Rss Feed



  1. "Bagi saya cinta hanyalah alusinisasi tak ada yang semu,"
    (Vicky Prasetyo) (4)

    Ibu saya suka menonton variety show New Eat Bulaga. Tidak tahu sejak kapan, sekarang kan ada Vicky di dalamnya tuh. Sebenarnya nggak cuma di acara itu aja sih. Entah bagaimana Vicky sekarang jadi selebriti dengan imej lebih positif, padahal baru aja dia dipojok-pojokkan sama media. Beberapa kali dia sempat nampang di entertainment news di beberapa channel Tv Nasional. Durasinya lumayan panjang, satu segmen. Menurut saya satu segmen berita menunjukkan tuh artis lumayan terkenal. Dia juga kayaknya ada di Pesbuker (mungkin dikontrak Anteve kali, ya) dan Indonesia Lawak Klub.

    Untuk merefresh lagi ingatan kita tentang bagaimana nama Vicky Prasetyo mencuat, coba baca berita ini: "Kontroversi Hati" dan "Konspirasi Kemakmuran" ala Vicky Prasetyo"

    Saya geli campur aneh tiap kali denger dia ngomong. Kalau harus jujur sih, muak. Tapi mau bagaimana, remote control televisi hampir selalu dipegang sama tuan atau nyonya besar di rumah, jadi pasrah aja. Ibu sama bapak saya sih nganggapnya keren (sepenangkapan saya begitu). Mereka malah pernah komentar, "Dia kalo ngomong memang pintar." Pintar dari Hongkong? 

    Iya juga sih, ia emang pinter ngomong, kalau pintar ngomong diartikan pandai berkelit. Tapi kalau membuat kalimat bermakna dengan kata yang tepat, khususnya dengan kata-kata tingkat dewa, sori bro, Anda sama sekali tidak qualified masuk ke dalam jajaran dewa di menara gading. 

    Untungnya muak saya tidak semuak saat mendengar para pejabat yang kelit sana kelit sini menghindari pertanyaan wartawan. Saya malah ingin sekali berguru kepada vicky kalau ternyata ia memang sengaja membuat cara berbicara semacam itu. Berdasar pengetahuan saya sebagai sarjana sastra, kemampuan vicky itu sangat langka. Kok sangat langka? Untuk itu, saya harus membawa kita ke dalam sebuah pelajaran bernama sosiolinguistik. Kalo nggak tahu apa itu sosiolinguistik, nanya aja sama mbah google. 

    Saya akan singgung beberapa hal yang berhubungan, seperti dwi/multibahasa, Peminjaman kata dan perpindahan kode, dan laras.

    Apa sih dwi/multibahasa?

    dwibahasa atau multibahasa merupakan kondisi seseorang menguasai beberapa bahasa. Kalo dia menguasai dua bahasa disebut dengan dwibahasawati/wan, misalnya bahasa Indonesia dan Inggris. Kalo dia menguasai lebih dari dua bahasa disebut multibahasawati/wan, misalnya Indonesia, Jawa, Batak, Inggris, dan sebagainya. Jadi, bisa dikatakan kebanyakan kita memiliki kemampuan dwibahasa, sekalipun satu bahasa nasional dan satunya lagi bahasa daerah. 

    Orang dwibahasa biasanya akan melakukan peminjaman kata (borrowing) atau perpindahan kode (codeswitching). 

    Apa itu peminjaman kata dan perpindahan kode?

    Salah satu yang menjadi perhatian utama sosiolinguistik adalah bahasa ujaran. Bahasa ujaran maksudnya adalah bahasa omongan, bukan tulisan. Orang dwibahasa biasanya akan mencampur-campur bahasa dalam ujarannya. Misalnya:

    1. Mas nang ngendi? aku tadi ke rumahmu. Kamu nggak ada.
    kalimat di atas mencampurkan bahasa jawa dengan bahasa Indonesia. Kita bisa sebut dia dengan 'perpindahan kode', karena orang yang ngomong (baca: penutur) memindahkan atau mengubah satu kode satu bahasa ke kode bahasa lain. Dari 'mas nang ngendi' (Jawa) ke 'aku tadi ke rumahmu...' (Indonesia).

    2. Aku lagi nggak kehilangan mood
    Kalimat di atas mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Karena hanya ada satu kata bahasa Inggris di sana, kita anggap dia sebagai peminjaman kata, sebab orang yang ngomong meminjam kata bahasa Inggris 'mood'. Kata 'mood' sebenarnya bisa kita ubah dengan istilah 'suasana hati'

    Nah, sekarang kita terapkan ke cara berbicara Vicky, apakah vicky menggunakan perpindahan kode atau peminjaman kata? Tidak dua-duanya. Vicky memang menggabung-gabungkan kata-kata yang asing di telinga orang, tapi dia hanya menggunakan satu bahasa. Bahasa Indonesia. Kadang-kadang ia memang memindahkan kode, misal: 29 my age. Tapi itu nggak perlu dianggap, karena cuma sesekali. 

    Kita akan berhubungan dengan istilah lain. Istilah itu adalah laras.


    Apa sih laras itu?

    Pernah ngadepin hal seperti ini: Kamu lagi jalan sama teman yang seneng bola. Kamu nggak suka bola. Eh, dianya ngajak nonton bareng. Waktu lagi nonton bareng mereka ngobrol. Karena kita nggak tahu apa-apa soal bola, akhirnya orang paling asing di dunia. Malah sampe ngerasa diremehkan, berpikir "Emang aku dari planet Mars apa?"

    Nyantai, nggak usah dibawa ke hati. Itu wajar. Kita sedang berhadapan dengan laras. Nggak usah ngebayangin yang aneh-aneh, seperti cewek cantik berbodi aduhai. Laras itu istilah dalam kajian bahasa. 

