Rss Feed
  1. WAS-WAS MENUNGGU NILAI (1)

    Friday, January 25, 2013


    Gimana Sih Dosen Ngasih Nilai?


    Ujian baru aja selesai. Nilai-nilai juga sudah pada keluar. Sejauh ini, masih memuaskan. Tinggal satu mata kuliah, Ilmu Falak. Padahal aku sudah berdebar-debar dari kemarin. soalnya, dari 9 mata kuliah yang aku ambil semester ini, hanya mata kuliah ini yang memang membuatku gelisah. Aku takut nilaiku malah nggak keluar lagi. Terlepas dari momok hitung-hitungan yang selalu menyerang mahasiswa bahasa dan sastra, ada 3 hal yang membuat aku tidak yakin dengan huruf apa yang akan keluar di portal.

    Pertama, dosen itu sejak awal sudah menetapkan standar penilaian yang ketat menurutku. Di dalam lembaran kontrak belajar yang ia tuliskan:
    Kehadiran 14 kali, kemungkinan nilai A
    Kehadiran 13 kali, kemungkinan nilai A-
    Kehadiran 12 kali, kemungkinan nilai B
    Kehadiran 11 kali, kemungkinan nilai B-

    Kehadiran kurang dari 11 kali? Maksimal pasti C. Itupun kemungkinannya kecil. Pasrah saja harus mengulang lagi tahun depan. Nggak perlu kontrak belajar dengan dosen untuk mendapatkan nilai semacam itu. Hasil pengalaman dan pengamatan selama ini begitu. Secara otomatis, setiap kehadiran kurang dari 11 kali, anda tidak akan bisa ikut ujian akhir. Rata-rata, dalam setiap kontrak belajar, dosen menetapkan porsi 30-35% untuk ujian akhir. Katakanlah, nilai ujian akhir 30 % saja, Ujian tengah semester 30 %, tugas 20 %, kehadiran 10%, dan sikap 5%, dan keaktifan 5%.  Misalnya, kita hanya hadir 10 kali, dengan asumsi UTS, tugas, keaktifan, dan sikap, nilainya sempurna, maka nilai maksimal adalah B jika mengikuti PAP dan sebenarnya bisa A, jika mengikuti PAN.

    Apa pula PAP sama PAN itu? Keduanya istilah yang aku temukan di buku panduan akademik. Kalau yang PAP aku sedikit paham,
    nilai 80-100:   A = 4
    nilai 65-79 :     B = 3
    nilai 55-64 :     C = 2
    nilai 40-54 :     D = 1
    nilai 0-39  :      E = 0
    Penilaian Acuan Patokan atau PAP itu menurutku, dosen menetapkan penilaian berdasarkan nilai mahasiswa apa adanya. Kalau poin-poin penilaian minus ujian akhir diatas semuanya sempurnya, nilai maksimal adalah 68-69, berarti B kan?

    Kalau Penilaian Acuan Normal atau PAN itu aku sama sekali nggak paham, soalnya pakai bahasa statistik gitu. Padahal ini topik yang paling tidak aku suka selama SMA. Penilaian didasarkan pada rata-rata nilai mahasiswa ditambah standar deviasi. Standar deviasi itu apa? Aku juga sudah lupa. Kira-kira, gampangnya, kalau nilai tertinggi di sebuah kelas adalah 50, maka yang tertinggi itu akan mendapat nilai A. Nah, kalau nilai kita 70, huruf yang keluar mestinya A kan?

    yah, itu kan kalau nilainya sempurnya. kalau ternyata tidak. bisa diduga. dan...

