Rss Feed
  1. Setiap kali engkau merendahkan suara menanya keadaan, serasa aku sedang dipeluk mendengarkan tangismu, seperti saat aku pulang dulu. Aku sering terdiam di sela percakapan. Kau justru khawatir mengira aku belum makan. Tidak, itu karena tangisan yang kutahan.


    Dan aku tidak pernah menahannya saat aku sendirian.



    Mataku sembap seharian. Ah, untung lelaki itu tak pernah melarangku menangis saat dia menghujani tubuhku dengan makian, pukulan, dan tendangan. Justru aku berhenti menangis karena tidak ada lagi sakit untuk semua itu. Tapi karena kalian, engkau dan lelaki itu, aku tak pernah berhenti.

    Barangkali lelaki itu tidak ingin berbicara kepadaku, saat aku bilang hendak meneleponnya. Ini sudah kesekian kali aku terus menunda kelulusan. Sementara ia terus bertanya kapan. Kapan? Tahun lalu aku bilang tahun ini. Tahun ini aku bilang awal tahun depan. Dan tadi aku bilang aku harus menundanya hingga ke pertengahan. Aku tahu, itu sakit baginya untuk terus mempercayaiku. Untuk terus menahan beban seperti yang kerap ia kata,”aku ingin berhenti kerja, setelah itu berkebun. Cepatlah selesaikan kuliah.”

    Aku tahu, lelaki itu masih kerap memakimu,”itu anakmu, kau bela saja terus.” Aku tahu itu, bukankah itu sejak dulu. Sejak aku pernah memakinya karena tak tahan lagi dengan perlakuannya. Bukankah ia terus berkata,”itu anakmu, urus olehmu.” Dia selalu berkata begitu, saat aku terlalu memberontak. Dan lelaki itu selalu berkata,”itu anakku,” saat aku mendapat juara satu, saat aku dielu-elu. Aku ingin memakinya saat itu, kalau saja dia bukan bapakku.

    Menjadi buruh, diperintah semena-mena, itu bukan kehendaknya. Jelas. Tak satupun anaknya bermental patuh. Sifat keras kepala yang selalu berbalik menyerangnya. Kadang, saat aku marah pada diriku, aku ingin menyalahkannya,”Ayah, kau yang membuatku seperti ini.” Kadang juga aku ingin mengejeknya,”Ayah, kau tidak memarahiku bukan karena kau tidak mau. Kau tidak mampu. Karena kau tahu, aku adalah dirimu.”

    Bukankah menyedihkan, seluruh sifat lelaki yang pernah kau benci selama bertahun-tahun justru sangat mendarah daging di kepribadianmu. Pendiam, tertutup, implosive. Egois, keras kepala. 

    Lelaki itu, aku benci mengakuinya, tapi aku tahu bahwa dia punya rasa cinta. Masih ingatkah engkau saat Abangmu datang ke rumah dalam keadaan mabuk, memaksamu memberinya uang? Kau tidak ingin memberi apapun. Dia berteriak memaki marah. Kau terpojok. Dan lelaki itu memukulnya dengan kursi kesayangan adik kecilku, hingga kepalanya berdarah. Itu tindakan luar biasa untuk orang penyabar seperti dia. Bagiku itu bukan karena abangmu yang sesuka hatinya saja, tapi karena ia tidak tahan engkau dimaki olehnya. Itu ungkapan cinta yang romantis menurutku.

    Sebuah rasa cinta yang romantis dari lelaki berbudaya patriarkis.

    Sejak saat itu aku bersedia mendengar ceritamu tentangnya. Lelaki dari budaya patriarkis. Hidup sendirian sejak kecil, kehidupan lelaki yang keras, tanpa panutan dari orang tua. Lelaki dari budaya patriarkis. Berpantang mulut mengucap sayang dan pantang mengucap maaf jika salah, ringan tangan menunjukkan rasa cinta. Begitu engkau membela. Aku tidak paham.



    Aku tidak paham, sekalipun dia memutuskan untuk tidak lagi memaksa, berhenti memaki, memukul, dan menendang. Tidak juga saat dia membiarkan aku memilih jurusan apa saja. Aku tidak paham, hingga aku tiba di jogja. Aku tidak paham bahwa semua sifat itu bukan kehendaknya. Bahwa semua sifat itu karena lingkungannya. Bahwa semua sifat itu tidak perlu ada jika lingkungannya berbeda.

