Namanya Ned, rambutnya berantakan dengan kumis
dan janggut yang tidak terawat, kemana ia pun ia pergi ia selalu setia dengan
penampilannya yang seperti orang hendak berekreasi, kemeja kasual berkrah dan
celana pendek. Tampilan semacam itu menegaskan satu sosok yang acuh tidak acuh,
ngasal, tidak teratur. Memang, Ned adalah seorang pengangguran dan tidak punya
rumah. selama 3 tiga tahun ia hidup dengan pacarnya, lalu setelah ‘dicampak’kan
oleh pacarnya, ia pulang ke rumah ibunya. Ned memiliki 3 orang saudara
perempuan: satu orang ibu rumah tangga, satu orang jurnalis, dan satu orang
lagi adalah seorang komik yang seorang biseksual (biseksual = pria ok,
perempuan ok). Dengan alasan tidak ingin menyusahkan ibunya, ia
berpindah-pindah tinggal dari satu rumah saudarinya ke saudarinya yang lain.
Namun, karena ‘masalah’ yang ia buat
akhirnya ia harus kembali lagi ke rumah ibunya. Apa yang disebut masalah itu
adalah karena Ned terlalu terbuka dan berbicara apa adanya, yang membuat semua saudarinya
bermasalah.
Cerita tentang Ned tersebut aku tonton di Film
Our Idiot Brother. Genrenya komedi. Seperti kebanyakan komedi, hampir
selalu happy ending. Saudari-saudari Ned akhirnya sadar bahwa perilaku
Ned yang terbuka dan apa adanya itu justru menciptakan jembatan komunikasi yang
terputus dengan orang yang dekat dengan mereka. Karena kejujuran Ned, kakaknya
yang ibu rumah tangga mengetahui bahwa suaminya selingkuh, kakaknya yang
jurnalis mengetahui bahwa sahabatnya menyukainya, dan kakaknya yang biseksual
itu bisa memperbaiki hubungan dengan pacar lesbinya.
Terlepas dari persoalan ketidaksesuaian
nilai-nilai di film tersebut (seperti homoseksual, hidup serumah tanpa ikatan
pernikahan, dll) dengan nilai-nilai timur, aku terpantik dengan karakter Ned
tersebut. Pertama sekali membaca judulnya aku sama sekali tidak tertarik. Kata
idiot yang bersanding dengan genre komedi membuat aku membayangkan
tingkah-tingkah laku yang menjijikkan dan jorok. Setelah menonton filmnya,
menurutku Ned justru lebih tepat disebut sebagai orang yang lugu (innocent).
Namun, yang jadi pertanyaan adalah kenapa Ned harus disamakan dengan idiot? Karakter
lugunya itu membuat dia tidak disukai oleh kebanyakan orang. Ia malah dua kali
harus masuk penjara karena keluguannya itu. Secara sederhana aku berpikir,
berdasarkan film tersebut, orang yang terbuka dan apa adanya = bertentangan
dengan perilaku sosial kebanyakan orang = idiot.
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya di
dalam film itu yang bersetting tradisi kebebasan Barat, di dunia timur
pun orang-orang semacam itu sering menjadi semacam common enemy para
anggota kelompok dimana dia hidup. Pandangan umum kita adalah bahwa orang yang
cerdas dan dewasa adalah orang yang tahu dimana menempatkan segala sesuatu,
termasuk berkata sesuatu pada tempat dan waktu yang tepat. Tapi apakah kemudian
berkata pada tempat dan waktu yang tepat itu berarti kita harus menutupi fakta
yang justru membuat komunikasi terhambat, dan itu berarti menghasilkan konflik
laten yang berkepanjangan? Apakah topeng tata krama semacam itu adalah tindakan
yang cerdas?
Barangkali aku terlibat secara emosional dan
gagasan dengan film ini karena memang ada pengalaman pribadi yang membuat aku
sempat (dan barangkali masih) tidak disukai oleh banyak orang. Menurut mereka,
kata-kataku kasar dan tajam, padahal aku sekedar mengungkapkan apa yang aku
rasakan dan aku lihat sendiri. Dengan banyaknya kritik tersebut, aku jadinya
lebih banyak menahan diri ketika berbicara dengan orang lain. Sikap tersebut
justru semakin membuat aku menjadi orang yang tertutup. Di satu sisi itu baik
untuk memahami apa yang terjadi pada orang lain, karena aku akhirnya lebih
banyak mendengarkan. Di sisi lain, resikonya adalah komunikasi terhambat,
terlalu banyak fakta yang harus disembunyikan. Jujur saja, aku tidak tahan
dengan topeng tata krama semacam itu. Aku dibesarkan dalam keluarga yang
terbuka dan apa adanya, terbiasa berkata jujur, iya adalah iya, dan tidak
adalah tidak. Tapi, dengan cara semacam itu, aku justru menjadi tidak normal,
atau idiot, katakanlah begitu.
