25 Februari 2012, menapakkan kaki pertama kali di kampus setelah
sebulan terakhir mendekam di kamar kos. Ada yang mengatakan aku sedang
berkontemplasi, hibernasi, tapa, tirakat, atau meditasi. Semua istilah yang
secara mudah aku simpulkan: sunyi sendiri. Kujuruskan tatapan ke dalam kampus. Rasanya
jauh sekali, asing. Bukan hanya jauh dan asing, tapi menjauh dan mengasing. Seolah
ia sedang kembali menyusuri garis waktu ke sebuah masa ketika aku merasa kuliah
adalah bagian hidupku. Sebuah masa (atau masa-masa?) yang telah hilang.
Mungkin ingatan, ruhku, masih terperangkap di masa itu. Memunculkan
keadaan yang secara sederhana aku sebut sebagai lupa. Aku hanya bisa berdiri
dengan tatapan kosong, membiarkan penglihatan menyaksikan scene demi scene
bergerak-gerak di depan mata, yang tak mungkin bisa aku definisikan secara
leksikal. Barangkali ia adalah mekanisme hasrat karena persentuhannya dengan
totem-totem pengalaman, tanda-tanda istimewa yang tertanam sebagai kesan. Kehilangan
adalah kesan-kesan yang tidak mendapatkan wujudnya pada ruang ini di saat ini. Sewaktu
dengan kehilangan itu, Ada ruang kosong yang minta dihiasi. orang bilang itu
kerinduan.
Nostalgia adalah usaha pikiran untuk mengatasi kerinduan
dengan memberikan situasi yang sebisa mungkin mirip seperti situasi saat dan dimana
kesan tersebut terbentuk. Aku tidak tahu, nostalgia semacam apa yang harus aku
alami. Aku sedang lupa. Lupa di waktu mana – aku menitipkan ingatan. Kesan-kesanku
adalah tumpukan scene berdebu. Lucu memang, orang bilang aku berantakan.
Sangat berantakannya aku, bahkan tak bisa menata ingatan pada folder-folder
yang mudah ditemukan. aku tak bisa membuat katalog ingatan, membuat indeks-indeksnya,
sehingga semuanya begitu berantakan.
Barangkali juga aku membutuhkan seseorang untuk membantuku
menata ingatan-ingatan itu. Seseorang yang wajahnya tak mampu kutemukan sampai
saat ini. Tapi sekaligus tamu hening yang ingin membimbingkan kredo baru. Tapi sekaligus
seseorang yang wajahnya seperti cetakan, sering mencocok-cocokkan diri pada
wajah-wajah di kenyataan. Kegiatannya yang begitu menakutkan, membangkitkan
kegelisahan dan keraguan, menenggelamkan aku di laut dalam. Kegiatannya memaksaku
menyembunyikannya di sebuah ceruk kecil, kututupi dengan dedaunan basah, hingga
ia mengendap. Wajahnya mengendap, menjadi fosil.
Dan aku kembali sendiri, membiarkan lupaku menyusuri setiap
perjalanan, kembali ke tempat-tempat khusus dimana ingatan berceceran. Mengutip
kembali, sebelum ia mengering dan busuk menjadi pupuk alami, yang itu berarti
aku akan hidup karena kesuburan yang tak aku kenali.
Dan aku ingin memenjarakan keterasingan. Agar tubuh, waktu,
dan ruangku menyatu seperti dulu, menjadi wadah bagi ruh yang sedang kelayapan
mencari tumpuan.
0 comments:
Post a Comment