Entah bagaimana, ada rasa bersalah yang terus menghantui
saya sejak tengah hari tadi. Rasa bersalah
yang serupa saya rasakan beberapa waktu lalu. Rasa bersalah yang dilakukan
karena tidak melaksanakan niat pertama. Niat pertama? Iya, itu istilah yang
saya gunakan. Saya tidak tahu istilah populernya apa. Niat pertama adalah niat
yang pertama kali muncul. Biasanya ia muncul secara spontan. Dalam beberapa
kasus kita tidak perlu berpikir panjang untuk melakukannya. Dalam kasus lain
kita urung untuk melaksanakannya.
Siang tadi, tidak lebih setengah satu, seperti biasa saya
menunggu bus jalur 4 untuk mencapai rumah tinggal saya. saya duduk di dekat
sebuah pohon di seberang Makam Pahlawan Kusumanegara. Biasanya tidak lebih dari
5 menit kondektur bis jalur ini sudah melambai-lambai tangan dari jauh, memberi
isyarat apakah saya hendak naik atau tidak. Tapi, kali ini tampaknya saya harus
lebih lama bersabar di bawah terik matahari Yogya yang semakin hari semakin
panas.
Tidak lama kemudian, dari seberang jalan sebuah becak
mendekati. Seorang nenek turun dari sana. Melihat wajahnya yang dibalut dengan
kerudung putih, baju warna merah mudah lusuh, secara sederhana saya berkata,
lugu. Saya menduga nenek ini tidak menguasai wilayah Yogya. Ia duduk agak jauh
dari saya. Saya ingin menyapa, tapi urung. Bukan apa-apa, persoalan bahasa. Saya
yakin 90 %, nenek ini kurang begitu paham bahasa Indonesia. Entah bagaimana,
saya yakin saja.
Namun, tiba-tiba saja dia memulai pembicaraan, “teng pundi
mas?” tanyanya agak canggung kepada saya. dan saya melongo. Saya tahu dia
bertanya,’mau kemana, mas?”, tapi harus dijawab dengan apa?
“teng wetan?” katanya lagi sambil mengarahkan tangan ke
timur makam. Saya menjawab pendek,”nggih, mbah.”
Nenek itu kemudian terdiam. Sial! Saya canggung dia
canggung. Akhirnya kami terdiam bersama. Melihat jarak antara kami berdua, saya
hendak mendekat, lagi-lagi saya urungkan. Entah kenapa. Lalu saya beranikan
diri untuk bertanya,”mbah mau kemana?” kata saya dengan suara agak keras.
Kali ini giliran si mbah yang melongo,”mbah mau kemana?”
kata saya gantian mengarahkan tangan ke arah timur.
“nggih, teng Wetan.” Saya meng-O saja. Dia lalu berkata
dengan suara yang kurang jelas saya tangkap di telinga. Dia seperti menyebutkan
kata wonosari, dan klaten.
“mbah mau ke Klaten?” tanya saya memastikan.
“nggih, klaten, mlebu wonosari?”
Masuk wonosari? Kenapa harus masuk wonosari. Kan cukup
menunggu bus di perempatan wonosari saja kalau mau ke Klaten? Saya ingin
memastikan, tapi untuk ketiga kalinya saya urungkan.
“ke Klaten, nunggu bus di perempatan Wonosari, Mbah,” aku
berusaha menjelaskan. Dia mengangguk, tidak tahu paham atau tidak. Lalu dia
berbicara dengan cepat. aku tidak ingat bagaimana bahasa jawanya, kira-kira dia
berkata, “kalau mau nunggu bus disini, kan?”
aku mengangguk. Aku semakin yakin bahwa nenek ini tidak
paham Yogya. Namun pikiran lain tiba-tiba muncul, kalau dia tidak paham yogya,
ngapain dia sendirian? Apa nggak ada keluarganya yang bisa mengantarkan? Tiba-tiba
saya bingung dengan. Bingung dengan persoalan kecil. hah!
Kembali niat pertama lain muncul, saya akan membantu nenek
ini, begitu kata dalam hati. Niat itu tiba-tiba hilang terbawa angin saat tidak
lama kemudian bis yang saya tunggu datang. Saya berdiri dan memberi isyarat
kepada si Mbah kalau ini bis yang juga ia tunggu. Nenek itu mengerti, tapi dia
hendak memastikan. Dia bertanya kepada saya, apakah benar ini busnya. “nggih”
jawab saya pendek.
Saya mempersilahkan di naik terlebih dahulu. Dia duduk di
sebelah deretan kursi sebelah kiri, sementara saya di sebelah kanan, disamping
seorang anak SMP. Saya meliriknya, tampaknya dia masih agak canggung. Entah bagaimana
saya tahu. Dari raut wajahnya yang tertahan-tahan seolah ada yang diungkapkan. Dari
gerakan tangannya yang tidak tenang. Saya semakin yakin dia tidak tahu Yogya.
Saya kemudian merogoh saku tas, hendak mengambil selembar
uang 5 ribuan dan seribuan. Niat pertama saya hendak membayarkan ongkos nenek
ini. tapi saya urungkan. Entah kenapa. Saya kemudian mengganti uang 5 ribuan
itu dengan uang 2 ribuan. Lalu menyerahkannya ke kondektur. Si nenek menatap
saya agak gelisah. Tapi saya benar-benar blank, tidak tahu harus
berbicara apa. Spontan saya kemudian mengarahkan wajah ke depan menghadap
jalanan.
