Rss Feed
  1. Entah bagaimana, ada rasa bersalah yang terus menghantui saya sejak tengah hari  tadi. Rasa bersalah yang serupa saya rasakan beberapa waktu lalu. Rasa bersalah yang dilakukan karena tidak melaksanakan niat pertama. Niat pertama? Iya, itu istilah yang saya gunakan. Saya tidak tahu istilah populernya apa. Niat pertama adalah niat yang pertama kali muncul. Biasanya ia muncul secara spontan. Dalam beberapa kasus kita tidak perlu berpikir panjang untuk melakukannya. Dalam kasus lain kita urung untuk melaksanakannya.


    Siang tadi, tidak lebih setengah satu, seperti biasa saya menunggu bus jalur 4 untuk mencapai rumah tinggal saya. saya duduk di dekat sebuah pohon di seberang Makam Pahlawan Kusumanegara. Biasanya tidak lebih dari 5 menit kondektur bis jalur ini sudah melambai-lambai tangan dari jauh, memberi isyarat apakah saya hendak naik atau tidak. Tapi, kali ini tampaknya saya harus lebih lama bersabar di bawah terik matahari Yogya yang semakin hari semakin panas.

    Tidak lama kemudian, dari seberang jalan sebuah becak mendekati. Seorang nenek turun dari sana. Melihat wajahnya yang dibalut dengan kerudung putih, baju warna merah mudah lusuh, secara sederhana saya berkata, lugu. Saya menduga nenek ini tidak menguasai wilayah Yogya. Ia duduk agak jauh dari saya. Saya ingin menyapa, tapi urung. Bukan apa-apa, persoalan bahasa. Saya yakin 90 %, nenek ini kurang begitu paham bahasa Indonesia. Entah bagaimana, saya yakin saja.

    Namun, tiba-tiba saja dia memulai pembicaraan, “teng pundi mas?” tanyanya agak canggung kepada saya. dan saya melongo. Saya tahu dia bertanya,’mau kemana, mas?”, tapi harus dijawab dengan apa?
    teng wetan?” katanya lagi sambil mengarahkan tangan ke timur makam. Saya menjawab pendek,”nggih, mbah.”

    Nenek itu kemudian terdiam. Sial! Saya canggung dia canggung. Akhirnya kami terdiam bersama. Melihat jarak antara kami berdua, saya hendak mendekat, lagi-lagi saya urungkan. Entah kenapa. Lalu saya beranikan diri untuk bertanya,”mbah mau kemana?” kata saya dengan suara agak keras.
    Kali ini giliran si mbah yang melongo,”mbah mau kemana?” kata saya gantian mengarahkan tangan ke arah timur.

    nggih, teng Wetan.” Saya meng-O saja. Dia lalu berkata dengan suara yang kurang jelas saya tangkap di telinga. Dia seperti menyebutkan kata wonosari, dan klaten.

    “mbah mau ke Klaten?” tanya saya memastikan.

    nggih, klaten, mlebu wonosari?”

    Masuk wonosari? Kenapa harus masuk wonosari. Kan cukup menunggu bus di perempatan wonosari saja kalau mau ke Klaten? Saya ingin memastikan, tapi untuk ketiga kalinya saya urungkan.

    “ke Klaten, nunggu bus di perempatan Wonosari, Mbah,” aku berusaha menjelaskan. Dia mengangguk, tidak tahu paham atau tidak. Lalu dia berbicara dengan cepat. aku tidak ingat bagaimana bahasa jawanya, kira-kira dia berkata, “kalau mau nunggu bus disini, kan?”

    aku mengangguk. Aku semakin yakin bahwa nenek ini tidak paham Yogya. Namun pikiran lain tiba-tiba muncul, kalau dia tidak paham yogya, ngapain dia sendirian? Apa nggak ada keluarganya yang bisa mengantarkan? Tiba-tiba saya bingung dengan. Bingung dengan persoalan kecil. hah!

    Kembali niat pertama lain muncul, saya akan membantu nenek ini, begitu kata dalam hati. Niat itu tiba-tiba hilang terbawa angin saat tidak lama kemudian bis yang saya tunggu datang. Saya berdiri dan memberi isyarat kepada si Mbah kalau ini bis yang juga ia tunggu. Nenek itu mengerti, tapi dia hendak memastikan. Dia bertanya kepada saya, apakah benar ini busnya. “nggih” jawab saya pendek.

    Saya mempersilahkan di naik terlebih dahulu. Dia duduk di sebelah deretan kursi sebelah kiri, sementara saya di sebelah kanan, disamping seorang anak SMP. Saya meliriknya, tampaknya dia masih agak canggung. Entah bagaimana saya tahu. Dari raut wajahnya yang tertahan-tahan seolah ada yang diungkapkan. Dari gerakan tangannya yang tidak tenang. Saya semakin yakin dia tidak tahu Yogya.

    Saya kemudian merogoh saku tas, hendak mengambil selembar uang 5 ribuan dan seribuan. Niat pertama saya hendak membayarkan ongkos nenek ini. tapi saya urungkan. Entah kenapa. Saya kemudian mengganti uang 5 ribuan itu dengan uang 2 ribuan. Lalu menyerahkannya ke kondektur. Si nenek menatap saya agak gelisah. Tapi saya benar-benar blank, tidak tahu harus berbicara apa. Spontan saya kemudian mengarahkan wajah ke depan menghadap jalanan.