    Dari satu tulisan yang saya baca, ditulis sama Lewandowski, laras itu:

    Registers are sets of language items associated with discrete occupational or social groups. Surgeons, airline pilots, bank managers, sales clerks, jazz fans, and pimps employ different registers.

    artinya dikira-kira:

    Laras merupakan sekumpulan item bahasa yang berhubungan dengan pekerjaan atau kelompok sosial yang berbeda-beda. Dokter beda, pilot, manajer bank, pegawai sales, fans musik Jazz, maupun calo, masing-masing memiliki laras sendiri-sendiri. 

    Gampangnya begini, pernah liat orang di televisi lagi debat politik tapi kita suka bingung dia ngomong apa? Atau ngeliat aktivis mahasiswa koar-koar di tengah jalan saat demo, tiba-tiba kamu berpikir "What the hell they are talking?" Nah itu karena laras kita beda sama laras yang lagi debat atau koar-koar, makanya sama sekali nggak ngerti. Atau tahu bagaimana cara menirukan kata-kata dan cara ngomong reporter dan pembawa berita di televisi? Nah, itu juga namanya laras. Terus gimana kalo kita pake cara ngomong reporter dan pembawa berita di kehidupan sehari-hari? Aneh, orang malah ketawa. 

    Yang kuliah, coba deh anak sastra dengerin anak farmasi lagi ngomong soal kuliahnya. Padahal masi pake bahasa Indonesia juga, tapi ya kok roaming abis. Kalau kita nggak tahu sama sekali dengan sebuah laras yang terjadi cuma satu, bengong. Sama seperti kita bengong ngeliat orang ngomong pake bahasa Inggris. 

    Apa yang membuat saya geli melihat Vicky karena ia menggunakan kata dari laras berbeda, mencampuradukkannya, menggunakannya dalam situasi yang sama sekali nggak tepat. Okelah, kamu terpesona dengan omongan dia. Ngerti nggak? Zaskia Gothik menjawab, tidak. Sama, saya juga tidak mengerti. Ini contoh beberapa laras yang ia gabung-gabungkan:


    • metafora: sastra, retorika
    • embrio: biologi
    • kemakmuran: sosiologi, politik, ekonomi

    Vicky adalah satu-satunya orang di dunia yang memiliki laras itu. Langka bukan? :-)

    tapi sebenarnya laras bukan cuma berhubungan dengan kata, tapi juga dengan makna kata. Orang beda profesi bisa menggunakan kata sama dengan arti beda:

    • Istilah sentimen dalam ekonomi beda artinya dengan istilah sentimen dalam kehidupan sehari-hari
    • tekanan dalam bahasa beda artinya dengan tekanan dalam psikologi

    atau menggunakan istilah berbeda untuk hal yang sama:

    • akademisi akan menggunakan istilah 'metafora', sementara orang biasa menggunakan istilah 'perumpamaan'

    Mikir ulang: pantas nggak cara ngomong Vicky disebut Laras?

    Seorang tokoh lain, namanya Ferguson mengatakan kalo 'Kalo orang-orang terlibat dalam situasi sama berulang kali, mereka bakal buat istilah sama, cara menekan kata yang sama, cara mengatur kata yang sama, termasuk cara membunyikan huruf dan kalimat yang sama. Jadi nggak heran kalo anak bola ketemu sama anak motor bakal roaming. nggak heran juga misalnya, kita ke acara yang melibatkan orang dari berbagai profesi, mereka bakal ngumpul dengan kelompoknya masing-masing. Itu wajar, nggak usah dibawa ke hati. Kalo dicampur-campur malah nggak bakal ada perbincangan sama sekali.


    Nah, berhubung Vicky merupakan satu-satunya pemilik laras yang ia gunakan, tepatkah cara berbicaranya disebut laras? Sebenarnya nggak yakin juga sih. Menurut pengetahuan saya, ya istilah yang paling cocok menggambarkan cara berbicara vicky adalah laras. Tapi bisa jadi aja ada istilah lain yang saya nggak tahu. Kalau misalnya istilah laras tidak tepat dan tidak ada di dalam kajian bahasa, berarti para ilmuwan sosiolinguistik harus mikirin istilah baru. Luar biasa kamu Vicky.


    Lalu apa identitas si Vicky? Terpelajar?


    Laras itu ngomongin identitas. Cara kamu ngomong, kata-kata yang kamu gunakan, menggambarkan diri kamu, khususnya profesi atau spesialisasi. Sekalipun kita nggak terbiasa dengan sebuah laras, tapi tahu sedikit tentang laras itu, kita akan mudah mengetahui identitasnya. Misalnya, kalau temanmu suka ngomongin software atau program komputer, kita mungkin mengatakan "anak teknik informatika, ya?"

    Biar omongan saya kuat, ini nih kutipan dari ahlinya:

    Each register helps you to express your identity at a specific time or place, i.e., how you seek to present yourself to others.
    Artinya dikira-kira:

    Masing-masing laras membantu kamu ngungkapin indentitasmu saat berada di tempat dan waktu tertentu, misalnya bagaimana kamu nunjukin diri ke orang lain. 

    Kalo mau dipaksa-paksa, cara berbicara vicky sebenarnya bisa masuk ke dalam laras para akademisi atau intelektual, tapi intelektual nggak jadi. Kalau kalimatnya dipenggal menjadi kumpulan kata, akademisi atau orang-orang berpendidikan tinggi (kuliah) biasanya paham dengan makna kata itu. Barangkali ia memang ingin menampilkan imej terpelajar kepada orang lain. Entah dia sengaja atau tidak, Kalimat-kalimatnya sulit dimaknai bahkan oleh para akademisi sekalipun. Sebenarnya ada satu lagi yang lebih tepat, Vicky itu termasuk seorang penyair.