Rasa bersalah saya muncul pertama kali saat kondektur
berkata kepada nenek ini,”telung ngewu, Mbah.” (tiga ribu, Mbah). Maksudnya ongkos
bus sebesar 3000 rupiah. Saya melirik, ternyata ia membayar dengan 2 lembar
seribuan. Ia kemudian mengeluarkan selembar uang 5 ribuan. Saya mengutuk dalam
hati, kenapa saya tidak melaksanakan niat pertama saya!?
Saya tidak berhenti mengutuk, sepanjang jalan. Terpikir oleh
saya untuk turun di perempatan Wonosari saja, bukannya di depan gedung PLN
jalan Gedong Kuning. Saya ingin membantu nenek ini mencarikan bus ke Klaten.
Tapi niat itu tidak terlaksana. Saat bus berhenti di dekat
gedung PLN, saya lansung turun. Saat hendak turun saya melirik ke Mbah itu.
Sambil mengangguk saya berkata,”monggo, Mbah.” Secara bebas berarti ‘saya
duluan Mbah’. saya kemudian turun. Saat bis berjalan, saya menatap si nenek. Saya
melihat dia menatap wajah saya dengan khawatir. Jleb! Tiba-tiba perasaan saya
seperti ditusuk sesuatu yang sangat tajam. saya betul-betul mengutuk diri saya
sendiri. Saya berkata-kata sendirian di tepi jalan. seorang anak SMP yang ikut
turun bersama saya sampai melirik aneh kepada saya. Saya merasa canggung, dan
berusaha menahan diri untuk tidak mengeluarkan kata-kata secara verbal. Tapi,
kutukan itu tidak berhenti sampai saya tiba di rumah. bahkan sampai saat ini.
hari ini saya telah membuang banyak niat pertama untuk berbuat baik, untuk
alasan yang tidak saya ketahui.
***
Waktu kecil, saya pernah belajar bagaimana cara mengetahui
kita telah berbuat dosa atau tidak. “kalau kamu merasa bersalah di dalam hati,
maka kamu telah berbuat dosa.”
Sejujurnya saya tidak tahu sejauh mana keabsahan konsep
tersebut. Pertanyaan-pertanyaan tertentu bisa dikemukakan. Misalnya, apakah
rasa bersalah itu muncul karena kita telah mengetahui sebuah konsep dosa? atau
dia bisa muncul dari ruang kosong tanpa pengetahuan apapun tentang dosa,
artinya apakah perasaan bersalah bisa muncul sekalipun kita tidak tahu apa-apa
tentang dosa? Apakah mungkin orang yang berbuat dosa merasa tidak bersalah? Ah,
ini persoalan pemikiran sekaligus persoalan kejiwaan, pertanyaan-pertanyaan
berat yang sampai sekarang tidak terjawab oleh saya.
Saya bahkan sudah lama melupakan konsep dosa, yang saya tahu
adalah bahwa ada hal-hal yang secara hukum tidak boleh dan diperbolehkan. Yang boleh
dilakukan, yang tidak boleh ditinggalkan. Dosa dan pahala itu urusan
belakangan. Katakanlah, itu bonus. Bukan tujuan utama. Seorang teman pernah
sangat tidak sepakat. Barangkali sampai saat ini ia juga masih tidak sepakat
dengan pandangan saya ini.
Beberapa waktu lalu saya melakukan beberapa pengamatan
kecil. Saya memperhatikan para pengguna jalan, orang-orang yang berjalan di
trotoar, orang-orang di warung, dan orang-orang di dalam bus. Ada satu hal yang
saya tandai, tidak banyak dari mereka yang selalu tersenyum. Saya melihat
wajah-wajah datar yang kelelahan. Senyuman dan keceriaan hanya ada saat mereka
bercerita dengan orang-orang dekat mereka. Bila mereka bertemu dengan
orang-orang yang tidak mereka kenal. Jangankan tersenyum, melirik pun tidak. Dan
saya akui, saya pun sering terjebak dalam kondisi seperti ini. entah bagaimana.
Barangkali karena terbiasa dengan kehidupan kota.
Melihat itu, saya kemudian membuat sebuah resolusi. Sebisa
mungkin, selalu tersenyum. Tidak peduli jika kau bertemu dengan orang lain atau
tidak. Ini hal yang cukup sulit, tapi tidak ada salahnya untuk dicoba.
Tidak lama setelah membuat resolusi itu, saya membuat
resolusi baru. Lakukan minimal 10 kebaikan setiap hari, tidak peduli sekecil
apapun itu. entah itu sekedar memberikan tempat duduk kita kepada orang lain,
mengantarkan sendiri piring kotor atau membersihkan sendiri meja kotor ketika
di warung, hingga memberi senyuman saat berpapasan dengan orang lain.
Barangkali resolusi inilah yang membuat perasaan bersalah
itu muncul. Saya sudah berkali-kali mengabaikan niat pertama untuk berbuat
kebaikan kepada orang lain kepada satu orang.
Ini pukulan buat saya secara pribadi. Hal kecil, memang. Tapi
tetap saja menyalahi resolusi baru saya. ternyata saya masih kurang peka dan
spontan untuk urusan-urusan kecil seperti ini. Saya akan menebusnya jika
kebetulan bertemu lagi dengan nenek ini, entah dalam bentuk apapun itu.
setidaknya sebuah permintaan maaf.
(jadi teringat nenek
di Sleman, yang ditinggal begitu saja karena saya ‘marah’. Belum sempat ke
sana, padahal dia sudah minta saya datang.)
0 comments:
Post a Comment