    Masalahnya, memberikan nilai itu dilematis. Nggak semata-mata matematis. Okelah, dosen-dosen tertentu berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak melibatkan emosi ketika menilai. Namun, banyak dosen, jika tidak kebanyakan, memilih untuk melakukannya. Yang namanya emosi bisa negatif atau positif. Kalau dosen suka kita, berarti positif. Nilai bisa bertambah. kalau negatif, ya sebaliknya. Dan pun, kadang-kadang emosi nggak semata-mata memilih positif dengan negatif aja. Bisa lebih rumit, tarik-tarik menarik antara positif dan negatif, yang sering memunculkan keputusan yang tidak terduga. Misalnya, berdasarkan PAN, kita mestinya mendapat A, sementara kehadiran cuma 10 kali, nggak ikut ujian akhir lagi. Terus, teman-teman kita yang udah bela-belain kehujanan dan kepanasan, sambil terkantuk-kantuk, dengan sabar mendengarkan kuliah sang dosen harus mendapat nilai C begitu? Sang dosen menghadapi dilema moral. Aku tidak tahu pasti bagaimana akhirnya keputusan sang dosen. Yang pasti, pengalaman dan pengamatan aku, paling mentok, dia ngasih nilai C.

    Aku juga nggak tahu bagaimana pastinya sistem penilaian tersebut. Kata beberapa dosen, mereka harus ngisi kolom-kolom gitu. Sewaktu aku tanya pastinya bagaimana, mereka bilang, kira-kira,”rumit”. Ada sih satu dosen yang paham dan pernah menjelaskan di dalam kelas. Tapi waktu dia menjelaskan aku lagi terkantuk-kantuk, jadi tidak jelas apa yang sedang dia katakan waktu itu.

    Ngomong-ngomong, dosen ini juga yang sempat membuatku agak kesal. Dia kasih aku nilai B. Sekali lagi, aku nggak paham apa pastinya standar dia memberikan nilai begitu. Tapi kalau berdasarkan elemen konkrit yang akan dinilai, aku yakin banget bakal dapat A. Soalnya ujian tengah semester dan ujian akhir semester hanya mengumpulkan makalah. Aku yakin, karena menurutku aku sudah mengikuti kaidah-kaidah penulisan ilmiah yang baik dan benar. Aku juga sudah berusaha semaksimal mungkin menghadirkan data-data berdasarkan referensi yang jelas sesuai dengan tuntutan topik. Yah, nggak detail-detail banget sih, soalnya referensinya terbatas. Aku juga cukup aktif kok di dalam kelas. Rasa-rasanya nggak mungkin aku bakal dapat nilai B. Eh, ternyata. Tapi sudahlah. Sebagai mahasiswa tua, aku nggak pingin ada masalah untuk sementara. Lagipula, barangkali dosen tersebut punya selera yang tinggi soal makalah.

    Wah, aku malah cerita panjang soal penilaian. Aku kembali ke dosen Ilmu Falak ini dulu. Sekilas, selaras dengan mata kuliah yang dia ampu, barangkali dosen ini adalah tipikal dosen yang tidak suka melibatkan emosi ketika memberikan penilaian. Kalau begitu, justru disitu masalahnya, karena ujian akhir semesterku hancur total. Gara-gara bangun kesiangan, aku sampai terlambat hampir satu jam, itupun dengan kondisi setengah sadar. Mana ujiannya hitung-hitungan lagi. Akhirnya, hingga pengawas ujian berkata, “silahkan dikumpulkan, waktu sudah habis.” Aku tidak bisa menyelesaikan satu soalpun.

