-
BAJU LEBARAN UNTUK ANGGI
Tuesday, December 25, 2012
“Seratus delapan puluh lima ribu, satu setel. Kerudung, atasan sama bawahannya.”“tidak bisa kurang?”“tidak bisa. Itu sudah harga pas. kita tidak dapat untung lagi kalau di bawah itu.”Dia terdiam sebentar. Berpikir keras. Dapat uang darimana lagi? Anaknya dari tadi sudah merengek-rengek. Meremas-remas rok yang ia pakai. Memukul-mukul pahanya.
“ia sebentar, mamak[1] lagi nawar ini…”Ia mencoba untuk menawar sekali lagi, tapi sekali lagi usahanya tidak berhasil. Akhirnya ia berkata pada anaknya,”yang lain aja ya?”“nggak mau, maunya yang itu…?” sahut anaknya dalam rengekan. Anak itu sepertinya tak mengerti apa yang sedang diminta oleh ibunya. Ia terus saja merengek. Kini rengekannya semakin keras. Ia sampai sesenggukan. Ibunya semakin tidak tahu apa lagi yang harus ia lakukan.“kalau tahu bakal begini, nggak ku ajak ke pasar kau tadi. Udah diam!” bentak si ibu.Sejenak anak itu terdiam. Tapi secara sembunyi-sembunyi isakannya masih terdengar lirih. Ibunya benar-benar kasihan. Mungkin bukan tidak mengajaknya kepasar. Kalau tahu akan begini jadinya, lebih baik dia tidak pernah melewati lapak penjual baju itu.“tolonglah dek, kurang ya..” mohonnya dengan suara memelas“maaf benar bu, tapi tidak bisa. Itu udah harga yang paling rendah”Si ibu menghela napas. “ya udah dek, nggak jadi aja”Dipandanginya anaknya yang masih berusaha kuat menahan isak agar ia tidak terlihat menangis. Bagaimanapun seorang ibu tahu bila anaknya benar-benar sedang bersedih. Dia tidak ingin berkali-kali membuat anaknya menangis. Bulan lalu pun uang sekolah sama uang uang buku anak-anaknya belum juga mampu ia bayar.“ayo, nanti mamak belikan bakso saja ya?”Terlihat jelas dari mimik wajahnya anak itu ingin menolak. Tapi ia tak kuasa. Naluri kanak-kanaknya memahami bahwa ibunya memang sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa untuk memenuhi keinginannya. Tidak ada gunanya lagi ia memberontak. Setengah terpaksa akhirnya ia menuruti kehendak ibunya.Sambil memegangi tangan anaknya, si ibu membawa anak perempuannya itu pergi warung bakso terdekat. Ibu sudah tidak selera lagi memakan bakso, ia pandangi saja anaknya yang sedang lahap memakan bakso di hadapannya. Barangkali ia sudah lupa mengapa ia menangis tadi.Setelah itu, ibu dan anak itu pergi ke sebuah toko yang khusus menyediakan bahan-bahan untuk membuat kue. Maklumlah, ia tidak bisa beli kue jadi. Jadi ia harus membuat kue sendiri untuk sajian lebaran nanti. lalu mereka pergi membeli barang-barang keperluan rumah tangga untuk persiapan hingga lebaran selesai. Biasanya harga barang-barang sudah menanjak tinggi pada seminggu hingga 3 hari sebelum lebaran, jadi ia tidak ingin menghabiskan banyak uang untuk apa-apa yang sebenarnya bisa ia antisipasi dengan baik. lepas membeli barang-barang kebutuhan rumah tangga, ia lansung mengajak anaknya pulang ke rumah.***Lupanya anak perempuan itu rupanya tidak berlansung lama. Setibanya di rumah, Ia kembali merengek-rengek minta dibelikan baju yang tadi sempat ditawar ibunya. Ibunya hanya bisa menjanjikan. Nanti kalau ada uang pasti mamak belikan, begitu katanya.“kapan mamak punya uang?” Tanya anak itu kembali.“sabar ya, nanti mamak usahakan.” Jawab si ibu.“benar ya?”“iya.” Jawab ibunya dengan berat hati.“yang tadi ya?”