Pengantinku
sedang merias diri. Melepaskan sanggul dan tusuk konde. Menghapus bedak,
lipstik, dan celak. Mengganti kebaya dengan baju tidur untuk malam nanti.
Pengantinku merias diri dalam keterpaksaan. Di depan cermin, ia redam kesedihannya, menata
senyum dengan air mata dan cegukan.
Pengantinku sudah menikah malam ini.
dengan seorang yang belum pernah kukenal sama sekali. Seseorang yang mungkin sedang bercerita
jorok dengan teman-temannya tentang malam pertama yang akan tiba sebentar lagi.
Seseorang yang telah merampas hakku untuk berbahagia. Seseorang yang begitu
dalam menelusupkan kata benci di dalam diriku. Seseorang yang tak ingin ku
kenal sampai kapanpun.
Pengantinku mengundang aku datang. ia berharap aku
memperkenalkan seseorang. Mungkin agar ia bisa tersenyum, bahwa aku tidak
pernah dikecewakan.
Aku tak ingin datang. Aku tak pernah kecewa.
Pengantinku telah menitipkan jarum dinadiku. Ia telah melakukannya selama
bertahun-tahun masa lalu yang tertata rapi di dalam ingatanku. aku tak kecewa,
pengantinku tidak pernah pergi, meski kulit lembutnya tidak pernah bisa kujamah. Tapi ia perempuan yang menyosok dari akumulasi kisah
masa laluku bersamanya. Perempuan sempurna yang akan selalu menemani aku dalam
tidurku.
Pengantinku
menunggu di tepi jendela, berharap semenit saja tawa ria kita melintas di
kacanya. Semenit saja kisah lalu itu diputar di kaca jendela. Agar ia bisa
menangis sebisa-bisanya. Agar ia bisa lega melupakan semuanya.
Sementara, aku merayakan pernikahan pengantinku. Ku
hidupkan kembang api di saat langit legam tanpa bulan dan bintang. Satu-persatu kembang api terlontar ke udara. Memekikkan kegalauan diiringi koor jangkrik dan
bunyi daun. Memercikkan cahaya menjadi serpihan-serpihan kecil rasa yang dulu
sempat menjadi milikku. Pekik dan cahaya kembang api padam, malam berlalu,
begitu pula rasaku.
yogya, 2011
0 comments:
Post a Comment