi yang lain: cuek dan pasrah. Mahasiswa
yang cuek dengan nilai biasanya mahasiswa yang masa bodoh dengan kuliah. Barangkali
dulunya dia tidak ingin kuliah tapi dipaksa orang tua, “biar jadi shock
therapy buat orang tua”. Mungkin juga mereka yang masih suka hura-hura, “life
goes on bro, dibawa enjoy aja” kata mereka. Mungkin mereka yang sudah
memiliki pekerjaan tetap,”pengalaman membuktikan anda tidak harus sekolah
tinggi untuk mendapatkan penghasilan”. Mungkin saja aktifis mahasiswa yang
idealis,”nilai bukan ukuran kualitas pemikiran”. Mungkin juga seorang mahasiswa
muslim ‘fundamental’ yang percaya bahwa nilai tidak akan membuat anda masuk
neraka. Jangankan perhatian soal nilai, bahkan portal aja mungkin nggak akan
dibuka-buka kecuali kalau sudah mau masuk semester baru lagi. Sementara kalau
yang pasrah, mahasiswa-mahasiswa ini bahkan sudah ikhlas berapa nilai yang akan
keluar bahkan sebelum mereka membuka portal. kebanyakan mereka percaya bahwa
berapapun nilai yang keluar itu memang sudah kebijaksanaan dosen. Dosen yang
paling tahu berapa nilai terbaik untuk mahasiswanya. Kalau dosen memberikan
nilai jelek, barangkali usaha kita tidak maksimal. Yah, pasrah saja, itu sudah
kehendak Allah, tahun depan diperbaiki sekaligus lebih banyak berdoa. Banyak diantara
mereka yang terpengaruh dengan buku-buku dan kutipan-kutipan motivasi,
khususnya motivasi spiritual. Hidup tidak untuk dimaki dan disesali, begitu
pikiran mereka. Apa yang sudah terjadi adalah takdir, yang penting berpikir ke
depan. Tipe yang pasrah ini ada yang lain juga, mereka yang pasrah karena sudah
tahu nilai apa yang akan keluar. Barangkali mereka memang tidak bisa menjawab
soal ujian, tidak mengumpulkan tugas, atau bahkan masuk dalam blacklist
dosen.
Kita kembali ke 2 reaksi umum para mahasiswa ketika melihat
nilai mereka. Ada seorang teman yang akhir-akhir ini kerap mengirimiku sms, “mata
kuliah ini dapat nilai berapa” “yang itu?”. Ada satu mata kuliah aku dapat
nilai A, kebetulan dia nanya ke aku berapa nilaiku di mata kuliah itu. Aku jawab
“dapat A, kamu?”. Dia membalas,”dapat A juga bro, alhamdulillah”.
Yang lain, dalam sebuah obrolan bertanya,”dapat nilai apa mata kuliah ini?”. “dapat
A, kataku.” Terus dia bilang,”dapat A juga, alhamdulillah.”
Alhamdulillah? Okelah, sebagai ungkapan rasa syukur
karena dapat nilai bagus. Namun, lebih dari itu aku menangkap indikasi lain. Kata
alhamdulillah dalam tradisi kita kan nggak cuma diungkapkan sebagai rasa
syukur. Tetapi juga sebagai ekspresi kelegaan, ternyata tidak buruk. Seperti,”alhamdulillah,
dia nggak jadi datang.” Ungkapan hamdalah itu adalah sebuah perayaan. Perayaan
atas keberuntungan. Aku berani bilang begitu, karena ketika tahu mereka dapat
nilai jelek,”kok bisa ya aku dapat nilai segini?”
Seolah-olah ada sesuatu yang metafisis disana, sesuatu yang
supranatural. Bahkan jika tadi aku bilang di awal seperti menunggu putusan
pengadilan, analogi itu menjadi tidak tepat. Jika menunggu keputusan pengadilan,
keputusan itu diambil berdasarkan analisis yang rasional. Sekalipun hakim
seperti tuhan di pengadilan, tetap saja keputusannya bisa diprediksi. Nah,
kalau ini, seolah-olah nilai itu adalah sesuatu yang tidak mungkin diprediksi.
Wake up sis-bro! Yang ngasih nilai itu manusia biasa.
Aku pikir ibu dan bapak dosen kita nggak tirakat 40 hari dulu buat nunggu
wangsit, nilai apa yang dikeluarkan untuk para mahasiswanya. Mereka juga nggak
memberikan nilai seperti menarik nomor undian dari dalam kotak. Mereka terikat
dengan standar-standar, mereka terikat dengan pola-pola, mereka biasanya punya
kebiasaan dalam memberikan nilai. Aku pikir, kita mesti berpikir lebih kritis
lagi. Standar-standar dan pola-pola itu yang perlu kita pelajari. Yah,
sekalipun aku tidak sepakat dengan pemikiran oportunis semacam ini. Setidaknya,
kita tidak memistifikasi nilai, yang pada akhirnya menjadikan dosen sebagai
sosok yang dewata, memiliki kreatifitas tidak terduga dalam memberikan nilai. Menurutku,
that’s oke, kalau sedih atau bahkan pasrah saja dengan nilai semester
ini, lalu berupaya lebih serius di semester depan. Tapi semua upaya itu tidak
akan bermakna, kalau kita tidak dapat memprediksi apakah strategi kita untuk
mendapatkan nilai bagus akan berhasil atau tidak. Pada akhirnya semua hasil
nilai kita, hanyalah kebetulan, keberuntungan, yang kita tidak tahu mengapa
nilai itu bisa menjadi seperti itu.
Ya..nilai itu bukan sesuatu yang mistis. Bukan pusaka yang
turun dari langit. Bahkan para pecinta klenik pun punya cara khusus untuk
mengambil pusaka. Lantas kenapa kita tidak punya cara untuk mendapat nilai
bagus? think critically.. :)
lainnya:
was-was menunggu nilai (1): gimana ya dosen ngasih nilai?
lainnya:
was-was menunggu nilai (1): gimana ya dosen ngasih nilai?
0 comments:
Post a Comment