    Vicky adalah seorang Penyair

    Anda boleh tidak setuju, tapi kemampuan vicky itu adalah kemampuan yang hanya dimiliki oleh seorang penyair. Dalam puisi kamu bebas memakai kata apa saja, dari laras mana aja. Semua dicampur aduk, diubah-ubah maknanya. Misalnya puisi ini:

    TEKNIK MENGHIBUR PENONTON


    Kebahagiaan peti mati mengucapkan selamat tahun baru.

    Maksudku, peti mati dan tahun baru.

    Kata-kata melintasinya dan jatuh seperti burung yang

    ditembaki dalam mata pelajaran biologi.

    Intelektualitas yang merasa bisa menjadi mediator

    antara tubuh dan realitas, terjungkal dari rak buku.

    Maksudku terjungkal dan rak buku.

    Titik dan koma tersesat dalam perangkap titik dan koma.

    Kata-kata telah ditundukkan oleh badai kamus.

    Dipisahkan lagi antara badai dan kamus.

    Sebuah bossanoba di tengah api perpustakaan.

    Dipisahkan lagi antara musik dan api dalam perpustakaan.

    “Tuan penghibur,” kataku, untuk melihat rohku

    di antara kumpulan harga apartemen dan tiket

    pertandingan sepak bola.

    Baskom dalam timbunan penduduk kota.

    Tepuk tangan para pembuat parfum

    dan mesin pencetak dari rumah sakit.

    (Afrizal Malna)

    Hmm, Saya perlu membaca berulang kali, sampai dapat gambaran. Bahkan barangkali nggak bakal pernah paham sama sekali. :-p

    Hebatnya Vicky nggak perlu merenung dulu, spontan keluar begitu saja. Para penyair biasanya butuh jeda dan waktu lama hanya untuk membuat satu buku puisi kecil. Nah dia, membuat puisi setiap hari. Bisa dibilang puitis nggak kata-katanya di bawah ini:

    batin saya yang menyuruh untuk bertapa (3)
    Retorika waktu yang akan menjawab (1)
    "...Konflik yang  memicu adrenalin. 
    ...elemenisasi mampu bisa menjadi orang yang  bijak" (2)


    Para penyair barangkali akan marah bila Vicky saya masukkan sebagai penyair. Okelah, saya punya alternatif terakhir, Vicky adalah seorang komedian. 

    Vicky adalah seorang Komedian

    Kembali ke contoh di awal tadi, bagaimana bila cara berbicara seorang reporter di televisi digunakan di dalam kehidupan sehari-hari? Kita bakal geli. Bagaimana jika seorang sarjana fresh graduate tiba-tiba disuruh ngasih penyuluhan di masyrakat yang sama sekali tidak ia kenali sebelumnya, masyarakat itu barangkali akan merasa lucu melihat sarjana itu. Kasus yang sama berlaku terhadap Vicky. 

    Tepat membawa Vicky ke ILK. Kemampuannya mengotak-atik laras membuat orang (setidaknya saya) justru merasa lucu, bukannya pintar. Tapi di mata orang awam, Ia kelihatan pintar sekaligus lucu (jadinya ngegemesin, dong, haha). Makanya, wajar kalo Channel TV tertentu menganggap dia unik dan perlu dilibatkan dalam acara-acara mereka. Terlepas dari seluruh skandal cintanya, kekacauan bahasanya justru berpotensi membuat acara-acara mereka lebih menarik. Bukan begitu?

    Saya juga pernah bahas soal Vicky di sini: "Statusisasi Bahasa Vicky di Tengah Kontrofersi Hati dan Kudeta Kemakmuran", ternyata bertahan juga bahasa dia .. haha
    Bacaannya:

    Berita

    (1) Ini omongan aslinya ""Kita kenalnya cepat, di lokasi syuting. Retorika waktu yang akan menjawab. Saya akan berupaya mencapai kebahagian dengan cara saya sendiri," Dari berita berjudul "Putus dari Zaskia Gotik, Vicky Prasetyo Akan Nikahi Penyanyi Ini?"

    (2) Ini omongan aslinya "Aksi damai ini sebagai bentuk perwakilan panggilan kami generasi muda Indonesia, konflik yang  memicu adrenalin. Sebagai bentuk aksi damai, elemenisasi mampu bisa menjadi orang yang  bijak". Diambil dari "KPK vs Polri, Vicky Prasetyo: Konflik yang Memicu Adrenalin"

    (3) Omongan aslinya ""Jadi batin saya yang menyuruh untuk bertapa, mungkin ini sebuah petunjuk," dari infotainment news berjudul "Gampang Dapat Pacar, Vicky Prasetyo Bertapa di Garut"

    (4) "Vicky Prasetyo: Cinta Adalah Alusinisasi"

    (5) "Kontroversi Hati" dan "Konspirasi Kemakmuran" ala Vicky Prasetyo"

    Tulisan dari para tokoh:

    • Sociolects and Registers – a Contrastive Analysis of Two Kinds of Linguistic Variation, yang nulis namanya Marcin Lewandowski
    • Register as a Dimension of Linguistic Variation, yang nulis dua orang: Arnold M. Zwicky dan Ann D. Zwicky
    • Styles, Registers, and Belief, dari buku An Introduction to Sociolinguistic keluaran Blacwell. Yang nulis namanya Ronald Wardhaugh. 


  2. Pak Asep dulunya seorang konsultan hukum sukses. Ia juga pernah menyambi sebagai jurnalis. Sampai berumur 75 tahun, tanahnya sudah tersebar di berbagai tempat. Kalau dijumlah ada puluhan hektar juga.

    Itu masa lalu. Ia bercerai, pergi dari rumah dengan baju di badan dan beberapa surat tanah yang dapat ia selamatkan. Dua anak yang keduanya perempuan tidak memedulikan. Sekarang ia hidup menumpang bersama seorang tua lain di sebuah rumah tua. Rumah tanpa toilet (jangan anggap remeh pentingnya toilet dalam sebuah rumah). Rumah dengan hanya satu lampu di ruang tengah, sesak hingga siang hari pasti terasa gerah.