    Rasa bersalah saya muncul pertama kali saat kondektur berkata kepada nenek ini,”telung ngewu, Mbah.” (tiga ribu, Mbah). Maksudnya ongkos bus sebesar 3000 rupiah. Saya melirik, ternyata ia membayar dengan 2 lembar seribuan. Ia kemudian mengeluarkan selembar uang 5 ribuan. Saya mengutuk dalam hati, kenapa saya tidak melaksanakan niat pertama saya!?

    Saya tidak berhenti mengutuk, sepanjang jalan. Terpikir oleh saya untuk turun di perempatan Wonosari saja, bukannya di depan gedung PLN jalan Gedong Kuning. Saya ingin membantu nenek ini mencarikan bus ke Klaten.

    Tapi niat itu tidak terlaksana. Saat bus berhenti di dekat gedung PLN, saya lansung turun. Saat hendak turun saya melirik ke Mbah itu. Sambil mengangguk saya berkata,”monggo, Mbah.” Secara bebas berarti ‘saya duluan Mbah’. saya kemudian turun. Saat bis berjalan, saya menatap si nenek. Saya melihat dia menatap wajah saya dengan khawatir. Jleb! Tiba-tiba perasaan saya seperti ditusuk sesuatu yang sangat tajam. saya betul-betul mengutuk diri saya sendiri. Saya berkata-kata sendirian di tepi jalan. seorang anak SMP yang ikut turun bersama saya sampai melirik aneh kepada saya. Saya merasa canggung, dan berusaha menahan diri untuk tidak mengeluarkan kata-kata secara verbal. Tapi, kutukan itu tidak berhenti sampai saya tiba di rumah. bahkan sampai saat ini. hari ini saya telah membuang banyak niat pertama untuk berbuat baik, untuk alasan yang tidak saya ketahui.
    ***
    Waktu kecil, saya pernah belajar bagaimana cara mengetahui kita telah berbuat dosa atau tidak. “kalau kamu merasa bersalah di dalam hati, maka kamu telah berbuat dosa.”

    Sejujurnya saya tidak tahu sejauh mana keabsahan konsep tersebut. Pertanyaan-pertanyaan tertentu bisa dikemukakan. Misalnya, apakah rasa bersalah itu muncul karena kita telah mengetahui sebuah konsep dosa? atau dia bisa muncul dari ruang kosong tanpa pengetahuan apapun tentang dosa, artinya apakah perasaan bersalah bisa muncul sekalipun kita tidak tahu apa-apa tentang dosa? Apakah mungkin orang yang berbuat dosa merasa tidak bersalah? Ah, ini persoalan pemikiran sekaligus persoalan kejiwaan, pertanyaan-pertanyaan berat yang sampai sekarang tidak terjawab oleh saya.

    Saya bahkan sudah lama melupakan konsep dosa, yang saya tahu adalah bahwa ada hal-hal yang secara hukum tidak boleh dan diperbolehkan. Yang boleh dilakukan, yang tidak boleh ditinggalkan. Dosa dan pahala itu urusan belakangan. Katakanlah, itu bonus. Bukan tujuan utama. Seorang teman pernah sangat tidak sepakat. Barangkali sampai saat ini ia juga masih tidak sepakat dengan pandangan saya ini.

    Beberapa waktu lalu saya melakukan beberapa pengamatan kecil. Saya memperhatikan para pengguna jalan, orang-orang yang berjalan di trotoar, orang-orang di warung, dan orang-orang di dalam bus. Ada satu hal yang saya tandai, tidak banyak dari mereka yang selalu tersenyum. Saya melihat wajah-wajah datar yang kelelahan. Senyuman dan keceriaan hanya ada saat mereka bercerita dengan orang-orang dekat mereka. Bila mereka bertemu dengan orang-orang yang tidak mereka kenal. Jangankan tersenyum, melirik pun tidak. Dan saya akui, saya pun sering terjebak dalam kondisi seperti ini. entah bagaimana. Barangkali karena terbiasa dengan kehidupan kota.

    Melihat itu, saya kemudian membuat sebuah resolusi. Sebisa mungkin, selalu tersenyum. Tidak peduli jika kau bertemu dengan orang lain atau tidak. Ini hal yang cukup sulit, tapi tidak ada salahnya untuk dicoba.
    Tidak lama setelah membuat resolusi itu, saya membuat resolusi baru. Lakukan minimal 10 kebaikan setiap hari, tidak peduli sekecil apapun itu. entah itu sekedar memberikan tempat duduk kita kepada orang lain, mengantarkan sendiri piring kotor atau membersihkan sendiri meja kotor ketika di warung, hingga memberi senyuman saat berpapasan dengan orang lain.

    Barangkali resolusi inilah yang membuat perasaan bersalah itu muncul. Saya sudah berkali-kali mengabaikan niat pertama untuk berbuat kebaikan kepada orang lain kepada satu orang.

    Ini pukulan buat saya secara pribadi. Hal kecil, memang. Tapi tetap saja menyalahi resolusi baru saya. ternyata saya masih kurang peka dan spontan untuk urusan-urusan kecil seperti ini. Saya akan menebusnya jika kebetulan bertemu lagi dengan nenek ini, entah dalam bentuk apapun itu. setidaknya sebuah permintaan maaf.

    (jadi teringat nenek di Sleman, yang ditinggal begitu saja karena saya ‘marah’. Belum sempat ke sana, padahal dia sudah minta saya datang.)





  2. 0 comments:

    Post a Comment