    Dan yang ketiga, sebenarnya ada teman yang pernah bilang dosen ini baik, tidak sulit memberikan nilai. Cuma ada lagi yang ngomong, dosen ini garang kalau dia tidak suka dengan mahasiswanya. Nah, ada satu kejadian yang membuatku was-was sampai sekarang. Jadi, selama satu semester bapak itu sempat tidak datang beberapa kali. Sebelum minggu tenang, dia minta diadakan kuliah pengganti. Awalnya aku tidak tahu sama sekali kalau akan ada kuliah pengganti. Kalau saja, seorang adik angkatan tidak nyeletuk,”mas, njenengan masuk ilmu falak nggak?” aku nggak tahu kalo hari itu ada mata kuliah pengganti. Barangkali banyak juga yang tidak tahu, soalnya kelas yang biasanya dihadiri sekitar 20 orang, hari itu hanya dihadiri 50 persennya saja. Awalnya, kuliah berjalan lancar. Seperti biasa, sewaktu daftar hadir diedarkan ke mahasiswa, dan sampai ke tanganku, aku membuat tiga paraf. Satu untuk, 2 lagi untuk temanku yang tidak hadir waktu itu. Kasihan, kehadiran mereka cuma 10 kali, masak gara-gara kuliah pengganti mereka sampai nggak bisa ikut ujian. Tidak seperti biasanya, tiba-tiba diakhir perkuliahan dosen itu mengambil daftar hadir dan memanggil satu persatu mahasiswa. Aku lansung gelisah, tapi berusaha sebisa mungkin untuk tidak menunjukkan wajah bersalah. Ketika namaku dipanggil, kebetulan yang paling awal dipanggil, aku bisa mengangkat tangan dengan tenang. Ketika nama salah satu dari kedua temanku dipanggil, tiba-tiba jantung nggak bisa diajak kompromi. Dia memanggil nama itu 2 kali,”mana orangnya ini? Kok ada tanda tangannya?” kata dia menyelidik. Aku mengangkat tanganku,”saya yang menandatangani pak.”

    “kenapa ditandatangani?” katanya

    “tadi mereka ijin pak?” jawabku. Gila, dalam hati aku sempat kesal dan menyesal, kenapa harus kutandatangani tadi. Padahal mereka sama sekali nggak ngasih kabar apa-apa. Tapi hanya sempat. Hehe

    “kalau ijin, mestinya nggak usah ditandangani, ditandai aja.” Tanggap beliau sambil mencoret paraf yang telah aku buat. Apa yang menakutkan aku adalah, setelah semua nama dipanggil, sambil terus berbicara untuk mengakhiri perkuliahan. Dia memandangiku terus, lekat-lekat. Aku sampai merasa takut. Dalam hati, ini bisa jadi poin minus buatku nanti. Apalagi dia sudah tahu namaku.

    Sebenarnya soal nilai, aku tidak terlalu muluk-muluk. Dari dulu aku nggak pernah pusing soal nilai. Masalahnya, untuk saat ini aku sudah tidak boleh lagi mendapatkan nilai D dan E. Setidaknya C-lah. Mengingat masa hidupku di kampus yang sudah hampir habis, aku tidak boleh lagi mengulang mata kuliah. Apalagi harus tahun depan. Jadi, ya ikut-ikutan was-was, seperti kebanyakan mahasiswa lainnya.

    Ngomong-ngomong soal galau, kalut, was-was, gelisa, resah gara-gara nilai, aku jadi pingin nulis tentang bagaimana was-wasnya para mahasiswa menunggu nilai keluar. Tapi, tidak dalam tulisan ini deh. Ehm, kalau perlu tips dan trik mengetahui nilai apa yang akan keluar, bahkan sebelum dosen tersebut memberikan nilai..hehe, ngarang.

    Terakhir, sebelum aku mengakhiri tulisan ini, apa yang sudah aku tuliskan sejak awal cuma tebak-tebakan saja. Tidak bermaksud untuk menyinggung atau menyerang siapapun, hanya penafsiranku aja tentang penilaian. Jadi, mohon maaf sebelumnya kalau ada yang akan tersinggung karena tulisan ini. Monggo, silahkan saya dibenarkan kalau memang telah salah menafsirkan. Khususnya buat bapak dan ibu dosen yang gajinya nggak seberapa yang sudah rela mengajar saya selama 6 tahun ini. J

    lainnya:
    was-was menunggu nilai (2): nilai kok jadi mistis?

  2. 0 comments:

    Post a Comment