    Jika menggunakan hiperbola, kondisi hidupnya mengenaskan. Terima kasih kepada Tuhan jika ia dapat makan sayur dua hari sekali. Sering ia harus menahan lapar hanya karena tidak tahan makan hanya berlauk sambal. Ada sambal setiap hari sudah termasuk mewah. Tidak jarang ia hanya melihat nasi dan garam di dapur. Berbeda dengan seorang tua satu lagi, Pak Asep tidak terbiasa makan hanya dengan nasi dan garam. Dalam keadaan terpaksa, mau tidak mau hanya makan nasi saja. Kalau perut dirasa masih tahan, ia memilih berpuasa makan.

    Bagaimana ia berakhir seperti itu? Itu cerita lain. Saya tidak pernah menginterogasi proses menyakitkan yang membuatnya terdampar di rumah tua tersebut. Cerita kehidupannya hanya didapat melalui apa yang ia ceritakan tanpa saya tanya. Tidak lebih. Yang saya tahu, sejak dua tahun terakhir ia pergi dari rumah, dia sibuk menjual tanahnya dengan harapan ada pegangan sampai ia mati nanti.

    Urusan tanah itu juga masih belum selesai, padahal hampir dua tahun dan sudah banyak uang keluar. Ia harus bolak-balik ke berbagai tempat mengurusi uang penjualan tanah dengan hasil nihil. Orang harus angkat jempol dengan usahanya. Tempat ia memiliki tanah bukannya dekat dari tempat ia tinggal. Ia harus naik bus antar kota dan berjalan di bawah terik matahari. Semua dilakukan sendirian tanpa teman. Dan pikir, umurnya 75 tahun! Bibir bawahnya gemetaran sepanjang hari, mengangkat gelas pun sudah sulit. Dia sama sekali tidak lincah, hanya sikap keras kepala yang tersisa sehingga ia mampu pergi ke sana kemari.

    Tanpa uang di tangan, ia harus pinjam ke sana kemari agar bisa berangkat mengurus penjualan tanah. Tidak secara langsung, tapi melalui seorang tua lain yang tinggal bersamanya. Namanya Pak Tri, 65 tahun. Pak Tri sudah lebih dikenal di lingkungan sekitar, sehingga lebih mudah meminjamkan uang. Tentu tidak selalu ada pinjaman. Kalau kebetulan uang sedang kosong di tangan, tidak ada yang bisa dilakukan selain membaringkan tubuhnya yang sudah sakit-sakitan di kamar pengap dan gelap.

    Sedikit banyak saya bisa memahami bagaimana keadaannya, bagaimana perasaannya. Apa yang dia rasakan pasti jauh lebih berat dari apa yang mampu saya bayangkan. Suatu hari, ia pernah memukul seorang calon pembeli karena emosi tidak kunjung dibayar tanahnya. Ia sampai berurusan dengan polisi karena kejadian itu. Setiap kali saya datang dan bertemu dia, saya akan diperdengarkan kekesalan yang sama, kekecewaan yang sama, ketidaksabaran yang sama. Ia ceritakan berkali-kali, hampir setiap kali saya bertemu dengannya.

    Keadaan pak Asep mempertegas kekhawatiran saya pada satu hal: Saat orangtua semakin uzur, apa yang bisa saya lakukan? Pertanyaan itu telah menggelayuti pikiran sejak beberapa tahun lalu. Sampai saat ini belum saya temukan jawabannya.

    Salah satu nenek saya pernah bilang, rambut saya berjambul, kalau besar akan jadi anak durhaka. Saya tak percaya ilmu titen semacam itu, tapi sempat beberapa kali saya dibilang anak durhaka oleh orang tua. Saya khawatir, suatu hari benar-benar menjadi anak durhaka. Berapa banyak orang tua, saat ia tidak lagi produktif bekerja, ditelantarkan anaknya? Saya mengenal banyak. Baanyak. Apalagi pikiran saya sudah teracuni kota, gaya hidup tidak acuh pada urusan orang lain.

    Tapi agaknya, keadaan tersebut sudah berlangsung lama, lama sejak sebelum gagasan ‘urus urusanmu sendiri’ mewabah di Indonesia. Cerita anak durhaka sudah ada sejak zaman Malinkundang! Sudah begitu tua. Ilmu titen nenek saya barangkali berasal dari pengamatan masa lalu bahwa sebagian besar anak berjambul menjadi durhaka. Hah?!!

    Barangkali, penelantaran orangtua masih akan terus ada sampai Tuhan akhirnya memutuskan bumi harus diakhiri hayatnya. Mari ambil beberapa contoh. Dari pada mengurusi orang tuanya, banyak yang justru sibuk mengurusi pembagian harta warisan orang tua. Mereka yang sudah menikah memilih diam, karena khawatir tidak adil. Tidak adil bila hanya memperhatikan orang tua dari istri atau suami saja, namun tidak mampu bila harus memperhatikan keduanya.

    Sebenarnya, terlepas dari potensi kedurhakaan saya, saya tidak habis pikir dengan sikap semacam itu. Secara, orang Indonesia itu dikenal sebagai masyarakat guyub. Bahasa ilmu sosiologinya, masyarakat kolektif. Kita sangat terikat dengan yang namanya kekeluargaan. Orang Jawa bilang: makan nggak makan, yang penting ngumpul. Prinsip itu pula yang hendak dianut ibu saya yang kebetulan orang Jawa. Dia tidak peduli saya kerja atau tidak, yang penting di rumah.

    Kata orang bijak, kasih orangtua sepanjang jalan, kenapa kasih anak bisa hanya sepanjang sumbu mercon? Orangtua di masyarakat guyub rela berkorban apa saja demi anak cucu. Orangtua tidak akan tahan melihat anaknya menderita bahkan ketika anak-anaknya sudah menikah. Selagi mereka masih bisa ikut campur memperbaiki kondisi kehidupan anaknya, mereka akan turun tangan. Bagi (kebanyakan) mereka, kita selamanya anak-anak. Bukan sekedar anak, tapi anak-anak.

