Temanku satu
ini benar-benar beruntung. Dia laki-laki miskin tapi ganteng. Urakan, and
some people call him childish. aku sudah mengenal dia sekitar 3 atau 4
tahun yang lalu, namun aku tidak pernah menyangka kalau kami akan dekat saat
ini. Beberapa waktu lalu dia bercerita panjang kepadaku. Sebuah kisah asmara
yang sering kutemukan di dalam novel, tapi baru kali ini aku temukan di dunia
nyata. Satu laki-laki yang “dicintai” oleh 3 orang perempuan, tapi tidak ada
satu pun yang beruntung sampai detik ini. Penyebabnya adalah perbedaan status.
Perempuan pertama
adalah anak orang kaya. Temanku ini pacaran dengannya sejak perempuan itu
kuliah. Setelah dia lulus, temanku diajak ketemu dengan bapaknya si perempuan. Komentar
bapaknya, persis seperti tokoh antagonis yang sering kutemukan di novel atau
film. Kira-kira dia ngomong seperti ini,”kamu itu siapa? Punya apa? Kamu tidak
pantas dengan anak saya!”. Dengan langkah gontai, dibarengi dengan sakit hati
temanku pulang. Di kemudian hari, si perempuan bilang ke temanku. Dia akan
kerja keras untuk mengumpulkan uang seratus juta untuk biaya pernikahan mereka.
Perempuan kedua
adalah anak seorang ulama. Ulama, katakanlah begitu. Temanku ini termasuk
kategori islam abangan. Islam ya Islam, tapi tidak mendalam dengan
keislamannya. Suatu hari dia bertemu dengan gadis shalehah ini. Dia lansung “jatuh
cinta” pada pandangan yang pertama. Ternyata perasaan itu bersambut. Kurang lebih
3 bulanan mereka “jalan”. Jalan dengan tanda kutip, karena menurut pengakuan,
setiap kali bertemu si gadis selalu membawa bodyguard. Akhirnya temanku memantapkan diri untuk melamar gadis ini. Dia yakin
betul bahwa gadis inilah yang menjadi gadis idaman dia selama ini. Cantik,
shalehah, cerdas. Dia memberanikan diri berkunjung ke rumah si gadis. Laki-laki
yang biasanya tampil urakan, asal-asalan, tiba-tiba berubah menjadi elegan. Dia
datang menemui bapak si gadis dengan penampilan yang rapi. Begitu dia masuk ke
dalam rumah, ia disambut oleh kedua orang tuanya. Tiba-tiba bapaknya nyeletuk,”orang
yang mau nikah dengan anak saya ini harus hafal al-qur’an sekian juz.” Wajah temanku
lansung memerah malu. Bagi si bapak barangkali ini adalah tawaran atau
tantangan. Tapi bagi temanku ini adalah tamparan sekaligus penolakan. Tanpa basa-basi
dia lansung pamit.
Setelah kejadian
terakhir, temanku benar-benar “putus asa”. Lalu secercah harapan dan nostalgia
muncul. Semasa SMA dia pernah berpacaran dengan seorang perempuan yang berbeda
agama dengannya. Perempuan ini beragama katolik. Mereka putus karena perbedaan
agama itu. Setelah sekian tahun tidak bertemu, tiba-tiba temanku berpikir bahwa
perempuan inilah yang terbaik untuknya. Alasan dia,”pertama, karena keluarga
mereka yang katolik lebih bisa menerima, sementara keluarga islam banyak yang
rasis (maksudnya:diskriminatif). Kedua, karena hanya dengan dialah aku
benar-benar merasa nyaman,” jelasnya.
Aku tidak
mau berbicara mengenai posisiku dalam kasus yang terakhir ini. Orang bisa
setuju atau tidak setuju. Yang jelas dia tidak memedulikan perbedaan agama itu.
Aku jadi ingat dengan sebuah film yang
provokatif, “Cin(t)a”. pertanyaan besar
temanku sama dengan pertanyaan dasar yang dikemukakan di dalam film itu, kenapa
agama harus menghalang-halangi cinta?
Dia mengajukan
pertanyaan itu kepadaku. Hah! No Comment, kataku. Aku tidak mau
berurusan dengan persoalan semacam itu saat ini. Apa itu cinta? Gila, bahkan
kebanyakan orang terlalu suka mengatakan cinta daripada memahami apa itu cinta.
Whatever, persoalannya cinta dan pernikahan adalah 2 hal yang berbeda. Cinta
adalah kondisi psikologis sementara pernikahan adalah kondisi sosial. Itu yang
ku katakan kepada temanku ini ketika dia meminta pendapatku. Apakah memang
harus dia? Perempuan yang berbeda agama? Terlepas dari boleh tidak bolehnya
menikah beda agama, yang jelas perbedaan itu tentu akan membawa masalah di
dalam masyarakat jika mereka memang benar-benar menikah. Temanku tidak peduli
tentang itu. Ya sudahlah, ku bilang. Dia pasti punya alasan penting mengapa dia
melakukan itu.
Setelah itu,
aku terus terngiang dengan persoalan yang ia hadapi. Jaman sekarang masih ada
yang semacam itu? Dulu ku pikir orang jaman sekarang sudah bebas memilih siapa
yang harus ia “cintai” dan ia nikahi. Orang tua sudah tidak lagi campur tangan
soal asmara anak-anak mereka. Ternyata, masih saja. aku tidak bisa menyalahkan
pilihan terakhir temanku ini. Masyarakat kita seringkali menginginkan
berlakunya standar moral yang tinggi yang mereka sebut dengan beradab, tapi
mereka seringkali kehilangan standar
moral itu karena intoleransi dan tidak mau mengerti posisi orang lain. Barangkali
keputusan itu salah, tapi jika mempertimbangkan situasi psikologisnya di masa
lalu, itu adalah pilihan yang masuk akal baginya. Hidup kita terkadang lebih
sederhana dari masalah dan pemikiran kita sendiri. Kita hampir selalu hidup
dengan pemikiran: jika memang ada yang lebih mudah, kenapa harus memilih yang
sulit? Pilihan dia masuk akal, secara pragmatis.
Aku belum
tahu bagaimana kelanjutan cerita asmara dia ini. Apakah dia akan tetap mantap
dengan pilihannya yang terakhir, atau dia akan memilih salah satu dari 2 gadis
sebelumnya. Oh ya, ngomong-ngomong, si gadis yang cantik, solehah, dan cerdas
itu masih menunggunya.
0 comments:
Post a Comment