    Aku memutuskan berhenti membenci dirinya, walau tidak pernah memaafkan perilakunya.

    Itu soal who dan what, aku tidak membencinya karena ia seorang ayah, tapi aku membenci seluruh makian, pukulan, dan tendangan yang pernah ia lakukan padaku. Karena aku tidak ingin melakukan itu, tidak ingin semua orang melakukan itu kepada anak-anak mereka. 

    Aku yakin dia punya rasa sayang. Kau selalu bercerita, bahkan setelah ia memukulku, ketika hendak tidur ia bertanya dengan nada rendah,”uang sekolah anakmu itu kurang berapa?” tak pernah sekalipun dia memegang uang gajinya sendiri. Bahkan untuk minum kopi. Entah kalau itu sekarang, saat ia sudah aktif menjadi anggota partai. 

    Bagiku ucapan paling romantis, yang pernah aku dengar dalam hidupku adalah ketika kau bercerita dengan wajah ceria bahwa ia pernah berkata,”daripada aku kumpul-kumpul tidak jelas dengan mereka di warung kopi, lebih baik aku mengurus anak di rumah.” Ah, lelaki yang dahulu tidak pernah keluar rumah. Bukankah itu aneh, bagi seorang lelaki dari budaya patriarkis, tidak keluar rumah? 

    Sebagai ayah, dia tetap yang terbaik untukku.


    Dia tetap terbaik. Aku tahu itu, saat kerutan di wajahnya pertama kali aku lihat di jogja. Senyumnya, nada suara yang tak memaksa, dan ceritanya kepadamu tentangku ketika pulang ke rumah. Aku tidak tahu, kenapa ia tetap tidak mau berbicara kepadaku selama bertahun-tahun aku dijogja. Aku tidak tahu, kenapa ia tidak mau memujiku, mendukungku, apalagi mengucapkan sayang kepadaku. Ah, tentu saja! Aku lupa. Dia lelaki dari budaya patriarkis. Tidak akan ada tangisan, pujian, kata sayang, atau permintaan maaf untuk anaknya.

    Tapi dia tetap terbaik untukku. Sebagai seorang ayah dengan sisi-sisi romantis dan empatik darinya. Dia yang terus membuatku membaca, walau engkau yang membiasakanku membaca. Dia yang membuatku terus menyayangi, walau engkau yang menunjukkan bagaimana rasa sayang itu. Dia yang membuatku terus keras kepala. Dia yang membuatku terus berempati kepada sesama. Dia. Tentunya kau juga. Dia dan kau, terlepas semua ketidaknyamanan yang aku rasakan dengan semua warisan kalian, aku sejajarkan dengan Ali Syari’ati, Kuntowijoyo, Paulo Freire, Abu Dzar, dan Gramsci. Aku yakin kau bahkan belum pernah mendengar nama-nama itu. Whatever, Kalian semua orang-orang yang aku kagumi dan terus mempengaruhi.
    Dan engkau, sungguh aku tidak pernah mengagumi Kartini. Aku tak perlu terlalu jauh untuk mencari sebuah model pejuang kesetaraan. Untuk semua yang pernah kau lakukan di rumah dan di luar rumah, aku yakin bahwa perempuan tidak pernah dilahirkan lemah. Untuk semua ketidakpatuhanmu kepada lelaki itu, aku yakin bahwa perempuan mampu membuat keputusan terbaik untuk semua. 

    Bukankah itu menarik, saat model pertamamu berasal dari rumah?

     Bersama makian lelaki keras kepala itu, bersama semua kegelisahan berlebihanmu, bersama seluruh perkelahianku dengan saudara-saudaraku...

    Menarik? Entahlah. Yang jelas, saat ini aku hanya ingin merasakan pelukan lelaki itu dan merasakan sedikit air matanya terjatuh di pundakku. Sebagaimana dulu kau lakukan kepadaku. Apakah itu berlebihan?

  2. 0 comments:

    Post a Comment