    Itu pula yang dipikirkan Pak Asep untuk kedua anaknya. Tegas ia katakan, tidak mau berurusan dengan mantan istri lagi. Sementara untuk anak-anak, dia akan memberikan beberapa bagian dari uang yang akan didapatkan untuk mereka, walau mereka tidak perhatian. Anak tetap anak, begitu katanya.

    Saya tidak berpikir anak-anak pak Asep anak durhaka. Barangkali mereka juga ingin perhatian, tapi serba salah. Kita punya masalah yang sangat akut dalam berhubungan. Apa yang tampak sering kali berbeda dengan apa yang dipendam. Kita kerap tidak dapat mengutarakan isi pikiran dan bertindak seperti yang diinginkan. Apalagi jika berhadapan dengan orang yang berposisi lebih tinggi seperti orangtua.

    Terkadang hubungan seperti itu sedemikian dalam sehingga sedemikian sulit diubah. Bukan tidak ada yang ingin dilakukan, tapi apapun yang akan dilakukan akan terlihat salah. Katakanlah, jika anaknya datang dan sering memberi bantuan, orang akan berpikir anaknya tidak perhatian. Kenapa tidak diajak tinggal bersama? Padahal bisa saja, bapaknya yang keras kepala, seperti pak Asep misalnya. Anak lalu tidak datang, menuruti kata bapaknya, malah dibilang orang lain kurang ajar.

    Orang bilang, jangan pikirkan apa kata orang lain. Tidak, di sini kita tidak bisa seperti itu. Apa yang dibilang orang lain itu penting. Bagi orang seperti anak pak Asep, kata orang itu penting. Kata orang menggambarkan bagaimana diri kita, walaupun bukan seperti itu diri kita sebenarnya. Kita ‘tidak ada’ tanpa pengakuan orang lain. Dan dianggap tidak ada itu menyakitkan.

    Bisa jadi ada masalah lain yang membuat anak-anaknya tidak dapat memberi perhatian. Masalah yang saya tidak ketahui sama sekali. Bagaimanapun saya berharap salah satu anaknya berkenan merawat.

    Merawat orang tua. Itu yang dipikirkan orang tua terhadap anaknya. Saya belum jadi orang tua memang. Saya hanya mendapat cerita dari orangtua-orangtua. Semua orang tua yang saya kenal berharap ketenangan di hari tua, anak-anak sukses semua, kalau bisa berkumpul satu rumah. Hal yang terakhir justru jarang terjadi. Anak-anak harus berpisah dengan orangtua saat ia menikah. Beberapa siap bertetangga, sebagian lain jauh dari mereka.

    Saat anak menikah urusan  sudah berbeda, rasa tidak nyaman barangkali saja menghinggapi menantu. Hal ini dialami oleh seorang teman saya yang lain, yang merasa tidak nyaman tinggal serumah dengan mertua. Bukan karena tidak suka, tapi segan.

    Kalau mau mengikuti kebiasaan, saya bisa saja memerdekakan diri dari tanggung jawab merawat orang tua. Anak-anak yang lahir terakhir biasanya yang harus dikorbankan. Seperti adik saya, yang sudah diminta ibu agar tidak kuliah jauh-jauh supaya bisa memperhatikan dia.

    Tapi saya tidak ingin begitu. Okelah pada akhirnya adik saya yang berkorban hidup dekat dengan orangtua, lalu haruskah saya menghilang tidak jelas rimbanya? Kekhawatiran menjadi durhaka itu benar-benar menakutkan. Akhirnya saya tertumbuk di pertanyaan yang sama, apa yang bisa dilakukan? Saya benar-benar belum punya jawaban.

    Banyak yang bilang, anak tidak akan pernah mampu membalas pengorbanan orangtua. Tidak akan pernah cukup. Lantas apa perlu dipasrahkan saja? Anggap pengorbanan mereka di masa lalu sebagai tugas mereka. Tugas itu sudah rampung sekarang. Dan kita tinggal jalani hidup kita sendirian.
    Ini bukan soal balas budi. Bukan soal take and give. Bisa jadi kelahiran kita tanpa direncanakan, karena itu pula menghidupi kita tanpa direncanakan. Para orangtua yang saya kenal tak pernah berpikir membesarkan anak agar membayar kepada kita. Orangtua tidak pernah berpikir membesarkan anak seperti membesarkan hewan ternak, kalau sudah besar dijual dan dinikmati hasilnya. Tidak pernah.

    Bukan tidak ada orangtua yang seperti itu, tapi itu lain cerita.

    Sebagian orang memilih, diam dan patuhi. Saya bisa diam, tapi saya tidak dapat patuh. Maklum saya adalah produk masyarakat pasif agresif. Saya punya harapan dan keinginan. Pandangan hidup saya juga berbeda dengan orangtua.  Di sini letak inti persoalannya. Dari kasus yang serupa dengan saya, sebagian anak memilih melawan secara langsung, sebagian lain memilih pergi dari rumah. Saya hendak memilih opsi terakhir, tapi bagaimana jika saya kehilangan kesempatan memperhatikan mereka? Saya tidak akan pernah memaafkan diri jika kedua orangtua terlantar hidup menderita. Atau pahit-pahitnya, bagaimana jika saya kehilangan kesempatan melihat wajah mereka untuk terakhir kali?


    Barangkali saya terlalu jauh memikirkan hal yang belum saya jalani sehingga saya tidak menemukan jawabannya. Jika itu dirimu, apa yang akan kau lakukan?

