Gimana Sih Dosen Ngasih Nilai?
Ujian baru aja selesai. Nilai-nilai
juga sudah pada keluar. Sejauh ini, masih memuaskan. Tinggal satu mata kuliah, Ilmu
Falak. Padahal aku sudah berdebar-debar dari kemarin. soalnya, dari 9 mata
kuliah yang aku ambil semester ini, hanya mata kuliah ini yang memang membuatku
gelisah. Aku takut nilaiku malah nggak keluar lagi. Terlepas dari momok
hitung-hitungan yang selalu menyerang mahasiswa bahasa dan sastra, ada 3 hal
yang membuat aku tidak yakin dengan huruf apa yang akan keluar di portal.
Pertama, dosen itu sejak awal sudah
menetapkan standar penilaian yang ketat menurutku. Di dalam lembaran kontrak
belajar yang ia tuliskan:
Kehadiran 14 kali, kemungkinan nilai
A
Kehadiran 13 kali, kemungkinan nilai
A-
Kehadiran 12 kali, kemungkinan nilai
B
Kehadiran 11 kali, kemungkinan nilai
B-
Kehadiran kurang dari 11 kali? Maksimal
pasti C. Itupun kemungkinannya kecil. Pasrah saja harus mengulang lagi tahun
depan. Nggak perlu kontrak belajar dengan dosen untuk mendapatkan nilai semacam
itu. Hasil pengalaman dan pengamatan selama ini begitu. Secara otomatis, setiap
kehadiran kurang dari 11 kali, anda tidak akan bisa ikut ujian akhir. Rata-rata,
dalam setiap kontrak belajar, dosen menetapkan porsi 30-35% untuk ujian akhir. Katakanlah,
nilai ujian akhir 30 % saja, Ujian tengah semester 30 %, tugas 20 %, kehadiran
10%, dan sikap 5%, dan keaktifan 5%. Misalnya,
kita hanya hadir 10 kali, dengan asumsi UTS, tugas, keaktifan, dan sikap,
nilainya sempurna, maka nilai maksimal adalah B jika mengikuti PAP dan
sebenarnya bisa A, jika mengikuti PAN.
Apa pula PAP sama PAN itu? Keduanya istilah
yang aku temukan di buku panduan akademik. Kalau yang PAP aku sedikit paham,
nilai 80-100: A = 4
nilai 65-79 : B = 3
nilai 55-64 : C = 2
nilai 40-54 : D = 1
nilai 0-39 : E
= 0
Penilaian Acuan Patokan atau PAP itu
menurutku, dosen menetapkan penilaian berdasarkan nilai mahasiswa apa adanya. Kalau
poin-poin penilaian minus ujian akhir diatas semuanya sempurnya, nilai maksimal
adalah 68-69, berarti B kan?
Kalau Penilaian Acuan Normal atau
PAN itu aku sama sekali nggak paham, soalnya pakai bahasa statistik gitu. Padahal
ini topik yang paling tidak aku suka selama SMA. Penilaian didasarkan pada
rata-rata nilai mahasiswa ditambah standar deviasi. Standar deviasi itu apa? Aku
juga sudah lupa. Kira-kira, gampangnya, kalau nilai tertinggi di sebuah kelas
adalah 50, maka yang tertinggi itu akan mendapat nilai A. Nah, kalau nilai kita
70, huruf yang keluar mestinya A kan?
yah, itu kan kalau nilainya sempurnya. kalau ternyata tidak. bisa diduga. dan...