“iya, besok kalau masih ada. Kalau nggak ada yang seperti itu, mamak belikan yang lain aja, mau kan?” tawar ibunya“nggak mau, harus yang seperti tadi.”Ibu menghela napas. Dia tersenyum kepada gadis kecilnya itu,”iya nanti ya. Udah pergi sana, mamak mau masak dulu.” Anak itu kelihatan lega, ia pergi keluar rumah sambil bernyanyi girang. Memuji-muji ibunya yang akan segera membelikannya baju. Tidak terasa air mata ibu itu terjatuh. Ia termenung sendiri. Sudah 2 lebaran anak-anaknya tidak ia belikan baju baru. Awalnya, anak-anaknya tidak terima ketika mereka tidak dibelikan baju baru. Tapi kali ini mereka akhirnya mengerti juga, kecuali anak perempuannya yang kecil itu. Namun ia tidak bisa apa-apa, “ya, si Anggi itu umurnya baru berapa tahun sih? Tahu apa dia susahnya orang tua.” Kata suaminya. Suaminya tidak pernah mau kesusahannya diketahui oleh anak-anaknya. “yang penting kalian sekolah baik, biar jangan seperti ayah.” Begitu tiap kali ia menasehati anak-anaknya.Dulu ia sempat kasihan dengan suaminya. Dimintanya suaminya untuk berhenti bekerja saja, biar bisa mengurusi kebun saja. Suaminya itu sering mengeluh betapa beratnya sekarang bekerja di perusahaan. Ia cuma buruh rendahan. Katanya kerja disana sudah tidak seenak dulu. Sekarang terlambat 5 menit saja gaji dikurangi. Kerja 7 jam tapi rasanya seperti 10 jam.“udah kayak sapi peras saja aku rasanya.” Begitu keluhnya. Setiap setahun sekali kontraknya habis, dan harus membuat kontrak baru lagi. Padahal kontraknya diputus dan disambung kembali dengan perusahaan yang sama. Dengan kontrak yang diputus sambung hanya dengan jangka waktu pendek, perusahaan tidak perlu mengeluarkan pesangon kepada buruh-buruhnya. Setiap kali menyambung kontrak baru. Ia akan ditanyai “mau gaji berapa pak?” lelaki itu tidak berani menjawab, “kalau gaji segini mau pak” kata penanya itu dengan menyebutkan sejumlah besar uang. Berapapun jumlah uang yang disebutkan ia akan menyetujuinya. “aku ini orang bodoh, SD pun tidak tamat, mana berani tawar menawar gaji. Tapi aku tahu, kalau gaji itu tidak sebanding kerja yang kulakukan.” Katanya kepada istrinya ketika suatu kali ia pulang dari kerja.Tapi apa mau dikata, ia tidak dapat berhenti kerja. Harga-harga barang kini tidak lagi sebanding dengan pemasukan yang tiap bulan didapatkan oleh keluarganya. Anaknya pun belum ada yang kuliah. Tekad agar anaknya tidak mengikuti jejaknya menjadi buruh rendahan di perusahaan terkadang membuatnya agak keras kepada anak-anaknya bisa sudah persoalan pendidikan. ia selalu mengatakan pada anak-anaknya, “biarkan aku kerja keras sampai mau patah tulang rasanya, yang penting kalian besok tidak seperti aku. Makanya kalian sekolah yang rajin.”Pemasukan utama keluarga didapat dari gaji suaminya yang hanya satu juta rupiah perbulannya. Untuk membantu pembiayaan keluarga, suaminya juga menanam sayur di tanah sempit sebelah rumah. Sang istri biasanya menjualkan sayur itu kepasar bila sudah layak jual. Selain itu istrinya juga menjualkan sayuran milik tetangga yang memiliki mata pencaharian dengan menanam sayur. Sementara anak-anaknya juga terkadang kerja serabutan selepas pulang sekolah. Mereka sering membantu men-dodos[2] sawit milik orang kaya di tempatnya.Ketika suaminya pulang kerja, ia agak kaget melihat istrinya yang sedang menangis, “ngapain kau nangis di disitu?”“nggak apa-apa” kata si ibu sambil mengelap air mata.Sambil melepas sepatu kerja, si bapak bertanya,”sudah kau belikan baju anakmu?”“belum lagi. Tadi sudah mau beli, tapi uangnya nggak cukup.”“oh, itu makanya kau nangis.” Istrinya diam saja.Istrinya diam saja. Si suami pun diam saja. Ia pergi ke kamar dan mengganti baju. Ketika ia keluar si istri bertanya, “pak, aku mau minjam uang lagi sama bu ida.”“tidak usahlah, utang kita sudah banyak. Apalagi kau minjam sama si ida itu. Cukuplah kemarin-kemarin saja kita minjam sama dia.”“anak mu itu, merengek saja dia sejak di pasar.”“sampai sekarang?”