  3. Minjam dari zoerooney.com


    Iklan televisi itu durasinya sedemikian pendek, rata-rata hanya 30 detik. Hebatnya 30 detik itu mampu menangkap seluruh permasalahan kita dan membuat kita selalu bahagia dengan menggunakan produk yang diiklankan. Kamu akan selalu ceria dan bahagia dengan menggunakan shampo tertentu, parfum tertentu, moisturizer tertentu, cairan pembersih tertentu, alat kontrasepsi tertentu, dan seterusnya-dan seterusnya. Bukankah senyum dan keriangan selalu menyertai para tokoh iklan sebagai bukti keampuhan produk. Coba dengarkan musik latar di setiap iklan televisi, mana ada yang mellow dan galau. Semuanya ceria.

    Iklan rokok lebih hebat lagi. Iklan rokok benar-benar seperti mengiklankan kucing dalam karung. Jangankan melihat bentuk rokok, bahkan bungkusnya pun kita tidak pernah tahu. Bukankah seperti mengiklankan lelembut, tidak tahu rupa bentuknya? Tapi ia selalu berhasil menampilkan citra ideal orang-orang yang diharapkan menghisapnya, target pasarnya. Dan isinya tidak jauh-jauh dari kesuksesan, kebahagiaan, petualangan, dan keceriaan. Padahal semua tahu, siapapun, selalu ada kalimat “merokok membunuhmu” di akhir setiap iklan. Kenapa tidak ada musik latar seperti musik pengiring kematian di iklan itu. Saya berharap setidaknya saat pengiklan menunjukkan kalimat kematian itu, musik latar berubah menjadi musik pengiring kematian.

    Tiba-tiba, iklan menjadi pemberi petuah baru. Iklan tidak semata memberitahukan produk dan keunggulan produknya, namun menyisipkan petuah hidup di dalamnya. Tiba-tiba, sebuah operator berfilosofi tentang kebebasan. Tiba-tiba, iklan air mineral memberi nasihat mengenai lingkungan. Tiba-tiba iklan pembersih lantai bicara tentang perhatian terhadap anak. Iklan susu anak bicara tentang kecerdasan anak. Tiba-tiba, kita semakin dibingungkan mana iklan mana petuah.

    Tapi itu tidak jadi soal bagi saya. Saya selalu berharap, andaikata diberikan kesempatan. Saya ingin merasakan hidup seperti di iklan, walau 30 detik saja. Tidak jadi soal apakah saya harus membeli produk iklan, bahkan jika itu rokok atau alat kontrasepsi. Barangkali apa yang saya harapkan diharapkan pula oleh banyak orang. Bedanya, saya lebih sering hanya berangan-angan, sementara mereka langsung bertindak, bertindak membeli produk dengan harapan mendapatkan kebahagiaan seperti di iklan.

    Apa itu kebahagiaan?

    Apa itu kebahagiaan? Apa itu kebahagiaan? Apa itu kebahagiaan? Apa itu kebahagiaan? Bahagiakah saya? Entahlah. Saya sedang berhadapan dengan ‘dunia nyata’ sebagai lawan ‘dunia mahasiswa’. Di sini saya bertemu orang-orang dengan persoalan hidup konkret. Kalau gagal tidak bisa mengulang tahun depan, tapi kehilangan kesempatan selamanya. Tidak bisa seenaknya mengungkapkan pikiran atau akan kehilangan pekerjaan.

    Saya tekankan, ini bukan semata tentang saya. Saya masih seorang sarjana dengan bayang-bayang ‘dunia mahasiswa’, jadi belum benar-benar merasakan pahitnya hidup (alah..). Seorang bapak dua anak mengeluh tidak bisa buat rumah karena gaji pas-pasan, atau bapak yang khawatir masa depan pendidikan anak-anaknya, seorang teman lama jadi bandar sabu-sabu agar dapat makan, seorang adik disunat gajinya 3 juta rupiah perbulan, atau seorang teman lain mengeluh karena perusahaan hanya kontrak 3 bulan. Silakan tambahkan daftar orang yang terpaksa melakukan apa yang tidak diinginkan sekedar bertahan hidup dan mengeluh sepanjang hidup,

    Saya tidak tahu berapa banyak orang di dunia ini sebenarnya selalu bersemangat di dalam hidup, selalu merasa bahagia dengan kehidupannya. Jika hidup seperti di iklan, tentu hidup selalu cerah. Tapi hadapilah, hidup bukan iklan.

    Halo...jangan bilang mereka tak bersyukur. Tapi ups, saya pun tidak tahu apa artinya bersyukur. Bapak yang belum bisa bikin rumah tadi berkata,”Yang penting bisa makan sehari-hari sama anak bisa sekolah, sudah tenang kita.” Bukankah itu bentuk rasa syukur? Namun di lain waktu di bilang,”Kalau gaji kita segini, manalah cukup. Aku pun nggak tahu anakku nanti kukuliahkan atau nggak. Sama sekali belum ada gambaran.”

    Saya tidak tahu apa itu syukur, dan apakah itu penting. Saya bicara fakta, orang-orang yang saya temui. Singkirkan sejenak ceramah agama dan bla-bla-bla. Mereka semua tahu, tanpa diceramahi, merasa kadang-kadang tidak bersyukur. “Tapi bagaimana, keadaannya memang begitu.”

    Keadaan. Semua bicara keadaan. Di dunia nyata orang bilang dalam satu istilah yang sama, “Keadaan”. Di dunia mahasiswa, orang bilang keadaan itu dengan istilah “Sistem”. Keadaan dalam bahasa orang awam serupa dengan sistem dalam bahasa orang intelek. Ada keadaan yang membuat mereka (bahkan) takut berharap. "Nggak usah sok bicara kebebasan dan kesetaraan, kalau tidak mau dipecat, disingkirkan, atau dipinggirkan. Nggak usah banyak berharap, kalau mau ikuti aturan saya." begitu kira-kira orang-orang yang mengendalikan keadaan membuat ancaman tersirat. 

