Rss Feed
  1. Apa Adanya = Idiot ?

    Friday, February 15, 2013



    Namanya Ned, rambutnya berantakan dengan kumis dan janggut yang tidak terawat, kemana ia pun ia pergi ia selalu setia dengan penampilannya yang seperti orang hendak berekreasi, kemeja kasual berkrah dan celana pendek. Tampilan semacam itu menegaskan satu sosok yang acuh tidak acuh, ngasal, tidak teratur. Memang, Ned adalah seorang pengangguran dan tidak punya rumah. selama 3 tiga tahun ia hidup dengan pacarnya, lalu setelah ‘dicampak’kan oleh pacarnya, ia pulang ke rumah ibunya. Ned memiliki 3 orang saudara perempuan: satu orang ibu rumah tangga, satu orang jurnalis, dan satu orang lagi adalah seorang komik yang seorang biseksual (biseksual = pria ok, perempuan ok). Dengan alasan tidak ingin menyusahkan ibunya, ia berpindah-pindah tinggal dari satu rumah saudarinya ke saudarinya yang lain. Namun, karena  ‘masalah’ yang ia buat akhirnya ia harus kembali lagi ke rumah ibunya. Apa yang disebut masalah itu adalah karena Ned terlalu terbuka dan berbicara apa adanya, yang membuat semua saudarinya bermasalah. 


    Cerita tentang Ned tersebut aku tonton di Film Our Idiot Brother. Genrenya komedi. Seperti kebanyakan komedi, hampir selalu happy ending. Saudari-saudari Ned akhirnya sadar bahwa perilaku Ned yang terbuka dan apa adanya itu justru menciptakan jembatan komunikasi yang terputus dengan orang yang dekat dengan mereka. Karena kejujuran Ned, kakaknya yang ibu rumah tangga mengetahui bahwa suaminya selingkuh, kakaknya yang jurnalis mengetahui bahwa sahabatnya menyukainya, dan kakaknya yang biseksual itu bisa memperbaiki hubungan dengan pacar lesbinya.

    Terlepas dari persoalan ketidaksesuaian nilai-nilai di film tersebut (seperti homoseksual, hidup serumah tanpa ikatan pernikahan, dll) dengan nilai-nilai timur, aku terpantik dengan karakter Ned tersebut. Pertama sekali membaca judulnya aku sama sekali tidak tertarik. Kata idiot yang bersanding dengan genre komedi membuat aku membayangkan tingkah-tingkah laku yang menjijikkan dan jorok. Setelah menonton filmnya, menurutku Ned justru lebih tepat disebut sebagai orang yang lugu (innocent). Namun, yang jadi pertanyaan adalah kenapa Ned harus disamakan dengan idiot? Karakter lugunya itu membuat dia tidak disukai oleh kebanyakan orang. Ia malah dua kali harus masuk penjara karena keluguannya itu. Secara sederhana aku berpikir, berdasarkan film tersebut, orang yang terbuka dan apa adanya = bertentangan dengan perilaku sosial kebanyakan orang = idiot. 

    Dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya di dalam film itu yang bersetting tradisi kebebasan Barat, di dunia timur pun orang-orang semacam itu sering menjadi semacam common enemy para anggota kelompok dimana dia hidup. Pandangan umum kita adalah bahwa orang yang cerdas dan dewasa adalah orang yang tahu dimana menempatkan segala sesuatu, termasuk berkata sesuatu pada tempat dan waktu yang tepat. Tapi apakah kemudian berkata pada tempat dan waktu yang tepat itu berarti kita harus menutupi fakta yang justru membuat komunikasi terhambat, dan itu berarti menghasilkan konflik laten yang berkepanjangan? Apakah topeng tata krama semacam itu adalah tindakan yang cerdas?

    Barangkali aku terlibat secara emosional dan gagasan dengan film ini karena memang ada pengalaman pribadi yang membuat aku sempat (dan barangkali masih) tidak disukai oleh banyak orang. Menurut mereka, kata-kataku kasar dan tajam, padahal aku sekedar mengungkapkan apa yang aku rasakan dan aku lihat sendiri. Dengan banyaknya kritik tersebut, aku jadinya lebih banyak menahan diri ketika berbicara dengan orang lain. Sikap tersebut justru semakin membuat aku menjadi orang yang tertutup. Di satu sisi itu baik untuk memahami apa yang terjadi pada orang lain, karena aku akhirnya lebih banyak mendengarkan. Di sisi lain, resikonya adalah komunikasi terhambat, terlalu banyak fakta yang harus disembunyikan. Jujur saja, aku tidak tahan dengan topeng tata krama semacam itu. Aku dibesarkan dalam keluarga yang terbuka dan apa adanya, terbiasa berkata jujur, iya adalah iya, dan tidak adalah tidak. Tapi, dengan cara semacam itu, aku justru menjadi tidak normal, atau idiot, katakanlah begitu. 