Masalahnya, memberikan nilai itu
dilematis. Nggak semata-mata matematis. Okelah, dosen-dosen tertentu berjanji
pada dirinya sendiri untuk tidak melibatkan emosi ketika menilai. Namun, banyak
dosen, jika tidak kebanyakan, memilih untuk melakukannya. Yang namanya emosi
bisa negatif atau positif. Kalau dosen suka kita, berarti positif. Nilai bisa
bertambah. kalau negatif, ya sebaliknya. Dan pun, kadang-kadang emosi nggak
semata-mata memilih positif dengan negatif aja. Bisa lebih rumit, tarik-tarik
menarik antara positif dan negatif, yang sering memunculkan keputusan yang
tidak terduga. Misalnya, berdasarkan PAN, kita mestinya mendapat A, sementara kehadiran cuma 10
kali, nggak ikut ujian akhir lagi. Terus, teman-teman kita yang udah
bela-belain kehujanan dan kepanasan, sambil terkantuk-kantuk, dengan sabar
mendengarkan kuliah sang dosen harus mendapat nilai C begitu? Sang dosen
menghadapi dilema moral. Aku tidak tahu pasti bagaimana akhirnya keputusan sang
dosen. Yang pasti, pengalaman dan pengamatan aku, paling mentok, dia ngasih
nilai C.
Aku juga nggak tahu bagaimana
pastinya sistem penilaian tersebut. Kata beberapa dosen, mereka harus ngisi
kolom-kolom gitu. Sewaktu aku tanya pastinya bagaimana, mereka bilang,
kira-kira,”rumit”. Ada sih satu dosen yang paham dan pernah menjelaskan di
dalam kelas. Tapi waktu dia menjelaskan aku lagi terkantuk-kantuk, jadi tidak
jelas apa yang sedang dia katakan waktu itu.
Ngomong-ngomong, dosen ini juga yang
sempat membuatku agak kesal. Dia kasih aku nilai B. Sekali lagi, aku nggak
paham apa pastinya standar dia memberikan nilai begitu. Tapi kalau berdasarkan elemen konkrit yang akan dinilai, aku yakin banget bakal dapat A. Soalnya ujian
tengah semester dan ujian akhir semester hanya mengumpulkan makalah. Aku yakin,
karena menurutku aku sudah mengikuti kaidah-kaidah penulisan ilmiah yang baik
dan benar. Aku juga sudah berusaha semaksimal mungkin menghadirkan data-data
berdasarkan referensi yang jelas sesuai dengan tuntutan topik. Yah, nggak
detail-detail banget sih, soalnya referensinya terbatas. Aku juga cukup aktif
kok di dalam kelas. Rasa-rasanya nggak mungkin aku bakal dapat nilai B. Eh,
ternyata. Tapi sudahlah. Sebagai mahasiswa tua, aku nggak pingin ada masalah
untuk sementara. Lagipula, barangkali dosen tersebut punya selera yang tinggi
soal makalah.
Wah, aku malah cerita panjang soal
penilaian. Aku kembali ke dosen Ilmu Falak ini dulu. Sekilas, selaras dengan mata kuliah
yang dia ampu, barangkali dosen ini adalah tipikal dosen yang tidak suka
melibatkan emosi ketika memberikan penilaian. Kalau begitu, justru disitu
masalahnya, karena ujian akhir semesterku hancur total. Gara-gara bangun
kesiangan, aku sampai terlambat hampir satu jam, itupun dengan kondisi setengah
sadar. Mana ujiannya hitung-hitungan lagi. Akhirnya, hingga pengawas ujian
berkata, “silahkan dikumpulkan, waktu sudah habis.” Aku tidak bisa
menyelesaikan satu soalpun.