    Bahagia dan syukur itu seperti dua sisi mata uang. Kalau tak bersyukur, rasanya tak pernah cukup, dan takkan pernah bahagia. Tapi syukur dan bahagia, sifatnya sementara bagi banyak orang. Seolah selalu ada ancaman dalam hidupnya, “bagaimana jika tahun depan tidak dipakai perusahaan lagi? Mau dikasih makan apa anak-anak?”

    Di mana senyumanmu?

    Iklan selalu punya satu keserupaan, senyum tertebar di mana-mana. Senyum bisa menjadi penanda keceriaan, keceriaan bisa menjadi penanda kebahagiaan. Tapi pergilah ke jalan, di bis kota, di halte, di ruang tunggu, di mana pun tempat seseorang sendirian. Lihat di mana senyuman mereka?
    So, Hadapi dengan senyuman itu omong kosong. Barangkali tidak banyak orang yang benar-benar mampu tersenyum pada dirinya sendiri saat ia sendirian, kecuali bila sedang jatuh cinta atau dapat rezeki.

    Saya terbiasa mendapati tatapan kosong.

    Di mana semangat hidupmu?

    Saya bertanya pada seorang tua berumur 65 tahun,”Atuk, bagaimana cara menjaga semangat hidup?”
    Orang yang saya panggil Atuk itu terdiam.”Ah, saya pun tidak tahu, Nak. Tapi saya tahu, orang stres pasti bawaannya tidak sabar. Ibarat roda kita ini sedang di bawah. Jadi kita harus sabar. Pasti ada masanya nasib kita berubah.”

    Saat itu pula, saya menyadari pertanyaan mengenai semangat hidup mestinya adalah pertanyaan untuk anak muda, bukan untuk orang tua. Orang-orang tua lain yang saya temui juga tak pernah bicara soal semangat hidup. Tipikal pernyataan “yang penting dapat makan”, “asal dapat hidup”,”sebenarnya tidak tahan, tapi kalau tak begitu tak makan”, terlalu sering saya dengar. Pernyataan yang membuat kita mafhum: Kita tidak pernah bisa hidup seperti di iklan (seberapa banyak pun kita beli produk mereka).

    Bahkan iklan 30 detik barangkali dibuat orang-orang yang selalu tertekan karena pekerjaan. Hidup terlalu mudah kalau tidak ada proses. Dan proses itu menuntut kesabaran. Bahkan butuh waktu berbulan-bulan untuk membuat iklan 30 detik. Terserahlah orang mau bersyukur atau tidak, dia mau bahagia atau tidak, terserah kau mau tersenyum atau tidak, mau punya semangat hidup atau tidak, ada satu hal yang pasti, apapun yang terjadi kita harus bisa bersabar menjalani hidup. 


  4. Punyanya www.patheos.com
    Saya kira, kebanyakan kita pernah mendengar nasihat ini: kalau kita di bawah jangan banyak protes ikuti sajalah. Yap, itu salah satu strategi ampuh untuk bertahan di pertarungan kehidupan. Dalam bahasa lebih bijak, mengalah untuk menang. Strategi ini menjadi cara untuk melawan orang lain, tanpa harus benar-benar terlibat dalam pertempuran yang akan merugikan diri.

    Ilmu psikologi menyebutnya pasif agresif. Saya sudah begitu lama mengenal kata satu ini, tapi tidak pernah benar-benar tahu maknanya sampai setahun yang lalu, saat membaca-baca tulisan mengenai mekanisme pertahanan diri. Pasif agresif memang merupakan salah satu jenis mekanisme pertahanan diri. Beberapa waktu lalu, saya kembali tertarik dengan ide pasif agresif. Saya menemukan, pasif agresif merupakan sebuah gaya berkomunikasi. Semakin jauh, saya menyadari, pasif agresif tidak hanya bersifat situasional, berlaku pada saat khusus, namun ia bagian dari budaya kita.
    ***

    Pasif agresif: Sekedar contoh

    Contoh pertama:

    Orang tua saya benar-benar kesal dengan para tetangganya saat Pemilihan Umum 2014 lalu. Kedua orang tua saya adalah kader sebuah partai politik, sebut saja para PAKSA. Sejak beberapa tahun sebelumnya, ia aktif mengusahakan bantuan-bantuan ke anggota dewan: sapi, ikan, dan sembako. Orang-orang yang dibantu berjanji akan memilih partai PAKSA, namun saat pemilihan ternyata pada hilang semua.

    Pengalaman orang tua saya pastinya dialami oleh ribuan calon legislatif juga. Sudah banyak mengeluarkan uang, eh ternyata tidak ada yang milih. Orang-orang biasa bilang, “kalo kita dikasih uang, diambil saja, tapi nanti tidak usah milih”.

    Contoh kedua:

    Ahmad memiliki tanah luas di sebuah daerah. Karena jauh dari rumah akhirnya tidak pernah digarap. Beberapa waktu ia tidak pernah melihat tanah tersebut, ternyata sudah ditanami oleh tanaman. Tanahnya bahkan sudah dicaplok orang lain. Yang mencaplok bukan siapa-siapa, temannya sendiri. Saat ditanya alasannya,”Siapa suruh punya tanah tidak dimanfaatkan, ya dicaplok orang lah.”

    Contoh tiga:

    Entah karena apa, Rustam merasa tidak cocok dengan Efendi. Efendi adalah seorang mantan tentara yang menguasai bela diri. Tidak mungkin Rustam mampu melawan. Rustam kemudian menjelek-jelekkan Efendi setiap kali dia bertemu orang lain untuk meningkatkan sentimen negatif orang lain terhadap Efendi.

    Kebetulan Rustam mendapat banyak dukungan. Suatu hari dia membawa puluhan orang ke rumah Efendi dan mengusir Efendi dari rumahnya.