    Tanpa sengaja, aku berkenalan dengan gagasan dialog milik Paulo Freire. Gagasan inilah yang menurutku merupakan jalan tengah terhadap dilema komunikasi yang kualami saat itu. Barangkali aku akan membuat tulisan lain mengenai konsep dialog ini. Sebagaimana Freire, aku percaya bahwa kebenaran dapat dicapai melalui dialog. Dialog yang dimaksud disini bukanlah dialog yang dipenuhi retorika dan nafsu untuk menguasai pihak lain, seperti kebanyakan dialog-dialog politik di televisi. Ringkasnya, dialog adalah semacam perbincangan terbuka diantara dua pihak atau lebih, baik itu mengenai keyakinan, pengalaman pribadi, dan semacamnya, yang bertujuan untuk mencari kebenaran, dilandasi dengan sikap yang rasional dan ilmiah. Dialog semacam ini adalah komunikasi terbuka yang dapat membuat kita saling memahami. Dialog ini berbeda dengan kompromi. Satu pihak di dalam dialog boleh mempertahankan keyakinannya bila ia memang dapat dipertahankan secara rasional dan ilmiah. Saling memahami berarti apabila semua pihak akhirnya bisa menerima satu keyakinan atau bahkan membiarkan semua keyakinan apabila ternyata dapat dipertahankan secara rasional dan ilmiah.

    Tapi, kenyataannya tidak mudah bagi kita mengajak orang untuk berdialog ala Freire ini. Topeng tata krama yang menutup mulut kita membuat dialog seringkali buntu dan terhambat. Butuh kesabaran dan satu keterampilan khusus untuk membuat dialog itu akhirnya tercipta, mendengarkan. Mendengarkan adalah senjata yang paling ampuh untuk memahami orang lain. Ia adalah langkah awal untuk menentukan sikap apa yang harus kita ambil selanjutnya. Sikap yang diambil biasanya menggunakan topeng tata krama sekaligus menantang orang yang menggunakannya untuk membuka topeng itu lalu menganalisanya secara kritis. Apabila seseorang sudah mau untuk menganalisa secara kritis topengnya sendiri, maka ia siap untuk memasuki alam dialog. 

    Dialog semacam yang aku sampaikan di atas memang tidak terjadi secara jelas di dalam film di atas. Ned adalah orang yang jujur, lugu, dan pengertian. ‘keidiotan’ secara sosial semacam itu menurutku justru baik untuk mengatasi berbagai macam konflik dengan membuka simpul-simpul komunikasi yang menghambat. Terlepas dari diterima atau tidaknya karakter semacam itu, bagaimanapun komunikasi yang terhambat bagiku adalah sumber dari banyak problem sosial. Ia bisa saja terjadi di berbagai level sosial dengan beragam bentuk. Sikap diam masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang tidak populis adalah komunikasi yang terhambat, sikap diam perempuan terhadap ‘ketidaktoran’ suaminya adalah komunikasi yang terhambat, perdebatan antar agama yang mau menang sendiri adalah komunikasi terhambat. Sehingga menjadi jujur, lugu, dan pengertian menjadi salah satu cara untuk mengatasi hambatan komunikasi, terserah orang mau bilang itu kekanak-kanakan, tidak normal, aneh, bahkan ‘idiot’. Sebagaimana yang terjadi di dalam film yang aku tonton itu, komunikasi terbuka pada awalnya bisa saja menimbulkan kesalahpahaman dan konflik terbuka. Tapi bukan komunikasi terbuka yang menimbulkan konflik. Konflik itu justru telah ada sebelum ia menjadi terbuka. Konflik pun adalah hal yang wajar dalam kehidupan. Bahkan konflik, kata Freire, is midwives of consciousness (bidan kesadaran).

  2. 0 comments:

    Post a Comment