Tanpa sengaja, aku berkenalan dengan gagasan
dialog milik Paulo Freire. Gagasan inilah yang menurutku merupakan jalan tengah
terhadap dilema komunikasi yang kualami saat itu. Barangkali aku akan membuat
tulisan lain mengenai konsep dialog ini. Sebagaimana Freire, aku percaya bahwa
kebenaran dapat dicapai melalui dialog. Dialog yang dimaksud disini bukanlah
dialog yang dipenuhi retorika dan nafsu untuk menguasai pihak lain, seperti
kebanyakan dialog-dialog politik di televisi. Ringkasnya, dialog adalah semacam
perbincangan terbuka diantara dua pihak atau lebih, baik itu mengenai
keyakinan, pengalaman pribadi, dan semacamnya, yang bertujuan untuk mencari
kebenaran, dilandasi dengan sikap yang rasional dan ilmiah. Dialog semacam ini
adalah komunikasi terbuka yang dapat membuat kita saling memahami. Dialog ini
berbeda dengan kompromi. Satu pihak di dalam dialog boleh mempertahankan
keyakinannya bila ia memang dapat dipertahankan secara rasional dan ilmiah.
Saling memahami berarti apabila semua pihak akhirnya bisa menerima satu
keyakinan atau bahkan membiarkan semua keyakinan apabila ternyata dapat
dipertahankan secara rasional dan ilmiah.
Tapi, kenyataannya tidak mudah bagi kita
mengajak orang untuk berdialog ala Freire ini. Topeng tata krama yang menutup
mulut kita membuat dialog seringkali buntu dan terhambat. Butuh kesabaran dan
satu keterampilan khusus untuk membuat dialog itu akhirnya tercipta,
mendengarkan. Mendengarkan adalah senjata yang paling ampuh untuk memahami
orang lain. Ia adalah langkah awal untuk menentukan sikap apa yang harus kita
ambil selanjutnya. Sikap yang diambil biasanya menggunakan topeng tata krama
sekaligus menantang orang yang menggunakannya untuk membuka topeng itu lalu
menganalisanya secara kritis. Apabila seseorang sudah mau untuk menganalisa
secara kritis topengnya sendiri, maka ia siap untuk memasuki alam dialog.
Dialog semacam yang aku sampaikan di atas
memang tidak terjadi secara jelas di dalam film di atas. Ned adalah orang yang
jujur, lugu, dan pengertian. ‘keidiotan’ secara sosial semacam itu menurutku
justru baik untuk mengatasi berbagai macam konflik dengan membuka simpul-simpul
komunikasi yang menghambat. Terlepas dari diterima atau tidaknya karakter
semacam itu, bagaimanapun komunikasi yang terhambat bagiku adalah sumber dari
banyak problem sosial. Ia bisa saja terjadi di berbagai level sosial dengan
beragam bentuk. Sikap diam masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang tidak
populis adalah komunikasi yang terhambat, sikap diam perempuan terhadap ‘ketidaktoran’
suaminya adalah komunikasi yang terhambat, perdebatan antar agama yang mau
menang sendiri adalah komunikasi terhambat. Sehingga menjadi jujur, lugu, dan
pengertian menjadi salah satu cara untuk mengatasi hambatan komunikasi,
terserah orang mau bilang itu kekanak-kanakan, tidak normal, aneh, bahkan
‘idiot’. Sebagaimana yang terjadi di dalam film yang aku tonton itu, komunikasi
terbuka pada awalnya bisa saja menimbulkan kesalahpahaman dan konflik terbuka.
Tapi bukan komunikasi terbuka yang menimbulkan konflik. Konflik itu justru
telah ada sebelum ia menjadi terbuka. Konflik pun adalah hal yang wajar dalam
kehidupan. Bahkan konflik, kata Freire, is midwives of consciousness
(bidan kesadaran).
0 comments:
Post a Comment