“ya, kau tengoklah dia sana. Paling juga masih cemberut mukanya.”Si bapak menghela napas. “aku bukan nggak memperbolehkan kau meminjam uang. Tapi tidak usah sama si ida lah. Jangan sampai kita minjam uang bunga lagi. Yang lain nggak ada?”“aku nggak tahu. Tapi sudah malu aku minjam sama tetangga. Orang-orang itu pun belum tentu punya uang juga.”“ya sudah tidak usah minjam lagi dulu saja.”“tapi kasihan anakmu.”“paling nanti dia lupa juga.”Si ibu diam saja mendengar tanggapan suaminya itu.Ia tidak melakukan apa-apa sampai 3 hari sebelum lebaran. Selama itu, ia selalu saja terpikir dengan permintaan anaknya. Pagi ini saja, saat ia sedang membuat kue kering untuk persiapan lebaran, sementara anak-anaknya yang lain ikut membantu, anak perempuannya yang paling kecil itu hanya diam dan merengut saja. Jangankan diminta untuk membantu, didekati saja ia lansung marah. Si ibu sudah tahu kebiasaan anak itu. dibiarkannya saja. Paling nanti juga reda sendiri pikir si ibu.Namun, pikiran itu tak sejalan dengan perasaannya. Ada pikiran lain yang begitu menusuk-nusuk hatinya. Ia sunggu tidak tahan melihat kesusahannya harus pula dirasakan anaknya. Ia tetap tak ingin membiarkan semua anaknya tak berbaju baru tahun ini. biarlah anak yang besar-besar tidak dibelikan baju, setidaknya ia masih ingin membelikan satu untuk si kecil itu.Ibu menghentikan kerja sebentar. Dimintanya anak-anaknya untuk meneruskan kerjaannya. Ia lalu keluar, melihat anak perempuannya yang sedang duduk sendiri memandangi si bapak yang sedang membersihkan halaman rumah. Ia pergi ke arah yang berlawanan dari si bapak, supaya tidak ditanyai macam-macam.Ia lalu pergi kerumah bu Ida, orang yang biasa memberikan utang kepada warga disana dengan bunga tertentu. Setelah bertemu, bu Ida setuju untuk meminjaminya uang, tapi dengan syarat, bunga utangnya 15 % dari jumlah pinjaman.“bunganya kok naik. Biasanya kan Cuma 10%”“ini kan mau lebaran, kalian baru dapat THR”“walah bu. Dapat THR juga nggak seberapa, kemarin baru habis bayar hutang disini. Sekali ini aja dikurangi bunganya. Aku kalau tidak terpaksa tidak akan kesini.”“ya sudah, bagaimana kalau yang 10% dibayar seperti biasa. 3 bulan. Sisanya terserah kau kapan ada uang.”“kok tega sih, bu. Ini uangnya juga buat beli baju anakku si Anggi. Merengek terus dia dari kemarin.”“tega bagaimana? Kan sudah aku kasih kelonggaran?”“aku juga kan sering hutang disini. Sekali ini saja. Buat hadiah lebaran anakku lah.” Katanya lagi sambil mencoba berkelakar.“alah, itu bukan urusanku. Kamu mau tidak?”Si ibu tidak melihat ada kemungkinan lain. Mau tidak mau dia akhirnya menuruti kemauan rentenir itu. “kalau gitu aku ambil saja. Tapi benar ya bu, yang lima persen bisa dibayar kapan aja.”“ya” katanya sambil mengambil dan menghitung uang dari dompetnya. Setelah dia yakin uang yang dihitungnya, ia serahkan uang itu kepada si ibu sembari berkata, “tapi kau tahu kan hutang harus dibayar?”Si ibu tersenyum kecut mendengar itu. Ia balik menyindir,”iyalah, ibu kan tahu aku tidak pernah mangkir soal hutang.”Kini si rentenir balik tersenyum kecut,”ya sudah, belikan baju anakmu sana!”“iya. Aku balik dulu.” Tanggap si ibu.Sepulang dari meminjam uang, ia tidak pulang ke rumah. ibu lansung pergi mencari oplet[3] untuk pergi ke pasar. Dompetnya yang berisi uang dua ratus ribu ia pegang erat-erat. Wajahnya terlihat tidak sabaran. Begitu sampai di pasar, ia bergegas ke lapak tempat ia menawar baju kemarin. Saat ia sampai di sana, seorang lelaki terlihat sedang membeli pakaian juga di lapak itu. Setelah lelaki itu pergi, ibu lansung bertanya ke penjual pakaian.