Dan yang ketiga, sebenarnya ada
teman yang pernah bilang dosen ini baik, tidak sulit memberikan nilai. Cuma ada
lagi yang ngomong, dosen ini garang kalau dia tidak suka dengan mahasiswanya. Nah,
ada satu kejadian yang membuatku was-was sampai sekarang. Jadi, selama satu
semester bapak itu sempat tidak datang beberapa kali. Sebelum minggu tenang,
dia minta diadakan kuliah pengganti. Awalnya aku tidak tahu sama sekali kalau
akan ada kuliah pengganti. Kalau saja, seorang adik angkatan tidak nyeletuk,”mas,
njenengan masuk ilmu falak nggak?” aku nggak tahu kalo hari itu ada mata kuliah
pengganti. Barangkali banyak juga yang tidak tahu, soalnya kelas yang biasanya
dihadiri sekitar 20 orang, hari itu hanya dihadiri 50 persennya saja. Awalnya,
kuliah berjalan lancar. Seperti biasa, sewaktu daftar hadir diedarkan ke
mahasiswa, dan sampai ke tanganku, aku membuat tiga paraf. Satu untuk, 2 lagi
untuk temanku yang tidak hadir waktu itu. Kasihan, kehadiran mereka cuma 10
kali, masak gara-gara kuliah pengganti mereka sampai nggak bisa ikut ujian. Tidak
seperti biasanya, tiba-tiba diakhir perkuliahan dosen itu mengambil daftar
hadir dan memanggil satu persatu mahasiswa. Aku lansung gelisah, tapi berusaha
sebisa mungkin untuk tidak menunjukkan wajah bersalah. Ketika namaku dipanggil,
kebetulan yang paling awal dipanggil, aku bisa mengangkat tangan dengan tenang.
Ketika nama salah satu dari kedua temanku dipanggil, tiba-tiba jantung nggak
bisa diajak kompromi. Dia memanggil nama itu 2 kali,”mana orangnya ini? Kok ada
tanda tangannya?” kata dia menyelidik. Aku mengangkat tanganku,”saya yang
menandatangani pak.”
“kenapa ditandatangani?” katanya
“tadi mereka ijin pak?” jawabku. Gila,
dalam hati aku sempat kesal dan menyesal, kenapa harus kutandatangani tadi. Padahal
mereka sama sekali nggak ngasih kabar apa-apa. Tapi hanya sempat. Hehe
“kalau ijin, mestinya nggak usah
ditandangani, ditandai aja.” Tanggap beliau sambil mencoret paraf yang telah
aku buat. Apa yang menakutkan aku adalah, setelah semua nama dipanggil, sambil
terus berbicara untuk mengakhiri perkuliahan. Dia memandangiku terus,
lekat-lekat. Aku sampai merasa takut. Dalam hati, ini bisa jadi poin minus
buatku nanti. Apalagi dia sudah tahu namaku.
Sebenarnya soal nilai, aku tidak
terlalu muluk-muluk. Dari dulu aku nggak pernah pusing soal nilai. Masalahnya,
untuk saat ini aku sudah tidak boleh lagi mendapatkan nilai D dan E. Setidaknya
C-lah. Mengingat masa hidupku di kampus yang sudah hampir habis, aku tidak
boleh lagi mengulang mata kuliah. Apalagi harus tahun depan. Jadi, ya
ikut-ikutan was-was, seperti kebanyakan mahasiswa lainnya.
Ngomong-ngomong soal galau, kalut,
was-was, gelisa, resah gara-gara nilai, aku jadi pingin nulis tentang bagaimana
was-wasnya para mahasiswa menunggu nilai keluar. Tapi, tidak dalam tulisan ini
deh. Ehm, kalau perlu tips dan trik mengetahui nilai apa yang akan keluar,
bahkan sebelum dosen tersebut memberikan nilai..hehe, ngarang.
Terakhir, sebelum aku mengakhiri
tulisan ini, apa yang sudah aku tuliskan sejak awal cuma tebak-tebakan saja. Tidak
bermaksud untuk menyinggung atau menyerang siapapun, hanya penafsiranku aja
tentang penilaian. Jadi, mohon maaf sebelumnya kalau ada yang akan tersinggung
karena tulisan ini. Monggo, silahkan saya dibenarkan kalau memang telah salah
menafsirkan. Khususnya buat bapak dan ibu dosen yang gajinya nggak seberapa yang
sudah rela mengajar saya selama 6 tahun ini.
J
lainnya:
was-was menunggu nilai (2): nilai kok jadi mistis?
0 comments:
Post a Comment