Rss Feed
  1. Temanku satu ini benar-benar beruntung. Dia laki-laki miskin tapi ganteng. Urakan, and some people call him childish. aku sudah mengenal dia sekitar 3 atau 4 tahun yang lalu, namun aku tidak pernah menyangka kalau kami akan dekat saat ini. Beberapa waktu lalu dia bercerita panjang kepadaku. Sebuah kisah asmara yang sering kutemukan di dalam novel, tapi baru kali ini aku temukan di dunia nyata. Satu laki-laki yang “dicintai” oleh 3 orang perempuan, tapi tidak ada satu pun yang beruntung sampai detik ini. Penyebabnya adalah perbedaan status. 


    Perempuan pertama adalah anak orang kaya. Temanku ini pacaran dengannya sejak perempuan itu kuliah. Setelah dia lulus, temanku diajak ketemu dengan bapaknya si perempuan. Komentar bapaknya, persis seperti tokoh antagonis yang sering kutemukan di novel atau film. Kira-kira dia ngomong seperti ini,”kamu itu siapa? Punya apa? Kamu tidak pantas dengan anak saya!”. Dengan langkah gontai, dibarengi dengan sakit hati temanku pulang. Di kemudian hari, si perempuan bilang ke temanku. Dia akan kerja keras untuk mengumpulkan uang seratus juta untuk biaya pernikahan mereka. 

    Perempuan kedua adalah anak seorang ulama. Ulama, katakanlah begitu. Temanku ini termasuk kategori islam abangan. Islam ya Islam, tapi tidak mendalam dengan keislamannya. Suatu hari dia bertemu dengan gadis shalehah ini. Dia lansung “jatuh cinta” pada pandangan yang pertama. Ternyata perasaan itu bersambut. Kurang lebih 3 bulanan mereka “jalan”. Jalan dengan tanda kutip, karena menurut pengakuan, setiap kali bertemu si gadis selalu membawa bodyguard. Akhirnya temanku  memantapkan diri untuk melamar gadis ini. Dia yakin betul bahwa gadis inilah yang menjadi gadis idaman dia selama ini. Cantik, shalehah, cerdas. Dia memberanikan diri berkunjung ke rumah si gadis. Laki-laki yang biasanya tampil urakan, asal-asalan, tiba-tiba berubah menjadi elegan. Dia datang menemui bapak si gadis dengan penampilan yang rapi. Begitu dia masuk ke dalam rumah, ia disambut oleh kedua orang tuanya. Tiba-tiba bapaknya nyeletuk,”orang yang mau nikah dengan anak saya ini harus hafal al-qur’an sekian juz.” Wajah temanku lansung memerah malu. Bagi si bapak barangkali ini adalah tawaran atau tantangan. Tapi bagi temanku ini adalah tamparan sekaligus penolakan. Tanpa basa-basi dia lansung pamit.

    Setelah kejadian terakhir, temanku benar-benar “putus asa”. Lalu secercah harapan dan nostalgia muncul. Semasa SMA dia pernah berpacaran dengan seorang perempuan yang berbeda agama dengannya. Perempuan ini beragama katolik. Mereka putus karena perbedaan agama itu. Setelah sekian tahun tidak bertemu, tiba-tiba temanku berpikir bahwa perempuan inilah yang terbaik untuknya. Alasan dia,”pertama, karena keluarga mereka yang katolik lebih bisa menerima, sementara keluarga islam banyak yang rasis (maksudnya:diskriminatif). Kedua, karena hanya dengan dialah aku benar-benar merasa nyaman,” jelasnya.
    Aku tidak mau berbicara mengenai posisiku dalam kasus yang terakhir ini. Orang bisa setuju atau tidak setuju. Yang jelas dia tidak memedulikan perbedaan agama itu. Aku jadi ingat dengan  sebuah film yang provokatif,  “Cin(t)a”. pertanyaan besar temanku sama dengan pertanyaan dasar yang dikemukakan di dalam film itu, kenapa agama harus menghalang-halangi cinta? 

    Dia mengajukan pertanyaan itu kepadaku. Hah! No Comment, kataku. Aku tidak mau berurusan dengan persoalan semacam itu saat ini. Apa itu cinta? Gila, bahkan kebanyakan orang terlalu suka mengatakan cinta daripada memahami apa itu cinta. Whatever, persoalannya cinta dan pernikahan adalah 2 hal yang berbeda. Cinta adalah kondisi psikologis sementara pernikahan adalah kondisi sosial. Itu yang ku katakan kepada temanku ini ketika dia meminta pendapatku. Apakah memang harus dia? Perempuan yang berbeda agama? Terlepas dari boleh tidak bolehnya menikah beda agama, yang jelas perbedaan itu tentu akan membawa masalah di dalam masyarakat jika mereka memang benar-benar menikah. Temanku tidak peduli tentang itu. Ya sudahlah, ku bilang. Dia pasti punya alasan penting mengapa dia melakukan itu. 

    Setelah itu, aku terus terngiang dengan persoalan yang ia hadapi. Jaman sekarang masih ada yang semacam itu? Dulu ku pikir orang jaman sekarang sudah bebas memilih siapa yang harus ia “cintai” dan ia nikahi. Orang tua sudah tidak lagi campur tangan soal asmara anak-anak mereka. Ternyata, masih saja. aku tidak bisa menyalahkan pilihan terakhir temanku ini. Masyarakat kita seringkali menginginkan berlakunya standar moral yang tinggi yang mereka sebut dengan beradab, tapi mereka seringkali  kehilangan standar moral itu karena intoleransi dan tidak mau mengerti posisi orang lain. Barangkali keputusan itu salah, tapi jika mempertimbangkan situasi psikologisnya di masa lalu, itu adalah pilihan yang masuk akal baginya. Hidup kita terkadang lebih sederhana dari masalah dan pemikiran kita sendiri. Kita hampir selalu hidup dengan pemikiran: jika memang ada yang lebih mudah, kenapa harus memilih yang sulit? Pilihan dia masuk akal, secara pragmatis.   

    Aku belum tahu bagaimana kelanjutan cerita asmara dia ini. Apakah dia akan tetap mantap dengan pilihannya yang terakhir, atau dia akan memilih salah satu dari 2 gadis sebelumnya. Oh ya, ngomong-ngomong, si gadis yang cantik, solehah, dan cerdas itu masih menunggunya.

  2. 0 comments:

    Post a Comment