Rss Feed
  1. Was-was Menunggu Nilai (2)

    Sunday, January 27, 2013



    Nilai kok Jadi Mistis?

    Akhir-akhir ini, setiap kali ngecek update-an status teman-teman di Facebook, ada satu jenis status yang menarik perhatianku. Status-status yang menginspirasiku untuk membuat tulisan ini. Status tentang kekagetan, kelegaan, dan kepasrahan mengenai nilai semester. Diluar status-status yang kutemukan itu, banyak mahasiswa yang was-was menunggu nilai apa yang akan keluar di portal mereka. pembicaraan-pembicaraan tentang nilai menjadi salah satu trending topic ketika ujian akhir semester telah berakhir. Ketika nilai-nilai mulai keluar, biasanya reaksi mereka ada 2:
    shock atau lega. Aku pikir wajar saja kalau mahasiswa gelisah semacam itu, atau bahkan lega. Terlepas dari motif pribadi yang melatarbelakangi mereka menginginkan nilai tertentu, biaya kuliah sekarang mahalnya minta ampun. Dengan biaya yang mahal, rasa-rasanya menakutkan untuk mengulang mata kuliah yang diambil semester ini di tahun depan. Apalagi mahasiswa-mahasiswa yang masih mendapat asupan bulanan dari orang tua. Jadinya, menunggu nilai seperti menunggu nomor undian yang akan keluar atau seperti menunggu putusan pengadilan.

    Sebenarnya ada lagi sih reaksi yang lain: cuek dan pasrah. Mahasiswa yang cuek dengan nilai biasanya mahasiswa yang masa bodoh dengan kuliah. Barangkali dulunya dia tidak ingin kuliah tapi dipaksa orang tua, “biar jadi shock therapy buat orang tua”. Mungkin juga mereka yang masih suka hura-hura, “life goes on bro, dibawa enjoy aja” kata mereka. Mungkin mereka yang sudah memiliki pekerjaan tetap,”pengalaman membuktikan anda tidak harus sekolah tinggi untuk mendapatkan penghasilan”. Mungkin saja aktifis mahasiswa yang idealis,”nilai bukan ukuran kualitas pemikiran”. Mungkin juga seorang mahasiswa muslim ‘fundamental’ yang percaya bahwa nilai tidak akan membuat anda masuk neraka. Jangankan perhatian soal nilai, bahkan portal aja mungkin nggak akan dibuka-buka kecuali kalau sudah mau masuk semester baru lagi. Sementara kalau yang pasrah, mahasiswa-mahasiswa ini bahkan sudah ikhlas berapa nilai yang akan keluar bahkan sebelum mereka membuka portal. kebanyakan mereka percaya bahwa berapapun nilai yang keluar itu memang sudah kebijaksanaan dosen. Dosen yang paling tahu berapa nilai terbaik untuk mahasiswanya. Kalau dosen memberikan nilai jelek, barangkali usaha kita tidak maksimal. Yah, pasrah saja, itu sudah kehendak Allah, tahun depan diperbaiki sekaligus lebih banyak berdoa. Banyak diantara mereka yang terpengaruh dengan buku-buku dan kutipan-kutipan motivasi, khususnya motivasi spiritual. Hidup tidak untuk dimaki dan disesali, begitu pikiran mereka. Apa yang sudah terjadi adalah takdir, yang penting berpikir ke depan. Tipe yang pasrah ini ada yang lain juga, mereka yang pasrah karena sudah tahu nilai apa yang akan keluar. Barangkali mereka memang tidak bisa menjawab soal ujian, tidak mengumpulkan tugas, atau bahkan masuk dalam blacklist dosen.

    Kita kembali ke 2 reaksi umum para mahasiswa ketika melihat nilai mereka. Ada seorang teman yang akhir-akhir ini kerap mengirimiku sms, “mata kuliah ini dapat nilai berapa” “yang itu?”. Ada satu mata kuliah aku dapat nilai A, kebetulan dia nanya ke aku berapa nilaiku di mata kuliah itu. Aku jawab “dapat A, kamu?”. Dia membalas,”dapat A juga bro, alhamdulillah”. Yang lain, dalam sebuah obrolan bertanya,”dapat nilai apa mata kuliah ini?”. “dapat A, kataku.” Terus dia bilang,”dapat A juga, alhamdulillah.”

    Alhamdulillah? Okelah, sebagai ungkapan rasa syukur karena dapat nilai bagus. Namun, lebih dari itu aku menangkap indikasi lain. Kata alhamdulillah dalam tradisi kita kan nggak cuma diungkapkan sebagai rasa syukur. Tetapi juga sebagai ekspresi kelegaan, ternyata tidak buruk. Seperti,”alhamdulillah, dia nggak jadi datang.” Ungkapan hamdalah itu adalah sebuah perayaan. Perayaan atas keberuntungan. Aku berani bilang begitu, karena ketika tahu mereka dapat nilai jelek,”kok bisa ya aku dapat nilai segini?”

    Seolah-olah ada sesuatu yang metafisis disana, sesuatu yang supranatural. Bahkan jika tadi aku bilang di awal seperti menunggu putusan pengadilan, analogi itu menjadi tidak tepat. Jika menunggu keputusan pengadilan, keputusan itu diambil berdasarkan analisis yang rasional. Sekalipun hakim seperti tuhan di pengadilan, tetap saja keputusannya bisa diprediksi. Nah, kalau ini, seolah-olah nilai itu adalah sesuatu yang tidak mungkin diprediksi. 

    Wake up sis-bro! Yang ngasih nilai itu manusia biasa. Aku pikir ibu dan bapak dosen kita nggak tirakat 40 hari dulu buat nunggu wangsit, nilai apa yang dikeluarkan untuk para mahasiswanya. Mereka juga nggak memberikan nilai seperti menarik nomor undian dari dalam kotak. Mereka terikat dengan standar-standar, mereka terikat dengan pola-pola, mereka biasanya punya kebiasaan dalam memberikan nilai. Aku pikir, kita mesti berpikir lebih kritis lagi. Standar-standar dan pola-pola itu yang perlu kita pelajari. Yah, sekalipun aku tidak sepakat dengan pemikiran oportunis semacam ini. Setidaknya, kita tidak memistifikasi nilai, yang pada akhirnya menjadikan dosen sebagai sosok yang dewata, memiliki kreatifitas tidak terduga dalam memberikan nilai. Menurutku, that’s oke, kalau sedih atau bahkan pasrah saja dengan nilai semester ini, lalu berupaya lebih serius di semester depan. Tapi semua upaya itu tidak akan bermakna, kalau kita tidak dapat memprediksi apakah strategi kita untuk mendapatkan nilai bagus akan berhasil atau tidak. Pada akhirnya semua hasil nilai kita, hanyalah kebetulan, keberuntungan, yang kita tidak tahu mengapa nilai itu bisa menjadi seperti itu. 

    Ya..nilai itu bukan sesuatu yang mistis. Bukan pusaka yang turun dari langit. Bahkan para pecinta klenik pun punya cara khusus untuk mengambil pusaka. Lantas kenapa kita tidak punya cara untuk mendapat nilai bagus? think critically.. :)

    lainnya:
    was-was menunggu nilai (1): gimana ya dosen ngasih nilai?

  2. 0 comments:

    Post a Comment