    Contoh empat:

    Para anggota legislatif dan calon pemimpin pemerintahan biasanya selalu banyak berjanji saat Pemilu, tapi ketika terpilih malah mangkir. Setiap kali ditanyai, selalu menjawab,”Mohon bersabar, semuanya sedang dalam proses”

    Contoh kelima:

    Orang tertib berlalu lintas bila ada petugas, jika tidak lampu merah pun tidak kelihatan.
    ***

    Merasa Familiar?: That’s Passive-Agressive!


    Kita punya ungkapan untuk contoh-contoh di atas, seperti musuh dalam selimut, lempar batu sembunyi tangan, menggunting dalam lipatan, mengalah untuk menang, diam tapi melawan, atau menusuk dari belakang. Kita begitu terbiasa dengan contoh-contoh di atas, mulai dari lingkungan rumah, lingkungan pertemanan, masyarakat, organisasi, hingga pemerintahan. Contoh itu bisa ditambah sampai kita benar-benar kaget dengan betapa membudayanya pola pasif agresif di masyarakat.

    Saya tumbuh sebagai seorang pasif agresif. Banyak orang juga begitu. Pasif agresif merupakan sebuah mekanisme pertahanan diri sekaligus gaya berkomunikasi. Cara ini terutama dimanfaatkan saat kita merasa tidak berdaya, namun tidak ingin patuh. Dari pada harus berhadapan dengan konflik terbuka yang bisa mengancam diri, lebih baik diam tapi mencari cara untuk membalikkan keadaan. Jika keadaan tidak berbalik, ia tidak akan rugi apapun.

    Para pakar psikologi menganggap pasif agresif sebagai gangguan kejiwaan, dan tentu saja, sebuah penyakit sosial.  Saya sendiri tidak menganggap pasif agresif selalu buruk. Tapi coba pikir, berapa orang harus stres dan masuk rumah sakit jiwa karena sikap masyarakat terhadap para calon legislatif pada contoh di atas. Berapa banyak orang harus menderita karena janji-janji kosong para pemimpin?

    Pasif agresif bisa benar-benar merusak organisasi. Saya menghadapi banyak kasus seperti ini sewaktu masih aktif di organisasi mahasiswa dulu. Teman-teman ‘seperjuangan’ kerap menyetujui sesuatu, ternyata di belakang buat kesepakatan lain dengan orang lain. Teman-teman kerap menyetujui sebuah program, tapi saat diminta bekerja dan bertanggung jawab, hilang entah kemana.  

    Orang pasif agresif menunjukkan sikap pasif ketika berhadapan dengan orang lain, seperti tidak mau membantah, selalu mengiyakan, atau patuh. Namun dia menyimpan karakter agresif di dalam. Sikap-sikap yang tampak seperti: menghindari orang yang tidak disukai, menjelek-jelekkan di belakang, menunda atau mengerjakan sebuah pekerjaan yang diterima bila tidak suka. Orang pasif agresif berpotensi menjadi agresif saat dia memiliki kesempatan. Mau contoh: pemusnahan anggota PKI 1965 dan penyerangan etnis Cina 1998. Mengerikan bukan?
    ***

    Bagaimana kita menjadi pasif agresif

    Saya tumbuh sebagai seorang pasif agresif. Tentu banyak orang juga begitu. Kondisi sosial-budaya membentuk orang menjadi pasif, namun menyimpan sifat agresif di dalam dirinya. Saya sendiri harus menghadapi kekerasan oleh orang tua sejak kecil. Tidak ada tempat bagi saya untuk mengajukan pendapat, atau saya akan dimaki dan dipukul. Itu yang membentuk saya menjadi pendiam sekaligus pemberontak. Saya tahu, ada banyak orang seperti saya, harus menghadapi kerasnya kemauan orang tua, sekalipun kita tidak sepakat dengannya.

    Keadaan itu tidak hanya ada di rumah, namun juga di masyarakat. Masyarakat kita adalah masyarakat hierarkis, bertingkat-tingkat. Masih tinggi penghormatan terhadap orang berstatus sosial tinggi, kaya, berposisi tinggi, dan orang tua. Kita bahkan diajarkan: jangan pernah melawan mereka. Sebagian besar orang, menerima keadaannya dan menjadi pasif. Sebagian lain, seperti saya, yang menolak tunduk, menjadi pasif agresif.

    Pasif agresif merupakan gaya berkomunikasi yang buruk. Kekhawatiran kita dengan konflik yang benar-benar bisa merusak secara emosional maupun fisik, membuat kita memilih berdiam atau menarik diri tanpa harus mengikuti sesuatu. Saya kira, saya masih beruntung. Saya menyadari karakter pasif agresif saya, sehingga bisa mengendalikannya. Sebagian orang lain tidak tahu tapi terbiasa dengannya. Dia tidak sadar telah merusak banyak hal, tapi tetap merasa wajar.

    Ungkapan mengalah untuk menang barangkali muncul dari pengalaman-pengalaman nyata berhadapan dengan tatanan sosial hierarkis, otoriter, feodal, seperti yang masih kita hadapi sampai saat ini. Sepanjang hari kita masih menghadapi orang-orang berkuasa yang dengan kekuasaannya berpotensi berbuat seenak jidat. Apa yang terjadi bila kita melawan otoritas, orang-orang berkuasa? Kita akan disingkirkan. Para mahasiswa, bersiap-siaplah mendapat nilai E dan mengulang 3 tahun berturut-turut dengan dosen yang sama bila protes terhadapnya. Para karyawan bersiap-siaplah dipecat bila protes pada atasan. Bersiap-siaplah disingkirkan, dijatuhkan, dipojokkan.

    Siapa yang siap? Tidak ada yang siap diperlakukan seperti itu. Itulah kenapa, lebih baik kita mengalah sekalipun tidak sepakat. Mari mundur perlahan,”Dan lihat saja nanti Kau!” begitu umpat si pasif agresif dalam hati. :-)