Rss Feed
  1. Ingatan [pt.2]

    Tuesday, February 26, 2013



    25 Februari 2012, menapakkan kaki pertama kali di kampus setelah sebulan terakhir mendekam di kamar kos. Ada yang mengatakan aku sedang berkontemplasi, hibernasi, tapa, tirakat, atau meditasi. Semua istilah yang secara mudah aku simpulkan: sunyi sendiri. Kujuruskan tatapan ke dalam kampus. Rasanya jauh sekali, asing. Bukan hanya jauh dan asing, tapi menjauh dan mengasing. Seolah ia sedang kembali menyusuri garis waktu ke sebuah masa ketika aku merasa kuliah adalah bagian hidupku. Sebuah masa (atau masa-masa?) yang telah hilang. 


    Mungkin ingatan, ruhku, masih terperangkap di masa itu. Memunculkan keadaan yang secara sederhana aku sebut sebagai lupa. Aku hanya bisa berdiri dengan tatapan kosong, membiarkan penglihatan menyaksikan scene demi scene bergerak-gerak di depan mata, yang tak mungkin bisa aku definisikan secara leksikal. Barangkali ia adalah mekanisme hasrat karena persentuhannya dengan totem-totem pengalaman, tanda-tanda istimewa yang tertanam sebagai kesan. Kehilangan adalah kesan-kesan yang tidak mendapatkan wujudnya pada ruang ini di saat ini. Sewaktu dengan kehilangan itu, Ada ruang kosong yang minta dihiasi. orang bilang itu kerinduan. 

    Nostalgia adalah usaha pikiran untuk mengatasi kerinduan dengan memberikan situasi yang sebisa mungkin mirip seperti situasi saat dan dimana kesan tersebut terbentuk. Aku tidak tahu, nostalgia semacam apa yang harus aku alami. Aku sedang lupa. Lupa di waktu mana – aku menitipkan ingatan. Kesan-kesanku adalah tumpukan scene berdebu. Lucu memang, orang bilang aku berantakan. Sangat berantakannya aku, bahkan tak bisa menata ingatan pada folder-folder yang mudah ditemukan. aku tak bisa membuat katalog ingatan, membuat indeks-indeksnya, sehingga semuanya begitu berantakan. 

    Barangkali juga aku membutuhkan seseorang untuk membantuku menata ingatan-ingatan itu. Seseorang yang wajahnya tak mampu kutemukan sampai saat ini. Tapi sekaligus tamu hening yang ingin membimbingkan kredo baru. Tapi sekaligus seseorang yang wajahnya seperti cetakan, sering mencocok-cocokkan diri pada wajah-wajah di kenyataan. Kegiatannya yang begitu menakutkan, membangkitkan kegelisahan dan keraguan, menenggelamkan aku di laut dalam. Kegiatannya memaksaku menyembunyikannya di sebuah ceruk kecil, kututupi dengan dedaunan basah, hingga ia mengendap. Wajahnya mengendap, menjadi fosil.

    Dan aku kembali sendiri, membiarkan lupaku menyusuri setiap perjalanan, kembali ke tempat-tempat khusus dimana ingatan berceceran. Mengutip kembali, sebelum ia mengering dan busuk menjadi pupuk alami, yang itu berarti aku akan hidup karena kesuburan yang tak aku kenali.

    Dan aku ingin memenjarakan keterasingan. Agar tubuh, waktu, dan ruangku menyatu seperti dulu, menjadi wadah bagi ruh yang sedang kelayapan mencari tumpuan.

  2. 0 comments:

    Post a Comment