“waduh. Baru saja dibeli sama bapak yang tadi.” Katanya sambil menunjuk lelaki yang belum pergi jauh.Dengan nada yang agak kecewa ia bertanya,”tidak ada yang lain yang seperti itu.”“tidak ada bu, itu stok kita yang terakhir.”“ya udah, makasih ya dek”Ibu lansung mengejar lelaki itu. Ia sedang berjalan menjauh sambil menggandeng seorang gadis kecil yang kira-kira seumuran dengan anak perempuannya. Setelah dekat, ia lansung saja berkata,”pak, tadi baru beli baju di lapak itu?” katanya sambil menunjuk lapak tadi. “iya, kenapa ya bu?” jawab bapak itu.“bisa tidak kalau baju itu saya bayari?”“oh, nggak bisa bu. Ini juga anak saya yang milih.” Katanya sambil memandang anaknya sekilas.“tolonglah pak, anakku dari kemarin merengek-rengak minta dibelikan baju. Dia tidak mau baju lain selain baju ini.”“ya, nggak bisa. Ibu kan orang tuanya, masak tidak bisa membujuk anak.”Si ibu seperti kehabisan akal. ia terdiam sejenak, mengatur napas karena habis berlari-lari tadi. Tiba-tiba dari arah lain, seorang perempuan mendekat,”ada apa pak?”“nggak ada apa-apa, ayo kita pergi.” Sahut bapak itu. Si ibu memotong,”ibu, istrinya bapak ini ya?”“ya, kenapa?”“ini bu, anak saya ingin baju baru. Tapi dia maunya seperti yang dibeli oleh suami ibu ini. saya tadi sudah ke toko yang menjual baju ini. tapi katanya ini stok terakhir. Makanya saya minta supaya suami ibu menjualnya ke saya. Bisa ya bu…” katanya.Suami perempuan itu memandangi istrinya, ia memberi isyarat supaya istrinya menolak. Si istri terlihat agak ragu, di pandangi wajah ibu yang berkeringat itu. “sebentar ya bu.” Ditariknya tangan suaminya, agak menjauh. Mereka terdengar bercakap-cakap agak sengit, sehingga mengundang perhatian orang-orang disekitar mereka. Tidak berapa lama, istri laki-laki tadi mendekatinya dengan menjinjing tas plastik. “ini bu, diambil saja seharga yang dibeli suami saya.”Ibu agak ragu sedikit, sepintas ia melihat wajah suami perempuan itu yang sedang merengut,”benar tidak apa-apa bu? Tapi suami ibu…”“tidak apa-apa. Nanti biar saya yang urus. Biasalah, laki-laki kadang tak mengerti perasaan perempuan beranak[4].”“terus anaknya?”“tidak apa-apa. Anak saya juga sudah dibelikan baju yang lain sebelumnya. Lagian nanti kami bisalah mencari pakaian yang lain.”Ibu menjadi lega setelah mendengar kata-kata tersebut. Ibu menerima kantong plastik yang berisi baju yang sangat diinginkan anaknya itu. Ia lalu mengeluarkan uang sejumlah yang diminta, Seratus delapan puluh lima ribu. Setelah suami, istri, dan anak itu menghilang dari pandangannya, ia lalu bergerak pulang ke rumah. Ada raut kebahagiaan luar biasa di wajahnya. Akhirnya ia bisa mendapatkan apa yang diinginkan oleh anaknya.Sampai di rumah ia memanggil Anggi. ia tunjukkan baju itu kepada anaknya. Anaknya kegirangan. Ia masuk ke kamar, lalu keluar dengan baju yang baru saja didapatnya itu. Ia berlari-lari ke luar rumah dan menunjukkan kepada bapaknya. Ia mendapat baju baru, begitu katanya. Sang bapak yang sedang beristirahat di dekat halaman depan rumah, terlihat agak kaget. Tapi ia segera menutupi dengan menunjukkan senyuman lebar kepada anaknya. Setelah bercengkerama sebentar, ia pergi ke belakang, tempat dimana ibu berada.“dapat uang dari mana lagi?”Si ibu tersenyum, “sudahlah pak, tidak usah dipikirkan”“kau ngutang lagi?”Si ibu hanya tersenyum,“sama siapa?” Ibu tidak menjawab“sama si ida?” si ibu masih tidak menjawab“sudah kubilang..” suaminya ingin menanggapi tapi dipotong oleh ibu.“sudahlah pak, yang penting anak kita pakai baju baru lebaran tahun ini.” katanya sambil tersenyum.Posted by irfan al-diin at 7:55 PM | Labels: Cerita Pendek | Email This BlogThis! Share to X Share to Facebook |
0 comments:
Post a Comment